Blognya Anak Kuliahan

Sunday, April 26, 2020

Merajut Sustainable Peace di Aceh



Seorang bijak berucap “Hal tersulit setelah mendapatkan sesuatu adalah mempertahankannya”, frasa ini nampaknya mewakili gambaran perdamaian di Aceh. Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki belasan tahun silam bisa dikatakan bukanlah merupakan akhir segalanya bagi jalan panjang penyelesaian konflik vertikal yang terjadi di Aceh, melainkan sebagai tahapan awal dari proses pembangunan perdamaian yang berkelanjutan (sustainable peace) di Aceh. Harus diakui bahwa pihak-pihak yang berseteru saat itu baik dari Pemerintah Indonesia maupun Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah mengambil langkah yang tepat dengan menurunkan egonya masing-masing dan memulai lembaran baru kehidupan melalui instalasi ulang hubungan pusat-daerah dalam kerangka kerja yang diharapkan bisa lebih aspiratif dan demokratis.

Menelisik sejarah panjang konflik Aceh tidak cukup dengan hanya melihat satu sudut pandang saja, dibutuhkan telaah panjang dengan menganalisis berbagai macam faktor utama meletusnya konflik tersebut. Salah satu latar belakang yang paling menonjol adalah berkaitan dengan isu pengakuan identitas dan ketidakadilan dalam pembagian sumberdaya alam, maka tidak mengherankan melihat alotnya proses negosiasi perdamaian pada 2005 silam di Helsinki banyak berkutat pada persoalan institusionalisasi identitas masyarakat Aceh yang ingin menerapkan pelaksanaan syariat islam, keistimewaan kebijakan perpolitikan yang akhirnya memunculkan partai politik lokal, dan pengaturan ulang keuangan daerah dimana lahirnya dana otsus.

Perlu dipahami bahwa dewasa ini ruang lingkup kajian pembangunan perdamaian tidak terbatas hanya pada penghentian pertikaian militer semata, namun bisa lebih luas seperti memperkuat penegakan hukum, perbaikan ekonomi, penyediaan kebutuhan dasar pelayanan publik bagi masyarakat, dan lain sebagainya. Kegiatan-kegiatan tersebut utamanya diaplikasikan pada situasi pasca-konflik dimana kondisi kelembagaan di sebuah daerah bekas konflik masih sangat rentan terhadap berbagai macam potensi gejolak baru yang siap menghantam, sehingga situasi damai dapat dengan sangat mudah pecah menjadi konflik terbuka lainnya.

Lembaga PBB pada tahun 2005 lalu mencatat bahwa sekitar setengah dari negara-negara yang berhasil keluar dari peperangan ternyata kembali ke situasi konflik kekerasan dalam periode kurang dari lima tahun sejak genjatan senjata di deklarasikan. Penyebabnya disinyalir akibat ketidaksigapan pemerintah dalam membangun perencanaan paska perdamaian. Kegiatan pembangunan perdamaian tidak menyasar asal-musabab utama konflik bersenjata, sehingga seiring waktu kondisi tidak ideal ini dapat saja mengendap dan lanjut bertransformasi kedalam bentuk kekerasan lainnya. Oleh karena itu, tahapan pembangunan perdamaian sangat penting untuk direncanakan jika tidak ingin kembali lagi terjerumus dalam era kegelapan.

Perdamaian Berkelanjutan
Pembangunan perdamaian di dunia perlu diwujudkan melalui usaha-usaha yang berkelanjutan (sustainability). Perhatian khusus terhadap usaha menjaga perdamaian dunia telah dilakukan oleh negara di dunia dengan memperingati hari Perdamaian Internasional pada tanggal 21 September setiap tahunnya, tidak hanya seremonial belaka, usaha-usaha lainnya juga terus digencarkan. Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro - Brazil pada tahun 2012 lalu berhasil mengilhami lahirnya agenda pembangunan global yang bernama Sustainable Development Goals (SDGs)/Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, sebuah model pembangunan berkelanjutan yang dapat membantu menyelesaikan masalah dunia. Adalah September 2015 yang kemudian menjadi pertemuan puncak bersejarah para pemimpin dunia di New York, dimana sebanyak 193 negara anggota PBB secara bulat menyepakati SDGs sebagai sebuah panggilan mendesak agar memulai upaya-upaya baru untuk mengakhiri kemiskinan absolut, melindungi planet dari kerusakan, dan termasuk menjaga perdamaian dan ketertiban dunia.

Komitmen internasional yang ingin dicapai bersama pada tahun 2030 ini memiliki tiga pilar utama yaitu, pembangunan sosial (social development), pembangunan ekonomi (economic development), dan pembangunan lingkungan (environmental development). Secara keseluruhan, SDGs memiliki 17 agenda utama, dengan 169 target dan 232 indikator. Masalah perdamaian secara khusus diatur dalam Goal 16 Peace, Justice and Strong Institutions/Tujuan ke 16 yaitu Perdamaian, Keadilan dan Kelembagaan yang Kuat (12 target dan 23 indikator).

Perdamaian dalam bingkai pembangunan berkelanjutan tengah menjadi tren masa kini. Paradigma pembangunan milenial ini menuntun manusia untuk tidak hanya memikirkan keadaan di masa sekarang saja, namun juga kepentingan generasi mendatang yang harus diperhitungkan secara seksama. Meskipun demikian, seiring dengan laju perubahan mode dunia yang berlangsung cepat dan dinamis, skala tantangan yang dihadapi juga tidak kalah besar. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan yang seimbang harus ditopang oleh keberhasilan dalam menurunkan jumlah konflik baik kecil maupun besar. Maka para pemangku kepentingan dituntut untuk bisa merumuskan strategi pembangunan yang lebih baik dan terarah.

Beberapa tantangan mendasar yang sedang dihadapi saat ini adalah masalah kemiskinan, kelaparan, kesenjangan sosial, tergerusnya sumber daya alam, kelangkaan air, degradasi lingkungan, korupsi, rasisme, intoleransi, dan lain sebagainya. Permasalahan tersebut kerapkali menjadi penyebab utama yang mengancam perdamaian dunia dan berpotensi menciptakan lahan baru yang lebih subur bagi konflik berkepanjangan. Dengan demikian, perdamaian mutlak diperlukan untuk memperkuat landasan menuju pembangunan berkelanjutan.

Acèh Damê
Pembangunan berkelanjutan bukan menjadi tanggung jawab satu pihak saja, namun seluruh stakeholders termasuk pemerintah daerah harus ikut mengambil tanggung jawab ini. Pemerintah daerah sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat diharapkan mampu menjadi ujung tombak keberhasilan pelaksanaan SDGs di ranah lokal melalui serangkain praktik kebijakan yang inovatif. Beruntungnya, pemangku kebijakan di Aceh saat ini sadar betul akan pentingnya kebijakan yang berkelanjutan, seperti halnya 15 program Aceh Hebat yang menjadi program unggulan Pemerintah Aceh periode 2017-2022 yang ternyata sarat akan 17 goals dari SDGs.

Dari 15 program unggulan tersebut, hanya tiga diantaranya, yaitu; Aceh SIAT, Acèh Meuadab, dan Acèh Teuga yang memiliki ciri khas tersendiri, sedangkan 12 program lainnya bisa dikatakan sangat identik dengan SDGs. Sebagai contoh Acèh Damê yang merupakan program yang terinspirasi dengan Goal 16 Peace, Justice and Strong Institutions dimana berfokus pada aspek yang sedang dibahas dalam tulisan ini yaitu perdamaian.

Di dalam website resmi Pemerintah Aceh (www.acehprov.go.id) dijelaskan bahwa Acèh Damê adalah situasi aman dan damai yang berkelanjutan (sustainable peace) melalui penuntasan proses reintegrasi dan membangun nilai-nilai perdamaian bagi semua lapisan masyarakat. Lebih lanjut di laman online tersebut juga disebutkan bahwasanya fokus utama dari Acèh Damê adalah melakukan penguatan pelaksanaan UUPA sesuai prinsip-prinsip MoU Helsinki secara konsisten dan komprehensif. Terdapat empat sasaran utama dari Acèh Damê yaitu (i) Menjadikan seluruh program pembangunan Aceh berbasis pengarusutamaan damai; (ii) Penuntasan aturan turunan UUPA sehingga dapat diimplementasikan dalam pembangunan dan kehidupan masyarakat; (iii) Penguatan kapasitas Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh; dan (iv) Memasukkan pendidikan damai (peace education) dalam kurikulum sekolah.

Baik, secara ide dan konsep Aceh sudah punya, lalu bagaimana dengan realisasinya? Lisa Kleypas, penulis novel top berkebangsaan Amerika, dalam pandangannya menyatakan “there is no peace in poverty” yang bisa dimaknai bahwasanya akan sulit untuk menciptakan kedamaian dalam kondisi kemiskinan. Beberapa pekan lalu ramai spanduk “Selamat Datang di Propinsi Termiskin Se-Sumatera”. Lalu tak lama berselang kritik tersebut dijawab oleh pemerintah lewat baliho yang berisi pembelaan bahwasanya Pemerintah Aceh berhasil turunkan angka kemiskinan 0,67 persen. Terlepas dari kesahihan klaim tersebut, dengan dibekali dana otsus yang melimpah ruah dan tetap mendapatkan predikat termiskin di Sumatera, maka sepertinya progres nol koma tersebut belum bisa dibilang sebuah prestasi.

Perlu digaris bawahi bahwasanya peace (perdamaian) tidak melulu diartikan sebagai the absence of war (tidak adanya perang), melainkan contoh sederhananya yaitu terciptanya suatu kondisi yang menjamin sebuah kemakmuran holistik dan berkelanjutan juga merupakan pengertian lain dari perdamaian. Selain prestasi termiskin, Aceh juga menempatkan diri sebagai propinsi dengan tingkat toleransi yang rendah. Apa yang tengah dihadapi saat ini adalah masih sering terjadinya ketegangan antar kelompok lintas pemahaman agama yang tak terkendali. Ketidaksiapan masyarakat atas munculnya keberagaman di sekitar mereka menjadi tantangan besar untuk diselesaikan. Pemahaman lintas budaya dan rekonsiliasi sangat diperlukan untuk menumbuh kembangkan sikap toleransi dan cinta damai di masyarakat. Dengan demikian, toleransi merupakan bagian integral dan penting untuk merealisasikan perdamaian, toleransi adalah menghormati setiap hak individu atas identitas yang menyertainya. Pemerintah secara khusus lewat Acèh Damê perlu hadir untuk memediasi konflik tiada akhir antara kelompok yang saling menghujah tersebut, karena sesuai dengan sasaran utama dari program ini yaitu menjadikan seluruh program pembangunan Aceh berbasis pengarusutamaan damai.

Perdamaian wajib dipertahankan secara terus-menerus dan berkesinambungan, karena perdamaian bukanlah sesuatu yang mudah untuk dicapai, maka sangat penting bagi pemerintah untuk menciptakan lingkungan global yang aman dan nyaman bagi masyarakat. Tidak hanya konflik bersenjata maupun terorisme, sikap intoleransi pun dapat membawa dampak merusak bagi pembangunan, mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan menghambat pencapaian pembangunan berkelanjutan. Sebaliknya, pembangunan berkelanjutan akan lebih mudah untuk dicapai ketika keamanan dan perdamaian terjaga dengan baik. (*)


* Telah dimuat di Koran Rakyat Aceh (12/02/20) Halaman 11

3 comments: