Blognya Anak Kuliahan

Sunday, June 10, 2012

Manfaat dan Kelemahan e-Government

June 10, 2012 2

E-Government adalah penggunaan teknologi informasi yang dapat meningkatkan hubungan antara Pemerintah dan pihak-pihak lain. Penggunaan teknologi informasi ini kemudian menghasilkan hubungan bentuk baru seperti: G2C (Government to Citizen), G2B (Government to Business Enterprises), dan G2G (inter-agency relationship. E-Government ini membawa banyak manfaat, antara lain:
  • Pelayanan servis yang lebih baik kepada masyarakat. Informasi dapat disediakan 24 jam sehari, 7 hari dalam seminggu, tanpa harus menunggu dibukanya kantor. Informasi dapat dicari dari kantor, rumah, tanpa harus secara fisik datang ke kantor pemerintahan.
  • Peningkatan hubungan antara pemerintah, pelaku bisnis, dan masyarakat umum. Adanya keterbukaan (transparansi) maka diharapkan hubungan antara berbagai pihak menjadi lebih baik. Keterbukaan ini menghilangkan saling curiga dan kekesalan dari kesemua pihak.
  • Pemberdayaan masyarakat melalui informasi yang mudah diperoleh. Dengan adanya informasi yang mencukupi, masyarakat akan belajar untuk dapat menentukan pilihannya. Sebagai contoh, data-data tentang sekolahan (jumlah kelas, daya tampung murid, passing grade, dan sebagainya) dapat ditampilkan secara online dan digunakan oleh orang tua untuk memilihkan sekolah yang pas untuk anaknya.
  • Pelaksanaan pemerintahan yang lebih efisien. Sebagai contoh, koordinasi pemerintahan dapat dilakukan melalui email atau bahkan video conferencing. Bagi Indonesia yang luas areanya sangat besar, hal ini sangat membantu. Tanya jawab, koordinasi, diskusi antara pimpinan daerah dapat dilakukan tanpa kesemuanya harus berada pada lokasi fisik yang sama. Tidak lagi semua harus terbang ke Jakarta untuk pertemuan yang hanya berlangsung satu atau dua jam, misalnya.


Hambatan Dalam Mengimplementasikan E-Government
Jika dilihat dari keteranan di atas, tentunya sangat diinginkan adanya E-Government di Indonesia. Ada beberapa hal yang menjadi hambatan atau tantangan dalam mengimplementasikan E-Government di Indonesia.
  • Kultur berbagi belum ada. Kultur berbagi (sharring) informasi dan mempermudah urusan belum merasuk di Indonesia. Bahkan ada pameo yang mengatakan: “Apabila bisa dipersulit mengapa dipermudah?”. Banyak oknum yang menggunakan kesempatan dengan mepersulit mendapatkan informasi ini.
  • Kultur mendokumentasi belum lazim. Salah satu kesulitan besar yang kita hadapi adalah kurangnya kebiasaan mendokumentasikan (apa saja). Padahal kemampuan mendokumentasi ini menjadi bagian dari ISO 9000 dan juga menjadi bagian dari standar software engineering.
  • Langkanya SDM yang handal. Teknologi informasi merupakan sebuah bidang yang baru. Pemerintah umumnya jarang yang memiliki SDM yang handal di bidang teknologi informasi. SDM yang handal ini biasanya ada di lingkungan bisnis / industri. Kekurangan SDM ini menjadi salah satu penghambat implementasi dari e-government. Sayang sekali kekurangan kemampuan pemerintah ini sering dimanfaatkan oleh oknum bisnis dengan menjual solusi yang salah dan mahal.
  • Infrastruktur yang belum memadai dan mahal. Infrastruktur telekomunikasi Indonesia memang masih belum tersebar secara merata. Di berbagai daerah di Indonesia masih belum tersedia saluran telepon, atau bahkan aliran listrik. Kalaupun semua fasilitas ada, harganya masih relatif mahal. Pemerintah juga belum menyiapkan pendanaan (budget) untuk keperluan ini.
  • Tempat akses yang terbatas. Sejalan dengan poin di atas, tempat akses informasi jumlahnya juga masih terbatas. Di beberapa tempat di luar negeri, pemerintah dan masyarakat bergotong royong untuk menciptakan access point yang terjangkau, misalnya di perpustakaan umum (public library). Di Indonesia hal ini dapat dilakukan di kantor pos, kantor pemerintahan, dan tempat-tempat umum lainnya.

Hambatan-hambatan di atas sebetulnya tidak hanya dihadapi oleh Pemerintah Indonesia (atau pemerintah daerah) saja. Di negara lain pun hal ini masih menjadi masalah. Bahkan di Amerika Serikat pun yang menjadi pionir di dunia Internet masalah E-Government pun merupakan hal yang baru bagi mereka. Namun mereka tidak segan dan tidak takut untuk melakukan eksperimen. Sebagai contoh adalah eksperimen yang dilakukan di California dimana mereka masih mencoba meraba implementasi E-Government yang pas untuk mereka.
Belakangan ini ramai dibicarakan tentang implementasi mengenai e-government di Indonesia. Namun, salah satu hal yang seringkali luput dibicarakan adalah masalah keamanan (security) dari implementasi e-government tersebut. Ambil salah satu aspek dari keamanan yaitu masalah kerahasiaan data pribadi (privacy). Salah satu implementasi dari e-government yang sering dibicarakan adalah pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) online. Ada keinginan dari beberapa implementasi untuk menyediakan layanan ini secara online melalui Internet. Jika sebuah layanan dapat diakses melalui Internet, maka faktor keamanannya perlu diperhatikan. Salah satu kesalahan yang mungkin terjadi dengan implementasi KTP online ini adalah bocornya data pribadi kita ke Internet. Dapat Anda bayangkan jika data pribadi anda—nama, tempat tanggal lahir, agama, nama suami atau istri, anak-anak, pekerjaan, penghasilan, dan seterusnya—tersedia di Internet. Data ini dapat dimanfaatkan oleh pihakpihak yang nakal untuk kejahatan
Inpres No 3/2003 tentang Kebijakan Dan Strategi Nasional Pengembangan e-Government, mengamanatkan setiap Gubernur dan Bupati/Walikota untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya masing-masing guna terlaksananya pengembangan e-Government secara nasional. Secara umum, penentuan Kebijakan Pembangunan e-Government akan dipengaruhi oleh 3 hal seperti digambarkan sebagai berikut:
  1. Langkah awal yang perlu dilakukan Pemerintah Daerah dalam menyusun kebijakan pembangunan e-Government adalah dengan melaksanakan survey sistem yang ada (infrastruktur komunikasi data, komputer, jaringan komputer dan sistem apliksi) di daerahnya masing-masing untuk mengetahui apa saja yang sudah dimiliki saat ini. Hasil survey tersebut merupakan bekal yang sangat penting untuk mengidentifikasi masalah dan kendala yang dapat mempengaruhi kebijakan yang akan diambil.
  2. Pengaruh kedua datang dari perencanaan pembangunan daerah, renstrada, kebijakan politik, kebutuhan pengguna dan ketersediaan anggaran. Kelima faktor tersebut akan sangat menentukan prioritas kebutuhan spesifik masing-masing Pemerintah Daerah sesuai dengan Visi dan Misi pemerintahannya.
  3. Pengaruh ketiga datang dari pengalaman-pengalaman yang sudah dimiliki oleh Pemerintah Daerah dalam mengimplementasikan e-Government selama ini. Termasuk didalamnya adalah pengetahuan yang sudah didapatkan oleh Pemerintah Daerah dari pelaksanaan studi banding ke daerah / negara lain yang sudah lebih dulu melaksanakan e-Government.

Gagasan e-Government : Untuk Birokrasi Indonesia Yang Lebih Baik

June 10, 2012 1

Perkembangan teknologi yang semakin canggih menyebabkan semakin beragamnya sistem informasi yang berkembang. Kondisi ini juga didukung oleh kemampuan finansial masyarakat yang semakin berkembang dari hari ke hari, maka sebagian besar masyarakat kini memiliki teknologi yang setidaknya akan memudahkan komunikasinya. Namun ternyata sistem informasi yang ada kini tidak hanya mempermudah hubungan antar individu saja tetapi juga mempermudah hubungan antara pemerintah dengan warga negaranya.
Salah satu konsep yang mempermudah hubungan tersebut adalah sistem E-Government. E-Government yang “juga disebut e-gov, digital government, online government atau dalam konteks tertentu transformational government adalah penggunaan teknologi informasi oleh pemerintah untuk memberikan informasi dan pelayanan bagi warganya, urusan bisnis, serta hal-hal lain yang berkenaan dengan pemerintahan. Berdasarkan definisi dari World Bank, eGovernment adalah penggunaan teknologi informasi oleh pemerintah (seperti : Wide Area Network, Internet dan mobile computing) yang memungkinkan pemerintah untuk mentransformasikan hubungan dengan masyarakat, dunia bisnis dan pihak yang berkepentingan. (www.worldbank.org).
Dalam prakteknya,e-Government adalah penggunaan Internet untuk melaksanakan urusan pemerintah dan penyediaan pelayanan publik yang lebih baik dan cara yang berorientasi pada pelayanan masyarakat. E-Government dapat diaplikasikan pada legislatif, yudikatif, atau administrasi publik, untuk meningkatkan efisiensi internal, menyampaikan pelayanan publik, atau proses kepemerintahan yang demokratis. Model penyampaian yang utama adalah Government-to-Citizen atau Government-to-Customer (G2C), Government-to-Business (G2B) serta Government-to-Government (G2G). Keuntungan yang paling diharapkan dari e-government adalah peningkatan efisiensi, kenyamanan, serta aksesibilitas yang lebih baik dari pelayanan publik.”
Secara ringkas tujuan yang ingin dicapai dengan implementasi eGovernment adalah untuk menciptakan customer online dan bukan in-line. eGovernment bertujuan memberikan pelayanan tanpa adanya intervensi pegawai institusi publik dan sistem antrian yang panjang hanya untuk mendapatkan suatu pelayanan yang sederhana. Selain itu eGovernment juga bertujuan untuk mendukung good governance. Penggunaan teknologi yang mempermudah masyarakat untuk mengakses informasi dapat mengurangi korupsi dengan cara meningkatkan transparansi dan akuntabilitas lembaga publik. eGovernment dapat memperluas partisipasi publik dimana masyarakat dimungkinkan untuk terlibat aktif dalam pengambilan keputusan/kebijakan oleh pemerintah. eGovernment juga diharapkan dapat memperbaiki produktifitas dan efisiensi birokrasi serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Adapun konsep dari eGovernment adalah menciptakan interaksi yang ramah, nyaman, transparan dan murah antara pemerintah dan masyarakat (G2C-government to citizens), pemerintah dan perusahaan bisnis (G2B-government to business enterprises) dan hubungan antar pemerintah (G2G-inter-agency relationship).
Di Indonesia, gagasan tentang E-Government ini mulai berkembang sejak tahun 2000-an. Pada saat itu berbagai usaha mulai dilakukan untuk menginternetkan pemerintah, baik di sisi proyek, maupun karena desakan masalah transparansi pada masyarakat. Melihat tingginya desakan untuk melakukan internetisasi serta semakin sadarnya pemerintah pentingnya birokrasi sebagai urat nadi pemerintahan dan birokrasi yang baik adalah yang efektif dan efisien maka tidak sedikit uang rakyat digunakan bagi pengembangan teknologi informasi bagi operasionalisasi pemerintahan dan pelayanan umum. Sedangkan dari pemerintah sendiri inisiatif e-Government di Indonesia telah diperkenalkan melalui Instruksi Presiden No. 6/2001 tgl. 24 April 2001 tentang Telematika (Telekomunikasi, Media dan Informatika) yang menyatakan bahwa aparat pemerintah harus menggunakan teknologi telematika untuk mendukung good governance dan mempercepat proses demokrasi. Lebih jauh lagi, eGovernment wajib diperkenalkan untuk tujuan yang berbeda di kantor-kantor pemerintahan. Administrasi publik adalah salah satu area dimana internet dapat digunakan untuk menyediakan akses bagi semua masyarakat yang berupa pelayanan yang mendasar dan mensimplifikasi hubungan antar masyarakat dan pemerintah.
Meskipun masih relatif muda, namun sistemnya sudah cukup baik. Namun demikian, E-Government belum menunjukkan manfaat yang signifikan bagi efektifitas dan efisiensi jalannya pemerintahan dan pelayanan umum yang terbaik. Masih terdapat pulau-pulau E-Government yang terbentuk dalam NKRI dan memperlebar jurang integrasi database nasional.
Di balik kelemahan-kelemahan tersebut ternyata masih banyak pihak yang memperjuangkan akan tetap berjalannya e-goverenment. Pada tanggal 27 Juni 2005 Bambang Dwi Anggono, biasa di panggil Ibenk, membentuk mailing list egov-indonesia@yahoogroups.com tempat berdiskusinya para aktifis e-government Indonesia, pada pertengahan 2006 telah melibatkan hampir 400 aktifis di dalamnya. Mailing list egov-indonesia merupakan mailing list paling aktif diantara berbagai tempat diskusi egov dan berusaha menjebatani keterbatasan kemampuan daerah dan pusat melalui kebersamaan dan saling mendukung dengan mengesampingkan ego sektoral. Sinergi antara Akademisi, Bisnis dan Government diyakini akan mampu membawa E-Government ke arah yang lebih baik.
Mengapa e-gov menjadi perlu dan penting untuk dilaksanakan ? alasannya adalah : secara tradisional biasanya interaksi antara seorang warga negara atau institusi sosial dengan badan pemerintah selalu berlangsung di kantor-kantor pemerintahan. Namun seiring dengan pemunculan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) semakin memungkinkan untuk mendekatkan pusat-pusat layanan pemerintah kepada setiap klien. Sebagai contoh ; jika ada pusat layanan yang tak terlayani oleh badan pemerintah, maka ada kios-kios yang didekatkan kepada para klien atau dengan penggunaan komputer di rumah atau di kantor-kantor. E-gov memberikan peluang baru untuk meningkatkan kualitas pemerintahan, dengan cara ditingkatkannya efisiensi, layanan-layanan baru, peningkatan partisipasi warga dan adanya suatu peningkatan terhadap global information infrastructure. Dengan demikian e-gov akan meningkatkan kualitas pelayanan informasi publik sebagai jalan untuk mewujudkan good government. Melalui e-Government, pelayanan pemerintah akan berlangsung secara transparan, dapat dilacak prosesnya, sehingga dapat dianggap akuntabel. Unsur penyimpangan dapat dihindarkan dan pelayanan dapat diberikan secara efektif dan efisien.
Bagaimana menjawab tantangan dan hambatan implementasi e-gov di indonesia yang telah diuraikan di atas ? berikut beberapa rekomendasi alternatif untuk memecahkan permasalahan hambatan-hambatan dalam implementasi e-gov ;
  • Untuk hambatan di bidang regulasi dan pedoman penyelenggaran situs web pemda maka pemerintah pusat perlu membuat master plan dan grand strategy e-gov yang dituangkan dalam undang-undang atau peraturan pemerintah beserta petunjuk pelaksanaan teknisnya karena implementasi membutuhkan tindakan dan penyediaan sarana dan bukan hanya konsep belaka. Selain itu pihak pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu memikirkan anggaran operasional serta anggaran pemeliharaan yang memadai. Oleh karenanya perlu penekanan bagi pemerintah daerah untuk memasukkan anggaran e-gov pada Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah serta menempatkan program e-gov sebagai skala prioritas di dalam pembangunan daerahnya.
  • Untuk hambatan SDM maka perlu dilakukan pendidikan dan pelatihan SDM di bidang teknologi informasi dan komunikasi yang terintegarsi. Secara apragmatis hendaknya pelatihan tersebut bersifat “inhouse” di tingkat penyelenggara pemerintah daerah agar diperoleh pemahaman dan literacy yang menyeluruh dikalangan pegawai pemerintah daerah. Inhouse training tersebut dapat melibatkan para pakar di daerah maupun di lain daerah serta kerjasama dengan pihak perguruan tingi yang ada. Sementara di tingkat pusat perlu diselenggarakan secara sentralisasi (oleh Depkominfo melalui Diklat terpadu) dan secara desentralisasi dengan membuat pusat-pusat diklat di lembaga pendidikan milik
  • Depdagri atau Lembaga Pendidikan milik swasta yang bekerjasama dengan Depkominfo, maupun perguruan tinggi. Selain itu diklat ini dapat dilaksanakan sendiri oleh masing-masing pemda yang lebih tahu kebutuhannya sendiri berkaitan dengan implementasi e-government. Peningkatan SDM pegawai untuk implementasi e-government perlu penanganan yang serius dan dilakukan bersama oleh pemerintah, Perguruan Tinggi, dan pihak swasta. Yang paling penting dan utama untuk disampaikan dalam pelatihan tersebut adalah perlu diubah pandangan tentang keberhasilan pelaksanaan e-gov bukan terletak pada teknologinya tetapi bergantung pada kemampuan manusia yang mengelolanya Pada sisi manajerial perlu dibuat suatu model pengelolaan e-government, baik untuk tingkat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pada struktur organisasi yang ada di departemen, kementerian dan Lembaga pemerintah Non Departemen perlu dipertegas bagian dari organisasi yang menangani egovernment disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi dari struktur organisasi yang telah ada agar tidak terjadi kerancuan di dalam pengelolaan dan implementasi e-government di pemerintahan daerah. Hal lain yang perlu diingat, bahwa di dalam manajemen e-gov kepedulian pimpinan baik dalam anggaran, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi adalah penting. Situs web pemda akan kelihatan lebih“cantik” bila bupati dan walikota bukan sekedar nampang fotonya tetapi memberikan akses ruang publik untuk berinteraktif melalui situs web pemda tersebut tanpa diwakilkan oleh admin. Fenomena ini akan menjadikan akuntabilitas pemda beserta jajaran struktur di mata publik. Berdasarkan pengamatan penulis, ada korelasi yang signifikan antara kemajuan penyelenggaraan e-gov dengan IT literacy kepala daerah. Kepala daerah yang memahami dan mengetahui kemampuan teknologi komunikasi dan informasi, umumnya pembangunan e-gov di daerahnya relatif lebih maju dan lebih berprestasi ( situs web pemkot Yogyakarta ( www.jogja.go.id ).
  • Dalam hal keterbatasan sarana dan prasarana; maka diperlukan suatu solusi dalam bentuk kebijakan pemerintah untuk merangkul pihak swasta khususnya provider ITC dalam bentuk kerjasama terpadu yang tentunya menguntungkan ke dua belah pihak. Sebagai contoh misalnya MOU yang dibuat oleh pemerintah dengan pihak Microsoft yang menuangkan kebijakan bahwa akan dilakukan pemutihan bagi aplikasi software yang “bukan resmi” yang digunakan lembaga pemerintah adalah merupakan terobosan dalam mengatasi infrastruktur yang mahal. Selain itu, secara teknis pihak pemerintah daerah perlu membuat masterplan e-government yang bisa melibatkan semua satker yang mencakup aspek pembangunan infrastruktur, aplikasi, sumber daya manusia, perundang-undangan dan anggaran. Bila di perlukan maka pihak pemda bisa melibatkan pihak ketiga (konsultan) dalam membuat masterplan yang bisa memfasilitasi kebutuhan dan keinginan semua satker. Akan tetapi harus diingat jangan sampai peran konsultan tersebut hanya "menginduk" pada salah satu satker karena tidak menjadikan e-gov komprehensif, selain itu perlu dipertimbangkan pilihan konsultan yang bukan money and business oriented tetapi lebih yang mengutamakan pada profesionalisme kerja. Didalam masterpaln tersebut harus mendahulukan hal-hal yang bersentuhan dan yang memiliki dampak langsung pada publik seperti masalah perizinan, pajak, kependudukan dan sebagainya. Setelah hal tersebut terpenuhi baru dipikirkan hal-hal kebijakan lain yang akan dituangkan dalam implementasi e-gov. Yang terakhir dalam kasus ini, pihak pemerintah pusat maupun daerah dibantu pihak swasta harus melakukan penambahan akses dan jangkauan infrastruktur telematika bagi semua kalangan masyarakat dari atas hingga bawah. Termasuk dalam hal ini adalah menetapkan tarif yang transparan dan terjangkau untuk semua kalangan. Kalau perlu pihak pemerintah sedikit memberikan tekanan agar tercapai deferensiasif tarif khusus untuk menunjang pelaksanaan e-gov.
  • Untuk mengatasi belum meratanya literacy masyarakat tentang penggunaan e-gov maka diperlukan strategi sosialisasi kepada masyarakat dengan beberapa tahapan yaitu ;
    • Tahapan sosialisasi yang pertama adalah ditujukan kepada pimpinan lembaga pemerintah. Karena secara kultur faktor pemimpin sangat memegang peranan dalam implementasi e-government. Banyak contoh keberhasilan pelaksanaan e-gov di berbagai negara, daerah atau kantor pemerintah disebabkan karena faktor skill dan kepedulian manajemen para pemimpinnya.
    • Tahapan ke dua adalah memberikan penekanan dalam sosialisasi e-government di kalangan para pimpinan tentang manfaat yang bisa diperoleh dari penggunaan ICT dalam tata pemerintahan. Baik itu dari segi politis, ekonomi, produktivitas kerja pegawai dan juga omage di mata masyarakat.
    • Tahapan ke tiga, adalah melibatkan semua bagian dalam lembaga pemerintah termasuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam merumuskan dan membuat rencana induk (masterplan) pelaksanaan e-government daerah dan instansi. Keterlibatan DPR memiliki peran penting dalam kesuksesan pembangunan e-gov semua elemen pemerintahan harus terlibat di dalamnya
    • Tahapan ke tiga dalam sosialisasi e-gov adalah memberikan brand awarness kepada para masyarakat luas tentang manfaat dan kegunaan bentuk-bentuk layanan dalam e-gov. Mengingat beragamnya status sosial dan ekonomi masyarakat maka yang pertama diberikan penekanan sosialisasi adalah golongan masyarakat yang memiliki status sosial ekonomi menengah ke atas terlebih dahulu, karena mereka lebih dekat dengan teknologi internet dan konsep e-gov. Selain itu cara ini juga akan mampu menjadikan mereka untuk menjadi stimulan pendorong bagi golongan masyarakat lain tentang manfaat dan kegunaan e-gov.


Wednesday, June 6, 2012

Sejarah Perkembangan Ilmu Politik

June 06, 2012 0
Sejarah Perkembangan Ilmu Politik

Untuk mengetahui perkembangan ilmu politik, kita harus meninjau ilmu politik dalam kerangka yang luas. Sebagaimana telah diterangkan pada bagian pendahuluan ilmu politik ditinjau dari kerangka yang luas telah ada sekitar tahun 427 S.M. terbukti dari hasil karya filosof seperti Plato dan Aristoteles. Bahkan Plato yang telah meletakan dasar-dasar pemikiran ilmu politik dikenal sebagai Bapak  filsafat   politik,  sedangkan Aristoteles yang  telah meletakan dasar-dasar keilmuan dalam kajian politik dikenal sebagai Bapak ilmu politik.
Baik Plato maupun Aristoteles pada dasarnya menjadikan negara sebagai persefektif filosofis, dan pandangan mereka tentang  pengetahuan  merupakan  sesuatu yang utuh. Perbedaan keduanya terletak pada tekanan dan obyek pengamatan yang dilakukan, kalau Plato bersifat normatif-deskriptif, sedangkan Aristoteles sudah mendekati empiris dengan memberikan dukungan dan preferensi nilai melalui fakta yang dapat diamati dengan nyata. Jaman ini yang terkenal dengan zaman  Romawi  Kuno memberikan sumbangan yang berharga  bagi  ilmu politik, antara lain: bidang hukum, yurisprudensi dan administrasi negara. Bidang-bidang tersebut didasarkan atas persefektif mengenai  kesamaan manusia,   persaudaraan setiap orang, ke-Tuhan-an dan keunikan nilai-nilai individu.
Para filosof pada zaman ini berusaha mencari esensi ide-ide seperti keadilan dan kebaikan, juga mempertimbangkan masalah-masalah esensial lainnya seperti pemerintahan yang baik, kedaulatan,  kewajiban negara terhadap warga negara atau sebaliknya. Analisis-analisis yang digunakan bersifat analisis normatif  dan  deduktif. Analisis normatif adalah membicarakan asumsi-asumsi bahwa ciri khas tertentu adalah baik atau diinginkan, sedangkan analisis deduktif adalah didasarakan pada penalaran  dari premis umum menuju kesimpulan khusus.
Memasuki abad pertengahan eksistensi ilmu politik justru mengalami kemandekkan. Hal ini disebabkan  karena telah terjadi pergeseran institusi kekuasaan dari negara kepada gereja. Pada masa ini negara menjadi  kurang penting, sehingga pemikiran politik didominasi oleh intelektual dan politik gereja Kristen. Dalam  keadaan seperti pemikiran politik lebih cenderung berurusan untuk menjawab apa yang seharusnya, apa yang baik/buruk,  bukan pernyataan  tentang  apa  yang  ada/nyata.  Jadi  kajian politik pada masa ini mengalami  kemunduran seperti era Plato (filosofis) bukan bersifat keilmuan. Namun, abad ini tetap memberikan sumbangan konsepsial bagi ilmu politik, seperti konsepsi mengenai penyatauan dunia, upah yang jujur, dan  hukum  tertinggiyang  perlu ditaati manusia.
Setelah memasuki abad kelima belas ilmu politik mengalami kemajuan yang berarti terutama dalam obyek dan metode yang digunakan dalam pengkajian maupun pengamatan/penelitian dibidang   politik dibandingkan masa-masa sebelumnnya. Analisa normatif dan deduktif walau tetap masih dipergunakan tetapi telah terpengaruhi oleh penemuan-penemuan baru dan teori  diberbagai  bidang pengetahuan kemanusiaan lainnya.
Sedangkan perkembangan politik  di  negara  Eropa. Anda  tentu  mengenal  beberapa  negara  di  Eropa   yang memberikan kontribusi yang cukup besar bagi  perkembangan ilmu-ilmu sosial  pada umumnya dan  ilmu politik pada khusunya. Di negara-negara seperti  Jerman, Prancis dan Austria perkembangan ilmu politik memasuki abad kedelapan belas sangat dipengaruhi oleh ilmu hukum. Itulah sebabnya fokus perhatian perhatiannya hanya terpusat pada negara.
Lain halnya perkembangan ilmu politik di Inggris dan Amerika serikat. Pada abad kedelapan belas, di Inggris permasalahan politik lebih banyak merupakan kajian filsafat serta pembahasannya tidak terlepas dari sejarah. Sedangkan di Amerika Serikat yang telah menempatkan pangajaran politik di  universitas semenjak tahun 1858, mula-mula studinya lebih bersifat yuridis, akan tetapi semenjak abad ini telah melepaskan diri dari kajian yang bersifat yuridis dengan lebih memfokuskan diri atas pengumpulan data empiris.
Baru memasuki awal abad kedua puluh kajian ilmu politik telah menjauhi studi yang semata-mata  legalistis normatif maupun yang murni normatif dan deduktif. Hal ini dipengaruhi oleh perkembangan teori ilmu  pengetahuan sosial lainnya, terutama konsepsi yang berubah tentang hakekat manusia, pragmatisme dan pluralisme.
Faktor pertama tentang hakekat manusia, telah diakui bahwa sifat manusia sangat beragam dan  kompleks. Pengakuan akan sifat manusia tersebut menimbulkan implikasi-implikasi yaitu: pertama, digugatnya pernyataan mengenai hukum menentukan pemerintahan yang baik, hal ini disebabkan sifat manusia yang berbeda-beda. Kedua, tidak semua manusia akan berperilaku sama dalam  suatu  lembaga tertentu. Ketiga, sifat itu diyakini sebagai obyek  resmi penelitian.
Faktor yang kedua yang mempengaruhi ilmu politik adalah fragmatisme. Ini berarti bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan manusia tidak dapat dinilai dari logika, melainkan dari hasil tindakan atau  perilaku tersebut. Misanya, sesorang dicap sebagai nasionalis, karena hasil dari tindakan dan perilakunya selalu menunjukkan sikap antipati terhadap bangsa sendiri, terhadap produksi dalam negeri, menjelek-jelekan bangsa sendiri di hadapan bangsa lain, dan sebagainya.
Sedangkan faktor yang ketiga, yakni pluralisme, mengandung pengertian bahwa kekuasaan dalam politik dibagi-bagi antara berbagai kelompok, partai dan lembaga-lembaga pemerintahan. Misalnya, organisasi kemasyarakatan, golongan, partai politik, dan yang lebih ekstrim seperti partai oposisi memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi  berbagai  kebijakan pemerintah. Hal ini disebabkan karena organisasi kemasyarakatan dan partai politik tersebut memiliki kekuasaan untuk melakukan itu walaupun kekuasaan tersebut  belum tentu mampu mempengarui kekuasaan yang lainnya.

Wednesday, May 30, 2012

Politik Pencitraan Dari Masa ke Masa

May 30, 2012 6

Politik pencitraan itu amat perlu dalam komunikasi politik hanya saja kita harus melihat pencitraan kaitannya dengan implikasi yang dialami masyarakat, respon yang timbul sehingga menjadi bagian dari pemikiran, gairah dan tindakan-tindakan politik di kalangan masyarakat umum. Dalam sejarah modern Indonesia politik pencitraan dilakukan dilakukan oleh tiga pemimpin : Sukarno, Suharto dan SBY. Masing-masing memiliki kategori dan tujuan pencitraannya.
Pencitraan Gairah Revolusi Sukarno
Pada tahun 1920-an Sukarno sudah memilih peci hitam sebagai bagian dari pencitraan kerakyatan, ia menyatukan diri dalam gerakan besar Melayu, bukan gerakan besar Jawa karena ia melihat bahwa Jawa adalah subkultur dari akar Melayu. Mangkanya ia memilih peci. Pemilihan peci ini dilakukan di Bandung ketika ia melihat tukang sate yang telanjang kaki, telanjang dada hanya pakai kolor tapi mengenakan peci. Ia melihat banyak rakyat Djakarta (dulu Batavia) mengenakan peci, peci ini asalnya dari tarbuz yang banyak dikenakan orang Turki, saat itu sedang ramai gerakan muda Kemal Pasya yang mengenakan tarbuz sebagai lambang nasional rakyat Turki.
Tahun 1945 Sukarno memilih baju model safari dengan kantong-kantong ala perwira, ia reka-reka sendiri model baju ini, kelak rakyat mengenalnya model ‘Baju Sukarno’ penggunaan baju ini ia ukur dengan perkembangan suasana batin jaman yang sedang mengalami gejolak revolusi, dalam masyarakat yang kacau, rakyat banyak butuh pegangan, dan satu-satunya pegangan yang bisa dijadikan tuntunan adalah “Ingatan Kolektif” dengan dasar ingatan kolektif inilah Sukarno memerintahkan Sudiro untuk mencari wartawan foto yang tiap hari harus memoto gaya Sukarno, foto-foto ini kemudian dijadikan alat hegemoni untuk terus membangun ingatan kolektif rakyat “ingat Sukarno, ingat revolusi kemerdekaan”.
Pakaian berpotongan safari tanpa pangkat mulai ditinggalkan Sukarno di tahun 1959, ketika Sukarno harus berhadapan pada alam politik baru yaitu : “Mengantisipasi Politik Intervensi Modal Asing” yang sudah disiapkan Ike Eisenhower dalam melakukan okupasi politik terhadap Indonesia apalagi setelah keberhasilan Sukarno merebut Irian Barat, panasnya politik di Vietnam Selatan yang bakal merambat ke Indonesia dan berakibat pada perpecahan wilayah serta tindakan ofensif sekutu Inggris disekitaran wilayah Indonesia.
Sukarno melihat hanya ada tiga motor dalam melakukan pemikiran-pemikiran revolusi, yaitu : Dirinya sendiri sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam mengeluarkan ide-ide revolusi (yang dimulai dari “Pidato Penemuan Kembali Revolusi Kita” sampai pada Manipol Usdek) –disini ia bertindak sebagai mesin ide, lalu massa rakyat disini Sukarno mengambil massa militan dari PKI yang kemudian dilambangkan dalam peci hitamnya dan motor ketiga adalah Militer, Sukarno memakai baju bergaya militer dengan bintang lima dan tongkat komando untuk menunjukkan siapa yang berkuasa dalam militer, semua kekuatan itu berkumpul di dalam dirinya dengan tujuan besar : “Membebaskan Indonesia dari Politik Intervensi Modal Asing” – Hitung-hitungan Sukarno setelah politik berdikari Indonesia sukses maka Pemilu bisa dilangsungkan sekitar tahun 1975, “Pemilu hanya bisa dilangsungkan ketika rakyat sudah menyadari bahwa “Berdikari” adalah sumber dari segala sumber kesadaran dalam berpolitik. Disini kemudian Sukarno melakukan pencitraan terus menerus untuk menggenjot alam bawah sadar keberanian rakyat Indonesia untuk mempertahankan hak-hak atas modal bangsa (Sumber daya alam, wilayah dan penduduk).

Pencitraan Suharto Untuk Menutup-nutupi Kekerasan Politik
Pencitraan Suharto adalah Pencitraan yang bertujuan untuk menutup-nutupi “Kekerasan Politik dan Pemerintahan Junta Militer yang melingkari dirinya”. Ia menolak memakai baju-baju militer, baju-baju Jenderal resmi untuk membuat kesan Indonesia bukan negara neofasisme, bukan negara yang dipimpin oleh sebarisan Junta Militer.
Secara pribadi Suharto paralel dengan pencitraan, ia memang pendiam dan santun, ia tidak banyak berbicara. Pencitraan ini membuat situasi kekuasaannya menjadi angker dan kekuasaan yang angker secara tidak langsung menjadi motor yang efektif dalam menjalankan kekuasaan baik secara illegal maupun legal.

Pencitraan Bergaya Tontonan
Kepemimpinan SBY lahir dari masyarakat yang gemar menonton, bukan lahir dari masyarakat yang berpikir secara substantif. Doktrinasi masyarakat tontonan ini adalah akibat politik represif Orde Baru, dalam politik orde baru masyarakat tidak pernah sebagai pihak yang partisipatif, tapi sebagai pihak yang tidak terlibat dalam situasi politik keseharian, politik dan kebijakannya adalah milik kaum dewa yang berarti : Pejabat bersafari.
Dalam suasana yang frustrasi ini di tahun 1980-1998 masyarakat melarikan diri ke dalam dunia tontonan, ia bisa merasa jadi bagian ketika ia menonton sesuatu, pernah masyarakat melibatkan secara aktif dalam situasi politik keseharian tapi itu pada saat kerusuhan besar 1998, tapi selepas reformasi 1998 masyarakat kembali menjadi penonton.
Ketika masyarakat gemar menonton, maka yang muncul adalah tingkah politisi dan pejabat yang harus bisa melakukan akting politik di depan masyarakat, akting politik inilah yang kemudian disebut-sebut sebagai : Bahasa Komunikasi Politik Pencitraan. SBY melakukan akting politik dengan lulus S-3 pada IPB untuk menghantam Megawati yang drop out dari IPB, tapi lucunya kemudian SBY dibodohi oleh orang yang mengenalkan padi super toy dan blue energy. SBY melakukan pencitraan politik berlebihan pada iklan yang mirip Mie Instan sehingga memancing politisi lain mencitrakan diri. Apabila dulu alat komunikasi politik adalah melakukan pendidikan kader-kader yang dilakukan agen-agen politik, atau di masa Orde Baru melakukan penataran P4 untuk melakukan doktrinasi atas pembenaran-pembenaran kekuasaan Suharto, maka di masa SBY komunikasi politik dan pencitraannya dilakukan dengan cara amat instan yaitu dengan masang spanduk, baliho-baliho dan jargon-jargon yang tak jelas, penyakit ini kemudian meluas menjadi penyakit pencitraan yang diidap para penguasa.
Korban politik pencitraan yang merusak ini ternyata juga dialami Dahlan Iskan entah ia sadar atau tidak, pada awalnya ia mempesona rakyat dengan kemampuannya bertahan hidup, rakyat terpesona dengan daya juangnya yang keras, ia hanya lulusan SMA tapi dengan kemauan baja ia berhasil memiliki perusahaan media nasional terbesar kedua setelah KOMPAS. Pada titik ini Dahlan Iskan menemui otensitasnya, lalu Dahlan Iskan menjabat direksi PLN, belum ditemukan titik penting dalam kerjanya di PLN ia kemudian didapuk menjadi menteri BUMN. Lalu Dahlan Iskan melakukan sidak dan sampai-sampai ingin naik ke atap kereta rel listrik di depan wartawan. Apa yang ia lakukan secara sadar atau tak sadar adalah bagian pencitraan, rakyat senang dan bertepuk tangan melihat kabar itu dan membanding-bandingkan dengan pejabat lain yang tak memiliki daya sensitifitasnya terhadap kesusahan rakyat. – Padahal keinginan naik atap kereta rel listrik ini adalah bentuk pelecehan terhadap hukum transportasi PJKA dan Lalu Lintas Publik-.
Dalam politik pencitraan substansi tidak lagi menjadi penting, karena ketika Dahlan Iskan melakukan sidak, kesusahan dialami ribuan orang, kebijakan terhadap sistem lalu lintas dengan mengorbankan masyarakat pengguna KRL jadi tak terlihat, padahal kebijakan ini amat tak adil bagi kepentingan masyarakat umum.
Ciri umum dalam politik pencitraan bergaya SBY adalah “Mengaburkan substansi masalah ke dalam pesona-pesona personal sehingga masalah itu tidak dapat terurai dengan jelas orang dikaburkan pada titik penting persoalan”.
Semoga di tahun 2014 Politik Pencitraan berdasarkan tontonan dan artifisial-artifisial ini sudah bisa dihentikan. Sayang bila bangsa besar ini larut ke dalam dunia artifisial politik tanpa ujung.

Friday, May 25, 2012

Praktik Good Governance Dalam Manajemen Kota Solo

May 25, 2012 0
Solo merupakan sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Kota Solo berhasil mentransformasikan dirinya menjadi kota wisata yang dikenal hingga tingkat internasional. Hal ini tidak luput dari upaya Pemerintah Kota Solo dalam menciptakan branding Kota Solo sebagai kota wisata budaya yang menarik dan nyaman untuk dikunjungi. Berbagai perbaikan dilakukan oleh pemerintah Kota Solo, baik secara fisik maupun nonfisik. Perbaikan secara fisik dilakukan dengan menata Kota Solo sehingga rapi, indah, dan nyaman serta menyediakan berbagai sarana dan prasarana transportasi dan akomodasi yang memadai. Upaya perbaikan secara fisik ini tentu tidak dapa dilakukan tanpa adanya perbaikan secara nonfisik, yaitu dari segi kapasitas SDM pemerintah dan masyarakat Kota Solo karena pemerintah bukanlah satu-satunya aktor yang berperan dalam menciptakan Kota Solo yang berhasil tersebut.
Beberapa sumber dan penelitian menyebutkan bahwa peran Joko Widodo sebagai Walikota Solo sangat besar dalam transformasi Kota Solo seperti saat ini. Prinsip kepemerintahan yang diterapkan oleh Walikota Solo ini sesuai dengan nilai-nilai budaya dan sosial yang tumbuh di Kota Solo. Pendekatan secara personal, membaur dengan masyarakat, memberikan keteladanan tehadap jajaran pemerintahan, dan memulai tindakan dari hal-hal kecil yang memberi dampak langsung kepada masyrakat dinilai tepat dilakukan di Kota Solo. Komunikasi yang terus menerus dan partisipasi masyarakat dalam melakukan kontrol sosial terhadap pemerintah secara terbuka dinilai berhasil dalam menciptakan keharmonisan antar golongan di Kota Solo. Relokasi PKL secara besar-besaran yang di daerah lains ering mengalami kesulitan bahkan tidak jarang berujung pada konflik, berhasil dilakukan di Kota Solo dengan damai.
Prinsip keteladanan adalah hal utama yang dianut oleh pemerintah Kota Solo. Keteladanan ini dimulai dari pimpinan tertinggi Kota Solo, yaitu Walikota, kemudian diikuti oleh jajaran pemerintah yang lain kemudian diikuti oleh masyarakat secara luas. Peningkaan kapasitas masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan kota yang bersih dan nyaman dihuni serta pengetahuan akan pentingnya melayani wisatawan yang datang, dilakukan secara bertahap. Pendelegasian tugas kepada masyarakat sudah mulai dilakukan, diantaranya dengan membentuk paguyuban-paguyuban PKL, ojek, dan pelaku ekonomi mikro lainnya untuk menjaga kestabilan ekonomi mikro (agar jumlahnya tidak berlebihan) serta meningkatkan kesejahteraan pelaku ekonomi mikro.
Beberapa prinsip Good Governance yang tampak kuat di Kota Solo adalah responsiveness, transparansi, akuntabilitas, kesetaraan dan keadilan, serta partisipasi. Responsiveness terlihat dari adanya kepekaan dan respon yang tanggap terhadap persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Masyarakat dibebaskan untuk melakukan pengaduan secara langsung kepada pemerintah.
Transparansi dicirikan dengan adanya keterbukaan dari pemerintah mengenai proses pembangunan yang terjadi di Kota Solo melalui bebrgai media. Akuntabilitas dilihat dari adanya pertanggungjawaban di dalam pemerintah, baik secara vertikal maupun horizontal, dan pertanggungjawaban kepada masyarakat dalam bentuk pembangunan yang nyata sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Kesetaraan dan keadilan dilihat dari perlakuan yang sama kepada pejabat pemerintah maupun berbagai strata dalam masyarakat. Hal ini dilihat dari pelayanan yang sama diberikan untuk smeua gologan, salah satunya adalah kebebasan untuk melakukan pengaduan kepada pemerintah kota ataupun kepada Walikota sendiri dan tetap mendapatkan pelayanan sebagaimana mestinya tanpa membeda-bedakan strata.
Kesederhanaan Walikota Solo juga menjadi suatu keteladanan bagi jajaran pemerintah yang lain dan menumbuhkan rasa cinta masyarakat terhadap kepemimpinannya. Partisipasi bermula dari adanya komunikasi yang baik dengan masyarakat. Dalam kasus relokasi PKL Pemerintah Kota Solo melakukan komunikasi secara terus menerus sampai PKL-PKL tersebut secara sukarela bersedia untuk di relokasi. Selanjutnya, pihak PKL dilibatkan dalam menyelenggarakan paguyuban untuk mengontrol dan menjaga kepentingan mereka. Antisipasi secara langsung dalam pembangunan memang masih belum terlihat, pihak pemerintah masih mendominasi berbagai pembangunan di Kota Solo. Pihak sawasta pun masih belum berperan secara signifikan dalam berbagai proses pengambilan keputusan, swasta hanya berperan dalam mengerakkan ekonomi Kota Solo.


SUMBER

Good Governance Sebagai Proses Dalam Manajemen Perkotaan

May 25, 2012 0
Good Governance Sebagai Proses Dalam Manajemen Perkotaan
Pendahuluan
Siklus manajemen perkotaan seperti hal nya perencanaan melalui beberapa tahapan, yaitu input, poses, output, dan outcome. Makalah ini akan membahas mengenai proses dalam manajemen perkotaan, yaitu konsep dan praktek Good Governance dalam manajemen kota di Indonesia. Konsep good governance merupakan salah satu konsep kunci dalam manajemen perkotaan karena implemetasi dari perencanaan kota melibatkan semua aktor, lintas sektor dan lintas disiplin. Dengan demikian, semua komponen dan aktor dalam lingkungan perkotaan terlibat dalam implemenatsi dari perencanaan kota atau manajemen perkotaan, baik terlibat secara langsung maupun tidak langsung. Keterlibatan semua komponen ini harus dipayungi oleh dasar dan konsep yang kuat sehingga menghasilkan hubungan yang harmonis satu dengan yang lainnya. Makalah ini akan membahas mengeai konsep good governance ditinjau dari teori-teori yang ada dan praktiknya dalam manajemen Kota Solo.

Konsep Good Governance
Reformasi yang dimulai pada tahun 1998 memperjuangkan adanya good governance. Tuntutan yang diajukan ini merupakan reaksi terhadap keadaan pemerintah pada era Orde Baru dengan berbagai permasalahan yang terutama meliputi pemusatan kekuasaan pada Presiden, baik akibat konstitusi (UUD 45) maupun tidak berfungsi dengan baiknya lembaga teringgi dan lembaga tinggi negara lainnya, serta tersumbatnya saluran partisipasi masyarakat dalam memberikan kontrol sosial. Kemudian dari sini lah berkembang sebuah konsep tata pemerintahan yang diharapkan dapat menjadi solusi untuk berbagai permasalahan tersebut. Konsep itu yaitu Good Governance.
Munculnya istilah governance mendorong para ilmuwan politik untuk tidak sekedar memperhatikan pemerintah sebagai lembaga, melainkan juga pemerintahan sebagai proses multi arah, yaitu proses memerintah yang melibatkan pemerintah dengan unsur-unsur diluar pemerintah. Dalam memahami perbedaan antara governance dan government, Schwab dan Kubler (2001) melihatnya dari 5 dimensi:
  1. Dimensi actor. Governance dicirikan dengan banyaknya jumlah peserta baik yang berasal dari sektor publik maupun privat yang terlibat dalam pengaturan sebuah kebijakan. Adapun government dicirikan dengan sangat sedikit dan terbatasnya jumlah peserta dalam proses pengaturan kebijakan tersebut, faktor yang terlibat pun biasanya merupakan badan-badan (lembaga) pemerintahan.
  2. Dimensi fungsi. Governance dicirikan melalui banyaknya konsultasi yang dilakukan dalam pengaturan kebijakan. Hal ini memungkinkan bagi adanya kerjasama dalam pembuatan kebijakan antara aktor-aktor yang terlibat sehingga issue-issue kebijakan yang dihasilkan menjadi lebih sempit. Adapun government  dicirikan dengan sedikitnya konsultasi, tidak adanya kerjasama antar aktor dalam pembuatan kebijakan yang menyebabkan luasnya issue kebijakan yang dihasilkan.
  3. Dimensi struktur. Governance dicirikan dengan adanya batas-batas yang didefinisikan secara fungsional dan sangat terbuka selain keanggotaan dari struktur yang bersifat sukarela. Batas-batas yang didefinisikan secara fungsional disini berarti pertimbangan pengaturan kebijakan didasarkan atas kebutuhan fungsional. Adapun government mendefinisikan batas-batas berdasarkan kewilayahan dan bersifat tertutup selain tentu saja keanggotaannya yang tidak sukarela, artinya untuk dapat masuk sebagai struktur harus merupakan anggota dari organisasi sector publik.
  4. Dimensi konvensi interaksi. Governance dicirikan dengan konsultasi yang sifatnya horizontal dengan pola hubungan yang bersifat kooperatif sehingga lebih banyak keterbukaan.Government dicirikan dengan adanya hirarkhi kewenangan sehingga pola hubungan yang terjadi lebih banyak bersifat konflik dan dipenuhi dengan banyak kerahasiaan.
  5. Dimensi distribusi kekuasaan. Governance dicirikan dengan rendahnya dominasi negara, dipertimbangkannya kepentingan masyarakat dalam pengaturan kebijakan serta adanya keseimbangan atau simbiosis antar aktor. Adapun government dicirikan dengan adanya dominasi negara yang dalam banyak hal tidak terlalu memperhatikan kepentingan masyarakat serta tidak adanya keseimbangan antar actor yang terlibat.
Adapun prinsip-prinsip Good Governance menurut LAN (Lembaga AdministrasiNegara) adalah sebagai berikut :
  1. Partcipation. Semua warga negara berhak terlibat dalam pengambilan keputusan, langsung maupun melalui DPR; dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif
  2. Rule of law. Proses mewujudkan cita GG harus diimbangi dengan komitmen untuk penegakan hukum (gakkum), dengan karakter : (a) supremasi hukum, (b) kepastian hukum, (c) hokum yang responsif, (d) gakkum yang konsisten dan non-diskriminatif, dan (e) independensi peradilan.
  3. Transparency. Keterbukaan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Untuk memberantas KKN diperlukan keterbukaan dalam transaksi dan pengelolaan keuangan negara, serta pengelolaan sektor-sektor publik.
  4. Responsiveness. Peka dan cepat tanggap terhadap persoalan masyarakat. Pemerintah harus memiliki etik individual, dan etik sosial. Dalam merumuskan kebijakan pembangunan sosial, pemerintah harus memperhatikan karakteristik kultural, dan perlakuan yang humanis pada masyarakat.
  5. Consensus orientation. Pengambilan keputusan melalui musyawarah dan semaksimal mungkin berdasarkan kesepakatan bersama.
  6. Kesetaraan dan Keadilan. Kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan. Pemerintah harus memberikan kesempatan pelayanan dan perlakuan yang sama dalam koridor kejujuran dan keadilan.
  7. Effectiveness and efficiency. Berdaya guna dan berhasil guna. Kriteria efektivitas diukur dengan parameter produk yang dapat menjangkau sebesar-besarnya kepentingan masyarakat dari berbagai kelompok dan lapisan sosial. Efisiensi diukur dengan rasionalitas biaya pembangunan untuk memenuhi kebutuhan semua masyarakat. Pemerintah harus mampu menyusun perencanaan yang sesuai dengan kebutuhan nyata masyayarakat, rasional, dan terukur.
  8. Accountability. Pertanggungjawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang memberikan kewenangan mengurus kepentingannya. Ada akuntabilitas vertikal (pemegang kekuasaan dengan rakyat; pemerintah dengan warga negara; pejabat dengan pejabat di atasnya), dan akuntabilitas  horizontal (pemegang jabatan publik dengan  lembaga setara; profesi setara).
  9. Strategic vision. Pandangan strategis untuk menghadapi masyarakat oleh pemimpin dan publik. Hal ini penting, karena setiap bangsa perlu memiliki sensitivitas terhadap perubahan serta prediksi perubahan ke depan akibat kemajuan teknologi, agar dapat merumuskan berbagai kebijakan untuk mengatasi dan mengantisipasi permasalahan.
Dalam governance ada 3 komponen yang sejajar, setara, saling mengontrol, untuk menghindari terjadinya eksploitasi satu terhadap lainnya, yaitu state (negara/pemerintah), society (masyarakat), dan pihak swasta. Yang termasuk ke dalam state adalah negara termasuk lembaga-lembaga sekor publik dan lembaga-lembaga sektor publik. Swasta adalah perusahaan swasta yang bergerak diberbagai sektor informal lain dipasar, mempunyai pengaruh terhadap kewajiban sosial, politik, dan ekonomi yang dapat menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi pasar dan perusahaan itu sendiri. Adapun society adalah  individual maupun kelompok (baik yang terorganisasi maupun tidak) yang berinteraksi secara sosial, politik, dan ekonomi dengan aturan formal maupun tidak formal. Meliputi lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, dan lain-lain.
Good governance merupakan sebuah konsep yang netral, untuk menggambarkan pola-pola relasi antara negara, masyarakat, dan pasar. GG dibagi menjadi empat model, berdasarkan dua kriteria utama, yaitu basis politik (negara atau masyarakat); dan basis ekonomi (pasar atau nonpasar).
Libertarian bercirikan system ekonomi pasar dan system politik berbasis masyarakat. Contohnya adalah Amerika Utara dan Eropa Barat. Coporatist ditandai oleh system politik yang dikendalikan oleh negara (otoriter-monosentris), tetapi dari sisi ekonomi berbasis pada pasar. Contohnya adalah Singapura. Communitarian ditandai oleh system politik yang berbasis masyarakat dan sistem ekonomi yang berbasis nonpasar, terutama komunitas. Contoh yang menerapkan sistem ini adalah pemerintahan dan masyarakat di Bali dan Sumatera Barat. Model ini bisa disebut demokrasi sosialis. Statis (totaliter) ditandai oleh system politik yang dikendalikan negara secara total dan system ekonomi nonpasar, terutama negara. Dalam model ini negara adalah segala-galanya yang mengandalikan secara total dan monosentris terhadap proses politik dan mode of production.
Model GG yang diterapkan di suatu negara akan mempengaruhi penyelenggaraan manajemen perkotaan di negara tersebut karena manajemen perkotaan juga menyangkut kewenangan pemerintah daerah sebagai eksekutor sekaligus regulator, dan menyangkut pula keterlibatan masyarakat dan pasar (swasta) dalam implmentasinya. Good governance akan mempengaruhi efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan manajemen perkotaan melalui berbagai proses di dalamnya, termasuk proses birokrasi, partisipasi masyarakat, dan kerjasama dengan dunia swasta. Konsep good governance merupakan konsep yang ideal yang dalam pelaksanaannya sulit dilakukan. GG membutuhkan komitmen kuat, daya tahan dan waktu yang tidak singkat, diperlukan pembelajaran, pemahaman, serta implementasi nilai-nilai kepemerintahan yang baik pada seluruh stakeholder. Perlu adanya kesepakatan bersama serta rasa optimistik yang tinggi dari seluruh komponen bangsa bahwa kepemerintahan yang baik dapat diwujudkan demi mencapai masa depan bangsa dan negara yang lebih baik.
Dalam praktek good governance perlu dikembangkan indikator keberhasilan pelaksanaan good governance. Keberhasilan secara umum dapat dilihat dari indicator ekonomi makro atau tujuan-tujuan pembangunan atau indikator quality of life yang dituju. Untuk negara-negara terkena krisis, indikator recovery. Tetapi bias juga secara sektoral (produksi tertentu), peningkatan eskpor, investasi, jaringan jalan, tingkat danpenyebaran pendidikan). Dan juga secara mikro seperti laporan hasil audit suatu badan usaha. Tidak saja perusahaan tetapi juga unit-unit birokrasi (misalnya dalam pelayanan). Misalnya Lembaga Administrasi Negara telah mengembangkan Modul tentang Pengukuran Kinerja Instansi Pemerintah dan Modul tentang Evaluasi Kinerja Instansi Pemerintah. Pengembangan indicator keberhasilan atau kegagalan dilakukanantara lain mengenai :
  • Pelayanan publik UU No.I/1995
  • Koordinasi sector public dan swasta (terutama dari keluhan sector swasta/masyarakat )
  • Pengelolaan usaha yang memperhatikan dampak terhadap lingkungan ISO 14.000.
  • ISO 9.000 Kendali Mutu. Penilaian aspek manajemen tertentu.
  • Sertifikasi dan Standarisasi, juga suatu pengukuran/indikator kualitas produk.
  • MRA Standard and Conformance. Adanya kesepakatan aturan penilaian mutu produk antar negara.
  • Audit Report, Neraca Untung Rugi dan lain sebagainya bagi sesuatu badan usaha.
  • Beberapa manfaat utama diterapkannya konsep Good Governance adalah sebagai berikut.
  • Berkurangnya secara nyata praktek KKN di birokrasi pemerintahan
  • Terciptanya sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintahan yang bersih, efisien, efektif, transparan, professional, dan akuntabel
  • Terhapusnya peraturan perundang-undangan dan tindakan yang bersifat diskriminatif terhadap warga negara, kelompok atau golongan masyarakat
  • Terjaminnya konsistensi dan kepastian hukum seluruh peraturan perundang-undangan baik ditingkat pusat maupun daerah