Blognya Anak Kuliahan

Sunday, May 15, 2011

Evaluasi Kebijakan : Bantuan Langsung Tunai (BLT)

May 15, 2011 0
A. Latar belakang masalah
Setelah pemerintah memutuskan untuk menaikkan BBM, kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Plus menjadi kebijakan turunan dari kebijakan kenaikan BBM tersebut. Kebijakan BLT yang diluncurkan pemerintah ini, menuai banyak protes mulai dari masyarakat, pemerintah daerah, mahasiswa dan tokoh-tokoh masyarakat baik nasional maupun daerah. Kebijakan yang sama juga pernah dilakukan oleh pemerintah pada tahun 2005, ketika pemerintah menaikkan BBM sebesar 126 persen.
Pemerintah memberikan kompensasi kenaikan harga BBM dengan meluncurkan Bantuan Tunai Langsung (BLT) Plus. Program BLT Plus dilaksanakan untuk melanjutkan program pemberantasan kemiskinan yang dilakukan pemerintah. Apa yang dimaksud dengan BLT Plus? BLT Plus adalah bantuan subsidi langsung sebesar Rp 100.000,- per bulan untuk rumah tangga miskin yang di berikan tiga bulan sekali. Tidak hanya mendapatkan bantuan uang tunai, rumah tangga miskin juga mendapatkan bantuan berupa minyak goreng dan gula. Penyaluran di lewatkan PT pos Indonesia di kantor cabangnya. Kebijakan pemberian BLT bagi rumah tangga miskin diharapkan dapat menekan peningkatan proporsi penduduk miskin. Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun ketepatan sasaran adalah 100%, tingkat kemiskinan (17,9%) masih lebih tinggi daripada keadaan sebelum kenaikan harga BBM (16,7%).
Sepintas, program BLT Plus adalah salah program yang tepat sebagai bentuk kompensasi kenaikan harga BBM. Alasan logis yang digunakan pemerintah adalah subsidi harus diberikan kepada sasaran yang tepat. Subsidi BBM, dalam hal ini termasuk subsidi yang tidak tepat sasaran untuk rakyat miskin. Pengguna BBM, khususnya bensin dan solar, banyak juga didominasi kalangan menengah ke atas dan kalangan atas. Kita tentu masih ingat dengan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) tahun 2005. BLT diberikan sebagai bentuk kompensasi kenaikan harga BBM pada Oktober 2005. Besarnya bantuan adalah sama dengan rencana bantuan yang akan disalurkan dengan BLT Plus.
Dasar utama rencana kenaikan harga BBM adalah besarnya dana yang harus dialokasikan untuk subsidi BBM akibat kondisi global. Kondisi global adalah terjadinya kenaikan harga minya bumi. Harga minyak bumi sudah menyentuh US $ 120 per barel, jauh dari asumsi pemerintah sebesar US $ 95 per barel. Tidak hanya asumsi harga minyak bumi yang terganggung. Pemerintah juga berencana merevisi asumsi pertumbuhan ekonomi, inflasi tahunan, nilai SBI Rate dan kurs rupiah terhadap dollar AS. Upaya penghematan BBM adalah salah satu upaya untuk mengamankan APBN 2008. Jika tidak dilakukannya penyesuaian harga BBM dalam negeri, APBN yang merupakan salah satu pilar perekonomian menjadi tidak berkelanjutan. Hal ini menyebabkan runtuhnya kepercayaan pasar yang pada gilirannya berakibat pada merosotnya perekonomian nasional. Rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM sebesar rata-rata 30 persen telah memicu kepanikan dari masyarakat. Kepanikan adalam bentuk lain adalah terjadinya antrian di stasiun pom bensin.
Subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh kelompok berpendapatan menengah dan atas. 20% masyarakat kelompok terkaya menikmati hampir 50% subsidi BBM. Sementara 20% masyarakat termiskin hanya menikmati 5,15% subsidi BBM. Selain itu dengan semakin besarnya subsidi BBM mengakibatkan berbagai program untuk masyarakat miskin menjadi tidak mungkin dilaksanakan.
BLT dianggap sebagai suatu cara pemerintah untuk membujuk dan merayu rakyatnya yang kurang mampu agar tidak memberontak dan melakukan demonstrasi. Soal BLT sendiri sebenarnya sudah sering dibahas melalui media massa oleh mereka-mereka yang dianggap lebih terhormat juga oleh mereka yang lebih ahli atau merasa lebih ahli. Singkatnya, banyak sekali timbul pro dan kontra mengenai BLT ini.
Kita tahu BLT mulai dicairkan kembali diberbagai daerah di Indonesia. BLT merupakan salah satu kebijakan pemerintah untuk meringankan bebas masyarakat (bawah) dengan andanya kenaikan BBM karena pengurangan subsidi BBM oleh Pemerintah. Selain BLT sebanarnya ada bentuk kompensasi BBM lainnya untuk masyarakat yaitu bantuan kesehatan gratis, penyediaan beras murah untuk rakyat miskin, dan bantuan kredit bagi masyarakat
Tingkat kemiskinan akan semakin tinggi jika tingkat ketepatan semakin rendah. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ketepatan sasaran sangat menentukan dampak BLT terhadap tingkat kemiskinan. Sementara itu, masalah ketepatan sasaran sendiri dipengaruhi oleh mekanisme penentuan/identifikasi sasaran. Mengingat sasaran program adalah rumah tangga miskin, kriteria dan mekanisme penentuan atau pengukuran kemiskinan menjadi sangat penting, walaupun konsep dan pengukuran kemiskinan itu sendiri masih diperdebatkan oleh banyak kalangan. Pengukuran kemiskinan dapat dibedakan dalam dua tingkatan, ukuran kemiskinan makro dan mikro.
Ukuran kemiskinan makro biasanya diperlukan untuk penargetan wilayah. sedangkan ukuran kemiskinan mikro dibutuhkan untuk sasaran rumah tangga/keluarga. Pemetaan kemiskinan, baik yang dihasilkan oleh BPS untuk seluruh wilayah Indonesia menyediakan ukuran-ukuran kemiskinan untuk berbagai tingkatan wilayah dari provinsi sampai dengan desa kelurahan,yang merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk menentukan penargetan kewilayahan. Sedangkan untuk pengukuran kemiskinan mikro, yaitu rumah tangga/keluarga, dibutuhkan suatu kriteria operasional yang dapat dengan mudah digunakan untuk mengidentifikasi siapa dan bagaimana orang miskin. Untuk tujuan tersebut, umumnya digunakan pendekatan karakteristik rumah tangga.
Selama ini, kriteria keluarga prasejahtera dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) banyak digunakan dalam penentuan sasaran penerima bantuan. Namun, untuk penentuan sasaran penerima program BLT kali ini, digunakan kriteria miskin dari Badan Pusat Statistik (BPS). Peluncuran program BLT yang sentralistik dan bertujuan untuk mengurangi himpitan masalah ekonomi yang harus ditanggung oleh masyarakat miskin akibat lonjakan harga BBM tak ayal menimbulkan kendala-kendala tersendiri di tingkat lokal. Skalanya yang meluas dan strukturnya yang amat vertikal dan sentralistik memberikan implikasi tertentu pada tingkat penerapannya. Seperti kebanyakan program berskala besar lainnya, BLT juga tidak luput dari persoalan-persoalan teknis di tingkat lokal. Mekanisme program yang dirancang tidak cukup memadai untuk mengakomodasi keanekaragaman karakteristik dan tuntutan lokal. Di tingkat inilah seringkali muncul benturan yang menjurus pada konflik sosial. 

2.      B. Rumusan masalah
Apa dampak yang ditimbulkan dari kebijakan pemerintah dengan memberikan bantuan langsung tunai kepada masyarakat kurang mampu?

3.      C. Isu kebijakan
           Pemberian bantuan langsung tunai sering mendapat kritikan tajam dari masytarakat hal itu dikarenakan tidak semua masyarakat mendapatkan bantuan langsung tunai. Kriteria masyarakat yang mendapat bantuan langsung tunai yaitu berdasarkan data dalam badan pusat statistic. pendataan tersebut memang dilakukan untuk mendapatkan data rumah tangga miskin, yang nantinya akan diberikan BLT, berbicara mengenai DATA, tidak akan pernah lepas dari sekian persen ERROR, yang bagi orang awam adalah kesalahan yg tidak dapat ditolerir, BPS pun dijadikan kambing hitam, jajaran BPS berdasarkan metodologi dan kreteria yang dipegang tentu tidak dapat dipersalahkan begitu saja, banyak aspek. Tahun 2008 rencana pemerintah untuk menaikan harga BBM sudah padah tahap final, BLT pun tetap menjadi pilihan pemerintah untuk memberikan subsidi BBM kepada rumah tangga miskin, Data BPS (yang ditahun 2005 dihujat habis) tetap menjadi satu-satunya pilihan, celakanya kartu BLT yang dicetak berdasarkan data 2005, hal ini terjadi karena pemerintah tidak mempunyai persiapan sebelumnya bahwa akan harus menaikan harga BBM di tahun 2008, sehingga belum sempat menurunkan dana untuk BPS melakukan pendataan. Sekali lagi BPS menjadi kambing hitam, data 2005 dicari kelemahannya kemudian di beritakan di media masa.
Kemudian bagaimana dengan program BLT Plus? Seharusnya pemerintah berkaca dari pelaksanaan program BLT yang telah dilakukan beberapa tahun lalu. Pada praktiknya, BLT tidak efektif menjangkau rakyat miskin dan menimbulkan berbagai masalah di lapangan. Apa saja ketidakefektifan penyaluran BLT?
Pertama, BLT tidak memiliki efektifitas dari segi penyaluran di lapangan. Kita sering menjumpai kasus pemberian bantuan yang tidak tepat sasaran. Misalnya, rumah miskin justru tidak mendapatkan bantuan namun rumah tangga yang lebih mampu mendapatkan bantuan. Barangkali pemerintah dapat menanggap bahwa ini bersifat kasuistik. Namun pada praktiknya, kesalahan penyaluran bantuan berawal dari data yang tidak jelas dan menimbulkan gesekan di masyarakat. Hingga sekarang, tidak pernah dilakukan pendataan dan pencacahan ulang tentang data rumah tangga miskin tersebut.
Kedua, besarnya BLT Plus yang sama dengan BLT pada tahun 2005. Jika kita berpikir menggunakan logika, tentu saja tidak masuk akal. Faktor inflasi, kenaikan biaya hidup dan menurunnya daya beli masyarakat mestinya dipertimbangkan dalam memperhitungkan besarnya bantuan. BLT Plus memang sedikit berbeda dengan BLT, yaitu terdapat tambahan barang kebutuhan pokok. Namun BLT Plus tentu saja tidak akan cukup untuk meng-counter kenaikan biaya hidup pada saat ini. Belum lagi jika kita berpikir tentang inflasi yang akan terjadi akibat kenaikan harga BBM, yang tentu saja akan menambah beban masyarakat miskin.
Ketiga, dalam masalah sosial, BLT menyebabkan moral hazard, dimana BLT dapat menurunkan mental masyarakat dan tidak mendidik secara jangka panjang. Terdapat sebagian masyarakat yang pada akhirnya mengaku miskin karena ingin mendapatkan bantuan. Mereka bangga dengan ’cap miskin’ demi memperoleh rupiah tertentu. Mental masyarakat akan menjadi buruk dengan program BLT.
Keempat, penyaluran BLT bermasalah karena tidak didukung dengan kelembagaan yang baik. Penerapan BLT secara terburu-buru dan tidak disertai dengan kesiapan aparat pemerintah tentu saja akan berakibat tidak efektifnya penyaluran BLT.

4.      D. Dampak yang ditimbulkan
Kalau melihat pada dampak yang akan ditimbulkan oleh kebijakan BLT ini, kebijakan BLT tidak akan memberikan dampak yang signifikan terhadap kondisi masyarakat miskin di Indonesia. Ini disebabkan nominal BLT yang diberikan tidak seimbang dengan kenaikan biaya hidup yang ditanggung oleh masyarakat akibat kenaikan harga BBM. Coba kita bayangkan, kenaikan BBM tersebut akan mendorong kenaikan biaya untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat miskin, mendorong kenaikan biaya input produksi masyarakat miskin yang kebanyakan berada pada sektor pertanian (baik petani maupun nelayan) yang berada di pedesaan. Apabila kita membandingkan total kenaikan biaya hidup (biaya pemenuhan kebutuhan dasar dan input produksi) masyarakat miskin dengan nominal dana BLT yang diberikan, kebijakan ini tidak akan berdampak siginifikan. Apalagi, pemerintah tidak bisa menjamin efesiensi dan efektifitas penggunaan dana BLT yang diberikan kepada masyarakat.
Berdasarkan hasil analisis, terdapat perbedaan antara prioritas pengeluaran masyarakat miskin untuk kebutuhan dan keinginan. Dampak BLT terhadap kesejahteraan ini terlihat pada prioritas masyarakat miskin dimana prioritas penggunaan uang BLT paling utama adalah SEMBAKO. Hal ini menunjukkan bahwa BLT belum efisien dalam memenuhi kebutuhan  masyarakat miskin karena prioritas utama dari BLT tersebut masih untuk kebutuhan dasar. Namun, BLT tersebut memiliki manfaat yang sangat besar bagi kelangsungan hidup masyarakat miskin terutama dalam pemenuhan kebutuhannya. Selain itu, BLT tidak berpengaruh terhadap kinerja masyarakat miskin karena masyarakat miskin tidak bisa hidup jika hanya menggantungkan penerimaannya pada BLT, tetapi untuk beberapa kasus masyarakat miskin tergantung dengan BLT tersebut.
Selain itu, dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan BLT tersebut tidak mampu memberikan dampak positif pada peningkatan produktifitas masyarakat miskin, melainkan kecenderungannya memberikan dampak negatif pada penurunan produktifitas. Kebijakan BLT hanya merupakan kebijakan yang hanya meberikan “ikan” bukan “kail” kepada masyarakat miskin. 
E. Analisis Dampak
Bantuan langsung tunai yang diberikan pemerintah kepada masyarakat miskin untuk mensiasati kenaikan BBM malah menimbulkan beberapa dampak. Antara lain yaitu menyebabkan pertikaian antar individu, hal itu terjadi karena tidak semua masyarakat mendapatkan bantuan langsung tunai,karena yang menentukan adalah data dari badan pusat statistik. Masalah yang ditimbulkan adalah data dari BPS banyak yang tidak valid, misalnya ada beberapa masyarakat yang tergolong mampu malah mendapatkan bantuan langsung tunai dan sebaliknya banyak masyarakat yang tidak mampu malah mendapat bantuan langsung tunai. Masalah ini timbul karena BPS hanya mengambil data dari tahun 2005, tidak melakukan pendataan ulang yang dikarenakan menghemat biaya pengeluaran. Sehingga banyak terjadi kesalahan-kesalahan dalam pendataanya. menggunakan data 2005 (yang diketahui memiliki beberapa kelemahan) untuk BLT 2008 adalah menoreh luka baru di atas luka lama, hal ini hendaknya menjadi sebuah pelajaran bagi Indonesia, BPS dan Pemerintah khususnya. Perlunya sebuah tatanan yang baik dalam upaya menyediakan DATA secara terus menerus dan update, penyediaan data yang update dan sistematis, tentu memerlukan sebuah sistem yang ditopang oleh teknologi dan SDM yang memadai, selain sumber daya manusia juga sarana dan prasarana yang memadai dalam mengumpulkan, mengolah, menganalisa dan menyajikan data, sudah saatnya pemerintah memerhatikan pembangunan SDM dan IT BPS, jika tanpa ini semua data lama akan menjadi masalah baru terus-menerus. 
Penduga parameter rumah tangga tinggal di pedesaan (rural) menunjukan rasio odd sebesar 1.765, artinya rumahtangga yang tinggal di pedesaan kemungkinan untuk menerima BLT lebih besar 1.765 kali dibandingkan rumahtangga di perkotaan. Sedangkan untuk rumahtangga yang dikepalai wanita ternyata peluang untuk menerima BLT lebih besar 2.42 kali dibandingkan rumahtangga dengan kepala rumahtangga laki-laki. Sedangkan untuk rumahtangga dengan kepala keluarga bekerja ternyata peluang untuk menerima BLT hampir sama (0.94 kali) dengan rumahtangga yang kepala rumahtangganya tidak bekerja. Rumahtangga dengan kepala rumahtangga yang berumur diatas 50 tahun ternyata mempunyai peluang menerima BLT lebih tinggi 1.27 kali dibandingkan kepala rumahtangga berumur dibawah atau sama dengan 50 tahun. Kelompok rumah tangga miskin juga punya peluang mendapatkan BLT lebih besar 2.40 kali dibandingkan rumahtangga tidak miskin. Rumahtangga dengan luas lantai perkapita kurang dari 10 m2 juga mempunyai peluang lebih besar 2.18 kali dibandingkan rumahtangga dengan luas lantai perkapita lebih dari 10 m2. Rumahtangga dengan rumah berlantai tanah ternyata berpeluang menerima BLT lebih besar 2.77 kali dibandingkan rumahtangga dengan lantai bukan dari tanah. Rumahtangga yang masih menggunakan kayu bakar untuk memasak juga berpeluang menerima BLT lebih besar 2.43 kali dibandingkan rumah tangga yang sudah tidak menggunakan kayubakar.
Dampak lain yaitu bantuan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat dengan tujuan memberikan subsidi kepada masyarakat atas kenaikan BBM malah digunakan masyarakat untuk kebutuhan yang mendasar,hal ini menjadi bukti bahwa pemberian subsidi BBM kepada masyarakat miskin lewat bantuan langsung tunai masih belum evektif. Berkaca pada kebijakan BLT di masa lalu (kebijakan BLT tahun 2005) banyak kelemahan-kelemahan dan masalah-masalah yang akan ditimbulkan oleh kebijakan BLT ini, antara lain :
  • Kebijakan BLT bukan kebijakan yang efektif dan efisien untuk menyelesaiakan kemiskinan di Indonesia, ini dikarenakan kebijakan ini tidak mampu meningkatkan derajat dan tingkat kesejahteraan mayarakat miskin.
  • Efektifitas dan efisiensi penggunaan dana BLT yang tidak dapat diukur dan diawasi karena lemahnya fungsi pengawasan pemerintahan terhadap kebijakan tersebut.
  • Validitas data masyarakat miskin yang diragukan sehingga akan berdampak pada ketepatan pemberian dana BLT kepada masyarakat yang berhak.
  • Kebijakan BLT memiliki kecenderungan menjadi pemicu konflik sosial di masyarakat.
  • Peran aktif masyarakat yang kurang/minim, sehingga optimalisasi kinerja program yang sulit direalisasikan.
  • Dari sisi keuangan negara, kebijakan BLT merupakan kebijakan yang bersifat menghambur-hamburkan uang negara karena kebijakan tersebut tidak mampu menyelesaiakan masalah kemiskinan secara berkelanjutan dan tidak mampu menstimulus produktifitas masyarakat miskin


F. Kesimpulan
Hasil pengamatan kami menunjukkan bahwa waktu yang terbatas pada saat tahap perencanaan menyebabkan program pelaksanaan BLT terkesan “dipaksakan”. Keterbatasan waktu tersebut turut memengaruhi keberhasilan pelaksanaan masing-masing tahapan dan keseluruhan program. Dalam penargetan ditemui adanya kesalahan sasaran meskipun dalam tingkat yang relatif rendah. Hal ini terindikasi dari adanya rumah tangga tidak miskin yang menjadi penerima BLT dan adanya rumah tangga miskin yang belum menjadi penerima.
Adanya kesalahan sasaran yang diperparah dengan sosialisasi yang tidak memadai, khususnya tentang kriteria target dan tujuan program, telah memicu munculnya ketidakpuasan masyarakat. Ketidakpuasan masyarakat diungkapkan dalam berbagai bentuk, mulai dari keluhan, protes atau demonstrasi, melakukan ancaman, hingga pengrusakan. Pengaduan yang berbentuk aksi protes dan ancaman biasanya ditangani oleh kepala desa/lurah dibantu oleh aparat  kepolisian. Di beberapa daerah aparat pemda kabupaten/kota dan kecamatan serta BPS juga turun tangan.
Kemudian, BLT yang sudah pernah dilakukan yakni pada tahun 2005 bisa dianggap gagal, jadi seharusnya pemerintah bisa berkaca pada kegagalannya terdahulu, seharusnya mengapa harus dilakukan kembali dengan adanya BLT Plus pada 2008 yang kemungkinan bisa juga gagal. Bisa kita simpulkan bahwa walaupun BLT Plus merupakan sebuah program baik yang dibuat oleh pemerintah dengan tujuan ingin mensejahterakan masyarakatnya terkait menghadapi dampak naiknya minyak dunia, bisa dikatakan merupakan program gagal yang dilakukan oleh pemerintah, karena terbukti terdapat banyak sekali kelemahannya dalam penerapannya dan dilapangan sendiri kita mengetahui bahwa banyak sekali masyarakat yang tidak puas terhadap BLT Plus tersebut. Dan semoga saja tidak ada BLT yang ketiga nantinya, cukup dua kali saja.
 G. Rekomendasi
Pemerintah semestinya memperhatikan hasil evaluasi BLT sebelum berencana menerapkan BLT Plus. Jangan sampai penyaluran BLT Plus hanya untuk ’tambal sulam’ sebagai pembenaran kenaikan harga BBM. Jika memang pemerintah ingin meningkatkan daya beli masyarakat miskin, masih terdapat langkah yang dapat dilakukan, terutama dengan memperhatikan bidang pendidikan dan kesehatan.
Dalam jangka panjang, bidang pendidikan dan kesehatan akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Atau jika pemerintah ingin tetap memberikan bantuan langsung kepada rakyat miskin akibat kenaikan biaya BBM, pemerintah dapat memberikan Bantuan Langsung Tunai Bersyarat (BLTB). Skema ini dikenal dengan nama cash conditional transfer (CCT), dimana pemerintah memberikan bantuan kepada rumah tangga sangat miskin (RTSM) dengan sejumlah kewajiban tertentu (misalnya kewajiban untuk menyekolahkan anaknya, memeriksakan kesehatan dan lain-lain). Sedangkan skema Bantuan Tunai Langsung dikenal dengan nama uncondional cash transfer (UCT), dimana pemerintah hanya memberikan bantuan tunai tanpa syarat apapun. CCT sudah dilakukan di beberapa daerah yang menjadi pilot project, antara lain beberapa kota/kabupaten di provinsi Gorontalo, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur.
Skema CCT lebih masuk akal karena dapat membantu RTSM secara jangka pendek. Skema CCT yang dibuat dengan memberikan syarat tertentu kepada RTSM akan mampu mengkontrol RTSM untuk menggunakan dana tersebut secara bermanfaat. Bantuan CCT dapat berupa uang tunai dan bantuan bahan makanan pokok. Syarat pertama untuk melaksanakan CCT adalah pendataan yang tepat dan kelembagaan yang bagus. Kesalahan pendataan adalah awal dari masalah. Kelembagaan pemerintah harus melibatkan masyarakat untuk mengurangi gesekan di tingkat grass root. Inilah sebuah solusi yang lebih optimal daripada sekedar mengulang pelaksanaan BLT tahun 2005 yang terbukti banyak menimbulkan permasalahan.


Ket : Tugas Kuliah, MK Evaluasi Kebijakan

Tuesday, May 10, 2011

Tentang Blog Ini

May 10, 2011 0
Sebelumnya saya ucapkan selamat datang dan terima kasih telah mengunjungi blog saya yang sederhana ini.
Blog ini adalah sebuah blog yang awalnya dibuat hanya untuk mendokumentasikan tugas-tugas kuliah dan bahan-bahan kuliah dari semester petama perkuliahan hingga nantinya selesai (Aamienn).
Selain dua hal yang tersebut diatas, saya coba memasukkan beberapa materi atau artikel yang menarik dari berbagai sumber, dan juga tulisan saya sendiri, kemudian juga ada profil beberapa tokoh yang menginspirasi banyak orang, dan juga resensi buku dan film.
Semoga bermanfaat :)

Tuesday, April 19, 2011

Peran Islam dalam Perkembangan IPTEK

April 19, 2011 0
Peran Islam dalam Perkembangan IPTEK

Peran Islam dalam perkembangan iptek pada dasarnya ada 2 (dua). Pertama, menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Paradigma inilah yang seharusnya dimiliki umat Islam, bukan paradigma sekuler seperti yang ada sekarang. Paradigma Islam ini menyatakan bahwa Aqidah Islam wajib dijadikan landasan pemikiran (qa’idah fikriyah) bagi seluruh bangunan ilmu pengetahuan. Ini bukan berarti menjadi Aqidah Islam sebagai sumber segala macam ilmu pengetahuan, melainkan menjadi standar bagi segala ilmu pengetahuan. Maka ilmu pengetahuan yang sesuai dengan Aqidah Islam dapat diterima dan diamalkan, sedang yang bertentangan dengannya, wajib ditolak dan tidak boleh diamalkan. Kedua, menjadikan Syariah Islam (yang lahir dari Aqidah Islam) sebagai standar bagi pemanfaatan iptek dalam kehidupan sehari-hari. Standar atau kriteria inilah yang seharusnya yang digunakan umat Islam, bukan standar manfaat (pragmatisme/utilitarianisme) seperti yang ada sekarang. Standar syariah ini mengatur, bahwa boleh tidaknya pemanfaatan iptek, didasarkan pada ketentuan halal-haram (hukum-hukum syariah Islam). Umat Islam boleh memanfaatkan iptek, jika telah dihalalkan oleh Syariah Islam. Sebaliknya jika suatu aspek iptek telah diharamkan oleh Syariah, maka tidak boleh umat Islam memanfaatkannya, walaupun ia menghasilkan manfaat sesaat untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Pengantar Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di satu sisi memang berdampak positif, yakni dapat memperbaiki kualitas hidup manusia. Berbagai sarana modern industri, komunikasi, dan transportasi terbukti amat bermanfaat. Dengan ditemukannya mesin jahit, dalam 1 menit bisa dilakukan sekitar 7000 tusukan jarum jahit. Bandingkan kalau kita menjahit dengan tangan, hanya bisa 23 tusukan per menit (Qardhawi, 1997). Dahulu Ratu Isabella (Italia) di abad XVI perlu waktu 5 bulan dengan sarana komunikasi tradisional untuk memperoleh kabar penemuan benua Amerika oleh Columbus. Lalu di abad XIX Orang Eropa perlu 2 minggu untuk memperoleh berita pembunuhan Presiden Abraham Lincoln. Tapi pada 1969, dengan sarana komunikasi canggih, dunia hanya perlu waktu 1,3 detik untuk mengetahui kabar pendaratan Neil Amstrong di bulan (Winarno, 2004). Dulu orang naik haji dengan kapal laut bisa memakan waktu 17-20 hari untuk sampai ke Jeddah. Sekarang dengan naik pesawat terbang, kita hanya perlu 12 jam saja. Subhanallah…
Tapi di sisi lain, tak jarang iptek berdampak negatif karena merugikan dan membahayakan kehidupan dan martabat manusia. Bom atom telah menewaskan ratusan ribu manusia di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Pada tahun 1995, Elizabetta, seorang bayi Italia, lahir dari rahim bibinya setelah dua tahun ibunya (bernama Luigi) meninggal. Ovum dan sperma orang tuanya yang asli, ternyata telah disimpan di “bank” dan kemudian baru dititipkan pada bibinya, Elenna adik Luigi (Kompas, 16/01/1995). Bayi tabung di Barat bisa berjalan walau pun asal usul sperma dan ovumnya bukan dari suami isteri (Hadipermono, 1995). Bioteknologi dapat digunakan untuk mengubah mikroorganisme yang sudah berbahaya, menjadi lebih berbahaya, misalnya mengubah sifat genetik virus influenza hingga mampu membunuh manusia dalam beberapa menit saja (Bakry, 1996). Kloning hewan rintisan Ian Willmut yang sukses menghasilkan domba kloning bernama Dolly, akhir-akhir ini diterapkan pada manusia (human cloning).
Lingkungan hidup seperti laut, atmosfer udara, dan hutan juga tak sedikit mengalami kerusakan dan pencemaran yang sangat parah dan berbahaya. Beberapa varian tanaman pangan hasil rekayasa genetika juga diindikasikan berbahaya bagi kesehatan manusia. Tak sedikit yang memanfaatkan teknologi internet sebagai sarana untuk melakukan kejahatan dunia maya (cyber crime) dan untuk mengakses pornografi, kekerasan, dan perjudian. Di sinilah, peran agama sebagai pedoman hidup menjadi sangat penting untuk dilihat kembali. Dapatkah agama memberi tuntunan agar kita memperoleh dampak iptek yang positif saja, seraya mengeliminasi dampak negatifnya semiminal mungkin? Sejauh manakah agama Islam dapat berperan dalam mengendalikan perkembangan teknologi modern? Tulisan ini bertujuan menjelaskan peran Islam dalam perkembangan dan pemanfaatan teknologi tersebut.
Paradigma Hubungan Agama-Iptek
Akan disebutkan dulu beberapa pengertian dasar. Ilmu pengetahuan (sains) adalah pengetahuan tentang gejala alam yang diperoleh melalui proses yang disebut metode ilmiah (Jujun S. Suriasumantri, 1992). Sedang teknologi adalah pengetahuan dan ketrampilan yang merupakan penerapan ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia sehari-hari (Jujun S. Suriasumantri, 1986). Perkembangan iptek, adalah hasil dari segala langkah dan pemikiran untuk memperluas, memperdalam, dan mengembangkan iptek (Agus, 1999). Agama yang dimaksud di sini, adalah agama Islam, yaitu agama yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw, untuk mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya (dengan aqidah dan aturan ibadah), hubungan manusia dengan dirinya sendiri (dengan aturan akhlak, makanan, dan pakaian), dan hubungan manusia dengan manusia lainnya (dengan aturan mu’amalah dan uqubat/sistem pidana) (An-Nabhani, 2001).
Bagaimana hubungan agama dan iptek? Secara garis besar, berdasarkan tinjauan ideologi yang mendasari hubungan keduanya, terdapat 3 (tiga) jenis paradigma (Lihat Yahya Farghal, 1990: 99-119). Pertama, paradagima sekuler, yaitu paradigma yang memandang agama dan iptek adalah terpisah satu sama lain. Sebab, dalam ideologi sekularisme Barat, agama telah dipisahkan dari kehidupan (fashl al-din ‘an al-hayah). Agama tidak dinafikan eksistensinya, tapi hanya dibatasi perannya dalam hubungan pribadi manusia dengan tuhannya. Agama tidak mengatur kehidupan umum/publik. Paradigma ini memandang agama dan iptek tidak bisa mencampuri dan mengintervensi yang lainnya. Agama dan iptek sama sekali terpisah baik secara ontologis (berkaitan dengan pengertian atau hakikat sesuatu hal), epistemologis (berkaitan dengan cara memperoleh pengetahuan), dan aksiologis (berkaitan dengan cara menerapkan pengetahuan).
Kedua, paradigma sosialis, yaitu paradigma dari ideologi sosialisme yang menafikan eksistensi agama sama sekali. Agama itu tidak ada, tidak ada hubungan dan kaitan apa pun dengan iptek. Iptek bisa berjalan secara independen dan lepas secara total dari agama. Paradigma ini mirip dengan paradigma sekuler di atas, tapi lebih ekstrem. Dalam paradigma sekuler, agama berfungsi secara sekularistik, yaitu tidak dinafikan keberadaannya, tapi hanya dibatasi perannya dalam hubungan vertikal manusia-tuhan. Sedang dalam paradigma sosialis, agama dipandang secara ateistik, yaitu dianggap tidak ada dan dibuang sama sekali dari kehidupan. Paradigma tersebut didasarkan pada pikiran Karl Marx (w. 1883) yang ateis dan memandang agama (Kristen) sebagai candu masyarakat, karena agama menurutnya membuat orang terbius dan lupa akan penindasan kapitalisme yang kejam. Karl Marx mengatakan: “Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of the heartless world, just as it is the spirit of a spiritless situation. It is the opium of the people.” (Agama adalah keluh-kesah makhluk tertindas, jiwa dari suatu dunia yang tak berjiwa, sebagaimana ia merupakan ruh/spirit dari situasi yang tanpa ruh/spirit. Agama adalah candu bagi rakyat) (Lihat Karl Marx, Contribution to The Critique of Hegel’s Philosophy of Right, termuat dalam On Religion, 1957:141-142) (Ramly, 2000: 165-166). Berdasarkan paradigma sosialis ini, maka agama tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan iptek. Seluruh bangunan ilmu pengetahuan dalam paradigma sosialis didasarkan pada ide dasar materialisme, khususnya Materialisme Dialektis (Yahya Farghal, 1994: 112). Paham Materialisme Dialektis adalah paham yang memandang adanya keseluruhan proses perubahan yang terjadi terus menerus melalui proses dialektika, yaitu melalui pertentangan-pertentangan yang ada pada materi yang sudah mengandung benih perkembanganitu sendiri (Ramly, 2000: 110).
Ketiga, paradigma Islam, yaitu paradigma yang memandang bahwa agama adalah dasar dan pengatur kehidupan. Aqidah Islam menjadi basis dari segala ilmu pengetahuan. Aqidah Islam yang terwujud dalam apa-apa yang ada dalam al-Qur`an dan al-Hadits menjadi qa’idah fikriyah (landasan pemikiran), yaitu suatu asas yang di atasnya dibangun seluruh bangunan pemikiran dan ilmu pengetahuan manusia (An-Nabhani, 2001). Paradigma ini memerintahkan manusia untuk membangun segala pemikirannya berdasarkan Aqidah Islam, bukan lepas dari aqidah itu. Ini bisa kita pahami dari ayat yang pertama kali turun (artinya) : “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.” (Qs. sl-‘Alaq 96: 1). Ayat ini berarti manusia telah diperintahkan untuk membaca guna memperoleh berbagai pemikiran dan pemahaman. Tetapi segala pemikirannya itu tidak boleh lepas dari Aqidah Islam, karena iqra` haruslah dengan bismi rabbika, yaitu tetap berdasarkan iman kepada Allah, yang merupakan asas Aqidah Islam (Al-Qashash, 1995: 81). Paradigma Islam ini menyatakan bahwa, kata putus dalam ilmu pengetahuan bukan berada pada pengetahuan atau filsafat manusia yang sempit, melainkan berada pada ilmu Allah yang mencakup dan meliputi segala sesuatu (Yahya Farghal, 1994: 117). Firman Allah SWT: “Dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu.” (Qs. an-Nisaa` 4: 126).“Dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (Qs. ath-Thalaq 65: 12).
Dengan jelas kita tahu bahwa Rasulullah Saw telah meletakkan Aqidah Islam sebagai dasar ilmu pengetahuan, sebab beliau menjelaskan, bahwa fenomena alam adalah tanda keberadaan dan kekuasaan Allah, tidak ada hubungannya dengan nasib seseorang. Hal ini sesuai dengan aqidah muslim yang tertera dalam al-Qur`an: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berakal.” (Qs. Ali ‘Imran 3: 190). Inilah paradigma Islam yang menjadikan Aqidah Islam sebagai dasar segala pengetahuan seorang muslim. Paradigma inilah yang telah mencetak muslim-muslim yang taat dan shaleh tapi sekaligus cerdas dalam iptek. Itulah hasil dan prestasi cemerlang dari paradigma Islam ini yang dapat dilihat pada masa kejayaan iptek Dunia Islam antara tahun 700 – 1400 M. Pada masa inilah dikenal nama Jabir bin Hayyan (w. 721) sebagai ahli kimia termasyhur, Al-Khawarzmi (w. 780) sebagai ahli matematika dan astronomi, Al-Battani (w. 858) sebagai ahli astronomi dan matematika, Al-Razi (w. 884) sebagai pakar kedokteran, ophtalmologi, dan kimia, Tsabit bin Qurrah (w. 908) sebagai ahli kedokteran dan teknik, dan masih banyak lagi.
Aqidah Islam Sebagai Dasar Iptek
Inilah peran pertama yang dimainkan Islam dalam iptek, yaitu aqidah Islam harus dijadikan basis segala konsep dan aplikasi iptek. Inilah paradigma Islam sebagaimana yang telah dibawa oleh Rasulullah Saw. Paradigma Islam inilah yang seharusnya diadopsi oleh kaum muslimin saat ini. Bukan paradigma sekuler seperti yang ada sekarang. Diakui atau tidak, kini umat Islam telah telah terjerumus dalam sikap membebek dan mengekor Barat dalam segala-galanya; dalam pandangan hidup, gaya hidup, termasuk dalam konsep ilmu pengetahuan.
Namun di sini perlu dipahami dengan seksama, bahwa ketika Aqidah Islam dijadikan landasan iptek, bukan berarti konsep-konsep iptek harus bersumber dari al-Qur`an dan al-Hadits, tapi maksudnya adalah konsep iptek harus distandardisasi benar salahnya dengan tolok ukur al-Qur`an dan al-Hadits dan tidak boleh bertentangan dengan keduanya (Al-Baghdadi, 1996: 12). Jika kita menjadikan Aqidah Islam sebagai landasan iptek, bukan berarti bahwa ilmu astronomi, geologi, agronomi, dan seterusnya, harus didasarkan pada ayat tertentu, atau hadis tertentu. Kalau pun ada ayat atau hadis yang cocok dengan fakta sains, itu adalah bukti keluasan ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu (lihat Qs. an-Nisaa` 4:126 dan Qs. ath-Thalaq 65: 12), bukan berarti konsep iptek harus bersumber pada ayat atau hadis tertentu. Misalnya saja dalam astronomi ada ayat yang menjelaskan bahwa matahari sebagai pancaran cahaya dan panas (Qs. Nuh 71: 16), bahwa langit (bahan alam semesta) berasal dari asap (gas) sedangkan galaksi-galaksi tercipta dari kondensasi (pemekatan) gas tersebut (Qs. Fushshilat 41: 11-12), dan seterusnya. Ada sekitar 750 ayat dalam al-Qur`an yang semacam ini (Lihat Al-Baghdadi, 2005: 113). Ayat-ayat ini menunjukkan betapa luasnya ilmu Allah sehingga meliputi segala sesuatu, dan menjadi tolok ukur kesimpulan iptek, bukan berarti bahwa konsep iptek wajib didasarkan pada ayat-ayat tertentu. Jadi, yang dimaksud menjadikan Aqidah Islam sebagai landasan iptek bukanlah bahwa konsep iptek wajib bersumber kepada al-Qur`an dan al-Hadits, tapi yang dimaksud, bahwa iptek wajib berstandar pada al-Qur`an dan al-Hadits.
Ringkasnya, al-Qur`an dan al-Hadits adalah standar (miqyas) iptek, dan bukannya sumber (mashdar) iptek. Artinya, apa pun konsep iptek yang dikembangkan, harus sesuai dengan al-Qur`an dan al-Hadits, dan tidak boleh bertentangan dengan al-Qur`an dan al-Hadits itu. Jika suatu konsep iptek bertentangan dengan al-Qur`an dan al-Hadits, maka konsep itu berarti harus ditolak.
Implikasi lain dari prinsip ini, yaitu al-Qur`an dan al-Hadits hanyalah standar iptek, dan bukan sumber iptek, adalah bahwa umat Islam boleh mengambi iptek dari sumber kaum non muslim (orang kafir). Dulu Nabi Saw menerapkan penggalian parit di sekeliling Madinah, padahal strategi militer itu berasal dari tradisi kaum Persia yang beragama Majusi. Dulu Nabi Saw juga pernah memerintahkan dua sahabatnya memepelajari teknik persenjataan ke Yaman, padahal di Yaman dulu penduduknya adalah Ahli Kitab (Kristen). Umar bin Khatab pernah mengambil sistem administrasi dan pendataan Baitul Mal (Kas Negara), yang berasal dari Romawi yang beragama Kristen. Jadi, selama tidak bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam, iptek dapat diadopsi dari kaum kafir.
Syariah Islam Standar Pemanfaatan Iptek
Peran kedua Islam dalam perkembangan iptek, adalah bahwa Syariah Islam harus dijadikan standar pemanfaatan iptek. Ketentuan halal-haram (hukum-hukum syariah Islam) wajib dijadikan tolok ukur dalam pemanfaatan iptek, bagaimana pun juga bentuknya. Iptek yang boleh dimanfaatkan, adalah yang telah dihalalkan oleh syariah Islam. Sedangkan iptek yang tidak boleh dimanfaatkan, adalah yang telah diharamkan syariah Islam.
Standar pemanfaatan iptek menurut barat adalah manfaat, apakah itu dinamakan pragmatisme atau pun utilitarianisme. Selama sesuatu itu bermanfaat, yakni dapat memuaskan kebutuhan manusia, maka ia dianggap benar dan absah untuk dilaksanakan. Meskipun itu diharamkan dalam ajaran agama. Keberadaan standar manfaat itulah yang dapat menjelaskan, mengapa orang Barat mengaplikasikan iptek secara tidak bermoral, tidak berperikemanusiaan, dan bertentangan dengan nilai agama. Misalnya menggunakan bom atom untuk membunuh ratusan ribu manusia tak berdosa, memanfaatkan bayi tabung tanpa melihat moralitas (misalnya meletakkan embrio pada ibu pengganti), mengkloning manusia (berarti manusia bereproduksi secara a-seksual, bukan seksual), mengekploitasi alam secara serakah walaupun menimbulkan pencemaran yang berbahaya, dan seterusnya.
Karena itu, sudah saatnya standar manfaat yang salah itu dikoreksi dan diganti dengan standar yang benar. Yaitu standar yang bersumber dari pemilik segala ilmu yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, yang amat mengetahui mana yang secara hakiki bermanfaat bagi manusia, dan mana yang secara hakiki berbahaya bagi manusia. Standar itu adalah segala perintah dan larangan Allah SWT yang bentuknya secara praktis dan konkret adalah syariah Islam.
Penutup
Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa peran Islam yang utama dalam perkembangan iptek setidaknya ada 2 (dua). Pertama, menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma pemikiran dan ilmu pengetahuan. Jadi, paradigma Islam, dan bukannya paradigma sekuler, yang seharusnya diambil oleh umat Islam dalam membangun struktur ilmu pengetahuan. Kedua, menjadikan syariah Islam sebagai standar penggunaan iptek. Jadi, syariah Islam-lah, bukannya standar manfaat (utilitarianisme), yang seharusnya dijadikan tolok ukur umat Islam dalam mengaplikasikan iptek.Jika dua peran ini dapat dimainkan oleh umat Islam dengan baik, insyaallah akan ada berbagai berkah dari Allah kepada umat Islam dan juga seluruh umat manusia. Mari kita simak firman-Nya:“Kalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Qs. al-A’raaf 7: 96). Wallahu a’lam.
http://dyuliastuti.blogspot.com