Pemilih pemula dalam ritual demokrasi (Pemilu Legisaltif, Pilpres, Pemilukada) selama ini agaknya sengaja dijadikan objek politik sebagai bagian dari massa untuk kepentingan elit sesaat. Selepas momen politik berlangsung praktis pemilih pemula ditinggal begitu saja bak pepatah ’’habis manis sepah dibuang”. Fenomena riil akan hal itu tampak jelas dari momentum kampanye selama ini yang justru menampakkan pembodohan pemilih. Sekadar melibatkan pemilih pemula untuk meramaikan kampanye melalui karnaval kendaraan bermotor, joget bersama bersama artis, bagi-bagi kaos, tanpa dibarengi dengan proses-proses pencerdasan melalui dialog, pemahaman visi-misi kandidat misalnya. Ruang dialog yang mampu membentuk dan mengasah rasionalitas pemilih pemula belum mampu terbangun. Kalaupun ada proses tersebut, selama ini tidak lebih dari upaya pemilih pemula sendiri yang berasal dari komunitas kampus.
Hal yang kirannya belum terjadi pada pemilih pemula dari pelajar (SMU), maupun dari pemilih pemula di luar pelajar dan mahasiswa yakni mereka dengan usia 17-21 tahun yang sudah tidak lagi mengenyang bangku pendidikan. Mereka semakin menjadi sapi perahan elit politik tanpa adanya upaya proses pencerdasan yang semestinya sedini mungkin didapat. Akibat yang kemudian muncul adalah tidak adanya perbedaan distingtif antara pemilih pemula dengan pemilih uzur, yang mana konsideran dalam mengambil keputusan politik sekadar berdasarkan popularitas figur, nderek tiyang sepuh , atau lebih sial lagi menjadi bagian dari pemilih pragmatis yang mendasar pada berapa nilai nominal uang yang akan diterima. Dalam proses seremoni demokrasi selama ini sikap kritis yang semestinya muncul dari pemilih pemula menjadi kurang nampak.
Ekspolitasi terhadap pemilih pemula oleh elit kian tak terhindarkan jika melihat munculnya organisasi sayap partai yang didesain guna menggalang basis kekuatan pada pemilih pemula. Dalam strategi politik memang halal hukumnya, bahkan satu keharusan (wajib) ketika partai mencoba membidik segmen pemilih pemula melalui organisasi sayap yang dikhususkan untuk perjuangan pemilih pemula.
Namun demikian hakikat ideal dari sayap partai yang sejatinya berfungsi sebagai instrumen pendidikan politik semestinya juga dibangun. Melalui program-program yang berakar dari kebutuhan dasar pemilih pemula berupa pembentukan pola pikir politik dengan basis rasionalitas. Mempertimbangkan segala keputusan politik atas dasar kemampuan, visi-misi, dan track record dari para kandidat.
Pengaruh keluarga
Antusiasme yang tinggi sementara keputusan pilihan yang belum bulat, sebenarnya menempatkan pemilih pemula sebagai swing voters yang sesungguhnya. Pilihan politik mereka belum dipengaruhi motivasi ideologis tertentu dan lebih didorong oleh konteks dinamika lingkungan politik lokal.
Pemilih pemula mudah dipengaruhi kepentingan-kepentingan tertentu, terutama oleh orang terdekat seperti anggota keluarga, mulai dari orangtua hingga kerabat. Kondisi tersebut tampak jika merunut perilaku pemilih pemula pada beberapa penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Hasil jajak pendapat pasca-pemungutan suara (exit poll), pada Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta (8 Agustus 2007), menunjukkan orangtua adalah yang paling memengaruhi pilihan para pemilih pemula. Teman dan saudara juga ikut memengaruhi namun dengan persentase yang lebih kecil.
Pola yang sama juga terlihat pada hasil exit poll Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat (13 April 2008) dan Jawa Timur putaran pertama (23 Juli 2008). Orangtua menjadi pihak yang paling memengaruhi pilihan para pemula di Jabar dan Jatim. Selain teman dan saudara, yang turut memengaruhi pilihan adalah pasangan hidup. Di Jatim, peran orangtua dalam memengaruhi pilihan sebagian besar diambil alih oleh pasangan hidup si pemilih.
Media massa juga turut memengaruhi pilihan pemilih pemula. Pengaruh terbesar berasal dari pemberitaan media elektronik terutama televisi (antara 60 persen dan 67 persen).
Disusul kemudian lewat spanduk, poster, brosur, dan sejenisnya. Sementara pengaruh dari internet belum begitu besar bagi kelompok ini, hanya 0,5 persen-2 persen.
Konsep mengenai ke-Indonesiaan yang dimiliki kelompok muda juga mendorong mereka menentukan pilihan secara otonom. Dari hasil jajak pendapat diketahui, para pemilih pemula ini memiliki gambaran ideal tentang Indonesia, yaitu Indonesia yang makmur dan sejahtera.
Disusul kemudian lewat spanduk, poster, brosur, dan sejenisnya. Sementara pengaruh dari internet belum begitu besar bagi kelompok ini, hanya 0,5 persen-2 persen.
Konsep mengenai ke-Indonesiaan yang dimiliki kelompok muda juga mendorong mereka menentukan pilihan secara otonom. Dari hasil jajak pendapat diketahui, para pemilih pemula ini memiliki gambaran ideal tentang Indonesia, yaitu Indonesia yang makmur dan sejahtera.
Untuk menuju Indonesia yang seperti itu, jalannya adalah melalui pemilu. Keyakinan ini disampaikan delapan dari sepuluh responden.
No comments:
Post a Comment