Berpuasa
Politik, Apa Pula Itu?
Moh
Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
SINDO,
04 Agustus 2012
Dalam
penerbangan dari Yogyakarta ke Jakarta akhir pekan lalu, sambil leyeh-leyeh
saya membuka-buka media massa yang disajikan kepada penumpang oleh Garuda.
Ada
kalimat yang menarik perhatian saya dari salah satu koran yang saya
baca.”Mumpung bulan puasa mari kita berpuasa dari politik, tak usah berpolitik
dulu,”tulis media itu mengutip imbauan seseorang sehubungan dengan bulan
Ramadan. Imbauan seperti itu, tak pelak, berangkat dari asumsi bahwa politik
itu kotor dan berpolitik itu adalah dosa sehingga harus dihindari dulu selama
Ramadan. Tentu saja asumsi seperti itu salah karena dua hal.
Pertama,
kalau politik itu haram dan dosa dilakukan, maka ia tak boleh dilakukan bukan
hanya pada bulan Ramadan, tetapi juga tak boleh dilakukan kapan pun dan di mana
pun. Kedua, asumsi itu juga salah karena hanya lahir dari fakta kekinian dan
kedisinian bahwa dunia politik kita, dalam lingkup dan institusi-institusi
tertentu, sedang dianggap kotor.
Politik
di Indonesia sekarang ini memang sedang menjadi terdakwa dari berbagai problem
serius yang sedang menimpa bangsa Indonesia.Taruhlah penegakan hukum yang
karut-marut dan penuh debat kusir yang sebenarnya dilatarbelakangi oleh politik
kotor. Ada pengacara, misalnya, yang pernah berteriak agar si anu segera
ditangkap karena indikasi korupsinya kuat, tetapi ketika dirinya diminta
menjadi pengacara si anu itu, dengan kalap sang pengacara membela si anu itu
sebagai orang yang bersih.
Selain
itu ada fenomena saling kunci dan saling sandera dalam penegakan hukum sehingga
upaya penegakan hukum selalu diserimpung oleh politik. Kalau si A ditangkap,
ada ancaman kasus si B juga akan dibongkar; kalau si B tertangkap, si C akan
kena sehingga daripada ribut-ribut tak usah saling usik dan tak usah ada yang
diusik.
Korupsi
diselesaikan secara TST (tahu sama tahu). Permainan politik kemudian menjadi
riuh rendah mengganggu proses penegakan hukum. Yang menjengkelkan, jika
seseorang ditangkap KPK berdasarkan bukti minimal yang sudah cukup,yang
ditangkap atau pengacaranya kerap kali menuduh bahwa kasusnya dipolitisasi. Ada
yang bilang dirinya dijadikan korban politik karena untuk kepentingan parpol
tertentu.
Padahal,
dalam faktanya, koruptor dari semua parpol ditangani secara proporsional oleh
KPK. KPK pun tak terbukti pernah merekayasa kasus, sebab dalam kenyataannya,
sampai sekarang, semua yang dijadikan terdakwa oleh KPK pasti bisa dibuktikan
telah melakukan korupsi sehingga dihukum oleh pengadilan. Begitu pun setiap
banding, kasasi, atau permohonan peninjauan kembali (PK) yang dipergunakan
untuk melawan putusan pengadilan dari kasuskasus yang digiring oleh KPK
ternyata selalu kandas.
Artinya,
pengadilan tinggi maupun Mahkamah Agung selalu membenarkan KPK, bahkan tak
jarang MA menaikkan hukuman bagi mereka yang melakukan kasasi. Itu artinya tak
ada politisasi yang dilakukan KPK. Permainan politiklah yang memang sedang
merusak sendi-sendi kehidupan kita berbangsa dan bernegara. Mungkin karena
itulah di benak masyarakat tertanam pengertian bahwa politik itu kotor.
Apalagi
dalam faktanya juga dunia politik kita diwarnai oleh caci maki di depan publik
antartokoh politik sendiri. Begitu juga politik uang dan perampokan kekayaan
negara merebak di mana-mana dengan menggunakan jalur-jalur politik. Seperti
saya katakan, pendapat bahwa politik itu kotor, sehingga harus dipuasakan,
muncul karena asumsi yang salah, yang lahir karena fakta karut- marut dunia
politik kini dan di sini.
Juga
karena politik itu diartikan secara sempit sebagai kegiatan ikut dalam kegiatan
partai politik. Padahal politik itu mencakup dimensi luas yang tidak identik
dengan partai politik. Ia mencakup semua kegiatan (gerakan politik) untuk
memengaruhi pembuatan kebijakan publik (politik dalam arti policy) yang punya
konsekuensi mengikat bagi rakyat. Dalam arti ini berpolitik dengan ikut parpol
hanya sebagian kecil dari gerakan politik.
Jadi,sejatinya
politik itu fitrah, bagian dari bawaan asal manusia. Manusia adalah zoon
politicon, makhluk yang tak bisa lepas dari politik, terutama dalam arti bahwa
politik itu adalah kegiatan untuk memengaruhi penggunaan kekuasaan atau
pembuatan policy yang mengikat rakyat. Makanya pernyataan orang bahwa dirinya
tak mau berpolitik sebenarnya juga merupakan sikap berpolitik, yakni sikap tak
ikut-ikutan mendukung atau menolak tokoh atau program politik.
Tapi
yang bersangkutan tetap tak bisa menghindarkan diri atau menolak konsekuensi
keputusan-keputusan pemegang kekuasaan politik. Itulah sebabnya, Imam
al-Ghozaly mengatakan bahwa memperjuangkan perintah agama dan mempunyai
pengaruh atas kekuasaan politik itu merupakan dua saudara kembar (al-dien wal
sulthaan taw’amaan).
Banyak
nilai kebenaran yang tumbuh dan diyakini di tengah-tengah masyarakat tak
mungkin bisa ditegakkan kalau tidak melalui gerakan politik. Dilihat dari sudut
ini, politik yang pada dasarnya netral malah menjadi aktivitas mulia yang wajib
dilakukan. Oleh sebab itu, yang harus dilakukan dalam bulan puasa ini, dalam
konteks politik, bukan berpuasa politik dalam arti berhenti dari kegiatan
politik, melainkan mengendalikan dan mengarahkan syahwat politik agar tidak
destruktif terhadap kemaslahatan masyarakat.
Semua
harus sadar bahwa politik kotor akan menimbulkan ketidakadilan dan lemahnya
penegakan hukum, sedangkan ketidakadilan dan tidak tegaknya hukum secara pasti
menggiring ke kehancuran suatu bangsa dan negara. Mari kita lakukan puasa
politik dengan cara membersihkan niat dan memperbarui langkah dengan pemahaman
bahwa berpolitik itu sebagai bagian dari ibadah untuk membangun kemaslahatan,
bukan mengumbar hawa nafsu dan syahwat politik.
No comments:
Post a Comment