Era BPUPKI & PPKI: Pertentangan Ideologi Nasionalis vs
Islam
Kekalahan tentara
Belanda 1942 kepada tentara Jepang di Kalijati merupakan awal berkahirnya
penjajahan Belanda di Indonesia. Kemenangan Jepang tersebut –semula- disambut
gembira oleh rakyat Indonesia yang sejak awal tidak mempunyai harapan merdeka
di bahwa penjajahan Belanda. Harapan mereka, Jepang sebagai sesama bangsa Asia
akan memberi kemerdekaan kepada bangsa Indonesia dalam waktu dekat.
Strategi Jepang
untuk menjajah Indonesia memang cukup bagus, yaitu dengan membolehkan rakyat
Indonesia mengibarkan bendera merah putih, menyanyikan lagi Indonesia Raya, dan
untuk mengganti untuk sementara tenaga administratifnya yang ditenggelamkan
Sekutu, pegawai pangreh praja Indonesia dinaikkan pangkatnya meskipun
diturunkan gajinya. Tentara Jepang menyebut dirinya sebagai saudara tua bangsa
Indonesia. Dengan sangat strategis, tentara Jepang juga merekrut intelektual
Indonesia dengan memberinya wadah Komisi Penyelidik Adat Istiadat dan Tata
Negara tanggal 8 November 1942 yang bersama-sama 13 orang Jepang mendiskusikan
idea-idea mereka tentang nilai-nilai budaya bangsa Indonesia baik untuk
kepentingan Jepang maupun untuk kepentingan Indonesia merdeka yang mereka
cita-citakan. Bahkan setelah kegagalan Tiga A (Nippon Cahaya Asia, Nippon
Pelindung Asia dan Nippon Pemimpin Asia, maka didirikanlah Pusat Tenaga Rakyat
(Putera) yang diketuai oleh empat serangkai, Sukarno, Hatta, Ki Hadjar
Dewantara dan Mas Mansur, yang mendapat sambutan hangat dari rakyat. Setelah
itu dibentuklah berbagai organisasi massa seperti Seinendan (Barisan Pemuda),
Keibodan (Barisan Pembantu Polisi), Heiho
yang terkenal dengan PETA yang diprakarsai Gatot Mangkupraja. Semuanya adalah
strategi Jepang untuk ‘melunakkan’ hati rakyat Indonesia agar mau membantu
Jepang melawan Sekutu.
‘Kekalahan’ Jepang
secara beruntun dalam perang (PD II) melawan sekutu ‘memaksa’ pemimpin
administrasi militer di Indonesia yaitu Hayashi menganjurkan kepada Pemerintah
Jepang memberi janji kemerdekaan kepada bangsa Indonesia, sebab berdasarkan
pengamatannya kesengsaraan bangsa Indonesia di bawah pemerintah Tentara
Pendudukan sudah tidak tertahankan lagi. Maka kalau Jepang secara eksplisit
tidak memberikan janjir kemerdekaan itu kepada pemimpin-peminpin Indonesia
tentu mereka akan berbalik melawan Jepang. Kalau itu terjadi, maka keadaan
Jepang tentu tidak dapat diselamatkan lagi. Saran ini kemudian diterima oleh
Pemerintah Jepang dibawah Perdana Menteri Koiso. Maka tanggal 7 September 1944,
Koiso mengumumkan ke seluruh dunia di muka sidang ke-85 Parlemen Jepang bahwa
Indonesia akan diberi kemerdekaan dalam waktu dekat.
Pemberian kemerdekaan dan bayangan kekalahan Jepang
tersebut akhirnya ‘memaksa, mereka untuk mengumumkan pembentukan Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai yang disebut
kemudian sebagai Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI), pada tanggal 1 Maret 1945. Pengangkatan 29 April 1945, Dr. KRT.
Rajiman Wedyodiningrat diangkat ketua (kaityo),
bukan Soekarno, yang pada waktu itu dianggap sebagai pemimpin nasional yang
utama. Pengangkatan tersebut disetujui oleh Soekarno, alasannya, sebagai
anggota biasa akan lebih mempunyai banyak kesempatan untuk aktif dalam
diskusi-diskusi.
Sidang pleno BPUPKI pertama diadakan dari tanggal 28 Mei
sampai dengan tanggal 1 Juni 1945. Tanggal 28 Mei sidang dibuka dengan sambutan
Saiko Syikikan, Gunseikan, yang menasehati BPUPKI agar mengadakan penelitian
yang cermat terhadap dasar-dasar yang akan digunakan sebagai landasan negara
Indonesia merdeka sebagai suatu mata rantai dalam lingkungan kemakmuran bersama
di Asia Timur Raya.
Dalam pidato
pembukaannya, dr. Rajiman antara lain mengajukan pertanyaan kepada anggota
sidang: “Apa dasar Negara Indonesia yang
akan kita bentuk ini ?’. Pertanyaan
ini menjadi persoalan yang paling dominan sepanjang 29 Mei- 1 Juni 1945. Bahkan
dalam rentang waktu tersebut hadir sejumlah pembicara yang mengajukan sejumlah
gagasan mengenai dasar filosofis atas negara Indonesia yang hendak dibentuknya.
Mereka misalnya Soekarno, Moh. Yamin dan Supomo yang secara argumentatif
mengemukan pendapatnya tentang dasar negara tersebut, yang pada akhirnya secara
ekplisit tanggal 1 Juni 1945, Soekarno mengemukakan pidatonya yang memberikan
jawaban yang berisikan uraian tentang lima sila. Pidato kemudian diterbitkan
dengan nama ‘Lahirnya Pancasila’. Menurut Mohamad Hatta, pidato Soekarno itu
dikatakan sebagai yang bersifat kompromois, dapat meneduhkan pertentangan yang
mulai tajam antara pendapat yang mempertahankan Negara Islam dan mereka yang
menghendaki dasar negara sekuler, bebas dari corak agama.
Awal
munculnya Pancasila disadari adalah bagian yang tidak terelakkan dari sejumlah
pergulatan dan perdebatan founding
fathers tatkala berbicara mengenai dasar negara. Harus diakui terdapat
berbagai kesulitan dalam mempertemukan posisi-posisi ideologis anggota BPUPKI.
Yang mengedepan di antaranya adalah posisi-posisi dari mereka yang menjadikan
Islam sebagai dasar negara, mereka yang mencoba menegakkan suatu demokrasi
konstitusional yang sekuler, dan mereka yang menganjurkan negara yang disebut
sebagai negara integralistik. Perdebatan yang paling serius, emosional dan
cenderung konfrontasional antara para anggota adalah usul agar Islam dijadikan
sebagai dasar negara. Perdebatan
tersebut memang pada akhirnya dimenangkan oleh kelompok yang menginginkan Islam
sebagai dasar negara, terbukti dengan ditetapkannya Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 yang merupakan suatu modus atau
persetujuan antara pihak Islam dan pihak kebangsaan.
Dalam perkembangan
selanjutnya, ternyata rumusan dalam Piagam Jakarta yang mencantumkan kalimat,’.........dengan kewajiban menjalankan
syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya’, setelah Proklamasi Kemerdekaan
yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945, tidak diterbitkan sebagaimana draf awal.
UUD yang akhirnya diterbitkan tidak berisi konsesi-konsesi kepada posisi Islam
sebagaimana dipaparkan dalam Piagam Jakarta. Juga tidak ada keharusan bahwa
Presiden harus Islam. Mohammad Hatta dianggap berperan dalam penghapusan
ketujuh kata tersebut. Ia berhasil membujuk komisis penulis UUD untuk
menghilangkan acuan kepada Islam dalam draf akhir Pembukaan UUD. Hatta khawatir
bahwa Indonesia timur yang mayoritas Kristen tidak akan bergabung dengan
Republik kesatuan bila negara baru ini dirasakan mendukung Islam an sich, walau secara tidak langsung
sebagai dasarnya.
Pencoretan
tujuh kata inilah yang menimbulkan kekecewaan umat Islam terhadap pemerintahan
Sukarno dan Mohammad Hatta, yang pada akhirnya menjadikan problem ideologis ini
menimpa pula masa pemerintahan Suharto.
Pergulatan awal inilah yang menjadi problem pertentangan pilihan
ideologi yang menjadi sumber ‘ancaman’ bagi republik Indonesia. Dalam
perkembangan lebih lanjut, kondisi ini ternyata tidak bisa diakhiri secara
elegan, bahkan semakin lama menyimpan sejumlah persoalan yang berakhir dengan
ketegangan-ketegangan ideologi, dari sejak awal negara Indonesia dibentuk
sampai sekarang ini. Benar bila Carol Gluck mengatakan bahwa Indonesia adalah
sebuah negara yang ‘terlalu banyak meributkan
masalah ideologi dibanding negara-negara lain’. Bahkan akhir-akhir ini
utamanya tahun 1999 sejak reformasi digulirkan, ide untuk memunculkan kembali
Piagam Jakarta semakin mengedepan dalam konstelasi perpolitikan nasional.
Kalangan Islam, utamanya partai politik yang berasaskan Islam, menjadi pilar
utama bagi keinginan untuk menghidupkan kembali Piagam Jakarta.
Dengan
demikian melihat pada perkembangan perumusan Pancasila sejak tanggal 1 Juni
sampai 18 Agustus 1945, maka dapat diketahui bahwa Pancasila mengalami
perkembangan fungsi. Pada tanggal 1 dan 22 Juni, Pancasila yang dirumuskan oleh
Paniyia Sembilan dan kemudian disepakati oleh sidang Pleno BPUPKI merupakan
modus kompromi antara kelompok yang memperjuangkan dasar negara nasionalisme
dan kelompok yang memperjuangkan dasar negara Islam. Akan tetapi pada tanggal
18 Agustus, Pancasila yang dirumuskan kembali oleh PPKI berkembang menjadi
modus kompromi antara kaum nasionalis, Islam dan Kristen-Katolik dalam hidup
bernegara. Di atas Pancasila yang merupakan modus kompromi itu UUD dirumuskan,
dan selanjutnya UUD itu menjadi dasar untuk mendirikan Pemerintahan Republik
Indonesia.
Era Orde Lama
:
Dinamika
Perdebatan Ideologis
Dinamika perdebatan ideologi antara kelompok Islam dengan
Pancasila adalah wajah dominan perpolitikan nasional dari tahun 1945-1965.
Bahkan pertikaian itu dilanjutkan pada masa Orde Baru sampai Orde Reformasi
ini. Pada dasarnya hal ini dilatarbelakangi oleh kekecewaan kalangan Islam atas
penghapusan Piagam Jakarta dari Pembukaan UUD 1945, apalagi ketika penguasa
(negara) menggunakan Pancasila sebagai alat untuk menekan kalangan Islam
tersebut.
Hal ini
tampak ketika akhir tahun 1950-an, Pancasila sudah tidak lagi merupakan
kompromi atau titik pertemuan bagi semua ideologi sebagaimana yang dimaksud
Sukarno. Ini karena Pancasila telah dimanfaatkan sebagai senjata ideologis
untuk mendelegitimasi tuntutan Islam bagi pengakuan negara atas Islam. Bahkan
secara terang-terangan Sukarno tahun 1953 mengungkapkan kekhawatirannya tentang
implikasi-implikasi negatif terhadap kesatuan nasional jika orang-orang Islam
Indonesia masih memaksakan tuntutan mereka untuk sebuah negara Islam, atau
untuk pasal-pasal konstitusional atau legal, yang akan merupakan pengakuan
formal atas Islam oleh negara.
Kekhawatiran
Sukarno memang beralasan, apalagi ketika rentang tahun 1948 dan tahun 1962
terjadi pemberontakan Darul Islam melawan pemerintah pusat. Serangan
pemberontakan bersenjata yang berideologi Islam di Jawa Barat, Sulawesi
Selatan, dan Aceh meski akhirnya dapat ditumpas oleh Tentara Nasional
Indonesia, tetap saja menjadi bukti kongkret dari ‘ancaman Islam’. Bahkan atas
desakan AH. Nasution, kepala staf AD, tahun 1959, Sukarno mengeluarkan Dekrit 5
Juli 1959 untuk kembali kepada UUD 1945 dan menjadikannya sebagai satu-satunya
konstitusi legal Republik Indonesia. Perdebatan persoalan ideologi tahun-tahun
1959-an dianggap telah menyita energi, sementara masalah lain belum dapat
diselesaikan. Apalagi periode 1959 sampai peristiwa 30 September 1965 merupakan
masa paling membingungkan pemerintah, dengan munculnya kekuatan PKI yang
berusaha menggulingkan pemerintahan.
Era ini
disebut sebagai Demokrasi terpimpin, sebuah periode paling labil dalam struktur
politik yang justru diciptakan oleh Sukarno. Pada era ini juga Sukarno
membubarkan partai Islam terbesar, Masyumi, karena dituduh terlibat dalam
pemberontakan regional berideologi Islam. Dalam periode Demokrasi Terpimpin
ini, Sukarno juga mencoba membatasi kekuasaan semua partai politik, bahkan
pertengahan 1950-an, Sukarno mengusulkan agar rakyat menolak partai-partai
politik karena mereka menentang konsep musyawarah dan mufakat yang terkandung
dalam Pancasila. Dalam rangka menyeimbangkan secara ideologis kekuatan-kekuatan
Islam, nasionalisme dan komunisme, Sukarno bukan saja menganjurkan Pancasila
melainkan juga sebuah konsep yang dikenal sebagai NASAKOM, yang berarti
persatuan antara nasionalisme, agama dan komunisme. Kepentingan-kepentingan
politis dan ideologis yang saling berlawanan antara PKI, militer dan Sukarno serta
agama (Islam) menimbulkan struktur politik yang sangat labil pada awal tahun
1960-an, sampai akhirnya melahirkan Gerakan 30 S/PKI yang berakhir pada
runtuhnya kekuasaan Orde Lama.
Era Orde Baru (1965-1985):
Awal dari Sebuah Legitimasi Kekuasaan
Peristiwa percobaan kudeta
30 September 1965 yang melibatkan Partai Komunis Indonesia telah membawa
perubahan besar dalam sejarah politik Indonesia. Peristiwa penumpasan terhadap
G 30 S/PKI dibawah komando Letjen Soeharto memberikan legitimasi politik atas ‘kesaktian’
Pancasila tanggal 1 Oktober 1965, sebagai momentum betapa PKI tidak berhasil
dan tidak pernah didukung oleh TNI dan rakyat untuk menggantikan ideologi
negara (Pancasila) dengan ideologi komunis. Tampilnya Pangkostrad Lentjen
Soeharto dalam penumpasan pemberontakan G 30 S/PKI tersebut adalah sejarah baru
bagi terjadinya peralihan kekuasaan dari Sukarno (Orde Lama) ke Suharto (Orde
Baru).
Pada awal kekuasaannya,
Soeharto berusaha meyakinkan bahwa rezim baru ini adalah pewaris sah dan
konstitusional dari presiden pertama. Dari khasanah ideologis Sukarno,
pemerintah baru ini mengambil Pancasila sebagai satu-satunya dasar negara dan
karena itu merupakan resep yang paling tepat untuk melegitimasi kekuasaannya.
Penamaan Orde Baru dimaklumkan sebagai keinginan untuk memberikan pemahaman
kepada masyarakat atas munculnya keadaan baru yang lebih baik daripada keadaan
lama. Reorientasi ekonomi, politik dan hubungan internasional ditambah
stabilitas nasional adalah langkah awal yang ditegakkan oleh Orde Baru.
Kekuasaan awal Orde Baru
sanggup memberikan doktrin baru kepada masyarakat bahwa setiap bentuk kudeta
atas pemerintahan yang sah dengan mencoba mengganti ideologi Pancasila adalah
salah dan harus ditumpas sampai ke akar-akarnya. Tampaknya ‘propaganda’ itu
berhasil, sehingga tampak jelas ketika rentang Oktober 1965 sampai awal 1966,
terjadi peristiwa kekerasan massal yang luar biasa dasyatnya, yaitu
‘pembantaian’ orang-orang yang dicurigai berafiliasi terhadap komunis.
Instabilitas nasional di
bawah Demokrasi Terpimpin serta percobaan kudeta tersebut meyakinkan banyak
pihak, bukan saja pihak militer, akan pentingnya men’depolitisasi’ masyarakat.
Koalisi Orde Baru, yang terdiri dari militer (sebagai kekuatan dominan),
kelompok pemuda-pelajar, Muslim, intelektual, demokrat, dsb, berhasil memberi
dukungan yang diperlukan untuk menggulingkan Sukarno dalam bulan Maret 1966.
Mulai saat itulah, Orde Baru menancapkan pengaruhnya dengan menfokuskan pada
Pancasila dan meletakkannya sebagai pilar ideologi rezim. Pancasila –kemudian-
menjadi suatu pembenaran ideologis untuk kelompok yang berkuasa, tidak lagi
hanya merupakan suatu platform bersama
di mana semua ideologi bisa dipertemukan. Pancasila menjadi semakin diresmikan
sebagai ideologi negara, di luar realitas Pancasila tidak sah digunakan sebagai
ideologi negara. Tampaknya keinginan awal itu berhasil menguatkan kekuasaan
Orde Baru dan memberikan jaminan stabilitas nasional yang mantap daripada Orde
Lama.
Bagi Orde Baru, berbagai
bentuk perdebatan mengenai ideologi negara, utamanya antara kelompok Islam
versus nasionalis, ternyata tidak semakin membuat stabilitas nasional berjalan
dengan baik, tetapi justru struktur politik labil yang lebih mengedepan.
Belajar dari tragedi sejarah Orde Lama yang ‘agak’ serba permisif dalam memberikan ‘ruang’ bagi tumbuhnya ideologi lain,
justru berkakbat fatal bagi berlangsungnya stabilitas kekuasaan tersebut.
Itulah sebabnya, Suharto
beserta tokoh penting Orde Baru seperti Adam Malik, menggambarkan betapa
pentingnya Pancasila bagi Orde Baru. Pancasila kemudian menjadi kekuatan paling
efektif untuk meminimalisasi kemungkinan munculnya kekuatan di luar negara.
Tampaknya di awal kekuasaannya, Orde Baru berhasil menyelesaikan masalah
legitimasi ideologisnya. Akhirnya tahun 1966 dan 1967, dasar-dasar negara suatu
pemerintah yang dilegitimasi oleh ideologi Pancasila mulai diletakkan.
Menjelang pertengahan 1966, MPRS telah berhasil membersihkan dirinya dari semua
pendukung Sukarno. Sehingga, lembaga ini semakin memperoleh legalisasi untuk mengesahkan
pengambilalihan kekuasaan oleh Letjend Soeharto, tanggal 5 Juli 1966 serta
berhasil menjelaskan ‘penyelewengan-penyelewengan’ dalam pelaksanaan Pancasila
dan Konstitusi yang telah terjadi selama Orde Lama di bawah Sukarno.
Ditetapkannya Ketetapan
MPRS No. XX/MPRS/1966 yang menyatakan bahwa Orde Baru yang dipimpin oleh Letjen
Soeharto didasarkan pada UUD dan Pancasila dan akan melaksanakan tujuan-tujuan
Revolusi. Ketetapan ini dengan tegas mengakui keabsahan, legalitas,dan semangat
revolusioner UUD dan Pancasila. Dan yang lebih penting lagi adalah MPRS
mengatakan bahwa sumber tertinggi hukum nasional adalah ‘semangat’ Pancasila
yang diakui MPRS merupakan cerminan dari karakter nasional serta Pembukaan UUD
yang di dalamnya asas-asas Pancasila ditegaskan, itu lebih tinggi daripada
Batang Tubuh UUD 1945.
Pada ulang tahun kedua
puluh ‘Lahirnya Pancasila’ tahun 1967, Persiden Soeharto dan Adam Malik
mengucapkan pidato-pidato yang menegaskan pendasaran legitimasi Orde Baru
kepada Pancasila. Pancasila dianggap melegitimasi Orde Baru, membenarkan
penurunan Sukarno, mendelegitimasi Islam (sebagai kekuatan politik) dan
komunisme, serta menjanjikan masa depan yang lebih baik bagi semua rakyat
Indonesia melalui peningkatan kemakmuran nasional. Kedua tokoh sentral Orde
Baru tersebut menolak demokrasi liberal, yang pernah dijalankan oleh Orde Lama
dengan UUD 1950-nya, karena dianggap sebagai ‘penyelewengan’ dari tujuan asli
Pancasila. Menurut Orde Baru, Sukarno benar, ketika dia menolak sistem
demokrasi parlementer dan membubarkan Konstituante serta menerapkan Demokrasi
Terpimpin. Dosa terbesar Sukarno terhadap Pancasila adalah karena ia memberi
dorongan kepada PKI, yang jelas anti-Pancasila, karena komunisme tidak sesuai
dengan asas pertama, kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pernyataan tegas dan
sering diulang-ulang oleh kekuasaan Suharto adalah ‘perjuangan dan keyakinan
Orde Baru hanyalah untuk melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen ?’. Pernyataan
ini jelas menunjukkan bahwa tidak boleh ada penafsiran resmi tentang Pancasila
kecuali dari pemerintah yang berkuasa.
Pada kekuasaan Orde Baru inilah Pancasila
benar-benar menjadi kekuatan ideologis paling efektif dalam usahanya
menancapkan ‘kuku’ kekuasaannya. Orde Baru menjadi kekuatan yang membela secara
jelas Pancasila sebagai ideologi, sehingga setiap ancaman besar terhadap bangsa
(kekuasaan), merupakan ancaman erhadap Pancasila, dan buktinya semua bentuk
pemberontakan dapat dihancurkan. Adam Malik menunjuk pada Ketetapan MPRS No.
XX/MPRS/1966 sebagai bukti bahwa Pancasila memang merupakan suatu sumber hukum
legal dan ‘moral’, otoritas, dan legitimasi yang tertinggi di Indonesia.
Pancasila –dengan demikian- tidak bisa dilaksanakan bila terdapat unsur-unsur
dalam bangsa yang tidak sesuai dengan ‘kepribadian nasional, misalnya ‘ideologi
asing’ yang menganjurkan diadakannya partai-partai politik oposisi, seperti di
Barat.
Realitas ini menjadi suatu
bukti betapa dalam perkembangan politik nasional era Orde Baru sangat sulit
diperoleh kekuatan di luar negara yang berani kritis atas negara. Disamping
hanya akan diberangus sampai ke akar-akarnya, gerakan oposisi justru hanya akan
menambah kekacauan dalam masyarakat. Dalam keadaan tertentu, realitas munculnya
oposisi tidak sesuai dengan Pancasila. Itulah bukti betapa Orde Baru seolah
tidak bisa dilepaskan dari Pancasila, karena bagaimanapun Pancasila adalah
titik tolak dari rezim ini. Dengan sebuah argumentasi menarik, Adam Malik
mengatakan bahwa karena itu Orde Baru memiliki suatu ‘keyakinan yang dalam untuk mengabdi kepada rakyat dan mengabdi kepada
kepentingan nasional didasarkan pada falsafah Pancasila’.
Demikianlah awal dimana kekuasaan Orde Baru telah
berhasil meyakinkan masyarakat tentang konsistensinya dalam mempertahankan
Pancasila sebagai ideologi negara. Bahkan sanggup pula menggunakan Pancasila
sebagai alat untuk memberikan legitimasi atas kekuasaan, untuk semakin kokoh,
tanpa terusik oleh kekuatan-kekuatan lain yang merongrongnya. Orde Baru menjadi
identik dengan Pancasila, sehingga setiap usaha mengkritisinya ‘dicurigai’
sebagai usaha untuk mengubah ideologi negara, dan itu harus ditumpas habis,
tidak saja oleh aparatur negara represif –meminjam istilah Althuser- seperti
presiden, menteri, ABRI dan lembaga kehakiman, tetapi juga oleh aparatur negara
ideologis, seperti lembaga keagamaan, pendidikan, media massa, dan sebagainya.
Douglas E. Ramage mengatakan bahwa meskipun penggabungan
partai-partai yang ‘dipaksakan’ pada tahun 1973 merupakan contoh jelas dari
ketergantungan pemerintah kepada ideologi nasional untuk menciptakan demokrasi
Pancasila dan melegitimasi tindakan-tindakannya, tetapi baru pada tahun 1978
pemerintah Orde Baru melakukan ofensif ideologi yang dimaksudkan untuk
menetapkan lebih lanjut parameter-parameter dan kendali-kendali atas wacana
politik di Indonesia. Puncaknya pada tanggal 22 Maret 1978, MPR mengesahkan
sebuah ketetapan tentang ‘Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4)’.
Ketetapan ini menjadi sangat penting karena dikaitkan dengan pedoman MPR untuk
rencana pembangunan lima tahun. Dengan P4 ini dimulailah program indoktrinasi
Pancasila secara nasional melalui program-program pendidikan ideologi yang
dilaksanakan secara ketat.
Selama
pembahasan-pembahasan di MPR tahun 1978 mengenai rancangan ketetatapan P4,
faksi NU dalam PPP melakukan protes dengan walk
out dari Majelis. Menurut Sidney Jones, pada saat itu NU adalah organisasi
massa (Islam) terakhir di negara Indonesia yang masih memiliki
aspirasi-aspirasi politik dan karena ini ‘dicurigai’ oleh rezim karena pada
tahun 1971 menolak untuk mematuhi pedoman-pedoman Orde Baru tentang perilaku
politik dan kemudian tahun 1981, NU menolak mendukung Soeharto untuk masa
jabatan ketiga atau memberinya gelar ‘Bapak Pembangunan’ Dengan perkataan lain,
NU masih bertindak seakan-akan sebuah partai yang independen. Perilaku seperti
ini membuat NU menjadi sasaran tuduhan ‘anti-Pancasila’ oleh rezim, sebagaimana
dalam sebuah pidato Presiden Soeharto tahun 1980 ketika dia menyerang walk out-nya NU dengan tuduhan seperti
itu.
Semenjak itu,
Presiden Orde Baru mulai secara tegas dan keras terhadap setiap ‘kekuatan’ yang
tidak mau menerima Pancasila sebagai ideologi. Tanggal 27 Maret dan 16 April
1980, Presiden Suharto mengeluarkan peringatan tersebut melalui pidatonya pada
Rapim ABRI di Pekanbaru. Dia mengatakan bahwa sebelum Orde Baru, Pancasila
telah diancam oleh ideologi-ideologi lain, seperti Marxisme, Leninisme,
komunisme, sosialisme, nasionalisme dan agama. Setiap organisasi di negara ini
harus menerima Pancasila sebagai ideologi, sehingga merupakan keharusan bahwa
angkatan bersenjata mendukung kelompok-kelompok yang membela dan mengikuti
Pancasila. Soeharto, bahkan mengisyaratkan agar ABRI harus mendukung partai
Golkar, sebagai konsekuensi dukungan atas pemerintahan yang membela Pancasila.
ABRI –dengan demikian- harus berdiri di atas politik. Menurut David Jenkis,
Soeharto dan kroninya di ABRI merasa bahwa jika militer ‘netral’ dalam pemilu,
maka partai Islam (PPP) akan mengalahkan Golkar. Dari pidato-pidato Soeharto,
Islam jelas digambarkan sebagai ancaman terhadap Pancasila, karena itu
netralitas ABRI sama saja dengan membahayakan Pancasila.
Dengan demikian, perjalanan panjang Orde Baru pada
dasarnya didasarkan pada keinginan untuk ‘menguatkan’ dan ‘menancapkan’
ideologi Pancasila sebagai satu-satunya ideologi sah negara. Dengan
‘berlindung’ dibalik ideologi Pancasila, Orde Baru yang didukung kino-kinonya (ABRI, Golkar dan
Birokrasi) menjadi kekuatan ‘luar’ biasa di negara Indonesia, tanpa dapat
disentuh oleh kekuatan manapun. Sebab, setiap kekuatan di luar mainstream
‘negara’ saat itu akan dianggap sebagai merongrong ideologi Pancasila. Setelah
ideologi komunisme mampu ditumpas, maka Soeharto masih menganggap ada kekuatan
lain yang ‘berbahaya’, yaitu yang datang dari kekuatan Islam.
Apa yang dilakukan Soeharto tersebut memperoleh kecaman
dan menimbulkan cetusan perlawanan keras dan hidupnya kembali perdebatan
mengenai Pancasila. Kelompok lima puluh yang terdiri dari para purnawirawan
ABRI yang terkemuka, mantan para pemimpin partai dan akademisi (disebut ‘Petisi
50’) menyerang Soeharto dalam suatu pernyataan keprihatinan’ terbuka yang
dikirim ke DPR. Pernyataan itu menuduh bahwa Soeharto telah memakai ‘alasan’
ancaman terhadap Pancasila untuk tujuan-tujuan politiknya sendiri. Petisi 50 menganggap
bahwa Pancasila tidak pernah dimaksudkan untuk dipakai sebagai ancaman politik
terhadap mereka yang dianggap sebagai lawan-lawan politik. Pernyataan ini
mengecam Soeharto, karena mencoba mem-personifikasi-kan
Pancasila sehingga tiap desas-desus tentang dia akan dianggap sebagai sikap
anti-Pancasila. Reaksi tersebut berakibat pada di back-list-nya mereka oleh pemerintah, dan banyak dari mereka
ditangkapi, dipecat dan dilarang ke luar negeri. Tapi, ikhtiar ini telah memicu
bangkitnya perlawanan atas pemerintah Orde Baru, terutama faksi NU dari PPP.
Ditetapkannya Pancasila sebagai asas tunggal pada
perkembangan selanjutnya adalah semakin memperjelas arah kepentingan politik
negara dengan menggunakan ideologi Pancasila. Semua organisasi, apapun bentuk dan
jenisnya, harus mencantumkan Pancasila sebagai asas dalam anggaran dasarnya.
Menurut William Liddle menjelaskan mengapa asas tuinggal itu demikian penting
bagi Orde Baru:
Pemerintah
memandang islam sebagai satu-satunya kekuatan sosial yang belum berhasil
ditundukkan, belum bersedia menerima gagasan pemerintah tentang pemegang
kekuasaan tertinggi. Diterimanya doktrin negara Pancasila oleh umat Islam
merupakan simbol dari pengakuan. Penerimaan ini juga memberikan legitimasi
kepada kendali pemerintah yang semakin ketat terhadap kehidupan organisasional
umat Islam.
Bahkan, pada bulan Mei 1982 Wakil Presiden Adam Malik dengan tegas menunjuk
Islam politik sebagai sasaran utama pemerintah:
Kita harus menghindari perdebatan tentang ideologi
dan agama....Dalam kampanye (pemilu 1982) saya telah menekankan bahayanya
memecah dan mempolarisasi diri kita sendiri menuruti garis agama. Disengaja
atau tidak, partai Islam telah mengeksploitasi perasaan-perasaan keagamaan
rakyat. Ini tidak benar dan bisa membahayakan, suatu cara untuk memecah belah
rakyat.
Peristiwa
berdarah di Tanjung Priok pada bulan September 1984 merupakan puncak ketegangan
(politik-ideologis) antara kekuatan Islam versus Pancasila. Hal ini dikarenakan
adanya persepsi dalam sebagian
komunitas Islam bahwa negara memakai Pancasila sebagai alat ideologis untuk
menindas Islam politik. Peristiwa tersebut kemudian diikuti oleh serangkaian
pengeboman pada bulan Oktober, yang menurut pemerintah dilakukan oleh ekstremis
Islam anti-Pancasila di pusat kota Jakarta. Anggota-anggota Petisi 50, termasuk
Mayjen (Purn) Dharsono, ditangkap dan diadili dengan tuduhan subversi
(anti-Pancasila) karena menghasut peristiwa Tanjungpriok dan pengeboman di
Jakarta.
Pada era
1990-an, kekuasaan Orde Baru semakin memperoleh hati di masyarakat dengan
kebijakan pertumbuhan ekonomi yang cukup mengesankan. Bank Dunia, dalam suatu
laporan September 1993 yang dikutip The
East Asian Miracle menunjuk Indonesia sebagai suatu ‘ekonomi Asia Timur
yang berkinerja tinggi’ dan meramalkan bahwa negara ini akan memasuki
bangsa-bangsa yang ber-income-menengah
menjelang peralihan abad. Janji Orde Baru pada pertengahan tahun 1960-an
tentang peningkatan besar dalam GNP dan pendapatan per kapita pada kenyataannya
telah dipenuhi. Standar kehidupan rakyat telah membaik secara dramatis.
Realitas ini semakin menguatkan citra Orde Baru dihadapan rakyatnya. Bahkan
telah berhasil membangun image
tentang kebobrokan ekonomi Orde Lama dan keberhasilan ekonomi Orde Baru.
Kebobrokan ekonomi Orde Lama disebabkan karena ‘terlalu sibuk’ melakukan
perdebatan panjang tentang ideologi negara, bahkan cenderung melakukan
penyelewengan atas Pancasila. Artinya, bagi Orde Baru, konsekuensi-konsekuensi
penyelewengan tersebut adalah kondisi perekonomian yang kacau dan ketidakstabilan
politik.
Era ini
ditandai dengan adanya kemesraan antara pemerintahan Orde Baru dengan kekuatan
Islam, bahkan dengan didirikannya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI),
bulan Desember 1990. Kemesraan tersebut seolah menandai berakhirnya konfrontasi
ideologi antara kekuatan Islam dengan Pancasila. Stabilitas politik pada era
ini telah menjamin terselenggaranya pembangunan secara bertahap dan membaiknya
pertumbuhan ekonomi masyarakat pada umumnya. Meskipun Sri Bintang Pamungkas,
tokoh PPP (saat itu) dan pengurus ICMI justru mempersoalkan adanya
penyelewengan Pancasila utamanya tentang asas
keadilan sosial yang tidak terpenuhi dalam pertumbuhan ekonomi tersebut.
Era Reformasi
:
Antara
Demokrasi dan Anarkhi
Penyelewengan
masa Orde Baru pada akhirnya berakibat pada gelombang besar reformasi yang
telah berhasil menggulingkkan kekuatan Orde Baru, Mei 1997, dengan turunnya
Soeharto dari kursi kepresidenan setelah 32 tahun menjadi presiden. Munculnya
reformasi seolah menandai adanya jaman baru bagi perkembangan perpolitikan
nasional sebagai anti-tesis dari Orde Baru yang dikatakan sebagai pemerintahan
korup dan menindas, dengan konformitas ideologinya. Pada era ini, kemudian
berkembang secara pesat keinginan untuk ‘mengkhayalkan’ terbentuknya masyarakat
sipil yang demokratis dan berkeadilan sosial, tanpa kooptasi penuh dari negara.
Persoalannya adalah justru lepas kendalinya kekuatan masyarakat sipil dari
‘kooptasi’ negara secara bebas dari awal dari tragedi besar dan konflik-konflik
berkepanjangan yang menandai munculnya jaman baru tersebut. Tampaknya era ini
seperti mengulang problem perdebatan ideologis yang terjadi pada era Orde Lama,
dan awal Orde Baru yang berakhir dengan instabilitas politik dan ekonomi secara
mendasar. Jatuhnya Orde Baru yang sejak awal mengidentifikasikan sebagai
–satu-satunya- pendukung Pancasila, seolah menandai munculnya
pertanyaan-pertanyaan mendasar atas kekuatan Pancasila sebagai sebuah ideologi.
Tulisan dibawah ini mencoba menggagas ulang sekaligus meneguhkan kekuatan
Pancasila sebagai ideologi, dan memberikan spirit nilainya bagi pembentukan
masyarakat sipil di Indonesia, agar kesalahan sejarah tidak terulang lagi
(Sumber : Buku (De)
Konstruksi Indoeologi Negara : Upaya Membaca Ulang Pancasila, Listiyono
Santoso, Heri Santoso dan Soedarso, 2003, Penerbit Ning-Rat Press, Yogyakarta)
No comments:
Post a Comment