Balai Kota Banda Aceh (sumber gambar: nelva-amelia.blogspot.com) |
Dikarenakan
Banda Aceh merupakan pusat kota dan pusat pemerintahan, dan juga menjadi
sentral pendidikan dan ekonomi, membuat penduduk seantero Aceh baik dari
pesisir Barat-Selatan hingga pesisir Utara-Timur berbondong-bondong untuk hijrah ke kota yang dulunya dikenal
dengan Kutaraja “City of The King” ini, dan eksodus besar-besaran demi mencari
kehidupan yang layak tersebut akhirnya mampu menjadikan Kota Banda Aceh sebagai
miniatur dari Propinsi Aceh.
Banda Aceh di Mata Nasional
Pengalaman
menarik saya dapatkan ketika mengenyam pendidikan sarjana di luar Aceh.
Kebetulan saya memiliki banyak kenalan yang berasal dari berbagai daerah yang
ada di Indonesia, dan mereka memiliki pandangannya masing-masing mengenai Aceh.
Contohnya saja, mereka sangat mengagumi Aceh karena syariat islamnya, ada satu
teman yang berasal dari Madura secara terang-terangan menyatakan iri dengan
keistimewaan yang diberikan pemerintah pusat untuk Aceh, dia sempat
mengutarakan jika berharap suatu saat daerahnya juga bisa menikmati hidup
dibawah naungan syariat islam.
Cerita
menarik lainnya saya alami pada saat awal perkuliahan yakni pada masa orientasi
kampus, ketika saya menyebutkan asal saya dari Aceh, tiba-tiba muncul suara
yang entah dari mana asalnya meneriakkan “woi ganja.. woi ganja..”. Ya diluar
sana Aceh kadung terkenal dengan
negeri penghasil Ganja terbaik di Indonesia, apakah layak untuk disebut sebagai
sebuah prestasi? Tidak, bagi saya itu merupakan sebuah aib bagi negeri Serambi
Mekkah ini. Dan lucunya lagi pernah ada teman sekampus yang iseng meminta saya
untuk mebawakan oleh-oleh berupa mainan Bob Marley (if do you know what I mean?) untuk mereka, haha.. ada-ada saja.
Pernah
juga ketika di dalam kelas, salah satu dosen saya yang telah melalang buana
melakukan penelitian diseluruh penjuru Indonesia, menceritakan kisah hebatnya
dalam menaklukkan nusantara. Tiba saat beliau mengisahkan pengalamannya ketika
berada di Aceh, tanpa basa-basi beliau langsung menyerang masyarakat Aceh
dengan kata-kata beu’o alias pemalas.
Beliau menyindir keras terhadap perilaku minum kopi yang sudah membudaya di Aceh. Bukan aktivitas ngopi sambil ngobrol
yang dipermasalahkannya, namun yang menjadi titik kekesalannya adalah duduk di
kedai kopi yang tidak mengenal batas waktu. Tentu sudah menjadi tontonan
sehari-hari bagi orang Aceh melihat bagaimana tua-muda, siang- malam,
minimal menghabiskan waktunya dua jam untuk bersantai di kedai kopi, apalagi akhir-akhir
ini dengan adanya fasilitas wifi dihampir
setiap kedai kopi membuat para pemudanya betah duduk berjam-jam hanya untuk online (ngucapinnya sambil nyanyi
lagunya Saykoji).
Begitulah
kira-kira beberapa pandangan populer masyarakat luar terhadap Banda Aceh, ada
yang memandang baik ada juga yang memandang kurang baik, dan semua itu
disampaikan menurut apa yang terlihat melalui kaca mata mereka.
Jika
Aceh sudah terlanjur terkenal sebagai eksportir cannabis nomor wahid di Indonesia, mari kita hapus kenangan
tersebut dengan cara mengenalkan Banda Aceh sebagai destinasi Wisata Syariah
nomor satu di Asia Tenggara. Walaupun sangat disayangkan beberapa waktu lalu Kementrian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) telah menawarkan sembilan objek wisata syariah,
dan tidak ada nama Aceh di daftar tersebut. Memang cukup mengherankan bagi
publik mengapa Aceh tidak masuk kedalam paket wisata syariah Indonesia, padahal
jika dikaji secara kultural Aceh paling potensial, mungkin saja kemarin Ibu Menteri Mari Elka
Pangestu lupa menyebutkan (maksa banget.. hehe). Dan pada dasarnya sebelum penetapan sembilan objek wisata syariah oleh Kemenparekraf tersebut, Pemerintah Kota Banda Aceh jauh-jauh hari memang telah merencanakan untuk menjadikan Banda Aceh sebagai "Bandar Wisata Islami", jadi walaupun tidak disiapkan oleh pemerintah pusat sebagai objek wisata syariah, Banda Aceh secara mandiri memang sudah menyiapkan diri sebagai destinasi wisata syariah, jadi tinggal eksekusinya saja.
suasana kedai kopi di Aceh yang tidak pernah sepi pengunjung (sumber gambar: uniqpost.com) |
- Ada batasan minimal waktu yang harus dipatuhi oleh pengunjung, misalnya maksimal satu jam, dan ini sesuai dengan amalam dalam islam, karena suka menyia-nyiakan waktu bukan ciri orang muslim, seperti yang diterangkan dalam Al-Quran surat Al-‘Asr bahwasanya orang yang menyia-nyiakan waktu adalah orang-orang yang sangat merugi. Dan jika tidak mematuhi aturan tersebut maka akan dikenakan denda sekian rupiah, serta hukuman larangan mendekati warung kopi selama sekian hari.
- Menjamurnya warung kopi di Banda Aceh sebenarnya perkembangannya bisa ditekan secara halus, misalnya dengan membuat aturan bahwa jarak antara satu kedai kopi dengan kedai kopi lainya tidak boleh kurang dari satu kilometer, dengan begitu mampu mengurangi sesaknya warung kopi di jalanan, karena kondisi yang terjadi sekarang, kiri-kanan, depan-belakang, ada warung kupi. Ya tentu saja peraturan ini berlaku bagi calon pengusaha warung kopi yang baru, karena tidak mungkin aturan ini diterapkan untuk warung kopi yang sudah terlanjur berdiri.
Masyarakat Aceh boleh saja kesal ataupun marah terhadap kritikan pedas yang datang dari luar,
namun kita tidak harus balik menyerang dengan mencari-cari kesalahan orang
lain, akan lebih baik jika kita melakukan instrospeksi diri, karena apa yang
dikatakan bisa jadi itu sebuah kebenaran, dan seharusnya kritikan tersebut bisa
menjadi motivasi untuk mencari solusi permasalahan demi menuju sebuah perubahan
yang lebih baik.
Cita-cita Banda Aceh Kota Madani
banner HUT Kota Banda Aceh yang ke 809 (sumber gambar: seputaraceh.com) |
Konsep
kota madani sendiri sebenarnya berhubungan erat dengan istilah civil society. Dalam perspektif Islam, civil society lebih mengacu kepada
penciptaan peradaban. Dimulai dengan kata Ad-Din yang umumnya diterjemahkan
sebagai agama yang berkaitan dengan makna Tamadun atau peradaban. Keduanya
menyatu dengan pengertian Al-Madinah yang arti harfiahnya adalah kota. Dengan
demikian makna civil society sebagai masyarakat
madani mengandung 3 hal yakni, agama, peradaban, dan perkotaan. Dari konsep ini
tercermin agama merupakan sumber, peradaban adalah prosesnya dan masyarakat
kota adalah hasilnya (Rahardjo, 1999).
Jika
mengacu pada pendapat diatas maka Banda Aceh Kota Madani belum sepenuhnya layak
disebut sebagai kota yang madani. Mari kita lihat bagaimana kondisi Banda Aceh Kota Madani menurut tiga unsur yang telah disebutkan diatas:
- Agama. Pelaksanaan syari’at islam di Aceh disertai dengan jaminan kebebasan beragama. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh disebutkan bahwa pelaksanaan syari’at islam di Aceh hanya diberlakukan bagi yang beragama islam saja. Dengan demikian yang tidak beragama islam tidak akan dipaksa untuk mengikuti hukum atau peraturan yang didasarkan kepada syari’at islam tersebut, agama selain islam diberikan kebebasan untuk menjalankan ibadah dan keyakinan masing-masing. Hal yang terjadi di Aceh ternyata sesuai dengan keadaan kota madani Madinah pada zaman Rasulullah. Kebebasan beragama telah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Dalam Piagam Madinah yang ditandatangani oleh berbagai pihak masyarakat Madinah terutama pada pasal 25 menyatakan bahwa “kaum Yahudi adalah satu umat dengan Mukminin, bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum Muslimin agama mereka”. Dari sinilah ditetapkan prinsip-prinsip kebebasan beragama seperti yang telah diterapkan oleh baginda Nabi Muhammad SAW.
- Peradaban. Suatu peradaban maju mundurnya dilihat dari kehidupan masyarakatnya. Syariat islam di Aceh hadir untuk mengatur kehidupan masyarakat Aceh demi menuju ke peradaban yang lebih baik. Namun realitanya syariat islam yang telah diberlakukan sejak tahun 2001 tersebut belum mampu menjadi benteng yang kokoh dalam memerangi kemaksiatan, contoh kecilnya saja dalam hal membatasi pergaulan muda-mudi di Banda Aceh Kota Madani. Lihat saja masih banyak dijumpai di jalanan yang bukan muhrim saling berboncengan mesra dengan ngangkang style binti gangnam style. Yang lebih fenomenal lagi, masih terbesit di ingatan beberapa bulan yang lalu, salah satu media cetak di Aceh mengeluarkan berita laporan eksklusifnya “Sisi Gelap ABG Aceh” (25/03/2014), lalu menyusul satu bulan kemudian “Illiza Pimpin Gerebek Hotel” (28/04/2014). Masih ada segelintir masyarakat Banda AcehKota Madani yang belum mengamalkan syariat islam, masih ada segelintir masyarakat Banda Aceh Kota Madani yang mengacuhkan syariat islam. Dimanakah letak kesalahannya? Apakah kesadaran dari masyarakat yang masih sangat rendah? Atau implementasi dari pemerintah yang masih setengah hati?. Dari contoh kecil di atas dapat disimpulkan bahwa peradaban yang dicita-citakan untuk membentuk masyarakat madani seperti zaman Rasulullah masih sangat jauh dari ekspektasi.
- Perkotaan. Banda Aceh Kota Madani mengalami perkembangan yang cukup pesat dalam hal pembangunan kota, terutama sejak dipimpin dibawah komando Alm. Mawardy Nurdin yang baru saja dianugerahi sebagai Bapak Pembangunan Kota Banda Aceh pada ajang Banda Aceh Madani Award 2014 beberapa bulan yang lalu. Berbagai macam prestasi diukir dalam bidang kota dan tata ruang, seperti: Anugerah Piala Adipura, Anugerah Wahana Tata Nugraha, Juara Nasional PKPD-PU Bidang Penataan Ruang, Juara Nasional PKPD-PU Bidang Bina Marga. Dari serangkaian pembangunan dan sederet penghargaan yang diterima oleh Banda Aceh Kota Madani. Dari sisi tata ruang kota Banda Aceh Kota Madani telah memenuhi syarat untuk dikatakan sebagai sebuah perkotaan. Namun secara infrastruktur masih terdapat kekurangan yang harus dibenahi, terutama menyangkut pasokan listrik, karena selama ini kita masih belum bisa mandiri dan masih sangat bergantung kepada tetangga sebelah yaitu Sumatera Utara.
Pada
dasarnya bagi orang luar, Banda Aceh memiliki citra yang sangat positif, dan
semua itu berkat eksistensi dari syariat islam di Aceh. Syariat islam di Aceh
sebenarnya merupakan sebuah modal awal bagi Pemerintah Kota Banda Aceh untuk
membangun sebuah kota madani. Dan lebih daripada itu, niatan mulia Pemerintah
Kota Banda Aceh juga didukung oleh nilai-nilai historis, dibawah Kesultanan Aceh
Darussalam (1496-1903), dulu Banda Aceh sukses menjadi pusat peradaban islam di
Asia Tenggara. Kemudian jika berpatokan pada tiga aspek pembahasan diatas
(agama, peradaban, dan perkotaan), Banda Aceh tinggal memperbaiki aspek
peradaban (masyarakat) yang masih sangat kurang, dan lagi-lagi disini syariat
islam bisa dijadikan sebagai sebuah solusi. Dan juga tidak lupa kebutuhan terhadap kelengkapan infrastruktur yang masih kurang juga harus dipenuhi..
Alm. Mawardy Nurdin dan Illiza Sa'aduddin (sumber foto: ajnn.net) |
Keterangan
: Tulisan ini adalah karya yang saya ikut sertaka pada ajang “Madani Youth Blog
Competition” yang diselenggarakan oleh DPD KNPI Kota Banda Aceh.
Terimakasih atas informasinya.
ReplyDeleteSilahkan Baca www.horassumut.com Horas Sumut News adalah Portal Berita Online Sumut Indonesia | Berita Terbaru Hari Ini Terkini Terhangat | Daerah Nasional Internasional Politik Hukum Ekonomi Olahraga Kesehatan Selebritis Kpop Di :
www.horassumut.com
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete