Blognya Anak Kuliahan

Tuesday, January 24, 2012

Mubahalah : Sumpah Pocongnya Indonesia

January 24, 2012 2
Definisi Mubahalah
Mubahalah berasal dari kata bahlah atau buhlah, yang berarti melepaskan sesuatu dari ikatannya. Akan tetapi secara terminologi, mubahalah adalah memohon kutukan kepada Allah Swt untuk dijatuhkan kepada orang yang berdusta, sebagai bukti kebenaran salah satu pihak. Mubahalah dilakukan ketika orang-orang berdebat tentang masalah penting agama, lalu berkumpul di sebuah tempat dan memohon kepada Allah Swt untuk menghukum mereka yang berbohong dan menentang kebenaran.
Hukum mubahalah adalah Al-Jawaz (diperbolehkan) dan disyari'atkan ketika tampak kejelasan hujjah atas orang yng membantah, dan nampak jelas rusaknya tuduhannya. Apabila tidak mengakui dan tidak mau ikut, maka boleh mengajaknya kepada mubahalah.

Mubahalah Pada Zaman Nabi Muhammad
Pada tanggal 24 Dzulhijjah tahun kesepuluh Hijriah, Nabi Muhammad Saw melayangkan sebuah surat kepada kaum Nasrani Najran untuk menyeru mereka kepada agama Islam. Mereka yang tidak bersedia menerima Islam pada akhirnya mengutus pembesar-pembesar Nasrani untuk datang ke Madinah, lalu Nabi Saw membacakan beberapa ayat al-Quran tentang Isa bin Maryam. Ketika mereka menolak kebenaran itu, maka turunlah surat yang berbunyi : 
 "Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta." (Ali Imran:61)
Allah SWT sebelum menurunkan ayat mubahalah, terlebih dahulu menjelaskan tentang penciptaan Nabi Isa as dalam beberapa ayat sebelumnya. Langkah ini bertujuan mengajak Nasrani Najran menggunakan akal sehat dan logika dalam berdebat. Pada awal diskusi, Rasul Saw telah berusaha menyadarkan mereka dengan argumentasi-argumentasi yang kuat dan tegas. Namun, itu semua tidak membuat mereka sadar, tapi malah bersikeras pada keyakinannya. Pada akhirnya, Allah SWT pun menurunkan ayat tentang bernuhabalah.
Keesokan harinya, Nabi Muhammad SAW mengajak orang-orang terdekatnya untuk bermubahalah dengan Nasrani Najran. Mereka adalah Ali, Fatimah serta Hasan dan Husein. Akan tetapi, para wakil Nasrani membatalkan niat mereka dan memilih membayar jizyah daripada melakukan Mubahalah. Najran adalah sebuah derah di barat daya Arab Saudi, dekat perbatasan Yaman. Pada permulaan Islam, kawasan itu dihuni oleh kaum Nasrani yang mengikuti ajaran Nabi Isa as daripada menyembah berhala.
Di Indonesia, pada tahun 1930-an, A Hassan, tokoh Persatuan Islam (Persis) juga pernah menantang kelompok Ahmadiyah untuk bermubahalah. Namun tantangan mubahalah itu tak pernah berani dilakukan oleh Ahmadiyah sampai saat ini. Meski begitu, nabi palsu yang juga pentolan Ahmadiyah Mirza Ghulam Ahmad pernah melakukan mubahalah yang berakibat pada tewasnya Mirza Ghulam Ahmad dalam keadaan sakit parah di tempat buang hajat.

Amalan Hari Mubahalah
Dalam buku doa Mafatih al-Jinan, ada sejumlah amalan khusus yang dilakukan tepat di hari ini seperti berikut:
  • Mandi, amalan ini menunjukkan upaya untuk membersihkan badan lahiriah dari kotoran dan menandakan kesiapan jiwa untuk berhias dengan doa-doa yang akan dibaca.
  • Berpuasa, amalan ini membuat batin manusia menjadi lebih segar.
  • Melakukan dua rakaat shalat.
  • Membaca doa khusus hari Mubahalah yang disebut doa Mubahalah yang agak mirip dengan doa Sahar bulan Ramadhan.
  • Begitu juga di hari ini ditekankan agar membaca ziarah Amirul Mukmini, khususnya Ziarah Jamiah. Berbuat baik kepada orang miskin, mengikuti apa yang dilakukan oleh Imam Ali as yang di hari ini memberikan cincinnya kepada seorang peminta saat tengah melakukan ruku.

Sumpah Pocong
Sumpah pocong yang konon merupakan tradisi masyarakat pedesaan adalah sumpah yang dilakukan oleh seseorang dengan kondisi terbalut kain kafan layaknya orang yang telah meninggal. Sumpah ini tak jarang dipraktekkan dengan tata cara yang berbeda, misalnya pelaku sumpah tidak dipocongi tapi hanya dikerudungi kain kafan dengan posisi duduk.
Sumpah pocong biasanya dilakukan oleh pemeluk agama Islam dan dilengkapi dengan saksi dan dilakukan di rumah ibadah (mesjid). Di dalam hukum Islam sebenarnya tidak ada sumpah dengan mengenakan kain kafan seperti ini. Sumpah ini merupakan tradisi lokal yang masih kental menerapkan norma-norma adat. Sumpah ini dilakukan untuk membuktikan suatu tuduhan atau kasus yang sedikit atau bahkan tidak memiliki bukti sama sekali.
Di dalam sistem pengadilan Indonesia, sumpah ini dikenal sebagai sumpah mimbar dan merupakan salah satu pembuktian yang dijalankan oleh pengadilan dalam memeriksa perkara-perkara perdata, walaupun bentuk sumpah pocong sendiri tidak diatur dalam peraturan Hukum Perdata dan Hukum Acara Perdata. Sumpah mimbar lahir karena adanya perselisihan antara seseorang sebagai penggugat melawan orang lain sebagai tergugat, biasanya berupa perebutan harta warisan, hak-hak tanah, utang-piutang, dan sebagainya.
Dalam suatu kasus perdata ada beberapa tingkatan bukti yang layak diajukan, pertama adalah bukti surat dan kedua bukti saksi. Ada kalanya kedua belah pihak sulit menyediakan bukti-bukti tersebut, misalnya soal warisan, turun-temurunnya harta, atau utang-piutang yang dilakukan antara almarhum orang tua kedua belah pihak beberapa puluh tahun yang lalu. Bila hal ini terjadi maka bukti ketiga yang diajukan adalah bukti persangkaan yaitu dengan meneliti rentetan kejadian di masa lalu. Bukti ini agak rawan dilakukan. Bila ketiga macam bukti tersebut masih belum cukup bagi hakim untuk memutuskan suatu perkara maka dimintakan bukti keempat yaitu pengakuan. Mengingat letaknya yang paling akhir, sumpah pun menjadi alat satu-satunya untuk memutuskan sengketa tersebut. Jadi sumpah tersebut memberikan dampak langsung kepada pemutusan yang dilakukan hakim
Sumpah ada dua macam yaitu Sumpah Suppletoir dan Sumpah Decisoir. Sumpah Supletoir atau sumpah tambahan dilakukan apabila sudah ada bukti permulaan tapi belum bisa meyakinkan kebenaran fakta, karenanya perlu ditambah sumpah. Dalam keadaan tanpa bukti sama sekali, hakim akan memberikan sumpah decisoir atau sumpah pemutus yang sifatnya tuntas, menyelesaikan perkara. Dengan menggunakan alat sumpah decisoir, putusan hakim akan semata-mata tergantung kepada bunyi sumpah dan keberanian pengucap sumpah. Agar memperoleh kebenaran yang hakiki, karena keputusan berdasarkan semata-mata pada bunyi sumpah, maka sumpah itu dikaitkan dengan sumpah pocong. Sumpah pocong dilakukan untuk memberikan dorongan psikologis pada pengucap sumpah untuk tidak berdusta.

Wednesday, January 18, 2012

Muhammad Hasan Tiro : Sang "Wali Nanggroe"

January 18, 2012 9
Teungku Hasan Muhammad di Tiro (25 September 1925 – 3 Juni 2010) adalah pejuang sekaligus pahlawan bagi rakyat Aceh. Komitmennya untuk Aceh berdiri sendiri dalam bingkai Syariat Islam lewat kemerdekaan penuh yang tidak pernah padam, sebagaimana para pejuang Aceh lainnya dulu ketika menghadapi kolonialis Belanda. Komitmennya untuk Aceh tidak perlu dipertanyakan lagi. Jawa adalah bukti bahwa di Indonesia ada ketimpangan dan ketidak adilan, bahwasanya ada jurang pemisah antara Jawa-non Jawa. Kita mencatat, Hasan Tiro adalah sosok sentral yang mempertinggi posisi tawar Aceh di mata Jakarta, sehingga di taman raya Indonesia, Aceh mendapat status otonomi khusus yang luar biasa.
Beliau dapat ditempatkan sejajar dengan pemikir sekaliber Muhammad Hatta, Syahrir, Soekarno atau Marx dan Lenin sekalipun. Semangat patriotismenya bisa ditempatkan sebanding dengan Fidel Castro, Nelson Mandela atau George Washington.

Perjalanan Hidup
Hasan Tiro adalah Anak kedua pasangan Tengku Muhammad Hasan dan Pocut Fatimah ini lahir di Tiro 25 September 1925.
Hasan Tiro awalnya adalah seorang yang sangat nasionalis. Jauh sebelum mengobarkan perang total dengan Indonesia. Karena jenius, Hasan Tiro direkomendasikan Teungku Daud Beureueh kepada Perdana Menteri Indonesia waktu itu, Syafruddin Prawiranegara, untuk kuliah di UII. Hasan Tiro diterima di Fakultas Hukum dan tamat tahun 1949. Di universitas ini namanya tercatat sebagai pendiri Pustaka UII bersama Kahar Muzakkar, tokoh Sulawesi Selatan yang kelak menggerakkan pemberontakan DI/TII bersama Daud Beureueh dan Imam Kartosuwiryo (1953-1962).
Lulus dari UII, ia kemudian mendapat beasiswa dari pemerintah Indoensia untuk melanjutkan pendidikanya ke Amerika Serikat. Ia mengambil jurusan Ilmu Hukum International di Universitas Columbia. Setelah menyelesaikan program doktor ia masih sempat bekerja di KBRI di Amerika.
Pada tahun 1953, Aceh diguncang pemberontakan Darul Islam, yang dipimpin langsung oleh Teungku Daud Beureueh, Aceh melawan Jakarta, karena Soekarno dianggap ingkar janji. Dan Pandangan politiknya mulai berbalik 180 derajat ketika pemerintah Indonesia di masa Perdana Menteri Ali Sastroamidjo (1953-1955) mengejar pasukan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) hingga ke pedalaman Aceh. Menurut salah satu surat kabar di New York bahwa sekitar 92 warga sipil di Pulot, Cot Jeumpa Leupung, Aceh Besar, dibantai serdadu republik pada 26 Februari 1954. Ini ekses akibat ditembaknya belasan prajurit Indonesia oleh mujahidin DI/TII Aceh dua pekan sebelumnya. Karena para mujahid sudah menghilang dari kawasan itu, maka warga sipillah yang dijejerkan di pinggir laut, lalu ditembak mati. Hanya satu yang tersisa hidup. Ia pula yang membeberkan pembantaian sadis itu kepada Acha, wartawan Harian Peristiwa. Asahi Simbun, Washington Post, dan New York Times ikut melansir berita tersebut.
Dari kota “melting pot” New York, spontan ia layangkan surat pada 1 September 1954 kepada Perdana Menteri Indonesia Ali Sastroamidjojo. Ia desak Indonesia untuk segera minta maaf dan mengakui bahwa pembantaian warga sipil tersebut merupakan genosida (pembantaian etnis Aceh). Para pelaku dimintanya agar dihukum berat.
Menurut Hasan Tiro persoalan yang dihadapi Indonesia sesungguhnya bukan tidak bisa dipecahkan, tetapi Ali Sastroamidjojolah yang mencoba membuatnya menjadi sukar. Menurutnya jika Ali Sastroamidjojo mengambil keputusan untuk menyelesaikan pertikaian politik tersebut dengan jalan semestinya, yakni perundingan, maka keamanan dan ketentraman akan meliputi seluruh tanah air Indonesia pada saat itu.
Oleh karena itu, demi kepentingan rakyat Indonesia Hasan Tiro menganjurkan Ali Sastroamidjojo mengambil tindakan: Pertama, Hentikan agresi terhadap rakyat Aceh, rakyat Jawa Barat, Jawa Tengah, rakyat Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan rakyat Kalimantan. Kedua, Lepaskan semua tawanan-tawanan politik dari Aceh, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan rakyat Kalimantan. Ketiga, Berunding dengan Teungku Muhammad Daud Beureuh, S.M. Kartosuwirjo, Abdul Kahar Muzakar, dan Ibnu Hajar. Jika sampai pada tanggal 20 September 1954, anjuran-anjuran ke arah penghentian pertumpahan darah ini tidak mendapat perhatian Ali Sastroamidjojo, maka untuk menolong miliunan jiwa rakyat yang tidak berdosa yang akan menjadi korban keganasan agresi yang Ali Sastroamidjojo kobarkan, Maka Hasan Tiro dan putera-puteri Indonesia yang setia, akan mengambil tindakan-tindakan berikut:
  • Pertama, Kami akan membuka dengan resmi perwakilan diplomatik bagi Republik Islam Indonesia di seluruh dunia, termasuk di PBB, benua Amerika, Asia dan seluruh negara-negara Islam.
  • Kedua, Kami akan memajukan kepada General Assembly PBB yang akan datang segala atas kekejaman, pembunuhan, penganiayaan, dan lain-lain pelanggaran terhadap Human Right yang telah dilakukan oleh regime Komunis–Fasis Ali Sastroamidjojo terhadap rakyat Aceh. Biarlah forum Internasional mendengarkan perbuatan-perbuatan maha kejam yang pernah dilakukan di dunia sejak zamannya Hulagu dan Jenghis Khan. Kami akan meminta PBB mengirimkan komite ke Aceh. Biar rakyat Aceh menjadi saksi.
  • Ketiga, Kami akan menuntut regime Ali Sastroamidjojo di muka PBB atas kejahatan genoside yang sedang Ali Sastroamidjojo lakukan terhadap suku bangsa Aceh.
  • Keempat, Kami akan membawa ke hadapan mata seluruh dunia Islam, kekejaman-kekejaman yang telah dilakukan regime Ali Sastroamidjojo terhadap para alim ulama di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Tengah dan sebagian Kalimantan.
  • Kelima, Kami akan mengusahakan pengakuan dunia Internasional terhadap Republik Islam Indonesia, yang sekarang de facto menguasai Aceh sebagian Jawa Barat dan Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Tengah dan sebagian Kalimantan.
  • Keenam, Kami akan mengusahakan pembaikotan diplomasi dan ekonomi internasional terhadap regime Ali Sastroamidjojo dan penghentian bantuan teknik dan ekonomi PBB, Amerika Serikat dan “Colombo Plan”.
  • Ketujuh, Kami akan mengusahakan bantuan moral dan materi buat Republik Islam Indonesia dalam perjuangannya menghapus regime teroris Ali Sastroamidjojo dari Indonesia.
Setelah lewat 20 September 1954 anjuran-anjuran Hasan Tiro tidak diindahkan. Ali Sastroamidjojo kemudian mengirimkan delegasinya ke PBB untuk membuat serangkaian fitnah-fitnah keji kepada Hasan Tiro, diantaranya menyatakan bahwa Hasan Tiro mendapat sokongan dari golongan bukan Indonesia dan ancaman bahwa setiap campur tangan untuk membantu gerombolan Darul Islam akan ditolak dan pada hakekatnya merupakan perbuatan yang tidak bersahabat terhadap Republik Indonesia. Hasan Tiro berjuang keras di New York untuk memasukkan persoalan DI/TII ke dalam forum PBB dengan tujuan supaya kepada rakyat Aceh terutama diberi hak menentukan nasib sendiri (self determination). Akan tetapi usaha mulianya ini menemukan kegagalan.
Selain itu Pemerintah mencabut Paspor diplomatik Hasan Tiro supaya Hasan Tiro diusir dari Amerika akibatnya 27 September 1954 Hasan Tiro ditahan oleh Jawatan Imigrasi New York. Tetapi karena bantuan beberapa orang senator, Hasan Tiro diterima sebagai penduduk tetap di Amerika Serikat. Sejak itu kita tahu dia menjadi pengkritik keras Soekarno.
Pada 1958, Hasan menulis buku penting di New York berjudul Demokrasi untuk Indonesia. Dia mengusulkan negara federal untuk Indonesia, melawan konsep negara persatuan versi Soekarno. Dia mengkritik pedas sistem negara kesatuan, yang menguntungkan etnis besar Jawa, dan cuma mendukung apa yang disebutnya “demokrasi primitive”. Baginya, Indonesia terlalu luas untuk diatur secara sentralistik dari Jakarta. Pada tahun 1958, Hasan Tiro menuangkan pemikiran dalam buku berjudul “Demokrasi untuk Indonesia”. Di situ ia tawarkan federasi sebagai bentuk Pemerintah Indonesia, tujuannya agar hubungan daerah dan pusat tidak timpang.
Hasan lalu melompat ke ide yang lebih radikal, dia menggeser pemikirannya ke nasionalisme Aceh. Pada 1965, pamfletnya “Masa Depan Politik Dunia Melayu” menolak ide Republik Indonesia.  Kata Hasan, Indonesia tak lain dari proyek “kolonialisme Jawa”, dan warisan tak sah perang kolonial Belanda. Dengan kata lain, dia menyangkal penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia pada 1949. Baginya, hak merdeka harus dikembalikan kepada bangsa-bangsa seperti Aceh atau Sunda, yang sudah berdaulat sebelum Indonesia lahir.
Sejak itu dia menjelajahi sejarah, menulis sekian pamflet tentang nasionalisme Aceh. Pada karyanya yang lain,  “Atjeh Bak Mata Donja” (Aceh di Mata Dunia) ditulis dalam bahasa Aceh pada 1968, dia menguraikan problem absennya kesadaran historis dan politis rakyat Aceh setelah Perang Belanda. Dia mulai merekonstruksi sejarah Aceh, dan menegasi segala upaya integrasi dengan republik.
Hasan mengkaji lima editorial The New York Times sepanjang April–Juli 1873, fase pertama Perang Aceh melawan Belanda.  Dia menggali kembali patriotisme Aceh. Harian kondang itu mengakui kapasitas kesultanan Aceh saat berperang melawan Belanda. Perang menentukan ini, kata Hasan, hanya mungkin dikobarkan karena semua pahlawan Aceh tahu “bagaimana mati” sebagai manusia terhormat.
Ada dua dokumen penting yang dia dapat di Markas PBB yang membulatkan tekadnya untuk memisahkan Aceh dari Indonesia. Dokumen itu berupa Resolusi PBB tentang Hak untuk Menentukan Nasib Sendiri (Right to Self Determination). Dokumen lainnya, berupa resolusi bahwa negara kolonial tidak boleh menyerahkan anak jajahannya kepada negara lain. Ia menilai, Perang Belanda terhadap Aceh tidak menyebabkan Aceh takluk dan dikuasai sepenuhnya oleh Belanda. Selain itu, Belanda tak berdasar menyerahkan Aceh–melalui Konferensi Meja Bundar 1949–kepada Indonesia (Jawa), mengingat Belanda tak berkuasa penuh atas Aceh, malah lari meninggalkan Aceh, setelah tentara Jepang diundang ulama masuk Aceh.
Ditambah alasan-alasan sejarah, etnosentris, dan penguasaan ekonomi oleh Jakarta atas Aceh, membuat Hasan Tiro punya banyak alasan menyambung perjuangan kakek buyutnya, Tgk Chik Di Tiro, untuk mempertahankan kedaulatan Aceh. Ia mengimajinasikan sebuah negara/kerajaan sambungan (succesor state). Untuk itu, Aceh harus mandiri dari Indonesia.

Kamp militer di Libya
Hasan paham, Aceh tak mudah diarak ke jalan merdeka. Satu-satunya cara adalah mencari pengakuan internasional, dan berjuang dengan tema hak menentukan nasib sendiri. Hasan melakukan lobi internasional, dan terus berkampanye tentang “dekolonisasi” Indonesia. Pada masa 1980-1990an, dia bergandengan dengan gerakan separatis lain, seperti Timor Timur (Fretilin) dan Republik Maluku Selatan (RMS).
Pada 1980an, ketika gerakannya dipukul secara militer, Hasan membangun kembali gerakan bersenjatanya di luar Aceh. Pada 1986, dia memilih Libya sebagai kamp pelatihan militer. Selama empat tahun kemudian, dia melatih hampir 800 pemuda Aceh. Tak hanya ketrampilan militer, tapi juga dan ideologi keAcehan.  Selama di Libya, Hasan terlibat intensif dalam gerakan anti-imperialisme. Selama tahun-tahun itu dia ditunjuk selaku Ketua Komite Politik World Mathabah, satu organisasi revolusioner berbasis di Tripoli. Wadah itu didirikan pemimpin Libya Muamar Khadafi,  untuk suatu proyek melawan hegemoni Amerika. Dalam bahasa politik, inilah front menentang imperialisme, rasisme, zionisme dan fasisme.

DOM (Daerah Operasi Militer)
Pemerintahan Fasis Orde Baru segera mengantisipasi gerakan ini. Berbagai aksi militer dilancarkan. Aceh kemudian di jadikan ladang Daerah Operasi Militer (DOM). Akibatnya tindak kekerasan/penyiksaan, penangkapan tanpa prosedur, penculikan, pelecehan seksual dan pemerkosaan, penghilangan nyawa manusia dan praktek-praktek pelanggaran hukum dan HAM lainnya berlangsung hampir setiap saat.
Pembantaian rakyat Aceh selama berlangsungnya Operasi Militer sejak 1989 hingga 1998 mencapai 30.000 nyawa. Sungguh malapetaka peradaban yang hanya bisa terjadi dalam masyarakat primitif. Maka orang yang wajib bertanggungjawab atas pembantaian-pembantaian tersebut dan segera disidangkan ke masjlis Umum PBB atas nama penjahat perang adalah Jenderal Soeharto, Jenderal (Purn) L. B. Moerdani, Jenderal (Purn) Try Sutrisno, Letjen (Purn) Syarwal Hamid, Jenderal (Purn) Feisal Tanjung, Mayjen (Purn) H. R. Pramono, Letjen Prabowo Subianto, Ibrahim Hasan (Gubernur Aceh periode 1986-1993).
Pasca jatuhnya pemerintahan Pembantai Rakyat Soeharto, isu “Aceh merdeka” kembali menjadi sorotan dunia. pada 25 Januari 1999 Hasan Tiro menandatangani surat perihal GAM yang dikirim kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Akhir tahun 2002, Hasan Tiro menandatangani deklarasi berdirinya Negara Aceh Sumatra

Perdamaian
Pada tahun 2000 status darurat militer akhirnya diturunkan menjadi darurat sipil. Dan akhirnya Allah menggenapkan darurat Aceh dengan darurat Tsunami, tepatnya pada tanggal 26 Desember 2004 tsunami telah meluluh lantakkan bumi Serambi Mekkah tersebut. Sekitar 200.000 warga Aceh meninggal dan hilang. Hasan Tiro yang saat itu menonton tayangan televisi di Norsborg, Swedia, menitikkan air mata. Aceh yang ingin dia rebut sedang luluh lantak. Terjerembab ke titik nadir peradaban. Perlu kondisi damai untuk membangun kembali Aceh dari keterpurukan.
Lalu, Hasan Tiro dan elite GAM menyahuti tawaran RI untuk berdamai. Kita melihat bagaimana episode pergolakan ini selesai di meja perundingan di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005. Perdamaian ini pula yang memungkinan Hasan Tiro dan Malik Mahmud yang awalnya paling dicari aparat keamanan Indonesia, bisa leluasa pulang ke Aceh.

Pulang Kampung
Pada 9-10 Oktober 2008 Ratusan kendaraan yang membawa ribuan warga Aceh yang datang dari berbagai kabupaten seperti Aceh Timur, Aceh Utara, Bireun, dan Pidie memadati Banda Aceh. Mereka berkumpul di Kompleks Masjid Raya Baiturrahman Kota Banda Aceh dan rela menginap di tempat-tempat terbuka seperti pelataran Masjid Raya menyambut kedatangan Wali Nanggroe yang juga proklamator Gerakan Aceh Merdeka Hasan Tiro.
Antusiasme juga terlihat dari pengurus dan simpatisan Partai Aceh, salah satu partai lokal yang didirikan mantan aktivis GAM. Ratusan kendaraan yang lalu lalang di berbagai jalan utama kota Banda Aceh ditempeli berbagai atribut Partai Aceh.
Pada 11 Oktober 2008 Pesawat sewaan yang mengangkut mantan pemimpin GAM Hasan Tiro (83) mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar, NAD. Kedatangan Hasan Tiro dan rombongan dari Kuala Lumpur, Malaysia, dikawal ketat oleh satuan tugas yang dibentuk Komite Peralihan Aceh.
Saat turun dari tangga pesawat, Begitu turun dari pesawat, Hasan Tiro langsung bersujud mendapat kalungan bunga dari Wakil Gubernur NAD Muhammad Nazar. Dalam rombongan Hasan Tiro terlihat antara lain Gubernur Irwandi Yusuf dan sejumlah mantan petinggi GAM, yakni Muzakkir Manaf serta Dr Zaini Abdullah. Hasan Tiro melambaikan tangan ke arah ratusan orang yang berkumpul di Bandara.
Dari bandara, rombongan Hasan Tiro langsung menuju Masjid Raya Banda Aceh, pusat berkumpulnya ratusan ribu warga. Namun, kondisi fisik dan usia Hasan Tiro tak memungkinkannya berbicara lama secara langsung dengan massa di hadapannya. Hasan Tiro hanya berpidato secara singkat dalam bahasa Aceh. ”Assalamualaikum, saya sudah kembali ke Aceh. Allahu Akbar,” ujarnya.
Kemudian ia kembali ke Swedia dan akhirnya kembali menetap di Aceh pada tahun 2010. Masih banyak orang yang berharap ia kembali menjadi pemimpin sejati masyarakat. Ia lalu dipanggil “Wali Nanggroe”, penghargaan adat yang tidak pernah diberikan kepada siapapun selain Hasan Tiro sepanjang sejarah Aceh. Gelar ini diberikan secara “aklamasi” tanpa sebuah proses apapun. Hampir semua orang Aceh tahu kalau ia adalah Wali Nanggroe.

Sang Wali Pergi
Pada 3 Juni 2010, Hasan Tiro kembali terbaring sakit. Jantung, dan komplikasi organ dalam, memaksanya berdiam di Rumah sakit Zainoel Abidin, Banda Aceh. Tekanan darahnya 70-40. Seiring dengan dunia yang terus berputar, dan waktu menjawab banyak persoalan. Kamis, 4 Juni 2010, 26 jam setelah pemerintah Indonesia memberikan hak kewarganegaraan Indonesia kepadanya, Hasan Tiro menghembuskan nafas terkahir di Banda Aceh. Ia dimakamkan di sisi kuburan kakeknya, Teungku Chik Di Tiro, di Aceh Besar. Di sana ia mengakhiri semua petualangan dan perjuangan ideologisnya. Pada saat matahari tegak lurus dengan bumi, pada hari itu, orang-orang Aceh meratap. “Sang Wali” terakhir itu akhirnya pergi. Terima kasih Teungku, selamat jalan Wali.

Wednesday, January 11, 2012

Grand Design Reformasi Birokrasi Indonesia 2010-2025

January 11, 2012 0
Krisis ekonomi yang dialami Indonesia tahun 1997, pada tahun 1998 telah  berkembang menjadi krisis multidimensi. Kondisi tersebut mengakibatkan adanya tuntutan kuat dari segenap lapisan masyarakat terhadap pemerintah untuk segera diadakan reformasi penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejak itu, telah terjadi berbagai perubahan penting yang menjadi tonggak dimulainya era reformasi di bidang politik, hukum, ekonomi, dan birokrasi, yang dikenal sebagai reformasi gelombang pertama. Perubahan tersebut dilandasi oleh keinginan sebagian besar masyarakat untuk mewujudkan pemerintahan demokratis dan mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat yang didasarkan pada nilai-nilai dasar sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
Dalam perkembangan pelaksanaan reformasi gelombang pertama, reformasi di bidang birokrasi mengalami ketertinggalan dibanding reformasi di bidang  politik, ekonomi, dan hukum. Oleh karena itu, pada tahun 2004, pemerintah telah menegaskan kembali akan pentingnya penerapan prinsip-prinsip  clean government dan  good governance yang secara universal diyakini menjadi prinsip yang diperlukan untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, program utama yang dilakukan pemerintah adalah membangun aparatur negara melalui penerapan reformasi birokrasi. Dengan demikian, reformasi birokrasi gelombang pertama pada dasarnya secara bertahap mulai dilaksanakan pada tahun 2004.
Pada tahun 2011, seluruh kementerian dan lembaga (K/L) serta pemerintah daerah (Pemda) ditargetkan telah memiliki komitmen dalam melaksanakan proses reformasi birokrasi. Pada tahun 2014 secara bertahap dan berkelanjutan, K/L dan Pemda telah memiliki kekuatan untuk memulai proses tersebut, sehingga pada tahun 2025, birokrasi pemerintahan yang profesional dan berintegritas tinggi dapat diwujudkan.
Sementara itu, pada pidato kenegaraan dalam rangka memperingati ulang tahun ke-64 Kemerdekaan RI di depan Sidang DPR RI tanggal 14 Agustus 2009, Presiden menegaskan kembali tekad pemerintah untuk melanjutkan misi sejarah bangsa Indonesia untuk lima tahun mendatang, yaitu melaksanakan  reformasi gelombang kedua, termasuk reformasi birokrasi. Reformasi gelombang kedua bertujuan untuk membebaskan Indonesia dari dampak dan ekor krisis yang terjadi sepuluh tahun yang lalu. Pada tahun 2025, Indonesia diharapkan berada pada fase yang benar-benar bergerak menuju negara maju.
Berkaitan dengan hal tersebut, reformasi birokrasi bermakna sebagai sebuah perubahan besar dalam paradigma dan tata kelola pemerintahan Indonesia. Selain itu, reformasi birokrasi juga bermakna sebagai sebuah pertaruhan besar bagi bangsa Indonesia dalam menyongsong tantangan abad ke-21. Jika berhasil dilaksanakan dengan baik, reformasi birokrasi akan  mencapai tujuan yang diharapkan, di antaranya:
  • Mengurangi dan akhirnya menghilangkan setiap penyalahgunaan kewenangan publik oleh pejabat di instansi yang bersangkutan
  • Menjadikan negara yang memiliki most-improved bureaucracy
  • Meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat
  • Meningkatkan mutu perumusan dan pelaksanaan kebijakan/program instansi
  • Meningkatkan  efsiensi  (biaya  dan waktu)  dalam  pelaksanaan  semua segi tugas organisasi
  • Menjadikan birokrasi Indonesia antisipatif, proaktif, dan efektif dalam menghadapi globalisasi dan dinamika perubahan lingkungan strategis.
Akan tetapi, jika gagal dilaksanakan, reformasi birokrasi hanya akan menimbulkan ketidakmampuan birokrasi dalam menghadapi kompleksitas yang bergerak secara eksponensial di abad ke-21, antipati, trauma, berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, dan ancaman kegagalan pencapaian pemerintahan yang baik (good governance), bahkan menghambat keberhasilan pembangunan nasional.
Reformasi birokrasi berkaitan dengan ribuan proses tumpang tindih (overlapping) antarfungsi-fungsi pemerintahan, melibatkan jutaan pegawai, dan memerlukan anggaran yang tidak sedikit. Selain itu, reformasi birokrasi pun perlu menata ulang proses birokrasi dari tingkat (level) tertinggi hingga terendah dan melakukan terobosan baru (innovation breakthrough)  dengan  langkah-langkah bertahap, konkret, realistis, sungguh-sungguh, berfkir di luar kebiasaan/rutinitas yang ada  (out of the box thinking),  perubahan paradigma   (a new paradigm shift), dan dengan upaya luar biasa (business not as usual). Oleh karena itu, reformasi birokrasi nasional perlu merevisi dan membangun berbagai regulasi, memodernkan berbagai kebijakan dan praktek manajemen pemerintah pusat dan daerah, dan menyesuaikan tugas fungsi instansi pemerintah dengan paradigma dan peran baru. Upaya tersebut membutuhkan suatu grand design dan road map reformasi birokrasi yang mengikuti dinamika perubahan penyelenggaraan pemerintahan sehingga menjadi suatu living document.
Reformasi yang sudah dilakukan sejak terjadinya krisis multidimensi tahun 1998 atau  lebih dari sepuluh tahun terakhir telah berhasil meletakkan landasan politik bagi kehidupan demokrasi di Indonesia. Berbagai perubahan dalam sistem penyelenggaraan negara, revitalisasi lembaga-lembaga tinggi negara, dan pemilihan umum dilakukan dalam rangka membangun pemerintahan negara yang mampu berjalan dengan baik (good governance). Dalam bidang ekonomi, reformasi juga telah mampu membawa kondisi ekonomi yang semakin baik, sehingga mengantarkan Indonesia kembali ke dalam jajaran middle income countries (MICs). Oleh karena itu, Indonesia dipandang sebagai negara yang berhasil melalui masa krisis dengan baik.
Meskipun demikian, kondisi itu belum mampu mengangkat Indonesia ke posisi yang sejajar dengan negara-negara lain, baik negara-negara di Asia Tenggara maupun di Asia. Dalam hal perwujudan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN,  masih banyak hal yang harus diselesaikan dalam kaitan pemberantasan korupsi. Hal ini antara lain ditunjukkan dari data Transparency International  pada tahun 2009, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia masih rendah (2,8 dari 10) jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara lainnya. Akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, kualitasnya masih perlu banyak pembenahan termasuk dalam penyajian laporan keuangan yang sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). Opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan K/L dan Pemda masih banyak yang perlu ditingkatkan menuju ke opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
Dalam hal pelayanan publik, pemerintah belum dapat menyediakan pelayanan publik yang berkualitas sesuai dengan tantangan yang dihadapi, yaitu perkembangan kebutuhan masyarakat yang semakin maju dan persaingan global yang semakin ketat. Hal ini dapat dilihat dari hasil survei integritas yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2009 yang menunjukkan bahwa kualitas pelayanan publik Indonesia baru mencapai skor 6,64 dari skala 10 untuk instansi pusat, sedangkan pada tahun 2008 skor untuk unit pelayanan publik di daerah sebesar 6,69. Skor integritas menunjukkan karakteristik kualitas dalam pelayanan publik, seperti ada tidaknya suap, ada tidaknya Standard Operating Procedures (SOP), kesesuaian proses pelayanan dengan SOP yang ada, keterbukaan informasi, keadilan dan kecepatan dalam pemberian pelayanan, dan  kemudahan masyarakat melakukan pengaduan.
Dalam hal kemudahan berusaha (doing business), menunjukkan bahwa Indonesia belum dapat memberikan pelayanan yang baik bagi para investor yang berbisnis atau akan berbisnis di Indonesia. Hal ini antara lain tercermin dari data  International Finance Corporation pada tahun 2009. Berdasarkan data tersebut, Indonesia menempati peringkat  doing business ke-122 dari 181 negara atau berada pada peringkat ke-6 dari 9 negara ASEAN. Padahal Indonesia merupakan salah satu pasar utama bagi investor global. 
Dalam kaitan dengan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi, kondisinya masih banyak dikeluhkan masyarakat. Berdasarkan penilaian government effectiveness  yang dilakukan  Bank Dunia, Indonesia memperoleh skor -0,43 pada tahun 2004, -0,37 pada tahun 2006, dan -0,29 pada tahun 2008, dari skala -2.5 menunjukkan skor terburuk dan 2,5 menunjukkan skor terbaik. Meskipun pada tahun 2008 mengalami peningkatan menjadi -0,29, skor tersebut masih menunjukkan kapasitas kelembagaan/efektivitas pemerintahan di Indonesia tertinggal jika dibandingkan dengan kemajuan yang dicapai oleh negara-negara tetangga. Kondisi ini mencerminkan masih adanya permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan, seperti kualitas birokrasi, pelayanan publik, dan kompetensi aparat pemerintah.
Selanjutnya, berdasarkan penilaian terhadap Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP), pada tahun 2009 jumlah instansi pemerintah yang dinilai akuntabel baru mencapai 24%. Gambaran di atas mencerminkan kondisi birokrasi kita saat ini.

Kondisi yang Diinginkan
Reformasi birokrasi merupakan upaya berkelanjutan yang setiap tahapannya memberikan perubahan atau perbaikan birokrasi ke arah yang lebih baik. Pada tahun 2014 diharapkan sudah berhasil mencapai penguatan dalam beberapa hal berikut:
  • Penyelenggaraan pemerintahan yang baik, bersih, bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme;
  • Kualitas pelayanan publik;
  • Kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi;
  • Profesionalisme SDM aparatur yang didukung oleh sistem rekrutmen dan promosi aparatur yang berbasis kompetensi, transparan, dan mampu mendorong mobilitas aparatur antardaerah, antarpusat, dan antara pusat dengan daerah, serta  memperoleh gaji dan bentuk jaminan kesejahteraan yang sepadan.
Pada tahun 2019, diharapkan dapat diwujudkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan yang baik, bersih, dan bebas korupsi, kolusi, serta nepotisme. Selain itu, diharapkan pula dapat diwujudkan pelayanan publik yang sesuai dengan harapan masyarakat, harapan bangsa Indonesia yang semakin maju dan mampu bersaing dalam dinamika global yang semakin ketat, kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi semakin baik, SDM aparatur semakin profesional, serta mind-set  dan  culture-set yang mencerminkan integritas dan kinerja semakin tinggi.
Pada tahun 2025, diharapkan telah terwujud tata pemerintahan yang baik dengan birokrasi pemerintah yang profesional, berintegritas tinggi, dan menjadi pelayan masyarakat dan abdi negara. Kondisi di atas dapat dikemukakan pada gambar berikut.

Permasalahan Birokrasi
Ada beberapa permasalahan utama yang berkaitan dengan birokrasi, yaitu: 
  • Organisasi. Organisasi pemerintahan belum tepat fungsi dan tepat ukuran (right sizing).
  • Peraturan perundang-undangan. Beberapa peraturan perundang-undangan di bidang aparatur negara masih ada yang tumpang tindih, inkonsisten, tidak jelas, dan multitafsir. Selain itu, masih ada pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya, baik yang sederajat maupun antara peraturan yang lebih tinggi dengan peraturan di bawahnya atau antara peraturan pusat dengan peraturan daerah. Di samping itu, banyak peraturan perundang-undangan yang  belum disesuaikan dengan dinamika perubahan penyelenggaraan pemerintahan dan tuntutan masyarakat.
  • SDM Aparatur. SDM aparatur negara Indonesia (PNS) saat ini berjumlah 4,732,472 orang (data BKN per Mei 2010). Masalah utama SDM aparatur negara adalah alokasi dalam hal kuantitas, kualitas, dan distribusi PNS menurut teritorial (daerah) tidak seimbang, serta  tingkat produktivitas PNS masih rendah. Manajemen sumber daya manusia aparatur belum dilaksanakan secara optimal untuk meningkatkan profesionalisme, kinerja pegawai, dan organisasi. Selain itu, sistem penggajian pegawai negeri belum didasarkan pada bobot pekerjaan/jabatan yang diperoleh dari evaluasi jabatan. Gaji pokok yang ditetapkan berdasarkan golongan/pangkat tidak sepenuhnya mencerminkan beban tugas dan tanggung jawab. Tunjangan kinerja belum sepenuhnya dikaitkan dengan prestasi kerja dan tunjangan pensiun belum menjamin kesejahteraan.
  • Kewenangan. Masih adanya praktek penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dalam proses penyelenggaraan pemerintahan dan belum mantapnya akuntabilitas kinerja instansi pemerintah.
  • Pelayanan public. Pelayanan publik belum dapat mengakomodasi kepentingan seluruh lapisan masyarakat dan belum memenuhi hak-hak dasar warga negara/penduduk. Penyelenggaraan  pelayanan publik  belum sesuai dengan harapan bangsa berpendapatan menengah yang semakin maju dan persaingan global yang semakin ketat.
  • Pola pikir (mind-set) dan budaya kerja (culture-set). Pola pikir (mind-set) dan budaya kerja (culture-set) birokrat belum sepenuhnya mendukung birokrasi yang efsien, efektif dan produktif, dan profesional. Selain itu, birokrat belum benar-benar memiliki pola pikir yang melayani masyarakat, belum mencapai kinerja yang lebih baik (better performance), dan belum berorientasi pada hasil (outcomes).

Arah kebijakan reformasi birokrasi adalah:
  • Pembangunan aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparatur negara dan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, baik di pusat maupun di daerah agar mampu mendukung keberhasilan pembangunan di bidang lainnya (UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025).
  • Kebijakan pembangunan di bidang hukum dan aparatur diarahkan pada perbaikan tata kelola pemerintahan yang baik melalui pemantaan pelaksanaan reformasi birokrasi (Perpres No. 5 tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014).

Visi Reformasi Birokrasi
Visi reformasi birokrasi adalah “Terwujudnya Pemerintahan Kelas Dunia”. Visi  tersebut menjadi acuan dalam mewujudkan pemerintahan kelas dunia, yaitu pemerintahan yang profesional dan berintegritas tinggi yang mampu menyelenggarakan pelayanan prima kepada masyarakat dan manajemen pemerintahan yang demokratis agar mampu menghadapi tantangan pada abad ke-21 melalui tata pemerintahan yang baik  pada tahun 2025.
Penyempurnaan kebijakan nasional di bidang aparatur akan mendorong terciptanya kelembagaan yang sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi masing-masing K/L dan Pemda,  manajemen pemerintahan dan manajemen SDM aparatur yang efektif, serta  sistem pengawasan dan akuntabilitas yang mampu mewujudkan pemerintahan yang berintegritas tinggi. Implementasi hal-hal tersebut pada masing-masing K/L dan Pemda  akan mendorong perubahan mind set dan culture set pada setiap birokrat ke arah budaya yang lebih profesional, produktif, dan akuntabel.
Setiap perubahan diharapkan dapat memberikan dampak pada penurunan praktek KKN, pelaksanaan anggaran yang lebih baik, manfaat program-program pembangunan bagi masyarakat meningkat, kualitas pengelolaan kebijakan dan pelayanan publik meningkat, produktivitas aparatur meningkat, kesejahteraan pegawai meningkat, dan hasil-hasil pembangunan secara nyata dirasakan seluruh masyarakat. Secara bertahap, upaya tersebut diharapkan akan terus meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Kondisi ini akan menjadi profl birokrasi yang diharapkan.
Kondisi tersebut di atas akan dicapai melalui berbagai upaya, antara lain dengan penerapan program quick wins, yaitu suatu langkah inisiatif yang mudah dan cepat dicapai yang mengawali suatu program besar dan sulit. Quick wins bermanfaat untuk mendapatkan momentum awal yang positif dan meningkatkan kepercayaan instansi untuk melakukan sesuatu perubahan yang berat. Penyelesaian sesuatu yang berat merupakan inti dari suatu program besar. Quick wins dilakukan di awal dan dapat berupa quick wins untuk penataan organisasi, tata laksana, peraturan perundang-undangan, sumber daya manusia aparatur, pengawasan, akuntabilitas, pelayanan publik, dan penataan budaya kerja aparatur.
Selanjutnya, pelaksanaan reformasi birokrasi harus disertai monitoring dan evaluasi yang dilakukan secara periodik dan melembaga. Monitoring dan evaluasi ini bertujuan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dan melakukan koreksi bila terjadi kesalahan/penyimpangan arah dalam pelaksanaan reformasi birokrasi. Selain itu, perlu juga didukung oleh beberapa hal berikut:
  • Penerapan  manajemen perubahan (change management) agar tidak terjadi hambatan terhadap pelaksanaan reformasi birokrasi;
  • Penerapan knowledge management agar terjadi suatu proses pembelajaran dan tukar pengalaman yang efektif bagi K/L dan Pemda dalam melaksanakan reformasi birokrasi;
  • Penegakan hukum agar terwujud batasan dan hubungan yang jelas antara hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan masing-masing pihak.

Misi Reformasi Birokrasi
Reformasi birokrasi memiliki beberapa misi sebagai berikut:
  • Membentuk/menyempurnakan peraturan perundang-undangan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik;
  • Melakukan penataan dan penguatan organisasi, tatalaksana, manajemen sumber daya manusia aparatur, pengawasan,  akuntabilitas, kualitas pelayanan publik, mind set  dan culture set;
  • Mengembangkan mekanisme kontrol yang efektif;
  • Mengelola sengketa administratif secara efektif dan efsien.

Tujuan Reformasi Birokrasi

Reformasi birokrasi bertujuan untuk menciptakan birokrasi pemerintah yang profesional dengan karakteristik adaptif, berintegritas, berkinerja tinggi, bersih dan bebas KKN, mampu melayani publik, netral, sejahtera, berdedikasi, dan memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur negara. Adapun area perubahan yang menjadi tujuan reformasi birokrasi meliputi seluruh aspek manajemen pemerintahan, seperti yang dikemukakan pada tabel di bawah ini.

Sasaran reformasi birokrasi adalah:
  • Terwujudnya pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme;
  • Meningkatnya kualitas pelayanan publik kepada masyarakat;
  • Meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi.
  
Prinsip-prinsip Reformasi Birokrasi
Beberapa prinsip dalam melaksanakan reformasi birokrasi dapat dikemukakan sebagai berikut.
  • Outcomes oriented. Seluruh program dan kegiatan yang dilaksanakan dalam kaitan dengan reformasi birokrasi harus dapat mencapai hasil (outcomes) yang  mengarah pada peningkatan kualitas kelembagaan, tatalaksana, peraturan perundang-undangan, manajemen SDM aparatur, pengawasan, akuntabilitas, kualitas pelayanan publik, perubahan pola pikir  (mind set) dan budaya kerja (culture set) aparatur. Kondisi ini diharapkan akan meningkatkan kepercayaan masyarakat dan membawa pemerintahan Indonesia menuju pada pemerintahan kelas dunia.
  • Terukur. Pelaksanaan reformasi birokrasi yang dirancang dengan  outcomes oriented harus dilakukan secara terukur dan jelas target serta waktu pencapaiannya.
  • Efisien. Pelaksanaan reformasi birokrasi yang dirancang dengan  outcomes oriented harus memperhatikan pemanfaatan sumber daya yang ada secara efsien dan profesional.
  • Efektif. Reformasi birokrasi harus dilaksanakan secara efektif sesuai dengan target pencapaian sasaran reformasi birokrasi.
  • Realistik. Outputs dan outcomes dari pelaksanaan kegiatan dan program ditentukan secara realistik dan dapat dicapai secara optimal.
  • Konsisten. Reformasi birokrasi harus dilaksanakan secara konsisten dari waktu ke waktu, dan mencakup seluruh tingkatan pemerintahan, termasuk individu pegawai.
  • Sinergi. Pelaksanaan program dan kegiatan dilakukan secara sinergi. Satu tahapan kegiatan harus memberikan dampak positif bagi tahapan kegiatan lainnya, satu program harus memberikan dampak positif bagi program lainnya. Kegiatan yang dilakukan satu instansi pemerintah harus memperhatikan keterkaitan dengan kegiatan yang dilakukan oleh instansi pemerintah lainnya, dan harus menghindari adanya tumpang tindih antarkegiatan di setiap instansi.
  • Inovatif. Reformasi birokrasi memberikan ruang gerak yang luas bagi K/L dan Pemda untuk melakukan inovasi-inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, pertukaran pengetahuan, dan  best practices  untuk menghasilkan kinerja yang lebih baik. 
  • Kepatuhan. Reformasi birokrasi harus dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 
  • Dimonitor. Pelaksanaan reformasi birokrasi harus dimonitor secara melembaga untuk memastikan semua tahapan dilalui dengan baik, target dicapai sesuai dengan rencana, dan penyimpangan segera dapat diketahui dan dapat dilakukan perbaikan.

Sasaran Lima Tahunan Reformasi Birokrasi
  • Sasaran lima tahun pertama (2010-2014). Sasaran reformasi birokrasi pada lima tahun pertama difokuskan pada penguatan birokrasi pemerintah dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, meningkatkan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat, serta  meningkatkan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi.
  • Sasaran lima tahun kedua (2015-2019). Selain implementasi hasil-hasil yang sudah dicapai pada lima tahun pertama, pada lima tahun kedua juga dilanjutkan upaya yang belum dicapai pada berbagai komponen strategis birokrasi pemerintah pada lima tahun pertama. 
  • Sasaran lima tahun ketiga (2020-2024). Pada periode lima tahun ketiga, reformasi birokrasi dilakukan melalui peningkatan kapasitas birokrasi secara terus-menerus untuk menjadi pemerintahan kelas dunia sebagai kelanjutan dari reformasi birokrasi pada lima tahun kedua.
Pada tahun 2025, pencapaian sasaran-sasaran di atas secara bertahap, diharapkan telah menghasilkan  governance yang berkualitas. Semakin baik kualitas governance, semakin baik pula hasil pembangunan (development outcomes) yang ditandai dengan:
  • Tidak ada korupsi;
  • Tidak ada pelanggaran;
  • APBN dan APBD  baik;
  • Semua program selesai dengan baik;
  • Semua perizinan selesai dengan cepat dan tepat;
  • Komunikasi dengan publik baik;
  • Penggunaan waktu (jam kerja) efektif dan produktif;
  • Penerapan  reward dan punishment secara konsisten dan berkelanjutan; 
  • Hasil pembangunan nyata (pro pertumbuhan, pro lapangan kerja, dan pro pengurangan kemiskinan; artinya, menciptakan lapangan pekerjaan, mengurangi kemiskinan, dan memperbaiki kesejahteraan rakyat).

Strategi Pelaksanaan
Langkah-langkah strategi pelaksanaan reformasi birokrasi meliputi tingkat pelaksanaan, pelaksana, program, dan metode pelaksanaan. Birokrasi pemerintah harus dikelola berdasarkan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik dan profesional. Birokrasi harus sepenuhnya mengabdi pada kepentingan rakyat dan bekerja untuk memberikan pelayanan prima, transparan, akuntabel, dan bebas dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Semangat inilah yang mendasari pelaksanaan reformasi birokrasi pemerintah di Indonesia.
Pelaksanaan reformasi birokrasi pemerintah harus mampu mendorong perbaikan dan peningkatan kinerja birokrasi pemerintah, baik pusat maupun daerah. Kinerja akan meningkat apabila ada motivasi yang kuat secara keseluruhan, baik di pusat maupun di daerah. Motivasi akan muncul jika setiap program/kegiatan yang dilaksanakan  menghasilkan keluaran (output), nilai tambah (value added), hasil (outcome), dan manfaat (beneft) yang lebih baik dari tahun ke tahun, disertai dengan sistem reward dan  punishment yang dilaksanakan secara konsisten dan berkelanjutan.

Kunci Keberhasilan
Kunci keberhasilan pelaksanaan reformasi birokrasi terletak pada beberapa hal berikut.
  • Komitmen Nasional. Komitmen nasional ditunjukkan dengan adanya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025, Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014 yang menegaskan reformasi birokrasi sebagai prioritas utama, dan Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 2010 tentang Pembentukan Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional dan Tim Reformasi Birokrasi Nasional.
  • Penggerak Reformasi Birokrasi. Penggerak reformasi birokrasi secara nasional adalah Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional dipimpin oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, Tim Reformasi Birokrasi Nasional dipimpin oleh Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dibantu oleh Unit Pengelola Reformasi Birokrasi Nasional, Tim Independen dan Tim Quality Assurance. Selanjutnya, secara instansional penggerak reformasi birokrasi adalah pimpinan K/L dan Pemda. Penggerak  reformasi birokrasi   harus berdaya tahan tinggi terhadap tantangan dan hambatan serta memiliki daya dobrak dan kreativitas untuk melaksanakan program-program terobosan, baik secara horisontal maupun vertikal.
  • Muatan Reformasi Birokrasi. Muatan reformasi birokrasi dirumuskan dalam GDRB 2010-2025,  RMRB 2010-2014, RMRB 2015-2019, dan RMRB 2020-2024. Pelaksanaan reformasi birokrasi dilakukan dengan penetapan prioritas K/L dan Pemda berdasarkan kepentingan strategis bagi negara dan manfaat bagi masyarakat.

Proses Reformasi Birokrasi
Proses reformasi birokrasi dilakukan dengan cara:
  • Desentralisasi. Setiap K/L dan Pemda melakukan langkah-langkah reformasi birokrasi dengan mengacu kepada GDRB 2010-2025 dan RMRB 2010-2014 dan seterusnya, sesuai dengan karakteristik masing-masing institusi.
  • Serentak dan bertahap. Penyebarluasan pemahaman tentang GDRB 2010-2025 dan RMRB 2010-2014 dan seterusnya, dilakukan secara serentak kepada seluruh K/L dan Pemda dalam rangka efektivitas pencapaian target sasaran pelaksanaan reformasi birokrasi. Setiap K/L dan Pemda memiliki karakteristik yang berbeda sehingga reformasi birokrasi dilakukan dengan titik awal dan kecepatan yang berbeda. Format yang sama diterapkan untuk K/L dan Pemda secara bertahap sesuai dengan kesiapan masing-masing K/L dan Pemda.
  • Koordinasi. Reformasi birokrasi dilakukan dengan langkah-langkah yang terkoordinasi secara nasional dengan acuan GDRB 2010-2025 dan RMRB 2010-2014 dan seterusnya. Reformasi birokrasi dikoordinasikan secara nasional oleh Komite Pengarah Reformasi
Birokrasi Nasional, pelaksanaan sehari-hari dilaksanakan oleh Tim Reformasi Birokrasi Nasional, dan implementasi program-program dilaksanakan oleh K/L dan Pemda, serta dimonitor dan dievaluasi secara periodik, berkelanjutan, dan melembaga. Aparatur harus sadar bahwa reformasi birokrasi akan mengubah birokrasi pemerintah menjadi birokrasi yang kuat dan menjadi pemerintahan kelas dunia, yang mampu memberikan fasilitasi dan pelayanan publik yang prima dan bebas dari KKN. Untuk itu, reformasi birokrasi harus dilakukan secara sungguh-sungguh, konsisten, melembaga, bertahap, dan berkelanjutan. Dengan demikian, diharapkan akan terbentuk birokrasi yang mampu mendukung dan mempercepat keberhasilan pembangunan di berbagai  bidang. Kegiatan ekonomi akan semakin meningkat dan secara agregat akan mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi. Dengan kegiatan ekonomi yang semakin luas, akan tersedia basis penerimaan negara yang lebih besar untuk membiayai keberlanjutan  reformasi birokrasi dan pembangunan di bidang lainnya yang lebih luas.

Ket : Tulisan di atas merupakan hasil yang admin review dari sumber "Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025" untuk file lengkapnya bisa langsung di download DISINI!!!