Blognya Anak Kuliahan

Showing posts with label Tentang Aceh. Show all posts
Showing posts with label Tentang Aceh. Show all posts

Sunday, April 26, 2020

Merajut Sustainable Peace di Aceh

April 26, 2020 3


Seorang bijak berucap “Hal tersulit setelah mendapatkan sesuatu adalah mempertahankannya”, frasa ini nampaknya mewakili gambaran perdamaian di Aceh. Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki belasan tahun silam bisa dikatakan bukanlah merupakan akhir segalanya bagi jalan panjang penyelesaian konflik vertikal yang terjadi di Aceh, melainkan sebagai tahapan awal dari proses pembangunan perdamaian yang berkelanjutan (sustainable peace) di Aceh. Harus diakui bahwa pihak-pihak yang berseteru saat itu baik dari Pemerintah Indonesia maupun Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah mengambil langkah yang tepat dengan menurunkan egonya masing-masing dan memulai lembaran baru kehidupan melalui instalasi ulang hubungan pusat-daerah dalam kerangka kerja yang diharapkan bisa lebih aspiratif dan demokratis.

Menelisik sejarah panjang konflik Aceh tidak cukup dengan hanya melihat satu sudut pandang saja, dibutuhkan telaah panjang dengan menganalisis berbagai macam faktor utama meletusnya konflik tersebut. Salah satu latar belakang yang paling menonjol adalah berkaitan dengan isu pengakuan identitas dan ketidakadilan dalam pembagian sumberdaya alam, maka tidak mengherankan melihat alotnya proses negosiasi perdamaian pada 2005 silam di Helsinki banyak berkutat pada persoalan institusionalisasi identitas masyarakat Aceh yang ingin menerapkan pelaksanaan syariat islam, keistimewaan kebijakan perpolitikan yang akhirnya memunculkan partai politik lokal, dan pengaturan ulang keuangan daerah dimana lahirnya dana otsus.

Perlu dipahami bahwa dewasa ini ruang lingkup kajian pembangunan perdamaian tidak terbatas hanya pada penghentian pertikaian militer semata, namun bisa lebih luas seperti memperkuat penegakan hukum, perbaikan ekonomi, penyediaan kebutuhan dasar pelayanan publik bagi masyarakat, dan lain sebagainya. Kegiatan-kegiatan tersebut utamanya diaplikasikan pada situasi pasca-konflik dimana kondisi kelembagaan di sebuah daerah bekas konflik masih sangat rentan terhadap berbagai macam potensi gejolak baru yang siap menghantam, sehingga situasi damai dapat dengan sangat mudah pecah menjadi konflik terbuka lainnya.

Lembaga PBB pada tahun 2005 lalu mencatat bahwa sekitar setengah dari negara-negara yang berhasil keluar dari peperangan ternyata kembali ke situasi konflik kekerasan dalam periode kurang dari lima tahun sejak genjatan senjata di deklarasikan. Penyebabnya disinyalir akibat ketidaksigapan pemerintah dalam membangun perencanaan paska perdamaian. Kegiatan pembangunan perdamaian tidak menyasar asal-musabab utama konflik bersenjata, sehingga seiring waktu kondisi tidak ideal ini dapat saja mengendap dan lanjut bertransformasi kedalam bentuk kekerasan lainnya. Oleh karena itu, tahapan pembangunan perdamaian sangat penting untuk direncanakan jika tidak ingin kembali lagi terjerumus dalam era kegelapan.

Perdamaian Berkelanjutan
Pembangunan perdamaian di dunia perlu diwujudkan melalui usaha-usaha yang berkelanjutan (sustainability). Perhatian khusus terhadap usaha menjaga perdamaian dunia telah dilakukan oleh negara di dunia dengan memperingati hari Perdamaian Internasional pada tanggal 21 September setiap tahunnya, tidak hanya seremonial belaka, usaha-usaha lainnya juga terus digencarkan. Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro - Brazil pada tahun 2012 lalu berhasil mengilhami lahirnya agenda pembangunan global yang bernama Sustainable Development Goals (SDGs)/Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, sebuah model pembangunan berkelanjutan yang dapat membantu menyelesaikan masalah dunia. Adalah September 2015 yang kemudian menjadi pertemuan puncak bersejarah para pemimpin dunia di New York, dimana sebanyak 193 negara anggota PBB secara bulat menyepakati SDGs sebagai sebuah panggilan mendesak agar memulai upaya-upaya baru untuk mengakhiri kemiskinan absolut, melindungi planet dari kerusakan, dan termasuk menjaga perdamaian dan ketertiban dunia.

Komitmen internasional yang ingin dicapai bersama pada tahun 2030 ini memiliki tiga pilar utama yaitu, pembangunan sosial (social development), pembangunan ekonomi (economic development), dan pembangunan lingkungan (environmental development). Secara keseluruhan, SDGs memiliki 17 agenda utama, dengan 169 target dan 232 indikator. Masalah perdamaian secara khusus diatur dalam Goal 16 Peace, Justice and Strong Institutions/Tujuan ke 16 yaitu Perdamaian, Keadilan dan Kelembagaan yang Kuat (12 target dan 23 indikator).

Perdamaian dalam bingkai pembangunan berkelanjutan tengah menjadi tren masa kini. Paradigma pembangunan milenial ini menuntun manusia untuk tidak hanya memikirkan keadaan di masa sekarang saja, namun juga kepentingan generasi mendatang yang harus diperhitungkan secara seksama. Meskipun demikian, seiring dengan laju perubahan mode dunia yang berlangsung cepat dan dinamis, skala tantangan yang dihadapi juga tidak kalah besar. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan yang seimbang harus ditopang oleh keberhasilan dalam menurunkan jumlah konflik baik kecil maupun besar. Maka para pemangku kepentingan dituntut untuk bisa merumuskan strategi pembangunan yang lebih baik dan terarah.

Beberapa tantangan mendasar yang sedang dihadapi saat ini adalah masalah kemiskinan, kelaparan, kesenjangan sosial, tergerusnya sumber daya alam, kelangkaan air, degradasi lingkungan, korupsi, rasisme, intoleransi, dan lain sebagainya. Permasalahan tersebut kerapkali menjadi penyebab utama yang mengancam perdamaian dunia dan berpotensi menciptakan lahan baru yang lebih subur bagi konflik berkepanjangan. Dengan demikian, perdamaian mutlak diperlukan untuk memperkuat landasan menuju pembangunan berkelanjutan.

Acèh Damê
Pembangunan berkelanjutan bukan menjadi tanggung jawab satu pihak saja, namun seluruh stakeholders termasuk pemerintah daerah harus ikut mengambil tanggung jawab ini. Pemerintah daerah sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat diharapkan mampu menjadi ujung tombak keberhasilan pelaksanaan SDGs di ranah lokal melalui serangkain praktik kebijakan yang inovatif. Beruntungnya, pemangku kebijakan di Aceh saat ini sadar betul akan pentingnya kebijakan yang berkelanjutan, seperti halnya 15 program Aceh Hebat yang menjadi program unggulan Pemerintah Aceh periode 2017-2022 yang ternyata sarat akan 17 goals dari SDGs.

Dari 15 program unggulan tersebut, hanya tiga diantaranya, yaitu; Aceh SIAT, Acèh Meuadab, dan Acèh Teuga yang memiliki ciri khas tersendiri, sedangkan 12 program lainnya bisa dikatakan sangat identik dengan SDGs. Sebagai contoh Acèh Damê yang merupakan program yang terinspirasi dengan Goal 16 Peace, Justice and Strong Institutions dimana berfokus pada aspek yang sedang dibahas dalam tulisan ini yaitu perdamaian.

Di dalam website resmi Pemerintah Aceh (www.acehprov.go.id) dijelaskan bahwa Acèh Damê adalah situasi aman dan damai yang berkelanjutan (sustainable peace) melalui penuntasan proses reintegrasi dan membangun nilai-nilai perdamaian bagi semua lapisan masyarakat. Lebih lanjut di laman online tersebut juga disebutkan bahwasanya fokus utama dari Acèh Damê adalah melakukan penguatan pelaksanaan UUPA sesuai prinsip-prinsip MoU Helsinki secara konsisten dan komprehensif. Terdapat empat sasaran utama dari Acèh Damê yaitu (i) Menjadikan seluruh program pembangunan Aceh berbasis pengarusutamaan damai; (ii) Penuntasan aturan turunan UUPA sehingga dapat diimplementasikan dalam pembangunan dan kehidupan masyarakat; (iii) Penguatan kapasitas Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh; dan (iv) Memasukkan pendidikan damai (peace education) dalam kurikulum sekolah.

Baik, secara ide dan konsep Aceh sudah punya, lalu bagaimana dengan realisasinya? Lisa Kleypas, penulis novel top berkebangsaan Amerika, dalam pandangannya menyatakan “there is no peace in poverty” yang bisa dimaknai bahwasanya akan sulit untuk menciptakan kedamaian dalam kondisi kemiskinan. Beberapa pekan lalu ramai spanduk “Selamat Datang di Propinsi Termiskin Se-Sumatera”. Lalu tak lama berselang kritik tersebut dijawab oleh pemerintah lewat baliho yang berisi pembelaan bahwasanya Pemerintah Aceh berhasil turunkan angka kemiskinan 0,67 persen. Terlepas dari kesahihan klaim tersebut, dengan dibekali dana otsus yang melimpah ruah dan tetap mendapatkan predikat termiskin di Sumatera, maka sepertinya progres nol koma tersebut belum bisa dibilang sebuah prestasi.

Perlu digaris bawahi bahwasanya peace (perdamaian) tidak melulu diartikan sebagai the absence of war (tidak adanya perang), melainkan contoh sederhananya yaitu terciptanya suatu kondisi yang menjamin sebuah kemakmuran holistik dan berkelanjutan juga merupakan pengertian lain dari perdamaian. Selain prestasi termiskin, Aceh juga menempatkan diri sebagai propinsi dengan tingkat toleransi yang rendah. Apa yang tengah dihadapi saat ini adalah masih sering terjadinya ketegangan antar kelompok lintas pemahaman agama yang tak terkendali. Ketidaksiapan masyarakat atas munculnya keberagaman di sekitar mereka menjadi tantangan besar untuk diselesaikan. Pemahaman lintas budaya dan rekonsiliasi sangat diperlukan untuk menumbuh kembangkan sikap toleransi dan cinta damai di masyarakat. Dengan demikian, toleransi merupakan bagian integral dan penting untuk merealisasikan perdamaian, toleransi adalah menghormati setiap hak individu atas identitas yang menyertainya. Pemerintah secara khusus lewat Acèh Damê perlu hadir untuk memediasi konflik tiada akhir antara kelompok yang saling menghujah tersebut, karena sesuai dengan sasaran utama dari program ini yaitu menjadikan seluruh program pembangunan Aceh berbasis pengarusutamaan damai.

Perdamaian wajib dipertahankan secara terus-menerus dan berkesinambungan, karena perdamaian bukanlah sesuatu yang mudah untuk dicapai, maka sangat penting bagi pemerintah untuk menciptakan lingkungan global yang aman dan nyaman bagi masyarakat. Tidak hanya konflik bersenjata maupun terorisme, sikap intoleransi pun dapat membawa dampak merusak bagi pembangunan, mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan menghambat pencapaian pembangunan berkelanjutan. Sebaliknya, pembangunan berkelanjutan akan lebih mudah untuk dicapai ketika keamanan dan perdamaian terjaga dengan baik. (*)


* Telah dimuat di Koran Rakyat Aceh (12/02/20) Halaman 11

Saturday, June 2, 2018

Profil dan Peta Partai Politik Lokal Peserta Pemilu Legislatif Tahun 2019 di Aceh

June 02, 2018 3
Kontestansi Pemilihan Umum (Pemilu) di Aceh selalu menjadi bahan yang menarik untuk disimak dan diperbincangkan, adalah keberadaan partai politik lokal yang menyebabkan mengapa Aceh selalu menjadi fokus pembicaraan para penggiat pemilu dan partai politik di ranah akademik maupun di forum diskusi warung kopi dan sebagainya.

Keikutsertaan partai politik lokal di Pemilu legislatif merupakan hak eksklusif yang hanya diberikan Pemerintah Indonesia untuk Propinsi Aceh, dan hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh. Hanya saja, partai politik lokal ini hanya boleh mengirimkan kader terbaiknya untuk mengemban amanah di level propinsi dan kabupaten/kota saja. Yaitu; DPRA dan DPRK untuk pemilihan legislatif, dan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota untuk pemilihan eksekutif.

Pemilu Legislatif tahun 2009-2014 merupakan titik awal kebangkitan euphoria politik masyarakat Aceh. Pada periode tersebut sebanyak sepuluh partai politik lokal mendaftarkan diri di kantor kementerian Hukum dan HAM Provinsi Aceh, dan hanya enam yang berhasil lolos proses verifikasi yang dilakukan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, yaitu; Partai Aceh (PA), Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA), Partai Bersatu Ajeh (PBA), Partai Daulat Aceh (PDA), Partai Rakyat Aceh (PRA), dan Partai Aceh Aman Seujahtera (PAAS). Pileg yang dilaksanakan pada tanggal 09 April 2009 ini total diikuti oleh 44 parlok dan parnas, dan mereka bertarung memperebutkan 69 kursi DPRA. Berikut adalah hasil perolehan suara dan kursi dari enam partai politik lokal.
Table 1. Hasil Pileg Aceh 2009
Nama Partai
Perolehan Suara
Peringkat Akhir
Jumlah Kursi
Partai Aceh (39)
1.007.173 (46,91%)
1
33
Partai Daulat Aceh (36)
39.706 (1,85 %)
8
1
Partai Suara Independen Rakyat Aceh (37)
38.157 (1,78 %)
9
-
Parta Rakyat Aceh (38)
36.574 (1,70%)
13
-
Partai Bersatu Atjeh (40)
16.602 (0,77%)
20
-
Partai Aceh Aman Seujahtera (35)
11.117 (0,52%)
23
-
Sumber: KIP Aceh 2009
Ketentuan electoral threshold alias ambang batas peserta pemilu akhirnya membatasi hak sejumlah partai politik lokal yang berkiprah pada Pemilu Legislatif 2009-2014 untuk kembali mengikuti pertarungan pada Pemilu Legislatif 2014-2019. Aturan yang mensyaratkan setiap partai politik harus mendapatkan minimal lima persen suara pada pemilu sebelumnya agar bisa kembali mengikuti ajang politik tahun selanjutnya mengakibatkan lima dari enam partai harus rela untuk tidak ikut berkompetisi. Otomatis, hanya Partai Aceh (PA) saja yang langsung berhak atas satu nomor undian pada periode kedua ini. Kemudian, berdasarkan hasil verifikasi faktual dari penyelenggara pemilu di Aceh pada tahun 2014, akhirnya memutuskan untuk meloloskan Partai Nasional Aceh (PNA) dan Partai Damai Aceh menemani Partai Aceh (PA) untuk bersaing dalam memperebutkan suara dari masyarakat Aceh. Pileg yang dilaksanakan pada tanggal 09 April 2014 ini total diikuti oleh 15 parlok dan parnas, dan memperebutkan 81 kursi DPRA. Berikut adalah hasil perolehan suara dan kursi dari tiga partai politik lokal.
Table 2. Hasil Pileg Aceh 2014
Nama Partai
Perolehan Suara
Peringkat Akhir
Jumlah Kursi
Partai Aceh (13)
847.956 (35,34%)
1
29
Partai Nasional Aceh (12)
113.452 (4,73%)
8
3
Partai Damai Aceh (11)
72.721 (3,03%)
11
1
Sumber: KIP Aceh 2014

Adapun gelombang ketiga pesta politik lokal Aceh akan diselenggarakan pada 19 April 2019. Terdapat enam partai politik lokal yang mendaftarkan diri ke KIP, yaitu; Partai Aceh (PA), Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA), Partai Daerah Aceh (PDA), Partai Nanggroe Aceh (PNA), Partai Geuneurasi Aceh Beusaboh Tha’at dan Taqwa (GABTHAT), dan Partai Gerakan Rakyat Aceh Mandiri (GRAM). Sayangnya, dua nama terakhir harus kandas ditengah jalan karena tidak lolos verifikasi faktual penyelenggara lokal. Jadi, Pemilu Legislatif Aceh periode 2019-2024 akan diikuti oleh sebanyak empat partai politik lokal, dan tidak lupa enam belas partai politik nasional. Dalam menyongsong dan menyemarakkan Pemilu Legislatif Aceh 2019, berikut saya tampilkan sekilas profil dan peta partai politik lokal yang akan berkompetisi. 

Partai Aceh (nomor urut 15)
Sejarahnya partai ini merupakan tranfromasi dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang akhirnya meninggalkan medan perang menuju meja politik. Sebelum memprakarsakan diri dengan sebutan Partai Aceh, partai ini sempat dua kali berganti nama, yaitu Partai Gerakan Aceh Merdeka dan Partai Gerakan Aceh Mandiri. Ternyata, keinginan para founding father untuk tetap mempertahankan akronim GAM pada tubuh partai mendapat penolakan keras dari pemerintah pusat, akhirnya pada 22 April 2008 semua sepakat untuk memakai nama Partai Aceh. Saat ini, partai yang lahir langsung dari rahim MoU Helsinski antara GAM dengan pemerintah RI tahun pada 2005 silam ini bisa dikatakan sebagai partai lokal tersukses dan terbesar di Aceh karena memiliki basis dukungan masyarakat di hampir seluruh pesisir Aceh, hal ini bisa dilihat dari hasil Pileg periode sebelumnya dimana setiap daerah pemilihan hampir dikuasai penuh oleh partai yang dimotori oleh eks kombatan GAM ini.
  • Tokoh kunci: Anwar Ramli, Kautsar, Tgk Muharuddin, Azhari, Ridwan Abubakar, Abdullah Saleh
  • Dapil potensial: Dapil 2, Dapil 3, Dapil 5, Dapil 6, Dapil 7, Dapil 9, Dapil 10 

Partai SIRA (nomor urut 16)
Merupakan alumni Pileg 2009 yang harus rela cuti pada Pileg 2014 karena aturan electoral threshold, kini kembali lagi dengan nama yang sama dengan bendera yang sedikit berbeda. Pada dasarnya SIRA telah eksis jauh sebelum partai politik lokal diperbolehkan di Aceh. Awalnya SIRA adalah singkatan dari Sentral Informasi Referendum Aceh, yaitu sebuah wadah bagi para aktivis mahasiswa yang mendukung dan mengkampanyekan kemerdekaan (referendum) Aceh pada awal masa reformasi dan darurat militer di Aceh, dan barulah pada tahun 2007 kelompok kepentingan ini akhirnya bertranformasi menjadi sebuah partai politik lokal. Pengalaman masuk dalam top 10 peraih suara tertinggi pada Pileg 2009 menjadi modal awal partai ini untuk kembali eksis di percaturan politik lokal di Aceh.
  • Tokoh kunci: Muhammad Nazar
  • Dapil potensial: Dapil 1 atau Dapil 2 

Partai Daerah Aceh (Nomor urut 17)
Partai lokal yang satu ini belum pernah absen dalam tiap edisi pertarungan calon legislatif tingkat daerah, sama halnya dengan Partai Aceh, tahun 2019 nanti akan menjadi yang ketiga kalinya berpartisipasi. Uniknya, tiap periode pemilihan muncul dengan nama dan bendera yang berbeda-beda namun tetap mempertahankan akronim yang sama yaitu PDA, yaitu; Partai Daulat Aceh (2009), Partai Damai Aceh (2014), dan Partai Daerah Aceh (2019). Hasilnya mereka berhasil mengamankan satu kursi DPRA tiap periodenya, mungkin ini alasan mengapa partai yang didirikan oleh para ulama Dayah (pesantren tradisional di Aceh) betah untuk sering gonta-ganti nama, karena satu kursi di level propinsi sepertinya sudah jadi milik partai yang memiliki basis suara dari santri dan tengku dayah se Aceh ini.
  • Tokoh kunci: Tgk Muhibbussabri A. Wahab
  • Dapil potensial: Dapil 1 

Partai Nangroe Aceh (nomor urut 18)
Sebagian tokoh penting dan eks kombatan GAM yang tidak betah di PA berpindah haluan ke partai politik lain, bahkan kader-kader terbaik partai yang merasa aspirasinya tidak tersalurkan dengan baik oleh PA akhirnya melahirkan partai baru yang bernama Partai Nasional Aceh (PNA). Ikut berpartisipasi pada Pileg 2014, partai besutan Irwandy Yusuf cs ini berbagi nasib dengan PDA karena tidak mampu melewati ambang batas peserta pemilu, namun dalam hal perolehan kursi sedikit lebih beruntung karena berhasil mengirimkan tiga nama ke DPRA. Kemudian, demi mengikuti pergelarakan pesta politik 2019, partai yang didirikan pada tahun 2012 ini harus rela berpindah atribut dan berganti nama menjadi Partai Nanggroe Aceh.
  • Tokoh kunci: Irwansyah, Zaini Yusuf
  • Dapil potensial: Dapil 1, Dapil 3, Dapil 5 

Paska Pilgub Aceh 2017, peta percaturan politik di Aceh mengalami perubahan yang bisa dibilang cukup signifikan. Jika sebelumnya banyak pengamat pemilu dan partai politik meniscayakan Partai Aceh akan dengan mudah menggulingkan lawan-lawan politiknya, maka opini yang berkembang sekarang meyakini bahwa partai pimpinan Muzakir Manaf tersebut akan mengalami kesulitan untuk terus mendominasi peta perpolitikan di Aceh. Pertama, melihat track record keikutsertaan partai bercorak merah-hitam ini dalam kontes legislatif dan eksekutif menunjukkan penurunan. Pilkada serentak tahun 2017 lalu menjadi sinyal melemahnya hagemoni Partai Aceh, setengah dari 20 pasangan yang diusung dan didukung oleh PA harus tumbang, angka tersebut sudah termasuk Pilgub. Kemudian, sebelum kalah dalam Pilgub 2017, PA sudah duluan kehilangan hampir 12% suara pada Pileg 2014, padahal pada keikutsertaan pertama mereka pada Pileg 2009 hampir melahap 50% suara rakyat Aceh.

Beberapa penyebab lain yang melatar belakangi trend negatif yang sedang dialami oleh Partai Aceh, diantaranya seperti konflik internal ditubuh partai yang menyebabkan beberapa tokoh penting yang biasanya menjadi vote getter hengkang ke partai sebelah, contohnya eksodus beberapa kader dan simpatisan ke PNA tahun 2014 lalu. Kemudian, terdapat banyak janji politik yang belum ditunaikan, dan masyarakat juga sudah jengah dengan prilaku elit Partai Aceh yang masih kerap melakukan serangkaian politik intimidasi. Lebih lanjut, keberadaan PA diluar jajaran eksekutif sejak 2017 ternyata ikut melemahkan ruang partisipasi mereka dalam ranah pengambilan kebijakan, contohnya akses mereka terhadap anggaran yang hilang sejak dipergubkannya APBA 2018, hal ini tentu akan berpengaruh besar terhadap pendanaan pemenangan partai pada Pileg 2019 nanti. Terakhir, fokus kader dalam memenangkan PA di level DPRA sedang terpecah, melihat adanya wacana sejumlah ujung tombak partai seperti Azhari Cage, Kautsar, dan Abdullah Saleh yang berkeinginan mencicipi kursi DPR-RI melalui jalur partai nasional. Walaupun sedang berada diposisi yang tidak mengenakkan, Partai Aceh akan tetap memimpin klasemen perebutan kursi Pileg 2019, dengan kemungkinan akan kehilangan suara yang lebih-kurang 10% dari suara pada Pileg edisi sebelumnya.

Bagi lawan politiknya, ini merupakan momentum yang tepat untuk mencuri beberapa kursi DPRA milik Partai Aceh. Partai nasional seperti Golkar, Demokrat, dan Nasdem tentu berambisi untuk melampaui pencapaian pada periode sebelumnya, yaitu minimal 10 kursi, sesuatu yang dirasa bukan hal yang mustahil. Sementara itu, mission impossible untuk dapat berbicara banyak pada Pileg 2019 dihadapi oleh PDA dan SIRA.

Secara finansial dan nilai jual, PDA sedikit lebih beruntung karena memiliki akses terhadap kekuasaan akibat tergabung dalam koalisi pemenangan Irwandy-Nova pada Pilgub 2017 lalu. Tidak dengan SIRA yang cukup lama vakum dari persaingan politik Aceh, hal ini secara tidak langsung bisa mempengaruhi antusiasme caleg dan relawan untuk bergabung dalam pemenangan partai. Secara struktural dan dukungan, PDA cukup kokoh karena memiliki basis dukungan dari ulama dan santri Dayah se Aceh. Sementara itu, pondasi partai SIRA terlihat rapuh dimana pernah terjadi dualisme akibat adanya perbedaan pandangan politik, bahkan tahun 2012 sempat muncul Partai SIRA Perjuangan yang sekarang entah bagaimana kabarnya. Jika dilihat persamaan, satu kesamaan antara keduanya adalah sama-sama mengalami krisis tokoh dan sangat bergantung pada one-man show dari Tgk Muhibbussabri A. Wahab (PDA) dan Muhammad Nazar (SIRA). Maka, mendapatkan satu kursi saja pada Pileg 2019 nanti sepertinya merupakan sebuah prestasi bagi kedua partai tersebut.

Sementara itu, antusiasme tinggi sedang melanda segenap pengurus, kader, dan simpatisan PNA. Keberhasilan mengantarkan Irwandy Yusuf ke kursi Aceh 1 diharapkan dapat menular pada Pileg 2019 nanti. Namun lagi-lagi, krisis tokoh bisa menjadi batu sandungan bagi partai yang identik dengan warna oranye ini. Stok tokoh melimpah di Dapil 1 (Sabang-Banda Aceh-Aceh Besar), namun tidak dibarengi dengan Dapil lainnya. Walaupun begitu, permasalahan ini sepertinya tidak terlalu besar mengingat posisi PNA yang sedang menguasai eksekutif, sehingga factor bisa menjadi magnet tersendiri untuk menggaet sejumlah tokoh untuk bertarung dibawah payung PNA. Oleh karena itu, Irwandy effect sangat diharapkan untuk kembali menciptakan keajaiban jilid 2 seperti yang terjadi pada Pilgub 2017 lalu.

Masyarakat pemilih semakin cerdas, peta politik bisa berubah, dan partai politik diharapakan segera berbenah. Besar harapan agar Pileg 2019 nanti dapat berjalan dengan aman dan damai tanpa ada konflik yang bergejolak, sehingga masyarakat dapat memilih dengan tenang sesuai dengan pilihan hati bukan intimidasi. Kemudian, partai politik agar bisa mengirimkan kader-kader terbaiknya yang memiliki visi untuk mengabdi bukan mengharapkan gaji, sehingga nantinya komposisi anggota dewan diisi oleh orang-orang yang berkualitas yang mampu mewakili suara dari konstituennya dengan baik. Aammiinn..

Wednesday, August 13, 2014

Banda Aceh Sebagai Pusat Perhatian dan Model Kota Madani

August 13, 2014 2
Balai Kota Banda Aceh (sumber gambar: nelva-amelia.blogspot.com)
Bisa dikatakan Kota Banda Aceh merupakan representasi dari Propinsi Aceh. Misalnya saja masyarakat non-Aceh ketika berkunjung ke Aceh tentu saja mereka akan menilai Propinsi Aceh secara keseluruhan melalui Kota Banda Aceh. Dan penilaian Aceh berdasarkan Banda Aceh yang diberikan oleh publik tersebut bisa dikatakan ada benarnya.

Dikarenakan Banda Aceh merupakan pusat kota dan pusat pemerintahan, dan juga menjadi sentral pendidikan dan ekonomi, membuat penduduk seantero Aceh baik dari pesisir Barat-Selatan hingga pesisir Utara-Timur berbondong-bondong untuk hijrah ke kota yang dulunya dikenal dengan Kutaraja “City of The King” ini, dan eksodus besar-besaran demi mencari kehidupan yang layak tersebut akhirnya mampu menjadikan Kota Banda Aceh sebagai miniatur dari Propinsi Aceh.


Banda Aceh di Mata Nasional
Pengalaman menarik saya dapatkan ketika mengenyam pendidikan sarjana di luar Aceh. Kebetulan saya memiliki banyak kenalan yang berasal dari berbagai daerah yang ada di Indonesia, dan mereka memiliki pandangannya masing-masing mengenai Aceh. Contohnya saja, mereka sangat mengagumi Aceh karena syariat islamnya, ada satu teman yang berasal dari Madura secara terang-terangan menyatakan iri dengan keistimewaan yang diberikan pemerintah pusat untuk Aceh, dia sempat mengutarakan jika berharap suatu saat daerahnya juga bisa menikmati hidup dibawah naungan syariat islam.

Cerita menarik lainnya saya alami pada saat awal perkuliahan yakni pada masa orientasi kampus, ketika saya menyebutkan asal saya dari Aceh, tiba-tiba muncul suara yang entah dari mana asalnya meneriakkan “woi ganja.. woi ganja..”. Ya diluar sana Aceh kadung terkenal dengan negeri penghasil Ganja terbaik di Indonesia, apakah layak untuk disebut sebagai sebuah prestasi? Tidak, bagi saya itu merupakan sebuah aib bagi negeri Serambi Mekkah ini. Dan lucunya lagi pernah ada teman sekampus yang iseng meminta saya untuk mebawakan oleh-oleh berupa mainan Bob Marley (if do you know what I mean?) untuk mereka, haha.. ada-ada saja.

Pernah juga ketika di dalam kelas, salah satu dosen saya yang telah melalang buana melakukan penelitian diseluruh penjuru Indonesia, menceritakan kisah hebatnya dalam menaklukkan nusantara. Tiba saat beliau mengisahkan pengalamannya ketika berada di Aceh, tanpa basa-basi beliau langsung menyerang masyarakat Aceh dengan kata-kata beu’o alias pemalas. Beliau menyindir keras terhadap perilaku minum kopi yang sudah membudaya di Aceh. Bukan aktivitas ngopi sambil ngobrol yang dipermasalahkannya, namun yang menjadi titik kekesalannya adalah duduk di kedai kopi yang tidak mengenal batas waktu. Tentu sudah menjadi tontonan sehari-hari bagi orang Aceh melihat bagaimana tua-muda, siang- malam, minimal menghabiskan waktunya dua jam untuk bersantai di kedai kopi, apalagi akhir-akhir ini dengan adanya fasilitas wifi dihampir setiap kedai kopi membuat para pemudanya betah duduk berjam-jam hanya untuk online (ngucapinnya sambil nyanyi lagunya Saykoji).

Begitulah kira-kira beberapa pandangan populer masyarakat luar terhadap Banda Aceh, ada yang memandang baik ada juga yang memandang kurang baik, dan semua itu disampaikan menurut apa yang terlihat melalui kaca mata mereka.

Jika Aceh sudah terlanjur terkenal sebagai eksportir cannabis nomor wahid di Indonesia, mari kita hapus kenangan tersebut dengan cara mengenalkan Banda Aceh sebagai destinasi Wisata Syariah nomor satu di Asia Tenggara. Walaupun sangat disayangkan beberapa waktu lalu Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) telah menawarkan sembilan objek wisata syariah, dan tidak ada nama Aceh di daftar tersebut. Memang cukup mengherankan bagi publik mengapa Aceh tidak masuk kedalam paket wisata syariah Indonesia, padahal jika dikaji secara kultural Aceh paling potensial, mungkin saja kemarin Ibu Menteri Mari Elka Pangestu lupa menyebutkan (maksa banget.. hehe). Dan pada dasarnya sebelum penetapan sembilan objek wisata syariah oleh Kemenparekraf tersebut, Pemerintah Kota Banda Aceh jauh-jauh hari memang telah merencanakan untuk menjadikan Banda Aceh sebagai "Bandar Wisata Islami", jadi walaupun tidak disiapkan oleh pemerintah pusat sebagai objek wisata syariah, Banda Aceh secara mandiri memang sudah menyiapkan diri sebagai destinasi wisata syariah, jadi tinggal eksekusinya saja.

suasana kedai kopi di Aceh yang tidak pernah sepi pengunjung (sumber gambar: uniqpost.com)
Kemudian jika memang masyarakat Aceh di cap sebagai pemalas yang disebabkan oleh hobi ngopi. Sudah saatya kita ubah persepsi buruk tersebut. Setidaknya pemerintah kota dapat mengeluarkan qanun khusus tentang izin operasi warung kopi di Banda Aceh. Setidaknya ada beberapa usulan yang bisa dipertimbangkan, atara lain:
  • Ada batasan minimal waktu yang harus dipatuhi oleh pengunjung, misalnya maksimal satu jam, dan ini sesuai dengan amalam dalam islam, karena suka menyia-nyiakan waktu bukan ciri orang muslim, seperti yang diterangkan dalam Al-Quran surat Al-‘Asr bahwasanya orang yang menyia-nyiakan waktu adalah orang-orang yang sangat merugi. Dan jika tidak mematuhi aturan tersebut maka akan dikenakan denda sekian rupiah, serta hukuman larangan mendekati warung kopi selama sekian hari.
  • Menjamurnya warung kopi di Banda Aceh sebenarnya perkembangannya bisa ditekan secara halus, misalnya dengan membuat aturan bahwa jarak antara satu kedai kopi dengan kedai kopi lainya tidak boleh kurang dari satu kilometer, dengan begitu mampu mengurangi sesaknya warung kopi di jalanan, karena kondisi yang terjadi sekarang, kiri-kanan, depan-belakang, ada warung kupi. Ya tentu saja peraturan ini berlaku bagi calon pengusaha warung kopi yang baru, karena tidak mungkin aturan ini diterapkan untuk warung kopi yang sudah terlanjur berdiri.
Masyarakat Aceh boleh saja kesal ataupun marah terhadap kritikan pedas yang datang dari luar, namun kita tidak harus balik menyerang dengan mencari-cari kesalahan orang lain, akan lebih baik jika kita melakukan instrospeksi diri, karena apa yang dikatakan bisa jadi itu sebuah kebenaran, dan seharusnya kritikan tersebut bisa menjadi motivasi untuk mencari solusi permasalahan demi menuju sebuah perubahan yang lebih baik.


Cita-cita Banda Aceh Kota Madani
banner HUT Kota Banda Aceh yang ke 809 (sumber gambar: seputaraceh.com)
Banda Aceh sendiri kini sudah menginjak usia 809 tahun, sebuah usia yang menjadikan Banda Aceh sebagai kota islam tertua di Asia Tenggara (Wikipedia). Melewati perjalanan usia lebih delapan abad tersebut Banda Aceh kini mencanangkan diri untuk menjadi sebuah kota yang madani, layaknya kota suci Madinah Al-Munawarah pada zaman Rasulullah Muhammad SAW.

Konsep kota madani sendiri sebenarnya berhubungan erat dengan istilah civil society. Dalam perspektif Islam, civil society lebih mengacu kepada penciptaan peradaban. Dimulai dengan kata Ad-Din yang umumnya diterjemahkan sebagai agama yang berkaitan dengan makna Tamadun atau peradaban. Keduanya menyatu dengan pengertian Al-Madinah yang arti harfiahnya adalah kota. Dengan demikian makna civil society sebagai masyarakat madani mengandung 3 hal yakni, agama, peradaban, dan perkotaan. Dari konsep ini tercermin agama merupakan sumber, peradaban adalah prosesnya dan masyarakat kota adalah hasilnya (Rahardjo, 1999).

Jika mengacu pada pendapat diatas maka Banda Aceh Kota Madani belum sepenuhnya layak disebut sebagai kota yang madani. Mari kita lihat bagaimana kondisi Banda Aceh Kota Madani menurut tiga unsur yang telah disebutkan diatas:
  1. Agama. Pelaksanaan syari’at islam di Aceh disertai dengan jaminan kebebasan beragama. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh disebutkan bahwa pelaksanaan syari’at islam di Aceh hanya diberlakukan bagi yang beragama islam saja. Dengan demikian yang tidak beragama islam tidak akan dipaksa untuk mengikuti hukum atau peraturan yang didasarkan kepada syari’at islam tersebut, agama selain islam diberikan kebebasan untuk menjalankan ibadah dan keyakinan masing-masing. Hal yang terjadi di Aceh ternyata sesuai dengan keadaan kota madani Madinah pada zaman Rasulullah. Kebebasan beragama telah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Dalam Piagam Madinah yang ditandatangani oleh berbagai pihak masyarakat Madinah terutama pada pasal 25 menyatakan bahwa “kaum Yahudi adalah satu umat dengan Mukminin, bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum Muslimin agama mereka”. Dari sinilah ditetapkan prinsip-prinsip kebebasan beragama seperti yang telah diterapkan oleh baginda Nabi Muhammad SAW.
  2. Peradaban. Suatu peradaban maju mundurnya dilihat dari kehidupan masyarakatnya. Syariat islam di Aceh hadir untuk mengatur kehidupan masyarakat Aceh demi menuju ke peradaban yang lebih baik. Namun realitanya syariat islam yang telah diberlakukan sejak tahun 2001 tersebut belum mampu menjadi benteng yang kokoh dalam memerangi kemaksiatan, contoh kecilnya saja dalam hal membatasi pergaulan muda-mudi di Banda Aceh Kota Madani. Lihat saja masih banyak dijumpai di jalanan yang bukan muhrim saling berboncengan mesra dengan ngangkang style binti gangnam style. Yang lebih fenomenal lagi, masih terbesit di ingatan beberapa bulan yang lalu, salah satu media cetak di Aceh mengeluarkan berita laporan eksklusifnya “Sisi Gelap ABG Aceh” (25/03/2014), lalu menyusul satu bulan kemudian “Illiza Pimpin Gerebek Hotel” (28/04/2014). Masih ada segelintir masyarakat Banda AcehKota Madani yang belum mengamalkan syariat islam, masih ada segelintir masyarakat Banda Aceh Kota Madani yang mengacuhkan syariat islam. Dimanakah letak kesalahannya? Apakah kesadaran dari masyarakat yang masih sangat rendah? Atau implementasi dari pemerintah yang masih setengah hati?. Dari contoh kecil di atas dapat disimpulkan bahwa peradaban yang dicita-citakan untuk membentuk masyarakat madani seperti zaman Rasulullah masih sangat jauh dari ekspektasi.
  3. Perkotaan. Banda Aceh Kota Madani mengalami perkembangan yang cukup pesat dalam hal pembangunan kota, terutama sejak dipimpin dibawah komando Alm. Mawardy Nurdin yang baru saja dianugerahi sebagai Bapak Pembangunan Kota Banda Aceh pada ajang Banda Aceh Madani Award 2014 beberapa bulan yang lalu. Berbagai macam prestasi diukir dalam bidang kota dan tata ruang, seperti: Anugerah Piala Adipura, Anugerah Wahana Tata Nugraha, Juara Nasional PKPD-PU Bidang Penataan Ruang, Juara Nasional PKPD-PU Bidang Bina Marga. Dari serangkaian pembangunan dan sederet penghargaan yang diterima oleh Banda Aceh Kota Madani. Dari sisi tata ruang kota Banda Aceh Kota Madani telah memenuhi syarat untuk dikatakan sebagai sebuah perkotaan. Namun secara infrastruktur masih terdapat kekurangan yang harus dibenahi, terutama menyangkut pasokan listrik, karena selama ini kita masih belum bisa mandiri dan masih sangat bergantung kepada tetangga sebelah yaitu Sumatera Utara. 
Pada dasarnya bagi orang luar, Banda Aceh memiliki citra yang sangat positif, dan semua itu berkat eksistensi dari syariat islam di Aceh. Syariat islam di Aceh sebenarnya merupakan sebuah modal awal bagi Pemerintah Kota Banda Aceh untuk membangun sebuah kota madani. Dan lebih daripada itu, niatan mulia Pemerintah Kota Banda Aceh juga didukung oleh nilai-nilai historis, dibawah Kesultanan Aceh Darussalam (1496-1903), dulu Banda Aceh sukses menjadi pusat peradaban islam di Asia Tenggara. Kemudian jika berpatokan pada tiga aspek pembahasan diatas (agama, peradaban, dan perkotaan), Banda Aceh tinggal memperbaiki aspek peradaban (masyarakat) yang masih sangat kurang, dan lagi-lagi disini syariat islam bisa dijadikan sebagai sebuah solusi. Dan juga tidak lupa kebutuhan terhadap kelengkapan infrastruktur yang masih kurang juga harus dipenuhi..

Alm. Mawardy Nurdin dan
Illiza Sa'aduddin (sumber foto: ajnn.net)
Jadi keinginan Banda Aceh untuk membangun sebuah kota yang madani bukan hanya sebatas isapan jempol semata, hal tersebut bisa saja direalisasikan secepatnya asalkan memang digarap dengan serius. Dan ini merupakan pekerjaan rumah yang besar bagi Illiza Sa’aduddin Djamal sebagai Walikota Banda Aceh yang akan melanjutkan kepemimpinan Alm. Mawardy Nurdin yang belum selesai, yaitu untuk mewujudkan cita-cita Banda Aceh Kota Madani.


Keterangan : Tulisan ini adalah karya yang saya ikut sertaka pada ajang “Madani Youth Blog Competition” yang diselenggarakan oleh DPD KNPI Kota Banda Aceh.

Monday, March 18, 2013

Sejarah Lahirnya GAM (Gerakan Aceh Merdeka)

March 18, 2013 9

Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia
Berbicara tentang GAM, mau tak mau, harus bicara kelahiran negara Republik Indonesia. Sebab, dari situlah kisah gerakan menuntut kemerdekaan dimulai. Lima hari setelah RI diproklamasikan, Aceh menyatakan dukungan sepenuhnya terhadap kekuasaan pemerintahan yang berpusat di Jakarta. Di bawah Residen Aceh, yang juga tokoh terkemuka, Tengku Nyak Arief, Aceh menyatakan janji kesetiaan, mendukung kemerdekaan RI dan Aceh sebagai bagian tak terpisahkan.

Pada 23 Agustus 1945, sedikitnya 56 tokoh Aceh berkumpul dan mengucapkan sumpah. ''Demi Allah, saya akan setia untuk membela kemerdekaan Republik Indonesia sampai titik darah saya yang terakhir.'' Kecuali Mohammad Daud Beureueh, seluruh tokoh dan ulama Aceh mengucapkan janji itu. Pukul 10.00 WIB pada waktu itu, Husein Naim dan M Amin Bugeh mengibarkan bendera di gedung Shu Chokan (kini, kantor gubernur). Akan tetapi, ternyata tak semua tokoh Aceh mengucapkan janji setia, yaitu mereka para hulubalang, prajurit-prajurit yang berjuang melawan Belanda dan Jepang. Mereka yakin, tanpa RI, mereka bisa mengelola sendiri negara Aceh. Inilah kisah awal sebuah gerakan kemerdekaan. Motornya adalah Daud Cumbok, markasnya di daerah Bireuen. Tokoh-tokoh ulama menentang Daud Cumbok. Melalui tokoh dan pejuang Aceh, M. Nur El Ibrahimy, Daud Cumbok digempur dan kalah. Dalam sejarah, perang ini dinamakan perang saudara atau Perang Cumbok yang menewaskan tak kurang 1.500 orang selama setahun hingga 1946.

Tahun 1948, ketika pemerintahan RI berpindah ke Yogyakarta dan Syafrudin Prawiranegara ditunjuk sebagai Presiden Pemerintahan Darurat RI (PDRI), Aceh minta menjadi propinsi sendiri. Saat itulah, M. Daud Beureueh ditunjuk sebagai Gubernur Militer Aceh. Oleh karena kondisi negara terus labil dan Belanda merajalela kembali, muncul gagasan melepaskan diri dari RI, ide datang dari dr. Mansur, wilayahnya tak cuma Aceh, tetapi meliputi Aceh, Nias, Tapanuli, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkalis, Indragiri, Riau, Bengkulu, Jambi, dan Minangkabau. Daud Beureueh menentang ide ini, diapun berkampanye kepada seluruh rakyat, bahwa Aceh adalah bagian RI. Sebagai tanda bukti, Beureueh memobilisasi dana rakyat.

Setahun kemudian, 1949, Beureueh berhasil mengumpulkan dana rakyat 500.000 dolar AS. Uang itu disumbangkan utuh buat bangsa Indonesia. Uang itu diberikan ABRI 250 ribu dolar, 50 ribu dolar untuk perkantoran pemerintahan negara RI, 100 ribu dolar untuk pengembalian pemerintahan RI dari Yogyakarta ke Jakarta, dan 100 ribu dolar diberikan kepada pemerintah pusat melalui AA Maramis. Aceh juga menyumbang emas lantakan untuk membeli obligasi pemerintah, membiayai berdirinya perwakilan RI di India, Singapura dan pembelian dua pesawat terbang untuk keperluan para pemimpin RI. Saat itu Soekarno menyebut Aceh adalah modal utama kemerdekaan RI.

Setahun berlangsung, kekecewaan tumbuh. Propinsi Aceh dilebur ke Propinsi Sumatera Utara. Rakyat Aceh marah. Apalagi, janji Soekarno pada 16 Juni 1948 bahwa Aceh akan diberi hak mengurus rumah tangganya sendiri sesuai syariat Islam tak juga dipenuhi. Intinya, Daud Beureueh ingin pengakuan hak menjalankan agama di Aceh. Bukan dilarang. Beureueh tak minta merdeka, cuma minta kebebasan menjalankan agamanya sesuai syariat Islam. Daud Beureueh pun menggulirkan ide pembentukan Negara Islam Indonesia pada April 1953. Ide ini di Jawa Barat telah diusung Kartosuwiryo pada 1949 melalui Darul Islam. Lima bulan kemudian, Beureueh menyatakan bergabung dan mengakui NII Kartosuwiryo. Dari sinilah lantas Beureueh melakukan gerilya. Rakyat Aceh, yang notabene Islam, mendukung sepenuhnya ide NII itu. Tentara NII pun dibentuk, bernama Tentara Islam Indonesia (TII). Lantas, terkenallah pemberontakan DI/TII di sejumlah daerah. Beureueh lari ke hutan. Cuma, ada tragedi di sini. Pada 1955 telah terjadi pembunuhan masal oleh TNI. Sekitar 64 warga Aceh tak berdosa dibariskan di lapangan lalu ditembaki. Aksi ini mengecewakan tokoh Aceh yang pro-Soekarno. Melalui berbagai gejolak dan perundingan, pada 1959, Aceh memperoleh status propinsi daerah istimewa.

Beureueh merasa dikhianati Soekarno. Bung Karno tidak mengindahkan struktur kepemimpinan adat dan tak menghargai peranan ulama dalam kehidupan bernegara. Padahal, rakyat Aceh itu sangat besar kepercayaannya kepada ulama. Gerilya dilakukan, tetapi Bung Karno mengerahkan tentaranya ke Aceh. Tahun 1962, Beureueh dibujuk menantunya El Ibrahimy agar menuruti Menhankam AH Nasution untuk menyerah. Beureueh menurut karena ada janji akan dibuatkan UU Syariat Islam bagi rakyat Aceh (baru terwujud tahun 2001).



Awal Mula Berdirinya GAM
GAM lahir di era Soeharto. Saat itu, sedang terjadi industrialisasi di Aceh. Soeharto benar-benar mencampakkan adat dan segala penghormatan rakyat Aceh. Efek judi melahirkan prostitusi, mabuk-mabukan, bar, dan segala macam yang bertentangan dengan Islam dan adat rakyat Aceh. Kekayaan alam Aceh dikuras melalui pembangunan industri yang dikuasai orang asing melalui restu pusat. Sementara rakyat Aceh tetap miskin. Pendidikan rendah, kondisi ekonomi sangat memprihatinkan. Melihat hal ini, Daud Beureueh dan tokoh tua Aceh yang sudah tenang kemudian bergerilya kembali untuk mengembalikan kehormatan rakyat, adat Aceh dan agama Islam.

Pertemuan digagas tahun 1970-an. Mereka sepakat meneruskan pembentukan Republik Islam Aceh, yakni sebuah negeri yang mulia dan penuh ampunan Tuhan. Kini mereka sadar, tujuan itu tak bisa tercapai tanpa senjata. Lalu diutuslah Zainal Abidin menemui Hasan Tiro yang sedang belajar di Amerika. Pertemuan terjadi tahun 1972 dan disepakati Tiro akan mengirim senjata ke Aceh. Zainal tak lain adalah kakak Tiro. Sayang, senjata tak juga dikirim hingga Beureueh meninggal. Hasan Asleh, Jamil Amin, Zainal Abidin, Hasan Tiro, Ilyas Leubee, dan masih banyak lagi berkumpul di kaki Gunung Halimun, Pidie. Di sana, pada 24 Mei 1977, para tokoh eks DI/TII dan tokoh muda Aceh mendirikan GAM.

Selama empat hari bersidang, Daud Beureueh ditunjuk sebagai pemimpin tertinggi. Sementara Hasan Tiro yang tak hadir dalam pendirian GAM itu ditunjuk sebagai wali negara. GAM terdiri atas 15 menteri, empat pejabat setingkat menteri dan enam gubernur. Mereka pun bergerilya memuliakan rakyat Aceh, adat, dan agamanya yang diinjak-injak Soeharto.



Miliki Pabrik Senjata dan Pusat Pelatihan di Libia
Setelah didirikan, GAM mendapat dukungan rakyat. Hubungan dengan dunia internasional terus dibangun. Kekuatan bersenjata pun disusun. Berapa anggota GAM, bagaimana kekuatannya, jaringan internasionalnya, dan dananya?

Masih ingat deadline maklumat pemerintah 12 Mei 2003 lalu. Hingga batas waktu ultimatum, pemerintah tak juga mengeluarkan keputusan sebagai tanda awal operasi militer ke Aceh. Konon, saat itu pemerintah menghitung kekuatan TNI di sana. Ada kekhawatiran, TNI bakal dilibas GAM melalui perang gerilya. Secara tidak langsung, kabar ini menyiratkan ketangguhan kekuatan bersenjata GAM. Sesungguhnya jumlah anggota GAM itu sebagian besar rakyat Aceh. Filosofinya begini. Jika rakyat terus ditindas, maka seluruh rakyat itu akan bangkit melawan. Dan, hal seperti inilah yang terjadi di bumi Serambi Mekah itu. Perlawanan GAM mendapat simpati luar biasa dari rakyat Aceh. Rakyat yang lama ternista dan teraniaya.

Sambil berkelakar, Panglima Tertinggi GAM dan Wakil Wali Negara Aceh Tengku Abdullah Syafei (alm) sempat mengatakan, bayi-bayi warga Aceh telah disediakan senjata AK-47 oleh GAM. Mereka akan dididik dan dilatih sebagai tentara GAM dan segera pergi berperang melawan TNI. Sejatinya, basis perjuangan GAM dilakukan dalam dua sisi, diplomatik dan bersenjata. Jalur diplomasi langsung dipimpin Hasan Tiro dari Swedia. Opini dunia dikendalikan dari sini. Sementara basis militer dikendalikan dari markasnya di perbatasan Aceh Utara-Pidie. Seluruh kekuatan GAM dioperasikan dari tempat ini. Termasuk, seluruh komando di sejumlah wilayah di Aceh dan di beberapa negara seperti Malaysia, Pattani (Thailand), Moro (Filipina), Afghanistan, dan Kazakhstan. Tetapi, kerap GAM menipu TNI dengan cara mengubah-ubah tempat markas utamanya. Di seluruh Aceh, GAM membuka tujuh komando, yaitu komando wilayah Pase Pantebahagia, Peurulak, Tamiang, Bateelik, Pidie, Aceh Darussalam, dan Meureum. Masing-masing komando dibawahi panglima wilayah.

Sejak berdiri tahun 1977, GAM dengan cepat melakukan pendidikan militer bagi anggota-anggotanya. Setidaknya tahun 1980-an, ribuan anak muda dilatih di camp militer di Libia. Saat itu, Presiden Libia Mohammar Khadafi mengadakan pelatihan militer bagi gerakan separatis dan teroris di seluruh dunia. Hasan Tiro berhasil memasukkan nama GAM sebagai salah satu peserta pelatihan. Pemuda kader GAM juga berhasil masuk dalam latihan di camp militer di Kandahar, Afghanistan pimpinan Osama bin Laden. Gelombang pertama masuk tahun 1986, selanjutnya terus dilakukan hingga akhir 1990. Selama DOM, pengiriman tersendat. Tetapi, angkatan 1995-1998 sudah mendapat latihan intensif. Ketika DOM dicabut, prajurit dari Libia ini ditarik ke Aceh. Jumlahnya sekitar 5.000 personel dan dijadikan pasukan elite GAM (semacam Kopassus).

Jalur ke Libia memang agak mudah. Dari Aceh, para pemuda Aceh itu dikirim melalui Malaysia lalu menuju Libia. Jalur lainnya dari Aceh lalu ke Thailand menuju Afghanistan dan melanjutkan ke Libia. Dari jalur ketiga, yakni melalui Aceh menuju Filipina Selatan dan ke Libia. Tiga jalur penting ini hampir selalu lolos dari jangkauan petugas imigrasi, polisi, dan patroli TNI-AL.

Di era Syafei hingga sekarang dipegang Muzakkir Manaf, personel GAM terdiri atas pasukan tempur, intelijen, polisi, pasukan inong baleh (pasukan janda korban DOM) dan karades (pasukan khusus) serta Lasykar Tjut Nyak Dien (tentara wanita). Wakil Panglima GAM Wilayah Pase Akhmad Kandang (alm) pernah mengklaim, jumlah personel GAM 70 ribu. Anggota GAM 490 ribu. Jumlah itu termasuk jumlah korban DOM 6.169 orang. Sumber resmi Mabes TNI cuma menyebut sekitar enam ribu orang. Mantan Menhan Machfud MD menyebut 4.869 personel. Dari jumlah itu, 804 di antaranya dididik di Libia dan 115 dilatih di Filipina-Moro. Persediaan senjatanya terdiri atas pistol, senapan, GLM, mortir, granat, pelontar granat, pelontar roket, RPG, dan bom rakitan. Jenis senapan di antaranya AK-47, M-16, FN, Colt, dan SS-1.

Dari mana persenjataan itu diperoleh? Ada jalur internasional yang menyuplainya. Sejumlah negara disebut antara lain, gerakan separatis Pattani Thailand, Malaysia, gerakan Islam Moro Filipina, eks pejuang Kamboja, gerakan separatis Sikh India, gerakan Elan Tamil, dan Kazhakstan serta Libia dan Afghanistan. GAM juga membuat pabrik senjata. Di antaranya, di Kreung Sabe, Teunom-Aceh Barat, Lhokseumawe, Nisau-Aceh Utara, serta di Aceh Timur. Jenis senjata yang diproduksi seperti bom, amunisi, senjata laras panjang dan pendek, pabrik senjata ini bisa dibongkar pasang sesuai dengan kondisi medan. Jika akan diserbu TNI, pabrik senjata telah dipindahkan ke daerah lain. Para ahli senjata disekolahkan ke Afghanistan dan Libia.



Peran Donatur-Donatur Kaya
Pasar gelap senjata ini dilakukan oleh oknum TNI dan Polri yang haus kekayaan. Bagi GAM, asal ada senjata, uang tidak masalah. Sebab, faktanya GAM ternyata memiliki sumber dana yang sangat besar. Jumlah pembelian ke oknum TNI/Polri ini bisa trilyunan rupiah. Sebuah penggerebekan tahun 2000 oleh Polda Metro Jaya sempat menemukan kuitansi Rp 3 milyar untuk pembelian senjata GAM di pasar gelap dari oknum TNI.

Kini, senjata yang dimiliki TNI juga dimiliki GAM. Yang tak dimiliki GAM adalah senjata berat. Sebab, sifatnya yang lamban. Prinsip GAM, senjata itu harus memiliki mobilitas tinggi, mudah dibawa ke mana-mana. Sebab, strategi perangnya yang hit and run. GAM bahkan mengaku memiliki senjata yang lebih modern daripada TNI. Misalnya, senjata otomatis yang dimiliki para karades. Senjata otomatis, berbentuk kecil mungil itu bisa tahan berhari-hari dalam air. Anggota karades inilah yang biasa menyusup ke kota-kota dan menyergap anggota TNI/Polri yang teledor.

Membeli senjata tentu dengan uang melimpah. Sebab, harganya yang tak murah. Lantas, dari mana mereka mendapatkan dana? GAM memiliki donatur tetap dari pengusaha-pengusaha Aceh yang sukses di luar negeri. Di antaranya, di Thailand, Malaysia, Singapura, Amerika, dan Eropa. Dana juga didapatkan dari sumbangan wajib yang diambil dari perusahaan-perusahaan lokal dan multinasional di Aceh.

Sebagai gambaran, tahun 2000 lalu, GAM meminta sumbangan wajib kepada seorang pengusaha lokal bernama Tengku Abu Bakar sebesar Rp 100 juta. Abu Bakar diberi surat berkop Neugara Atjeh-Sumatera tertanggal 15 Februari 2000 yang ditandatangani oleh Panglima GAM Wilayah Aceh Rajek Tengku Tarzura.

Mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menyebut Pupuk Iskandar Muda pernah menyetor Rp 10 milyar ke GAM untuk biaya keamanan. GAM kerap melakukan gangguan bila tidak mendapatkan sumbangan wajib tersebut. Makanya, setiap bulan, GAM mendapat upeti dari para pengusaha ''sahabat GAM'' itu.

Sistem komunikasi GAM juga sangat canggih. Sistem komunikasi berlapis dilakukan GAM sebagai benteng pertahanan dan propaganda. Selain handytalky, GAM juga memiliki radio tranking, radar dan telepon satelit. GAM juga memiliki penyadap telepon. Acap kali gerakan TNI/Polri dimentahkan aksi-aksi penyadapan ini. Penggerebekan sering kali gagal total.

Sistem organisasinya yang disusun dengan sistem sel juga membantu GAM survive. Tidak mudah menemukan markas GAM. Meski, ada sebagian anggota GAM yang ditangkap. Antara anggota dan pejabat satu dengan yang lain kadang tidak berhubungan, tidak saling mengenal.

Ketua Umum Forum Perjuangan dan Keadilan Rakyat Aceh (FOPKRA) Shalahuddin Al Fatah menuturkan, sejak zaman Belanda, rakyat Aceh memang tidak pernah menang. Tetapi, rakyat Aceh tidak pernah ditaklukkan. Fakta sejarah pula, gerakan rakyat Aceh menentang pusat tidak pernah menang. Tetapi, TNI tidak pernah bisa menaklukkan mereka. (sumber)