Blognya Anak Kuliahan

Wednesday, June 6, 2012

Sejarah Perkembangan Ilmu Politik

June 06, 2012 0
Sejarah Perkembangan Ilmu Politik

Untuk mengetahui perkembangan ilmu politik, kita harus meninjau ilmu politik dalam kerangka yang luas. Sebagaimana telah diterangkan pada bagian pendahuluan ilmu politik ditinjau dari kerangka yang luas telah ada sekitar tahun 427 S.M. terbukti dari hasil karya filosof seperti Plato dan Aristoteles. Bahkan Plato yang telah meletakan dasar-dasar pemikiran ilmu politik dikenal sebagai Bapak  filsafat   politik,  sedangkan Aristoteles yang  telah meletakan dasar-dasar keilmuan dalam kajian politik dikenal sebagai Bapak ilmu politik.
Baik Plato maupun Aristoteles pada dasarnya menjadikan negara sebagai persefektif filosofis, dan pandangan mereka tentang  pengetahuan  merupakan  sesuatu yang utuh. Perbedaan keduanya terletak pada tekanan dan obyek pengamatan yang dilakukan, kalau Plato bersifat normatif-deskriptif, sedangkan Aristoteles sudah mendekati empiris dengan memberikan dukungan dan preferensi nilai melalui fakta yang dapat diamati dengan nyata. Jaman ini yang terkenal dengan zaman  Romawi  Kuno memberikan sumbangan yang berharga  bagi  ilmu politik, antara lain: bidang hukum, yurisprudensi dan administrasi negara. Bidang-bidang tersebut didasarkan atas persefektif mengenai  kesamaan manusia,   persaudaraan setiap orang, ke-Tuhan-an dan keunikan nilai-nilai individu.
Para filosof pada zaman ini berusaha mencari esensi ide-ide seperti keadilan dan kebaikan, juga mempertimbangkan masalah-masalah esensial lainnya seperti pemerintahan yang baik, kedaulatan,  kewajiban negara terhadap warga negara atau sebaliknya. Analisis-analisis yang digunakan bersifat analisis normatif  dan  deduktif. Analisis normatif adalah membicarakan asumsi-asumsi bahwa ciri khas tertentu adalah baik atau diinginkan, sedangkan analisis deduktif adalah didasarakan pada penalaran  dari premis umum menuju kesimpulan khusus.
Memasuki abad pertengahan eksistensi ilmu politik justru mengalami kemandekkan. Hal ini disebabkan  karena telah terjadi pergeseran institusi kekuasaan dari negara kepada gereja. Pada masa ini negara menjadi  kurang penting, sehingga pemikiran politik didominasi oleh intelektual dan politik gereja Kristen. Dalam  keadaan seperti pemikiran politik lebih cenderung berurusan untuk menjawab apa yang seharusnya, apa yang baik/buruk,  bukan pernyataan  tentang  apa  yang  ada/nyata.  Jadi  kajian politik pada masa ini mengalami  kemunduran seperti era Plato (filosofis) bukan bersifat keilmuan. Namun, abad ini tetap memberikan sumbangan konsepsial bagi ilmu politik, seperti konsepsi mengenai penyatauan dunia, upah yang jujur, dan  hukum  tertinggiyang  perlu ditaati manusia.
Setelah memasuki abad kelima belas ilmu politik mengalami kemajuan yang berarti terutama dalam obyek dan metode yang digunakan dalam pengkajian maupun pengamatan/penelitian dibidang   politik dibandingkan masa-masa sebelumnnya. Analisa normatif dan deduktif walau tetap masih dipergunakan tetapi telah terpengaruhi oleh penemuan-penemuan baru dan teori  diberbagai  bidang pengetahuan kemanusiaan lainnya.
Sedangkan perkembangan politik  di  negara  Eropa. Anda  tentu  mengenal  beberapa  negara  di  Eropa   yang memberikan kontribusi yang cukup besar bagi  perkembangan ilmu-ilmu sosial  pada umumnya dan  ilmu politik pada khusunya. Di negara-negara seperti  Jerman, Prancis dan Austria perkembangan ilmu politik memasuki abad kedelapan belas sangat dipengaruhi oleh ilmu hukum. Itulah sebabnya fokus perhatian perhatiannya hanya terpusat pada negara.
Lain halnya perkembangan ilmu politik di Inggris dan Amerika serikat. Pada abad kedelapan belas, di Inggris permasalahan politik lebih banyak merupakan kajian filsafat serta pembahasannya tidak terlepas dari sejarah. Sedangkan di Amerika Serikat yang telah menempatkan pangajaran politik di  universitas semenjak tahun 1858, mula-mula studinya lebih bersifat yuridis, akan tetapi semenjak abad ini telah melepaskan diri dari kajian yang bersifat yuridis dengan lebih memfokuskan diri atas pengumpulan data empiris.
Baru memasuki awal abad kedua puluh kajian ilmu politik telah menjauhi studi yang semata-mata  legalistis normatif maupun yang murni normatif dan deduktif. Hal ini dipengaruhi oleh perkembangan teori ilmu  pengetahuan sosial lainnya, terutama konsepsi yang berubah tentang hakekat manusia, pragmatisme dan pluralisme.
Faktor pertama tentang hakekat manusia, telah diakui bahwa sifat manusia sangat beragam dan  kompleks. Pengakuan akan sifat manusia tersebut menimbulkan implikasi-implikasi yaitu: pertama, digugatnya pernyataan mengenai hukum menentukan pemerintahan yang baik, hal ini disebabkan sifat manusia yang berbeda-beda. Kedua, tidak semua manusia akan berperilaku sama dalam  suatu  lembaga tertentu. Ketiga, sifat itu diyakini sebagai obyek  resmi penelitian.
Faktor yang kedua yang mempengaruhi ilmu politik adalah fragmatisme. Ini berarti bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan manusia tidak dapat dinilai dari logika, melainkan dari hasil tindakan atau  perilaku tersebut. Misanya, sesorang dicap sebagai nasionalis, karena hasil dari tindakan dan perilakunya selalu menunjukkan sikap antipati terhadap bangsa sendiri, terhadap produksi dalam negeri, menjelek-jelekan bangsa sendiri di hadapan bangsa lain, dan sebagainya.
Sedangkan faktor yang ketiga, yakni pluralisme, mengandung pengertian bahwa kekuasaan dalam politik dibagi-bagi antara berbagai kelompok, partai dan lembaga-lembaga pemerintahan. Misalnya, organisasi kemasyarakatan, golongan, partai politik, dan yang lebih ekstrim seperti partai oposisi memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi  berbagai  kebijakan pemerintah. Hal ini disebabkan karena organisasi kemasyarakatan dan partai politik tersebut memiliki kekuasaan untuk melakukan itu walaupun kekuasaan tersebut  belum tentu mampu mempengarui kekuasaan yang lainnya.

Wednesday, May 30, 2012

Politik Pencitraan Dari Masa ke Masa

May 30, 2012 6

Politik pencitraan itu amat perlu dalam komunikasi politik hanya saja kita harus melihat pencitraan kaitannya dengan implikasi yang dialami masyarakat, respon yang timbul sehingga menjadi bagian dari pemikiran, gairah dan tindakan-tindakan politik di kalangan masyarakat umum. Dalam sejarah modern Indonesia politik pencitraan dilakukan dilakukan oleh tiga pemimpin : Sukarno, Suharto dan SBY. Masing-masing memiliki kategori dan tujuan pencitraannya.
Pencitraan Gairah Revolusi Sukarno
Pada tahun 1920-an Sukarno sudah memilih peci hitam sebagai bagian dari pencitraan kerakyatan, ia menyatukan diri dalam gerakan besar Melayu, bukan gerakan besar Jawa karena ia melihat bahwa Jawa adalah subkultur dari akar Melayu. Mangkanya ia memilih peci. Pemilihan peci ini dilakukan di Bandung ketika ia melihat tukang sate yang telanjang kaki, telanjang dada hanya pakai kolor tapi mengenakan peci. Ia melihat banyak rakyat Djakarta (dulu Batavia) mengenakan peci, peci ini asalnya dari tarbuz yang banyak dikenakan orang Turki, saat itu sedang ramai gerakan muda Kemal Pasya yang mengenakan tarbuz sebagai lambang nasional rakyat Turki.
Tahun 1945 Sukarno memilih baju model safari dengan kantong-kantong ala perwira, ia reka-reka sendiri model baju ini, kelak rakyat mengenalnya model ‘Baju Sukarno’ penggunaan baju ini ia ukur dengan perkembangan suasana batin jaman yang sedang mengalami gejolak revolusi, dalam masyarakat yang kacau, rakyat banyak butuh pegangan, dan satu-satunya pegangan yang bisa dijadikan tuntunan adalah “Ingatan Kolektif” dengan dasar ingatan kolektif inilah Sukarno memerintahkan Sudiro untuk mencari wartawan foto yang tiap hari harus memoto gaya Sukarno, foto-foto ini kemudian dijadikan alat hegemoni untuk terus membangun ingatan kolektif rakyat “ingat Sukarno, ingat revolusi kemerdekaan”.
Pakaian berpotongan safari tanpa pangkat mulai ditinggalkan Sukarno di tahun 1959, ketika Sukarno harus berhadapan pada alam politik baru yaitu : “Mengantisipasi Politik Intervensi Modal Asing” yang sudah disiapkan Ike Eisenhower dalam melakukan okupasi politik terhadap Indonesia apalagi setelah keberhasilan Sukarno merebut Irian Barat, panasnya politik di Vietnam Selatan yang bakal merambat ke Indonesia dan berakibat pada perpecahan wilayah serta tindakan ofensif sekutu Inggris disekitaran wilayah Indonesia.
Sukarno melihat hanya ada tiga motor dalam melakukan pemikiran-pemikiran revolusi, yaitu : Dirinya sendiri sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam mengeluarkan ide-ide revolusi (yang dimulai dari “Pidato Penemuan Kembali Revolusi Kita” sampai pada Manipol Usdek) –disini ia bertindak sebagai mesin ide, lalu massa rakyat disini Sukarno mengambil massa militan dari PKI yang kemudian dilambangkan dalam peci hitamnya dan motor ketiga adalah Militer, Sukarno memakai baju bergaya militer dengan bintang lima dan tongkat komando untuk menunjukkan siapa yang berkuasa dalam militer, semua kekuatan itu berkumpul di dalam dirinya dengan tujuan besar : “Membebaskan Indonesia dari Politik Intervensi Modal Asing” – Hitung-hitungan Sukarno setelah politik berdikari Indonesia sukses maka Pemilu bisa dilangsungkan sekitar tahun 1975, “Pemilu hanya bisa dilangsungkan ketika rakyat sudah menyadari bahwa “Berdikari” adalah sumber dari segala sumber kesadaran dalam berpolitik. Disini kemudian Sukarno melakukan pencitraan terus menerus untuk menggenjot alam bawah sadar keberanian rakyat Indonesia untuk mempertahankan hak-hak atas modal bangsa (Sumber daya alam, wilayah dan penduduk).

Pencitraan Suharto Untuk Menutup-nutupi Kekerasan Politik
Pencitraan Suharto adalah Pencitraan yang bertujuan untuk menutup-nutupi “Kekerasan Politik dan Pemerintahan Junta Militer yang melingkari dirinya”. Ia menolak memakai baju-baju militer, baju-baju Jenderal resmi untuk membuat kesan Indonesia bukan negara neofasisme, bukan negara yang dipimpin oleh sebarisan Junta Militer.
Secara pribadi Suharto paralel dengan pencitraan, ia memang pendiam dan santun, ia tidak banyak berbicara. Pencitraan ini membuat situasi kekuasaannya menjadi angker dan kekuasaan yang angker secara tidak langsung menjadi motor yang efektif dalam menjalankan kekuasaan baik secara illegal maupun legal.

Pencitraan Bergaya Tontonan
Kepemimpinan SBY lahir dari masyarakat yang gemar menonton, bukan lahir dari masyarakat yang berpikir secara substantif. Doktrinasi masyarakat tontonan ini adalah akibat politik represif Orde Baru, dalam politik orde baru masyarakat tidak pernah sebagai pihak yang partisipatif, tapi sebagai pihak yang tidak terlibat dalam situasi politik keseharian, politik dan kebijakannya adalah milik kaum dewa yang berarti : Pejabat bersafari.
Dalam suasana yang frustrasi ini di tahun 1980-1998 masyarakat melarikan diri ke dalam dunia tontonan, ia bisa merasa jadi bagian ketika ia menonton sesuatu, pernah masyarakat melibatkan secara aktif dalam situasi politik keseharian tapi itu pada saat kerusuhan besar 1998, tapi selepas reformasi 1998 masyarakat kembali menjadi penonton.
Ketika masyarakat gemar menonton, maka yang muncul adalah tingkah politisi dan pejabat yang harus bisa melakukan akting politik di depan masyarakat, akting politik inilah yang kemudian disebut-sebut sebagai : Bahasa Komunikasi Politik Pencitraan. SBY melakukan akting politik dengan lulus S-3 pada IPB untuk menghantam Megawati yang drop out dari IPB, tapi lucunya kemudian SBY dibodohi oleh orang yang mengenalkan padi super toy dan blue energy. SBY melakukan pencitraan politik berlebihan pada iklan yang mirip Mie Instan sehingga memancing politisi lain mencitrakan diri. Apabila dulu alat komunikasi politik adalah melakukan pendidikan kader-kader yang dilakukan agen-agen politik, atau di masa Orde Baru melakukan penataran P4 untuk melakukan doktrinasi atas pembenaran-pembenaran kekuasaan Suharto, maka di masa SBY komunikasi politik dan pencitraannya dilakukan dengan cara amat instan yaitu dengan masang spanduk, baliho-baliho dan jargon-jargon yang tak jelas, penyakit ini kemudian meluas menjadi penyakit pencitraan yang diidap para penguasa.
Korban politik pencitraan yang merusak ini ternyata juga dialami Dahlan Iskan entah ia sadar atau tidak, pada awalnya ia mempesona rakyat dengan kemampuannya bertahan hidup, rakyat terpesona dengan daya juangnya yang keras, ia hanya lulusan SMA tapi dengan kemauan baja ia berhasil memiliki perusahaan media nasional terbesar kedua setelah KOMPAS. Pada titik ini Dahlan Iskan menemui otensitasnya, lalu Dahlan Iskan menjabat direksi PLN, belum ditemukan titik penting dalam kerjanya di PLN ia kemudian didapuk menjadi menteri BUMN. Lalu Dahlan Iskan melakukan sidak dan sampai-sampai ingin naik ke atap kereta rel listrik di depan wartawan. Apa yang ia lakukan secara sadar atau tak sadar adalah bagian pencitraan, rakyat senang dan bertepuk tangan melihat kabar itu dan membanding-bandingkan dengan pejabat lain yang tak memiliki daya sensitifitasnya terhadap kesusahan rakyat. – Padahal keinginan naik atap kereta rel listrik ini adalah bentuk pelecehan terhadap hukum transportasi PJKA dan Lalu Lintas Publik-.
Dalam politik pencitraan substansi tidak lagi menjadi penting, karena ketika Dahlan Iskan melakukan sidak, kesusahan dialami ribuan orang, kebijakan terhadap sistem lalu lintas dengan mengorbankan masyarakat pengguna KRL jadi tak terlihat, padahal kebijakan ini amat tak adil bagi kepentingan masyarakat umum.
Ciri umum dalam politik pencitraan bergaya SBY adalah “Mengaburkan substansi masalah ke dalam pesona-pesona personal sehingga masalah itu tidak dapat terurai dengan jelas orang dikaburkan pada titik penting persoalan”.
Semoga di tahun 2014 Politik Pencitraan berdasarkan tontonan dan artifisial-artifisial ini sudah bisa dihentikan. Sayang bila bangsa besar ini larut ke dalam dunia artifisial politik tanpa ujung.

Friday, May 25, 2012

Praktik Good Governance Dalam Manajemen Kota Solo

May 25, 2012 0
Solo merupakan sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Kota Solo berhasil mentransformasikan dirinya menjadi kota wisata yang dikenal hingga tingkat internasional. Hal ini tidak luput dari upaya Pemerintah Kota Solo dalam menciptakan branding Kota Solo sebagai kota wisata budaya yang menarik dan nyaman untuk dikunjungi. Berbagai perbaikan dilakukan oleh pemerintah Kota Solo, baik secara fisik maupun nonfisik. Perbaikan secara fisik dilakukan dengan menata Kota Solo sehingga rapi, indah, dan nyaman serta menyediakan berbagai sarana dan prasarana transportasi dan akomodasi yang memadai. Upaya perbaikan secara fisik ini tentu tidak dapa dilakukan tanpa adanya perbaikan secara nonfisik, yaitu dari segi kapasitas SDM pemerintah dan masyarakat Kota Solo karena pemerintah bukanlah satu-satunya aktor yang berperan dalam menciptakan Kota Solo yang berhasil tersebut.
Beberapa sumber dan penelitian menyebutkan bahwa peran Joko Widodo sebagai Walikota Solo sangat besar dalam transformasi Kota Solo seperti saat ini. Prinsip kepemerintahan yang diterapkan oleh Walikota Solo ini sesuai dengan nilai-nilai budaya dan sosial yang tumbuh di Kota Solo. Pendekatan secara personal, membaur dengan masyarakat, memberikan keteladanan tehadap jajaran pemerintahan, dan memulai tindakan dari hal-hal kecil yang memberi dampak langsung kepada masyrakat dinilai tepat dilakukan di Kota Solo. Komunikasi yang terus menerus dan partisipasi masyarakat dalam melakukan kontrol sosial terhadap pemerintah secara terbuka dinilai berhasil dalam menciptakan keharmonisan antar golongan di Kota Solo. Relokasi PKL secara besar-besaran yang di daerah lains ering mengalami kesulitan bahkan tidak jarang berujung pada konflik, berhasil dilakukan di Kota Solo dengan damai.
Prinsip keteladanan adalah hal utama yang dianut oleh pemerintah Kota Solo. Keteladanan ini dimulai dari pimpinan tertinggi Kota Solo, yaitu Walikota, kemudian diikuti oleh jajaran pemerintah yang lain kemudian diikuti oleh masyarakat secara luas. Peningkaan kapasitas masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan kota yang bersih dan nyaman dihuni serta pengetahuan akan pentingnya melayani wisatawan yang datang, dilakukan secara bertahap. Pendelegasian tugas kepada masyarakat sudah mulai dilakukan, diantaranya dengan membentuk paguyuban-paguyuban PKL, ojek, dan pelaku ekonomi mikro lainnya untuk menjaga kestabilan ekonomi mikro (agar jumlahnya tidak berlebihan) serta meningkatkan kesejahteraan pelaku ekonomi mikro.
Beberapa prinsip Good Governance yang tampak kuat di Kota Solo adalah responsiveness, transparansi, akuntabilitas, kesetaraan dan keadilan, serta partisipasi. Responsiveness terlihat dari adanya kepekaan dan respon yang tanggap terhadap persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Masyarakat dibebaskan untuk melakukan pengaduan secara langsung kepada pemerintah.
Transparansi dicirikan dengan adanya keterbukaan dari pemerintah mengenai proses pembangunan yang terjadi di Kota Solo melalui bebrgai media. Akuntabilitas dilihat dari adanya pertanggungjawaban di dalam pemerintah, baik secara vertikal maupun horizontal, dan pertanggungjawaban kepada masyarakat dalam bentuk pembangunan yang nyata sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Kesetaraan dan keadilan dilihat dari perlakuan yang sama kepada pejabat pemerintah maupun berbagai strata dalam masyarakat. Hal ini dilihat dari pelayanan yang sama diberikan untuk smeua gologan, salah satunya adalah kebebasan untuk melakukan pengaduan kepada pemerintah kota ataupun kepada Walikota sendiri dan tetap mendapatkan pelayanan sebagaimana mestinya tanpa membeda-bedakan strata.
Kesederhanaan Walikota Solo juga menjadi suatu keteladanan bagi jajaran pemerintah yang lain dan menumbuhkan rasa cinta masyarakat terhadap kepemimpinannya. Partisipasi bermula dari adanya komunikasi yang baik dengan masyarakat. Dalam kasus relokasi PKL Pemerintah Kota Solo melakukan komunikasi secara terus menerus sampai PKL-PKL tersebut secara sukarela bersedia untuk di relokasi. Selanjutnya, pihak PKL dilibatkan dalam menyelenggarakan paguyuban untuk mengontrol dan menjaga kepentingan mereka. Antisipasi secara langsung dalam pembangunan memang masih belum terlihat, pihak pemerintah masih mendominasi berbagai pembangunan di Kota Solo. Pihak sawasta pun masih belum berperan secara signifikan dalam berbagai proses pengambilan keputusan, swasta hanya berperan dalam mengerakkan ekonomi Kota Solo.


SUMBER