Satuan
Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan Dinas Pengelolaan Pasar Kota Solo melakukan
penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL) di Jalan Veteran, Jumat 13 Desember 2012.
Sekitar 104 PKL dipindahkan ke Pasar Notoharjo dan Pasal Gading, Solo.
Tak ada
pemandangan adu jotos antara petugas dengan para pedagang -seperti
penggusuran-penggusuran di tempat lainnya. Para petugas juga tak membawa
pentungan, pedagang yang digusur pun tak lari terbirit-birit untuk
menyelamatkan diri dan barang dagangannya. Bahkan, tak ada acara adu mulut yang
seolah sudah menjadi ritual wajib dalam berbagai penggusuran oleh Satpol PP di
berbagai tempat.
Yang
terlihat dalam penertiban PKL di Solo ini adalah keramahan petugas dan kerelaan
dari para pedagang untuk meninggalkan tempat yang telah mereka pakai sejak
1994. Satpol PP yang selama ini identik dengan kekerasan tampak berbaur dengan
para pedagang, membantu mengemas dan mengangkut barang milik pedagang.
Nir-kekerasan.
Tak hanya
ramah, petugas juga memperlakukan para pedagang dengan istimewa. Para PKL
dikirab, diangkut dengan empat kendaraan bak terbuka milik Satpol PP. Selain
itu, mereka diperlakukan layaknya pejabat, dikawal dengan mobil patroli lalu
lintas dan kendaraan roda dua milik DLLAJ yang lengkap dengan sirine.
Salah
satu PKL yang menjual pakaian bekas di Jalan Veteran Solo, Sri Handayani
mengaku senang dengan perlakuan ini. Dia mengatakan senang dan tidak keberatan.
"Sebelumnya kami diberi pemahaman tentang ketertiban oleh Pemkot, terus
diminta pindah ke Pasar Notoharjo untuk PKL klithikan dan PKL pakaian bekas ke
Pasar Gading," kata dia kepadaVIVAnews.com.
Tak hanya
menerima penggusuran, Handayani mengaku senang dengan relokasi ini. Karena,
pemerintah Kota Solo memberikan tempat baru untuk para pedagang. Bahkan, lapak
baru di Pasar Gading diberikan secara cuma-cuma dan tidak dipungut biaya.
Selain itu, kondisinya jauh lebih bagus. "Semoga ditempat baru nanti laris
dagangannya," harapnya.
Sejarah
Kelam
Diakui
atau tidak, selama ini Satpol PP sering diidentikkan dengan kekerasan.
Ketegangan dan bentrokan yang melibatkan Satpol PP dengan warga bisa dibilang
sudah tak terhitung jumlahnya. Tak jarang, korban berjatuhan, luka-luka hingga
meninggal dunia.
Sejarah
kelam bentrok Satpol PP dengan warga yang mungkin tak kan terlupakan adalah
peristiwa penggusuran makam Mbah Priok di Jakarta Utara pada April 2010 yang
lalu. Saat itu, Satpol PP terlibat bentrokan dengan ahli waris dan masyarakat
setempat yang menolak penggusuran makam yang 'dikeramatkan' itu.
Berdasar
hasil investigasi PMI, peristiwa itu memakan korban sebanyak 231 orang. Korban
meninggal dunia tiga orang, luka berat termasuk di dalamnya cacat fungsi 26
orang, luka sedang sebanyak 35 orang, dan luka ringan sebanyak 167 orang.
Selang
tiga bulan kemudian, atau Juli 2010, Satpol PP juga terlibat bentrokan dengan
di Desa Manis Lor Kecamatan Jalaksana Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Kali ini,
Satpol PP justru masuk dalam konflik yang berbau agama. Satpol PP berhadapan
dengan jamaah Ahmadiyah.
Peristiwa
itu berawal penyegelan Mesjid An-Nur milik jamaah Ahmadiyah. Kericuhan itu
sudah yang kesekian kali terjadi. Bermula saat warga sekitar (non Ahmadiyah)
menuntut agar jemaah Ahmadiyah tidak lagi menjalankan segala aktivitas
keagamaan yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Jamaah Ahmadiyah yang
merasa terancam sampai meminta perlindungan polisi.
Selain
dua peristiwa-peristiwa itu, masih banyak lagi bentrokan-bentrokan yang
menghadapkan Satpol PP dengan warga. Baik dengan skala kecil maupun besar.
Namun, bentrokan berdarah itu tidak berlaku untuk Satpol PP di Kota Solo.
Trik
Kepala
Satpol PP Kota Solo, Tri Puguh Priyadi mengatakan pasukannya tak pernah
memandang remeh para pedagang kaki lima itu. Para pedagang itu selalu
ditempatkan sebagai saudara, sahabat, dan mitra kerja, bukan sebagai musuh yang
harus dilawan. "Intinya, penertiban petugas Satpol PP itu nguwongke (memanusiakan manusia), jadi tidak ada
kekerasan," kata Puguh.
Pendekatan
kepada para pedagang adalah kunci sukses yang sangat berperan. Menurut dia, Satpol
PP dan pemerintah Solo selalu mencari tahu permasalahan para pedagang itu.
Langkah persuasi selalu dikedepankan. "Pertama kita beri tahu mereka. Kita
persuasi, kalau belum ada titik temu, kita ulur lagi," ujar Puguh.
"Negosiasi lagi dengan cara yang menentramkan para pedagang hingga ketemu
solusinya."
Puguh
juga mengatakan, pasukannya telah menyingkirkan jauh-jauh pentungan dan tameng
yang selama ini identik dengan Satpol PP. Tujuannya satu, menghindarkan mereka
dari tindakan represif. Pentungan dan tameng mereka telah digudangkan oleh Sang
Walikota, Joko Widodo. "Kita sengaja menghindari alat-alat yang merujuk ke
arah represif," katanya.
Seperti
halnya penertiban PKL di jalan Veteran itu. Pasukan Satpol PP membaur dengan
para pedagang. Mereka membantu para pedagang memindahkan barang-barangnya ke
lokasi baru yang telah disiapkan. "Kita dari pihak Satpol PP menawarkan
kendaraan kepada pedagang untuk mengangkut barangnya. Untuk mengangkut barang
milik pedagang di Veteran, kita kerahkan 4 truk, sampai bolak-balik 6
kali," ujar Puguh.
Sementara
itu, Kepala Dinas Pengelolaan Pasar Kota Solo, Subagiyo mengatakan proses
relokasi humanis ini memang tak mudah dilakukan. Dibutuhkan waktu lama untuk
proses ini, yaitu sekitar 6 bulan. Langkah pertama adalah memberikan pemahaman
tentang keberadaan PKL di jalur hijau tersebut yang melanggar aturan.
"Setelah
diberikan pemahaman dan pengertian, kami beri solusi dengan memberikan lokasi
tempat berjualan yang baru di Pasar Notoharjo dan Pasar Gading. Semua shelter
PKL digratiskan," jelas Subagiyo.
Solusi
Konkrit
Sementara
itu, Ketua Paguyuban PKL Gotong Royong Veteran, Sriyanto menyebutkan dari 104
PKL yang direlokasi itu terdiri dari 30 pedagang pakaian bekas dan 74 pedagang
klithikan onderdil. "Kami siap direlokasi di tempat yang baru. Hanya saja
kami meminta supaya fasilitas pelengkap seperti toilet yang rusak, jalan kurang
bagus dan listrik segera diperbaiki," ujarnya.
Di tempat
baru tersebut, diakui Sriyanto, untuk sementara waktu omzet penjualan akan
turun, mengingat ditempat baru ini harus mulai dari nol lagi. "Kami
meminta kepada pemerintah untuk promosikan tempat relokasi PKL ini supaya tidak
terpuruk," papar dia.
Sebagai
Kadis Pengelolaan Pasar, Subagiyo memahami keluhan para pedagang tersebut.
Namun dia meminta para pedagang yang direlokasi tak perlu khawatir. Pemerintah,
kata dia, telah mengerahkan berbagai upaya untuk menyosialisasikan tempat baru
itu, bahkan promosi melalui media. Selain itu, pemerintah kota juga memasang
spanduk di titik strategis supaya lokasi relokasi PKL yang baru diketahui oleh
masyarakat umum.
"Itulah
cara-cara untuk promosikan tempat PKL yang baru. Kita akan melaksanakan
berbagai even di lokasi itu supaya masyarakat tahu keberadaan PKL itu,"
tutur dia.
Terkait
keluhan fasilitas pelengkap dari pedagang, dia menjawab bahwa semua fasilitas
telah diperbaiki. "Mulai hari ini fasilitas sudah beres. Listrik sudah
hidup, WC sudah diperbaiki," tegasnya.
Senjata
Peluit
Konsep
Satpol PP yang humanis itu memang diinginkan oleh Walikota Solo, Joko Widodo.
Pria yang akrab disapa Jokowi itu membuat langkah berani dengan menggudangkan
tameng dan pentungan yang selama ini menjadi senjata Satpol PP. Menurut dia,
pasukan ini hanya perlu dipersenjatai dengan peluit.
Jokowi
menginginkan setiap kali Satpol PP Solo beroperasi maupun melakukan relokasi
terhadap hunian liar penduduk maupun pedagang kaki lima liar, selalu
mengedepankan pendekatan komunitas, kelompok, dan personal. "Kami selalu
intensif melakukan persuasi dengan warga sebelum melakukan penggusuran. Kami
mencari langkah solusi terbaik. Kadang nanti hasilnya mereka dengan kesadaran
sendiri akan pindah," kata Jokowi beberapa waktu lalu.
Hasilnya,
berbagai penggusuran yang dilakukan oleh Satpol PP Kota Solo memang tak
menggunakan kekerasan. Antara lain: penggusuran hunian liar di Balekambang,
Tirtonadi, Kali Gajah Putih, Kalianyar, dan bantaran Bengawan Solo. Bahkan, ada
juga penggusuran ribuan pedagang kaki lima di Banjarsari.
Saat
menghadiri acara 'Deklarasi Nasional Menuju Indonesia Bangkit: Birokrasi Bersih
dan Melayani' di Balai Sidang Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Kamis,
8 Desember 2011 yang lalu, Jokowi mengaku prihatin dengan berita-berita
kekerasan aparat saat melakukan penggusuran PKL di kota tertentu.
Dia pun
memperlihatkan gambar traktor besar yang sedang meruntuhkan bangunan liar,
serta penertiban PKL oleh aparat Satpol PP. "Ini jelas bukan di Solo. Di
kota saya tidak ada yang seperti ini. Zaman seperti ini, kok, masih ada yang
main gebuk-gebukan," ucapnya sambil tersenyum.
Dia
mengatakan penggusuran PKL dengan menggunakan kekerasan fisik, bukanlah bentuk
pelayanan pemerintah. "Tugas kita ini sebagai pemerintah adalah melindungi
rakyat, melayani kepentingan umum, pimpinan-pimpinan sudah lupa ini. Ini
kekeliruan yang harus sudah diubah," ujarnya.
Dia
mengisahkan, dulu di Solo, kurang lebih sosok yang dipilih sebagai Kepala
Satpol PP sama seperti di kota-kota besar lainnya. Tinggi besar, berwajah
seram, berkumis lebat. Namun, Jokowi berani mengubah ini semua demi pelayanan yang
lebih baik bagi rakyatnya.
"Sekarang
lihat, Satpol PP saya wanita. Pakai kebaya. Cantik 'kan?" kata Jokowi
sambil menunjukkan foto pasukan Satpol PP Kota Solo pilihannya.
No comments:
Post a Comment