Politik
pencitraan itu amat perlu dalam komunikasi politik hanya saja kita harus
melihat pencitraan kaitannya dengan implikasi yang dialami masyarakat, respon
yang timbul sehingga menjadi bagian dari pemikiran, gairah dan
tindakan-tindakan politik di kalangan masyarakat umum. Dalam sejarah modern
Indonesia politik pencitraan dilakukan dilakukan oleh tiga pemimpin : Sukarno,
Suharto dan SBY. Masing-masing memiliki kategori dan tujuan pencitraannya.
Pencitraan Gairah Revolusi Sukarno
Pada
tahun 1920-an Sukarno sudah memilih peci hitam sebagai bagian dari pencitraan
kerakyatan, ia menyatukan diri dalam gerakan besar Melayu, bukan gerakan besar
Jawa karena ia melihat bahwa Jawa adalah subkultur dari akar Melayu. Mangkanya
ia memilih peci. Pemilihan peci ini dilakukan di Bandung ketika ia melihat
tukang sate yang telanjang kaki, telanjang dada hanya pakai kolor tapi
mengenakan peci. Ia melihat banyak rakyat Djakarta (dulu Batavia) mengenakan
peci, peci ini asalnya dari tarbuz yang banyak dikenakan orang Turki, saat itu
sedang ramai gerakan muda Kemal Pasya yang mengenakan tarbuz sebagai lambang
nasional rakyat Turki.
Tahun
1945 Sukarno memilih baju model safari dengan kantong-kantong ala perwira, ia
reka-reka sendiri model baju ini, kelak rakyat mengenalnya model ‘Baju Sukarno’
penggunaan baju ini ia ukur dengan perkembangan suasana batin jaman yang sedang
mengalami gejolak revolusi, dalam masyarakat yang kacau, rakyat banyak butuh
pegangan, dan satu-satunya pegangan yang bisa dijadikan tuntunan adalah “Ingatan
Kolektif” dengan dasar ingatan kolektif inilah Sukarno memerintahkan Sudiro
untuk mencari wartawan foto yang tiap hari harus memoto gaya Sukarno, foto-foto
ini kemudian dijadikan alat hegemoni untuk terus membangun ingatan kolektif
rakyat “ingat Sukarno, ingat revolusi kemerdekaan”.
Pakaian
berpotongan safari tanpa pangkat mulai ditinggalkan Sukarno di tahun 1959,
ketika Sukarno harus berhadapan pada alam politik baru yaitu : “Mengantisipasi
Politik Intervensi Modal Asing” yang sudah disiapkan Ike Eisenhower dalam
melakukan okupasi politik terhadap Indonesia apalagi setelah keberhasilan
Sukarno merebut Irian Barat, panasnya politik di Vietnam Selatan yang bakal
merambat ke Indonesia dan berakibat pada perpecahan wilayah serta tindakan
ofensif sekutu Inggris disekitaran wilayah Indonesia.
Sukarno
melihat hanya ada tiga motor dalam melakukan pemikiran-pemikiran revolusi,
yaitu : Dirinya sendiri sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam mengeluarkan
ide-ide revolusi (yang dimulai dari “Pidato Penemuan Kembali Revolusi Kita”
sampai pada Manipol Usdek) –disini ia bertindak sebagai mesin ide, lalu massa
rakyat disini Sukarno mengambil massa militan dari PKI yang kemudian
dilambangkan dalam peci hitamnya dan motor ketiga adalah Militer, Sukarno
memakai baju bergaya militer dengan bintang lima dan tongkat komando untuk
menunjukkan siapa yang berkuasa dalam militer, semua kekuatan itu berkumpul di
dalam dirinya dengan tujuan besar : “Membebaskan Indonesia dari Politik
Intervensi Modal Asing” – Hitung-hitungan Sukarno setelah politik berdikari
Indonesia sukses maka Pemilu bisa dilangsungkan sekitar tahun 1975, “Pemilu
hanya bisa dilangsungkan ketika rakyat sudah menyadari bahwa “Berdikari” adalah
sumber dari segala sumber kesadaran dalam berpolitik. Disini kemudian Sukarno
melakukan pencitraan terus menerus untuk menggenjot alam bawah sadar keberanian
rakyat Indonesia untuk mempertahankan hak-hak atas modal bangsa (Sumber daya
alam, wilayah dan penduduk).
Pencitraan Suharto Untuk Menutup-nutupi
Kekerasan Politik
Pencitraan
Suharto adalah Pencitraan yang bertujuan untuk menutup-nutupi “Kekerasan
Politik dan Pemerintahan Junta Militer yang melingkari dirinya”. Ia menolak
memakai baju-baju militer, baju-baju Jenderal resmi untuk membuat kesan
Indonesia bukan negara neofasisme, bukan negara yang dipimpin oleh sebarisan
Junta Militer.
Secara
pribadi Suharto paralel dengan pencitraan, ia memang pendiam dan santun, ia
tidak banyak berbicara. Pencitraan ini membuat situasi kekuasaannya menjadi
angker dan kekuasaan yang angker secara tidak langsung menjadi motor yang
efektif dalam menjalankan kekuasaan baik secara illegal maupun legal.
Pencitraan Bergaya Tontonan
Kepemimpinan
SBY lahir dari masyarakat yang gemar menonton, bukan lahir dari masyarakat yang
berpikir secara substantif. Doktrinasi masyarakat tontonan ini adalah akibat
politik represif Orde Baru, dalam politik orde baru masyarakat tidak pernah
sebagai pihak yang partisipatif, tapi sebagai pihak yang tidak terlibat dalam
situasi politik keseharian, politik dan kebijakannya adalah milik kaum dewa
yang berarti : Pejabat bersafari.
Dalam
suasana yang frustrasi ini di tahun 1980-1998 masyarakat melarikan diri ke
dalam dunia tontonan, ia bisa merasa jadi bagian ketika ia menonton sesuatu,
pernah masyarakat melibatkan secara aktif dalam situasi politik keseharian tapi
itu pada saat kerusuhan besar 1998, tapi selepas reformasi 1998 masyarakat
kembali menjadi penonton.
Ketika
masyarakat gemar menonton, maka yang muncul adalah tingkah politisi dan pejabat
yang harus bisa melakukan akting politik di depan masyarakat, akting politik
inilah yang kemudian disebut-sebut sebagai : Bahasa Komunikasi Politik
Pencitraan. SBY melakukan akting politik dengan lulus S-3 pada IPB untuk
menghantam Megawati yang drop out dari IPB, tapi lucunya kemudian SBY dibodohi
oleh orang yang mengenalkan padi super toy dan blue energy. SBY melakukan
pencitraan politik berlebihan pada iklan yang mirip Mie Instan sehingga
memancing politisi lain mencitrakan diri. Apabila dulu alat komunikasi politik
adalah melakukan pendidikan kader-kader yang dilakukan agen-agen politik, atau
di masa Orde Baru melakukan penataran P4 untuk melakukan doktrinasi atas
pembenaran-pembenaran kekuasaan Suharto, maka di masa SBY komunikasi politik
dan pencitraannya dilakukan dengan cara amat instan yaitu dengan masang
spanduk, baliho-baliho dan jargon-jargon yang tak jelas, penyakit ini kemudian
meluas menjadi penyakit pencitraan yang diidap para penguasa.
Korban
politik pencitraan yang merusak ini ternyata juga dialami Dahlan Iskan entah ia
sadar atau tidak, pada awalnya ia mempesona rakyat dengan kemampuannya bertahan
hidup, rakyat terpesona dengan daya juangnya yang keras, ia hanya lulusan SMA
tapi dengan kemauan baja ia berhasil memiliki perusahaan media nasional
terbesar kedua setelah KOMPAS. Pada titik ini Dahlan Iskan menemui
otensitasnya, lalu Dahlan Iskan menjabat direksi PLN, belum ditemukan titik
penting dalam kerjanya di PLN ia kemudian didapuk menjadi menteri BUMN. Lalu
Dahlan Iskan melakukan sidak dan sampai-sampai ingin naik ke atap kereta rel
listrik di depan wartawan. Apa yang ia lakukan secara sadar atau tak sadar
adalah bagian pencitraan, rakyat senang dan bertepuk tangan melihat kabar itu
dan membanding-bandingkan dengan pejabat lain yang tak memiliki daya sensitifitasnya
terhadap kesusahan rakyat. – Padahal keinginan naik atap kereta rel listrik ini
adalah bentuk pelecehan terhadap hukum transportasi PJKA dan Lalu Lintas
Publik-.
Dalam
politik pencitraan substansi tidak lagi menjadi penting, karena ketika Dahlan
Iskan melakukan sidak, kesusahan dialami ribuan orang, kebijakan terhadap
sistem lalu lintas dengan mengorbankan masyarakat pengguna KRL jadi tak
terlihat, padahal kebijakan ini amat tak adil bagi kepentingan masyarakat umum.
Ciri
umum dalam politik pencitraan bergaya SBY adalah “Mengaburkan substansi masalah
ke dalam pesona-pesona personal sehingga masalah itu tidak dapat terurai dengan
jelas orang dikaburkan pada titik penting persoalan”.
Semoga
di tahun 2014 Politik Pencitraan berdasarkan tontonan dan artifisial-artifisial
ini sudah bisa dihentikan. Sayang bila bangsa besar ini larut ke dalam dunia
artifisial politik tanpa ujung.
wahh. . nice artikel nih sobat..
ReplyDeletesalam hangat dari saya. .
mampir balik yak :)
oke, thanks sob... :)
ReplyDeletemantab nihhh............. ada gunanya juga ternyata blogmu bwat aq dam?? hehehe
ReplyDeleteoke samo2... :)
ReplyDeletesemoga pencitraan yang dimaksud bukan untuk menutupi kesalahan kesalahan yang ada
ReplyDeletesemoga saja :)
ReplyDelete