Saat
tsunami melanda, Mesjid ini merupakan Mesjid yang sangat beruntung dari sekian
banyak objek wisata yang hancur tersapu gelombang. Sekalipun gelombang tsunami
sampai ke daerah ini bahkan ke pelataran Mesjid, namun tsunami tidak
menghancurkan bangunan Mesjid ini. Mesjid ini tetap berdiri kokoh ditengah
hancurnya suasana kota. Mesjid ini hanya mengalami sedikit kerusakan yang tidak
berarti.
Rumah Cut Nyak Dien
Rumah
Cut Nyak Dien ini, terletak di kawasan yang parah dihantam tsunami. Pada saat
tsunami, rumah Cut Nyak Dien ikut terkena air, dan air memasuki rumah sehingga
banyak barang-barang yang rusak. Bahkan
Orang-orang dari kampong disekitarnya banyak yang mengungsi di atap rumah ini,
hingga atapnya mengalami kerusakan parah sehingga atapnya perlu diganti. Sekalipun gelombang tsunami
memasuki daerah ini, namun keberadaannya masih tetap dipertahankan hingga saat
ini. Pemerintah telah memperbaiki segala kerusakannya, tetapi tetap tidak mengurangi nilai sejarahnya.
Kapal PLTD (Pembangkit Listrik
Tenaga Diesel) Apung
Belum sempat
sepenuhnya kapal ini
menyuplai pasokan listrik
ke seluruh Kota Banda Aceh, kapal ini harus menerima akibat ganasnya gelombang tsunami besar yang terjadi
pada tanggal 26 Desember 2004 itu. Gelombang dahsyat tsunami mampu membuat
kapal tongkang tersebut terhempas hingga empat kilometer dari posisinya semula
sebelum tsunami, yakni di Dermaga Ulee Lheue. Gelombang hebat membawanya ke
tengah permukiman padat penduduk sehingga menimbulkan korban nyawa dan
bangunan. PLTD yang bentuknya seperti
kapal feri penyeberangan Merak-Bakaheuni tersebut, terbawa arus tsunami
yang digambarkan oleh penduduk kira-kira berkecepatan 200 km per jam.
Tidak
ada yang menyangka, PLTD yang tertambat dengan jangkar baja bisa terlepas
begitu saja hingga menindih sekitar 20 orang yang ikut hanyut serta sejumlah
rumah dan mobil di bawahnya. Menurut pengakuan seorang penduduk setempat yang
melihat pada waktu peristiwa itu terjadi, kapal PLTD tersebut meliuk-liuk
dibawa gelombang hingga menindih apa saja yang ada di bawahnya saat air
perlahan-lahan menyurut. Kini paling tidak,
di bawah kapal PLTD itu masih
terdapat sekitar 20 mayat yang masih tertimbun. Ada juga
bangkai mobil yang bagaikan kaleng kerupuk masih bersemayam di
bawah kapal. Tak
ada satu orang
pun yang mampu
untuk mengambil mayat yang ditindih oleh besi seberat 2.500 ton itu.
Sebenarnya
pada saat itu, pihak PLN sendiri sudah berpikiran untuk memindahkan PLTD itu.
Namun pihak pemerintah provinsi Aceh masih keberatan karena mereka tertarik
untuk menjadikannya sebagai prasasti serta kenang-kenangan bagi korban tsunami.
Padahal, mesin PLTD yang memiliki kemampuan daya 20 MW itu masih bisa dipakai
untuk mengaliri listrik dan mesinnya tidak rusak. PLN sendiri tidak keberatan
kalau badan PLTD itu dibiarkan
bersemayam di lokasi sekitar perumahan penduduk Jaya Baru, karena
disadari betul oleh pihak PLN bahwa
memindahkan badan PLTD apung itu tidak gampang karena harus melewati beberapa
rumah penduduk yang masih kokoh berdiri disekitar situ. Namun PLN tetap
menghendaki mesinnya, karena masih dapat dipakai untuk menghasilkan listrik
bagi masyarakat Aceh.
Dan akhirnya
kini, tongkang PLTD
tersebut sudah tidak
difungsikan lagi, pihak PLN
sudah mencabut mesinnya
hingga kapal PLTD
ini kini resmi
dibuka sebagai objek wisata. Pengunjung
yang datang, bisa naik ke atas
geladak setinggi lebih kurang 20
meter karena di sisi
tongkang sudah dibuat
tangga besi lengkap dengan pagar hingga ke geladak untuk
memudahkan pengunjung menaikinya. Dari atas geladaknya, pengunjung bisa
menyaksikan pemandangan luas
ke berbagai belahan kota di Banda
Aceh. Tampak jelas, betapa jauhnya jarak pantai dengan lokasi tongkang tersebut
terdampar. Dari situ
pengunjung bisa membayangkan
betapa dahsyatnya hempasan gelombang tsunami. Bahkan, di sekitar PLTD
masih terlihat jelas sisa-sisa dinding dan atap bangunan yang hancur diterjang
gelombang.
Hanya
terpaut -/+ 30 meter dari letak kapal PLTD Apung, sebuah taman telah selesai
dibangun yang disumbangkan oleh PT. BMW Indonesia dan Yayasan Citra Mandiri
Jakarta. Taman untuk pembelajaran/simulasi tsunami ini diberi nama ‘Taman
Edukasi Tsunami’. Taman ini termasuk dalam area rencana pembangunan monument
tsunami. Ditaman ini terdapat jenis pohon-pohon langka yang pernah tumbuh di
Aceh dan telah hilang ditebas gelombang tsunami, seperti pohon jeumpa, pohon
seulanga, pohon cempaka, pohon asam dan lain-lainnya. Juga terdapat kolam ikan
yang besar, fasilitas permainan anak-anak,
disamping bangunan utama
yaitu gedung simulasi tsunami yang
memamerkan dokumentasi/foto-foto
kejadian tsunami. Digedung ini ada tribun terbuka untuk pertunjukan film
dokumenter tentang kejadian/kisah saat bencana tsunami terjadi serta dapat
dimanfaatkan untuk pertunjukan seni.
Kedua
objek wisata kapal PLTD Apung dan Taman Edukasi Tsunami, setiap harinya selalu
ramai dikunjungi masyarakat. Selain masyarakat
Aceh sendiri yang datang berkunjung, juga banyak masyarakat yang datang
dari luar Aceh, pengunjung domistik maupun wisatawan dari mancanegara. Mereka
bukan hanya melihat kapal, tapi mengabadikannya baik dari atas kapal maupun
berfoto disekeliling kapal sebagai kenang-kenangan.
Gedung museum
tsunami ini dibangun
pada lahan seluas
satu hektar, berlokasi di
sekitar Lapangan Blang
Padang, Banda Aceh. Mengenai struktur, museum tsunami
dilengkapi berbagai fasilitas publik seperti mushala, ruang audio visual yang
akan menyajikan semua data korban yang direkam dalam video dan foto-foto yang
berhubungan dengan hal tersebut dan didokumentasikan secara sempurna.
Kapal Apung Lampulo
Kapal Apung Lampulo
Tidak
hanya itu, museum tsunami ini juga dilengkapi dengan toko cinderamata
disekitar lokasi. Museum ini memiliki
struktur khas yaitu tinggi dan besar serta ukuran tugu yang mengikuti pola 26-12-2004. Angka tersebut
mewakili seluruh peristiwa dan makna saat tsunami dahsyat itu menerjang Aceh.
Kapal
ini adalah salah satu dari dari kapal-kapal yang terdampar kedaratan pada saat
terjadi bencana Tsunami beberapa waktu lalu. Hingga saat ini keberadaan kapal
ini tetap dipertahankan sebagai obyek wisata untuk mengingat akan peristiwa
tersebut, dan dijadikan salah satu situs
Peringatan Tsunami. Kapal nelayan yang berdiri di salah satu atap rumah warga
ini berlokasi Kampung Lampulo, Kec. Kuta Alam Kota Banda Aceh atau sekitar 1 km
dari Dermaga Lampulo.
Sampai
saat ini, kapal ini masih dibiarkan dalam bentuk aslinya tanpa ada perubahan
yang berarti. Di kawasan pemukiman padat ini, kapal tersebut terlihat berdiri
kokoh dan cukup menarik perhatian. Yang
paling menonjol adalah sebuah rumah dibawah kapal terdampar ini, masih dihuni
oleh keluarga M.Hisbah, salah satu penduduk Kampung Lampulo dan diresmikannya
lokasi ini sebagai objek wisata sangat disetujui oleh pemilik rumah. Menurut
pengakuannya, ia membuat kapal ini sengaja dikuatkan posisinya dan ia rela
untuk menjaga lokasi ini.
Kapal
ini memiliki jasa besar buat warga kampung setempat dan keluarga M.Hisbah
sendiri. Saat kejadian, kapal ini terlempar, warga yang berada didekatnya
mengungsi ke lantai atas lalu masuk ke kapal. Ada 54 warga yang diselamatkan
kapal ini. Setelah tsunami surut, tanpa disadari kapal ini malah bertengger di
atap rumahnya. Kejadian inilah, yang membuat banyak warga yang menjuluki
sebagai kapal “Nabi Nuh” karena mampu menyelamatkan warga.
Keberadaan
kapal terdampar ini dilengkapi oleh para pedagang yang berjualan souvenir khas Aceh dan makanan-makanan ringan
disekitar lokasi ini. Datangnya para pedagang ini dimulai semenjak resminya
lokasi ini dibuka sebagai salah satu objek wisata peninggalan tsunami.
No comments:
Post a Comment