DOMBA tak mau kalah populer dengan kambing hitam, saudara
serumpunnya. Seperti halnya kambing hitam, domba juga tidak kemana-mana tapi
ada dimana-mana. Domba seakan ditemukan di sembarang tempat, dan selalu siap
diadu, tinggal tanya saja, wani piro? Maka tak heran setiap hari kita menemukan
praktik adu domba di tengah masyarakat. “Domba-domba” tersebut semakin hari
semakin banyak dan semakin reaktif, juga semakin atraktif sebagai bahan
“tontonan” aduan.
Politik adu domba dalam bahasa kampungnya disebut devide et
impera. Maksudnya, istilah tersebut adalah bahasa kampungnya orang-orang
Belanda, sang penjajah itu. Disebut Belanda sang penjajah, karena istilah
tersebut selalu dikaitkan dengan politik adu domba yang dimainkan sang penjajah
untuk memperluas daerah jajahannya. Bukan Belanda modern yang kita kenal
sekarang. Belanda sebagai sebuah bangsa yang sekarang adalah sebuah bangsa yang
sangat demokratis dan sangat menjunjung tinggi hak asasi manusia untuk memperoleh
keadilan, juga sangat transparan dalam pengelolaan pemerintahannya. Mereka
pasti malu membalik lembaran sejarah, bahwa dulu pada abad ke-17, di bawah
bendera kompeni VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) atau Perusahaan Hindia
Timur Belanda di Batavia, orang-orang Belanda itu paling gemar memainkan
politik adu domba.
Politik adu domba atau politik pecah belah sebenarnya adalah
kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan
menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok
kecil yang lebih mudah ditaklukan. Dalam konteks lain, politik pecah belah juga
berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok
besar yang lebih kuat.
Dalam politik adu domba ini konflik sengaja diciptakan.
Perpecahan tersebut dimaksudkan untuk mencegah terwujudnya aliansi yang bisa
menentang kekuasaan, entah itu kekuasaan di pemerintahan, di partai, kelompok
di masyarakat, dan sebagainya. Pihak-pihak atau orang-orang yang bersedia bekerja
sama dengan kekuasaan, dibantu atau dipromosikan, pada saat yang sama mereka
yang tidak bersedia bekerjasama, dipinggirkan. Ketidakpercayaan terhadap pucuk
pimpinan partai atau kelompoknya sengaja diciptakan agar partai atau kelompok
tersebut tidak tumbuh besar dan solid. Adakalanya tidak hanya ketidakpercayaan,
bahkan permusuhan pun disemai. Teknik yang digunakan adalah agitasi,
propaganda, desas-desus, bahkan fitnah. Dan praktik itu menjadi sangat subur di
tengah perang media yang bebas tak terkendali.
Belanda penjajah itu misalnya, menggandeng beberapa pribumi
untuk menjadi karyawan mereka, diberi kehidupan yang layak, tapi sadar atau
tidak, mereka dikondisikan untuk mengkhianati bangsanya sendiri. Raja di satu
kerajaan diadu domba dengan raja lain yang pada akhirnya menimbulkan peperangan
dan perpecahan.
Di tengah masyarakat kita dewasa ini, di tengah media yang
sangat liberal, praktik adu domba itu menjadi tontotan sehari-hari. Kita secara
vulgar disuguhi berita-berita tentang perseteruan antar kelompok untuk
memperebutkan kekuasaan, saling tuding, saling caci-maki, saling sikut dengan
intrik-intrik politik yang sangat kasar dan kejam. Penggiringan isu dilakukan
sedemikian rupa untuk saling menghancurkan.
Kalau masyarakat kita suka diadu-adu, mudah terpancing isu,
melalap mentah-mentah berbagai desas-desus sehingga tanpa pikir panjang
langsung terlibat dalam konflik, maka kita sebenarnya masih hidup seperti di
era VOC, atau kita tak lebih dari domba yang siap diadu kapan saja dimana saja.
Mau-maunya.
No comments:
Post a Comment