Beriring jungkir-baliknya prediksi lusinan lembaga survei,
Pilkada DKI 2012 berlanjut ke putaran kedua. Menjadi tak sehat, saat isu SARA
digulirkan masif. Potret praktik demokrasi yang masih saja, kekanak-kanakan.
Tak kurang tak lebih, Pilkada DKI 2012 sebenarnya
merepresentasi pendewasaan politik masyarakat urban. Sebab, partisipasi
sebagian masyarakat, yang merupakan pendatang itu, dapat menghitam-putihkan
Jakarta. Termasuk bila hasil Pilkada akan mempengaruhi konstelasi politik
nasional.
Namun menjadi mengkhawatirkan, bila embusan friksi negatif
kemudian mewarnai kompetisi final event politik sarat gengsi dan kepentingan
itu. Bukan berarti takut kalah bila kemudian kampanye hitam itu dianggap
kekanak-kanakan. Sederhana saja. Masyarakat urban seperti Jakarta, yang
tiba-tiba mau berpartisipasi, sementara biasanya mereka apolitis, lantaran
hadirnya harapan tentang pemimpin baik,akan kembali tak mau tahu, bila politik
selalu saja menjijikkan.
Bagaimana tidak? Jakarta dengan segudang ‘kepintaran’
publiknya harus diberi tontonan politik, yang semua sudah sama-sama mafhum, tak
lebih dari ‘rebutan tulang’ kekuasaan. Praktik pencapaian yang tidak etis
itulah penyebab utamanya.
Belum apa-apa,isu SARA sudah digelontorkan. Baru saja warga
Jakarta berusaha percaya pada politik, ada saja yang menanamkan benih-benih tak
sedap, tentang praktik politik yang tak ada bedanya dengan masa lalu. Begitu
susah mewanti-wanti para politisi untuk belajar adat negarawan yang santun dan
beradab.
Citra Politik Nothing to Lose
Apa sih yang sebenarnya dirindukan warga Jakarta? Tentu saja
bukan nuansa menakut-nakuti layaknya zaman antah-berantah. Jelas bukan dengan
gagah-gagahan, mengatakan, siapa pemilik sah Jakarta. Dan bukan calon pemimpin
yang berbahagia dengan membiarkan warga Jakarta dilanda potensi kebencian yang
sangat.
Sekali lagi, warga Jakarta adalah potret masyarakat terurban
seantero republik ini. Salah satu tipikal masyarakat urban yang konsisten
adalah kebebasan bersikap. Mereka bahkan punya rasionalitas sendiri yang
terkadang melahirkan tradisi ekletik baru; bercampur-aduk membentuk socio
anyar.
Tentu tak mudah membangun kepercayaan publik Jakarta. Namun,
sekalinya mereka percaya, bukan mustahil, Jakarta dapat tumbuh menjadi kawasan
megapolitan terkemuka di Asia Tenggara, lantaran didukung oleh pemimpin yang
mengerti cara berpikir urban dan masyarakat urban yang dapat membangun konsesi.
Namun lihatlah. Aroma kebencian mulai terendus kuat pada
putaran kedua Pilkada DKI 2012. Beberapa kelompok sangat menikmati cara mereka
menakut-nakuti kalangan lain yang berbeda pandangan. Bukan lagi simpati yang
dibangun, justru blunder strategis bernama apatisme publik urban.
Pemimpin Jakarta tentu bukan pemimpin yang penuh kepentingan
sempit. Apalagi hanya memanjakan perut dan orang-orang di sekitarnya. Pemimpin
Jakarta haruslah figur nothing to lose yang bersungguh-sungguh melayani warga
Jakarta. Ia telah mandiri secara ekonomi. Ia memiliki gagasan yang dinamis
seputar titik temu antara kekuatan modal yang menggurita dan kepentingan rakyat
banyak.
Pemimpin Jakarta adalah pemimpin nyata, bukan di
awang-awang. Ia duduk bersama warganya yang kebanjiran. Ia bersalaman dengan
penduduk Jakarta yang tak punya rumah layak. Ia berdiri tegak menyelesaikan
macet dan layanan kesehatan, bersama seluruh warga Jakarta.
Bukan untuk popularitas. Sebab, warga Jakarta sangat tahu
cara yang tepat menyukai atau tidak menyukai sesuatu. Bukan untuk keuntungan
semata. Sebab, Jakarta sangat tahu cara memutar transaksi bisnisnya. Juga bukan
untuk reputasi khusus, agar dianggap merakyat; tapi benar-benar pemimpin yang
susah-senang bersama rakyatnya.
Demokratisasi Urban
Kiranya perlu diketahui tentang partisipasi politik urban
yang dipraktikkan masyarakat urban, seperti Jakarta. Hasilnya, demokratisasi
urban pun tak seperti praktik demokrasi pada umumnya. Jakarta seperti dapat
menentukan cara berdemokrasi, seperti yang warganya sendiri maui.
Sebutlah kompetisi ini benar-benar mewakili kepentingan
Jakarta, warga Jakarta belum tentu mau mengakuinya dengan legawa. Bila hasilnya
baik, dengan sendirinya, mereka akan membangun konsesi dan mematuhinya. Namun
bila hasilnya buruk, warga Jakarta, bisa jadi, semakin mengeras
ketidakpercayaannya pada elite politik di level apa pun.
Oleh karena itu, sudah semestinya bila momentum Putaran
Kedua Pilkada DKI 2012 ini diwarnai dengan pendewasaan politik yang elegan.
Sebab, sekali lagi, warga Jakarta sudah sangat tahu etika. Mereka akan
berpartisipasi bila memang ‘servis’ politik juga memuaskan. Bukan dengan saling
menjatuhkan lawan, bermuatan isu-isu ‘tidak berilmu’, yang justru akan membuat
warga Jakarta antipati.
Selamat memilih, warga Jakarta.
No comments:
Post a Comment