Baru-baru
ini Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis hasil survei terkait konstelasi
kandidat capres yang akan bertarung pada pilpres 2014. Secara metodologi dan
temuan, survei LSI ini menarik untuk dikaji, selain menggunakan metode yang
tidak biasa - menggunakan opinion leader sebagai responden -, temuan itu juga
semakin memperjelas siapa-siapa yang punya potensi untuk bertarung di pemilu
presiden 2014.
Meski
Pilpres masih dua tahun lagi, tapi kehebohan nama-nama yang mempunyai potensi
menjadi capres mulai riuh di sana sini. Nama-nama lama seperti Prabowo, Jusuf
Kalla, Megawati, dan Aburizal Bakrie masih di urutan atas popularitas hasil
survei. Meski demikian, nama-nama baru seperti Dahlan Iskan, Mahfud MD, dan
Hatta Rajasa juga sudah mulai merangsek ke posisi tengah.
Nama-nama
kandidat tersebut saat ini sedang berebut panggung di berbagai pentas nasional
terkait dengan berbagai isu dan problem kebangsaan. Panggung itu timbul dan
tenggelam seiring dengan maraknya pemberitaan media. Panggung penting bagi
kandidat untuk meningkatkan popularitas mereka sekaligus menjaga agar nama-nama
mereka masih dan terus terekam dalam radar benak pemilih.
Ironinya,
terminologi popularitas seakan menjadi mantra bagi para kandidat capres. Mereka
berebut untuk mencapai tingkat popularitas setinggi mungkin. Pertanyaannya
adalah apakah popularitas itu menjamin keterpilihan seorang kandidat dalam
pilpres nanti? Jawabnya belum tentu!!
Popularitas
memang penting sebagai pintu masuk. Tapi popularitas bukanlah "key winning
formula". Popularitas hanya menjamin seorang kandidat dikenal atau tidak
oleh pemilih. Seorang kandidat bisa populer karena track recordnya yang baik
atau bisa juga track record yang buruk. Sebagai ilustrasi, survei yang kami
lakukan menunjukkan popularitas Aburizal Bakrie sangat tinggi di kalangan
pemilih. Tapi tingkat keterpilihan Aburizal Bakrie lebih rendah di antara
kandidat-kandidat yang lain.
Tingkat
keterpilihan seorang kandidat, menurut kami, paling tidak dipengaruhi oleh 4
faktor, Popularitas, Citra, Enggagement, dan Voters Charactersistic. Tiga yang
pertama adalah yang utama. Pertama, Popularitas. Langkah pertama kandidat harus
dikenal oleh pemilih. Seorang kandidat tidak harus menjadi yang pertama dalam
ukuran popularitas, yang penting dia masih dalam peringkat 3 besar masih punya
peluang terpilih. Kedua, Citra. Popularitas yang tinggi harus di dukung oleh
citra yang baik, citra ini menyangkut karakter dan kapabilitas kandidat.
Ketiga,
Enggagement. Bisa diartikan sebagai ikatan batin antara kandidat dan pemilih.
Seorang kandidat harus mampu membangun hubungan yang baik dengan pemilih
sehingga pemilih tidak merasa ada jarak antara mereka dan kandidat. Seorang
kandidat yang berhasil membangun ikatan batin dengan pemilih akan lebih mudah
menggerakkan pemilih mengambang (swing voters) untuk memilih dia.
Dengan
mengetahui pentingnya tiga faktor tadi, seorang kandidat dapat menyusun program
kampanye dan komunikasi yang lebih tepat sasaran ke pemilih. Untuk meningkatkan
popularitas dan citra cara yang bisa ditempuh oleh kandidat adalah melalui komunikasi
media baik elektronik, cetak, sampai umbul-umbul dan spanduk. Sementara itu,
enggagement hanya bisa ditingkatkan melalui "kehadiran" kandidat baik
secara fisik maupun virtual di kalangan pemilih. Berdasarkan survei yang kami
lakukan, biasanya faktor enggagement lebih menentukan tingkat keterpilihan
dibanding dua faktor yang pertama.
Faktor
keempat, yang tidak kalah penting, adalah voters characteristics. Faktor ini
meliputi karakteristik pemilih dari sisi komposisi demografi dan geografi.
Pemilih yang didominasi pemilih muda tentu memiliki aspirasi yang berbeda
dengan pemilih tua. Begitu juga perbedaan antara pemilih kota dan desa.
Karena
itu, penting bagi seorang kandidat untuk mengidentifikasi kekuatan dan
kelemahan dia dari berbagai sisi popularitas, citra, dan enggagement sebelum
melakukan program kampanye dan komunikasi pemilih, agar seorang kandidat tidak
terjerumus dalam jebakan popularitas. [sumber]
No comments:
Post a Comment