Blognya Anak Kuliahan

Showing posts with label My Article. Show all posts
Showing posts with label My Article. Show all posts

Sunday, April 26, 2020

Merajut Sustainable Peace di Aceh

April 26, 2020 3


Seorang bijak berucap “Hal tersulit setelah mendapatkan sesuatu adalah mempertahankannya”, frasa ini nampaknya mewakili gambaran perdamaian di Aceh. Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki belasan tahun silam bisa dikatakan bukanlah merupakan akhir segalanya bagi jalan panjang penyelesaian konflik vertikal yang terjadi di Aceh, melainkan sebagai tahapan awal dari proses pembangunan perdamaian yang berkelanjutan (sustainable peace) di Aceh. Harus diakui bahwa pihak-pihak yang berseteru saat itu baik dari Pemerintah Indonesia maupun Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah mengambil langkah yang tepat dengan menurunkan egonya masing-masing dan memulai lembaran baru kehidupan melalui instalasi ulang hubungan pusat-daerah dalam kerangka kerja yang diharapkan bisa lebih aspiratif dan demokratis.

Menelisik sejarah panjang konflik Aceh tidak cukup dengan hanya melihat satu sudut pandang saja, dibutuhkan telaah panjang dengan menganalisis berbagai macam faktor utama meletusnya konflik tersebut. Salah satu latar belakang yang paling menonjol adalah berkaitan dengan isu pengakuan identitas dan ketidakadilan dalam pembagian sumberdaya alam, maka tidak mengherankan melihat alotnya proses negosiasi perdamaian pada 2005 silam di Helsinki banyak berkutat pada persoalan institusionalisasi identitas masyarakat Aceh yang ingin menerapkan pelaksanaan syariat islam, keistimewaan kebijakan perpolitikan yang akhirnya memunculkan partai politik lokal, dan pengaturan ulang keuangan daerah dimana lahirnya dana otsus.

Perlu dipahami bahwa dewasa ini ruang lingkup kajian pembangunan perdamaian tidak terbatas hanya pada penghentian pertikaian militer semata, namun bisa lebih luas seperti memperkuat penegakan hukum, perbaikan ekonomi, penyediaan kebutuhan dasar pelayanan publik bagi masyarakat, dan lain sebagainya. Kegiatan-kegiatan tersebut utamanya diaplikasikan pada situasi pasca-konflik dimana kondisi kelembagaan di sebuah daerah bekas konflik masih sangat rentan terhadap berbagai macam potensi gejolak baru yang siap menghantam, sehingga situasi damai dapat dengan sangat mudah pecah menjadi konflik terbuka lainnya.

Lembaga PBB pada tahun 2005 lalu mencatat bahwa sekitar setengah dari negara-negara yang berhasil keluar dari peperangan ternyata kembali ke situasi konflik kekerasan dalam periode kurang dari lima tahun sejak genjatan senjata di deklarasikan. Penyebabnya disinyalir akibat ketidaksigapan pemerintah dalam membangun perencanaan paska perdamaian. Kegiatan pembangunan perdamaian tidak menyasar asal-musabab utama konflik bersenjata, sehingga seiring waktu kondisi tidak ideal ini dapat saja mengendap dan lanjut bertransformasi kedalam bentuk kekerasan lainnya. Oleh karena itu, tahapan pembangunan perdamaian sangat penting untuk direncanakan jika tidak ingin kembali lagi terjerumus dalam era kegelapan.

Perdamaian Berkelanjutan
Pembangunan perdamaian di dunia perlu diwujudkan melalui usaha-usaha yang berkelanjutan (sustainability). Perhatian khusus terhadap usaha menjaga perdamaian dunia telah dilakukan oleh negara di dunia dengan memperingati hari Perdamaian Internasional pada tanggal 21 September setiap tahunnya, tidak hanya seremonial belaka, usaha-usaha lainnya juga terus digencarkan. Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro - Brazil pada tahun 2012 lalu berhasil mengilhami lahirnya agenda pembangunan global yang bernama Sustainable Development Goals (SDGs)/Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, sebuah model pembangunan berkelanjutan yang dapat membantu menyelesaikan masalah dunia. Adalah September 2015 yang kemudian menjadi pertemuan puncak bersejarah para pemimpin dunia di New York, dimana sebanyak 193 negara anggota PBB secara bulat menyepakati SDGs sebagai sebuah panggilan mendesak agar memulai upaya-upaya baru untuk mengakhiri kemiskinan absolut, melindungi planet dari kerusakan, dan termasuk menjaga perdamaian dan ketertiban dunia.

Komitmen internasional yang ingin dicapai bersama pada tahun 2030 ini memiliki tiga pilar utama yaitu, pembangunan sosial (social development), pembangunan ekonomi (economic development), dan pembangunan lingkungan (environmental development). Secara keseluruhan, SDGs memiliki 17 agenda utama, dengan 169 target dan 232 indikator. Masalah perdamaian secara khusus diatur dalam Goal 16 Peace, Justice and Strong Institutions/Tujuan ke 16 yaitu Perdamaian, Keadilan dan Kelembagaan yang Kuat (12 target dan 23 indikator).

Perdamaian dalam bingkai pembangunan berkelanjutan tengah menjadi tren masa kini. Paradigma pembangunan milenial ini menuntun manusia untuk tidak hanya memikirkan keadaan di masa sekarang saja, namun juga kepentingan generasi mendatang yang harus diperhitungkan secara seksama. Meskipun demikian, seiring dengan laju perubahan mode dunia yang berlangsung cepat dan dinamis, skala tantangan yang dihadapi juga tidak kalah besar. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan yang seimbang harus ditopang oleh keberhasilan dalam menurunkan jumlah konflik baik kecil maupun besar. Maka para pemangku kepentingan dituntut untuk bisa merumuskan strategi pembangunan yang lebih baik dan terarah.

Beberapa tantangan mendasar yang sedang dihadapi saat ini adalah masalah kemiskinan, kelaparan, kesenjangan sosial, tergerusnya sumber daya alam, kelangkaan air, degradasi lingkungan, korupsi, rasisme, intoleransi, dan lain sebagainya. Permasalahan tersebut kerapkali menjadi penyebab utama yang mengancam perdamaian dunia dan berpotensi menciptakan lahan baru yang lebih subur bagi konflik berkepanjangan. Dengan demikian, perdamaian mutlak diperlukan untuk memperkuat landasan menuju pembangunan berkelanjutan.

Acèh Damê
Pembangunan berkelanjutan bukan menjadi tanggung jawab satu pihak saja, namun seluruh stakeholders termasuk pemerintah daerah harus ikut mengambil tanggung jawab ini. Pemerintah daerah sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat diharapkan mampu menjadi ujung tombak keberhasilan pelaksanaan SDGs di ranah lokal melalui serangkain praktik kebijakan yang inovatif. Beruntungnya, pemangku kebijakan di Aceh saat ini sadar betul akan pentingnya kebijakan yang berkelanjutan, seperti halnya 15 program Aceh Hebat yang menjadi program unggulan Pemerintah Aceh periode 2017-2022 yang ternyata sarat akan 17 goals dari SDGs.

Dari 15 program unggulan tersebut, hanya tiga diantaranya, yaitu; Aceh SIAT, Acèh Meuadab, dan Acèh Teuga yang memiliki ciri khas tersendiri, sedangkan 12 program lainnya bisa dikatakan sangat identik dengan SDGs. Sebagai contoh Acèh Damê yang merupakan program yang terinspirasi dengan Goal 16 Peace, Justice and Strong Institutions dimana berfokus pada aspek yang sedang dibahas dalam tulisan ini yaitu perdamaian.

Di dalam website resmi Pemerintah Aceh (www.acehprov.go.id) dijelaskan bahwa Acèh Damê adalah situasi aman dan damai yang berkelanjutan (sustainable peace) melalui penuntasan proses reintegrasi dan membangun nilai-nilai perdamaian bagi semua lapisan masyarakat. Lebih lanjut di laman online tersebut juga disebutkan bahwasanya fokus utama dari Acèh Damê adalah melakukan penguatan pelaksanaan UUPA sesuai prinsip-prinsip MoU Helsinki secara konsisten dan komprehensif. Terdapat empat sasaran utama dari Acèh Damê yaitu (i) Menjadikan seluruh program pembangunan Aceh berbasis pengarusutamaan damai; (ii) Penuntasan aturan turunan UUPA sehingga dapat diimplementasikan dalam pembangunan dan kehidupan masyarakat; (iii) Penguatan kapasitas Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh; dan (iv) Memasukkan pendidikan damai (peace education) dalam kurikulum sekolah.

Baik, secara ide dan konsep Aceh sudah punya, lalu bagaimana dengan realisasinya? Lisa Kleypas, penulis novel top berkebangsaan Amerika, dalam pandangannya menyatakan “there is no peace in poverty” yang bisa dimaknai bahwasanya akan sulit untuk menciptakan kedamaian dalam kondisi kemiskinan. Beberapa pekan lalu ramai spanduk “Selamat Datang di Propinsi Termiskin Se-Sumatera”. Lalu tak lama berselang kritik tersebut dijawab oleh pemerintah lewat baliho yang berisi pembelaan bahwasanya Pemerintah Aceh berhasil turunkan angka kemiskinan 0,67 persen. Terlepas dari kesahihan klaim tersebut, dengan dibekali dana otsus yang melimpah ruah dan tetap mendapatkan predikat termiskin di Sumatera, maka sepertinya progres nol koma tersebut belum bisa dibilang sebuah prestasi.

Perlu digaris bawahi bahwasanya peace (perdamaian) tidak melulu diartikan sebagai the absence of war (tidak adanya perang), melainkan contoh sederhananya yaitu terciptanya suatu kondisi yang menjamin sebuah kemakmuran holistik dan berkelanjutan juga merupakan pengertian lain dari perdamaian. Selain prestasi termiskin, Aceh juga menempatkan diri sebagai propinsi dengan tingkat toleransi yang rendah. Apa yang tengah dihadapi saat ini adalah masih sering terjadinya ketegangan antar kelompok lintas pemahaman agama yang tak terkendali. Ketidaksiapan masyarakat atas munculnya keberagaman di sekitar mereka menjadi tantangan besar untuk diselesaikan. Pemahaman lintas budaya dan rekonsiliasi sangat diperlukan untuk menumbuh kembangkan sikap toleransi dan cinta damai di masyarakat. Dengan demikian, toleransi merupakan bagian integral dan penting untuk merealisasikan perdamaian, toleransi adalah menghormati setiap hak individu atas identitas yang menyertainya. Pemerintah secara khusus lewat Acèh Damê perlu hadir untuk memediasi konflik tiada akhir antara kelompok yang saling menghujah tersebut, karena sesuai dengan sasaran utama dari program ini yaitu menjadikan seluruh program pembangunan Aceh berbasis pengarusutamaan damai.

Perdamaian wajib dipertahankan secara terus-menerus dan berkesinambungan, karena perdamaian bukanlah sesuatu yang mudah untuk dicapai, maka sangat penting bagi pemerintah untuk menciptakan lingkungan global yang aman dan nyaman bagi masyarakat. Tidak hanya konflik bersenjata maupun terorisme, sikap intoleransi pun dapat membawa dampak merusak bagi pembangunan, mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan menghambat pencapaian pembangunan berkelanjutan. Sebaliknya, pembangunan berkelanjutan akan lebih mudah untuk dicapai ketika keamanan dan perdamaian terjaga dengan baik. (*)


* Telah dimuat di Koran Rakyat Aceh (12/02/20) Halaman 11

Saturday, June 2, 2018

Profil dan Peta Partai Politik Lokal Peserta Pemilu Legislatif Tahun 2019 di Aceh

June 02, 2018 3
Kontestansi Pemilihan Umum (Pemilu) di Aceh selalu menjadi bahan yang menarik untuk disimak dan diperbincangkan, adalah keberadaan partai politik lokal yang menyebabkan mengapa Aceh selalu menjadi fokus pembicaraan para penggiat pemilu dan partai politik di ranah akademik maupun di forum diskusi warung kopi dan sebagainya.

Keikutsertaan partai politik lokal di Pemilu legislatif merupakan hak eksklusif yang hanya diberikan Pemerintah Indonesia untuk Propinsi Aceh, dan hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh. Hanya saja, partai politik lokal ini hanya boleh mengirimkan kader terbaiknya untuk mengemban amanah di level propinsi dan kabupaten/kota saja. Yaitu; DPRA dan DPRK untuk pemilihan legislatif, dan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota untuk pemilihan eksekutif.

Pemilu Legislatif tahun 2009-2014 merupakan titik awal kebangkitan euphoria politik masyarakat Aceh. Pada periode tersebut sebanyak sepuluh partai politik lokal mendaftarkan diri di kantor kementerian Hukum dan HAM Provinsi Aceh, dan hanya enam yang berhasil lolos proses verifikasi yang dilakukan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, yaitu; Partai Aceh (PA), Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA), Partai Bersatu Ajeh (PBA), Partai Daulat Aceh (PDA), Partai Rakyat Aceh (PRA), dan Partai Aceh Aman Seujahtera (PAAS). Pileg yang dilaksanakan pada tanggal 09 April 2009 ini total diikuti oleh 44 parlok dan parnas, dan mereka bertarung memperebutkan 69 kursi DPRA. Berikut adalah hasil perolehan suara dan kursi dari enam partai politik lokal.
Table 1. Hasil Pileg Aceh 2009
Nama Partai
Perolehan Suara
Peringkat Akhir
Jumlah Kursi
Partai Aceh (39)
1.007.173 (46,91%)
1
33
Partai Daulat Aceh (36)
39.706 (1,85 %)
8
1
Partai Suara Independen Rakyat Aceh (37)
38.157 (1,78 %)
9
-
Parta Rakyat Aceh (38)
36.574 (1,70%)
13
-
Partai Bersatu Atjeh (40)
16.602 (0,77%)
20
-
Partai Aceh Aman Seujahtera (35)
11.117 (0,52%)
23
-
Sumber: KIP Aceh 2009
Ketentuan electoral threshold alias ambang batas peserta pemilu akhirnya membatasi hak sejumlah partai politik lokal yang berkiprah pada Pemilu Legislatif 2009-2014 untuk kembali mengikuti pertarungan pada Pemilu Legislatif 2014-2019. Aturan yang mensyaratkan setiap partai politik harus mendapatkan minimal lima persen suara pada pemilu sebelumnya agar bisa kembali mengikuti ajang politik tahun selanjutnya mengakibatkan lima dari enam partai harus rela untuk tidak ikut berkompetisi. Otomatis, hanya Partai Aceh (PA) saja yang langsung berhak atas satu nomor undian pada periode kedua ini. Kemudian, berdasarkan hasil verifikasi faktual dari penyelenggara pemilu di Aceh pada tahun 2014, akhirnya memutuskan untuk meloloskan Partai Nasional Aceh (PNA) dan Partai Damai Aceh menemani Partai Aceh (PA) untuk bersaing dalam memperebutkan suara dari masyarakat Aceh. Pileg yang dilaksanakan pada tanggal 09 April 2014 ini total diikuti oleh 15 parlok dan parnas, dan memperebutkan 81 kursi DPRA. Berikut adalah hasil perolehan suara dan kursi dari tiga partai politik lokal.
Table 2. Hasil Pileg Aceh 2014
Nama Partai
Perolehan Suara
Peringkat Akhir
Jumlah Kursi
Partai Aceh (13)
847.956 (35,34%)
1
29
Partai Nasional Aceh (12)
113.452 (4,73%)
8
3
Partai Damai Aceh (11)
72.721 (3,03%)
11
1
Sumber: KIP Aceh 2014

Adapun gelombang ketiga pesta politik lokal Aceh akan diselenggarakan pada 19 April 2019. Terdapat enam partai politik lokal yang mendaftarkan diri ke KIP, yaitu; Partai Aceh (PA), Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA), Partai Daerah Aceh (PDA), Partai Nanggroe Aceh (PNA), Partai Geuneurasi Aceh Beusaboh Tha’at dan Taqwa (GABTHAT), dan Partai Gerakan Rakyat Aceh Mandiri (GRAM). Sayangnya, dua nama terakhir harus kandas ditengah jalan karena tidak lolos verifikasi faktual penyelenggara lokal. Jadi, Pemilu Legislatif Aceh periode 2019-2024 akan diikuti oleh sebanyak empat partai politik lokal, dan tidak lupa enam belas partai politik nasional. Dalam menyongsong dan menyemarakkan Pemilu Legislatif Aceh 2019, berikut saya tampilkan sekilas profil dan peta partai politik lokal yang akan berkompetisi. 

Partai Aceh (nomor urut 15)
Sejarahnya partai ini merupakan tranfromasi dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang akhirnya meninggalkan medan perang menuju meja politik. Sebelum memprakarsakan diri dengan sebutan Partai Aceh, partai ini sempat dua kali berganti nama, yaitu Partai Gerakan Aceh Merdeka dan Partai Gerakan Aceh Mandiri. Ternyata, keinginan para founding father untuk tetap mempertahankan akronim GAM pada tubuh partai mendapat penolakan keras dari pemerintah pusat, akhirnya pada 22 April 2008 semua sepakat untuk memakai nama Partai Aceh. Saat ini, partai yang lahir langsung dari rahim MoU Helsinski antara GAM dengan pemerintah RI tahun pada 2005 silam ini bisa dikatakan sebagai partai lokal tersukses dan terbesar di Aceh karena memiliki basis dukungan masyarakat di hampir seluruh pesisir Aceh, hal ini bisa dilihat dari hasil Pileg periode sebelumnya dimana setiap daerah pemilihan hampir dikuasai penuh oleh partai yang dimotori oleh eks kombatan GAM ini.
  • Tokoh kunci: Anwar Ramli, Kautsar, Tgk Muharuddin, Azhari, Ridwan Abubakar, Abdullah Saleh
  • Dapil potensial: Dapil 2, Dapil 3, Dapil 5, Dapil 6, Dapil 7, Dapil 9, Dapil 10 

Partai SIRA (nomor urut 16)
Merupakan alumni Pileg 2009 yang harus rela cuti pada Pileg 2014 karena aturan electoral threshold, kini kembali lagi dengan nama yang sama dengan bendera yang sedikit berbeda. Pada dasarnya SIRA telah eksis jauh sebelum partai politik lokal diperbolehkan di Aceh. Awalnya SIRA adalah singkatan dari Sentral Informasi Referendum Aceh, yaitu sebuah wadah bagi para aktivis mahasiswa yang mendukung dan mengkampanyekan kemerdekaan (referendum) Aceh pada awal masa reformasi dan darurat militer di Aceh, dan barulah pada tahun 2007 kelompok kepentingan ini akhirnya bertranformasi menjadi sebuah partai politik lokal. Pengalaman masuk dalam top 10 peraih suara tertinggi pada Pileg 2009 menjadi modal awal partai ini untuk kembali eksis di percaturan politik lokal di Aceh.
  • Tokoh kunci: Muhammad Nazar
  • Dapil potensial: Dapil 1 atau Dapil 2 

Partai Daerah Aceh (Nomor urut 17)
Partai lokal yang satu ini belum pernah absen dalam tiap edisi pertarungan calon legislatif tingkat daerah, sama halnya dengan Partai Aceh, tahun 2019 nanti akan menjadi yang ketiga kalinya berpartisipasi. Uniknya, tiap periode pemilihan muncul dengan nama dan bendera yang berbeda-beda namun tetap mempertahankan akronim yang sama yaitu PDA, yaitu; Partai Daulat Aceh (2009), Partai Damai Aceh (2014), dan Partai Daerah Aceh (2019). Hasilnya mereka berhasil mengamankan satu kursi DPRA tiap periodenya, mungkin ini alasan mengapa partai yang didirikan oleh para ulama Dayah (pesantren tradisional di Aceh) betah untuk sering gonta-ganti nama, karena satu kursi di level propinsi sepertinya sudah jadi milik partai yang memiliki basis suara dari santri dan tengku dayah se Aceh ini.
  • Tokoh kunci: Tgk Muhibbussabri A. Wahab
  • Dapil potensial: Dapil 1 

Partai Nangroe Aceh (nomor urut 18)
Sebagian tokoh penting dan eks kombatan GAM yang tidak betah di PA berpindah haluan ke partai politik lain, bahkan kader-kader terbaik partai yang merasa aspirasinya tidak tersalurkan dengan baik oleh PA akhirnya melahirkan partai baru yang bernama Partai Nasional Aceh (PNA). Ikut berpartisipasi pada Pileg 2014, partai besutan Irwandy Yusuf cs ini berbagi nasib dengan PDA karena tidak mampu melewati ambang batas peserta pemilu, namun dalam hal perolehan kursi sedikit lebih beruntung karena berhasil mengirimkan tiga nama ke DPRA. Kemudian, demi mengikuti pergelarakan pesta politik 2019, partai yang didirikan pada tahun 2012 ini harus rela berpindah atribut dan berganti nama menjadi Partai Nanggroe Aceh.
  • Tokoh kunci: Irwansyah, Zaini Yusuf
  • Dapil potensial: Dapil 1, Dapil 3, Dapil 5 

Paska Pilgub Aceh 2017, peta percaturan politik di Aceh mengalami perubahan yang bisa dibilang cukup signifikan. Jika sebelumnya banyak pengamat pemilu dan partai politik meniscayakan Partai Aceh akan dengan mudah menggulingkan lawan-lawan politiknya, maka opini yang berkembang sekarang meyakini bahwa partai pimpinan Muzakir Manaf tersebut akan mengalami kesulitan untuk terus mendominasi peta perpolitikan di Aceh. Pertama, melihat track record keikutsertaan partai bercorak merah-hitam ini dalam kontes legislatif dan eksekutif menunjukkan penurunan. Pilkada serentak tahun 2017 lalu menjadi sinyal melemahnya hagemoni Partai Aceh, setengah dari 20 pasangan yang diusung dan didukung oleh PA harus tumbang, angka tersebut sudah termasuk Pilgub. Kemudian, sebelum kalah dalam Pilgub 2017, PA sudah duluan kehilangan hampir 12% suara pada Pileg 2014, padahal pada keikutsertaan pertama mereka pada Pileg 2009 hampir melahap 50% suara rakyat Aceh.

Beberapa penyebab lain yang melatar belakangi trend negatif yang sedang dialami oleh Partai Aceh, diantaranya seperti konflik internal ditubuh partai yang menyebabkan beberapa tokoh penting yang biasanya menjadi vote getter hengkang ke partai sebelah, contohnya eksodus beberapa kader dan simpatisan ke PNA tahun 2014 lalu. Kemudian, terdapat banyak janji politik yang belum ditunaikan, dan masyarakat juga sudah jengah dengan prilaku elit Partai Aceh yang masih kerap melakukan serangkaian politik intimidasi. Lebih lanjut, keberadaan PA diluar jajaran eksekutif sejak 2017 ternyata ikut melemahkan ruang partisipasi mereka dalam ranah pengambilan kebijakan, contohnya akses mereka terhadap anggaran yang hilang sejak dipergubkannya APBA 2018, hal ini tentu akan berpengaruh besar terhadap pendanaan pemenangan partai pada Pileg 2019 nanti. Terakhir, fokus kader dalam memenangkan PA di level DPRA sedang terpecah, melihat adanya wacana sejumlah ujung tombak partai seperti Azhari Cage, Kautsar, dan Abdullah Saleh yang berkeinginan mencicipi kursi DPR-RI melalui jalur partai nasional. Walaupun sedang berada diposisi yang tidak mengenakkan, Partai Aceh akan tetap memimpin klasemen perebutan kursi Pileg 2019, dengan kemungkinan akan kehilangan suara yang lebih-kurang 10% dari suara pada Pileg edisi sebelumnya.

Bagi lawan politiknya, ini merupakan momentum yang tepat untuk mencuri beberapa kursi DPRA milik Partai Aceh. Partai nasional seperti Golkar, Demokrat, dan Nasdem tentu berambisi untuk melampaui pencapaian pada periode sebelumnya, yaitu minimal 10 kursi, sesuatu yang dirasa bukan hal yang mustahil. Sementara itu, mission impossible untuk dapat berbicara banyak pada Pileg 2019 dihadapi oleh PDA dan SIRA.

Secara finansial dan nilai jual, PDA sedikit lebih beruntung karena memiliki akses terhadap kekuasaan akibat tergabung dalam koalisi pemenangan Irwandy-Nova pada Pilgub 2017 lalu. Tidak dengan SIRA yang cukup lama vakum dari persaingan politik Aceh, hal ini secara tidak langsung bisa mempengaruhi antusiasme caleg dan relawan untuk bergabung dalam pemenangan partai. Secara struktural dan dukungan, PDA cukup kokoh karena memiliki basis dukungan dari ulama dan santri Dayah se Aceh. Sementara itu, pondasi partai SIRA terlihat rapuh dimana pernah terjadi dualisme akibat adanya perbedaan pandangan politik, bahkan tahun 2012 sempat muncul Partai SIRA Perjuangan yang sekarang entah bagaimana kabarnya. Jika dilihat persamaan, satu kesamaan antara keduanya adalah sama-sama mengalami krisis tokoh dan sangat bergantung pada one-man show dari Tgk Muhibbussabri A. Wahab (PDA) dan Muhammad Nazar (SIRA). Maka, mendapatkan satu kursi saja pada Pileg 2019 nanti sepertinya merupakan sebuah prestasi bagi kedua partai tersebut.

Sementara itu, antusiasme tinggi sedang melanda segenap pengurus, kader, dan simpatisan PNA. Keberhasilan mengantarkan Irwandy Yusuf ke kursi Aceh 1 diharapkan dapat menular pada Pileg 2019 nanti. Namun lagi-lagi, krisis tokoh bisa menjadi batu sandungan bagi partai yang identik dengan warna oranye ini. Stok tokoh melimpah di Dapil 1 (Sabang-Banda Aceh-Aceh Besar), namun tidak dibarengi dengan Dapil lainnya. Walaupun begitu, permasalahan ini sepertinya tidak terlalu besar mengingat posisi PNA yang sedang menguasai eksekutif, sehingga factor bisa menjadi magnet tersendiri untuk menggaet sejumlah tokoh untuk bertarung dibawah payung PNA. Oleh karena itu, Irwandy effect sangat diharapkan untuk kembali menciptakan keajaiban jilid 2 seperti yang terjadi pada Pilgub 2017 lalu.

Masyarakat pemilih semakin cerdas, peta politik bisa berubah, dan partai politik diharapakan segera berbenah. Besar harapan agar Pileg 2019 nanti dapat berjalan dengan aman dan damai tanpa ada konflik yang bergejolak, sehingga masyarakat dapat memilih dengan tenang sesuai dengan pilihan hati bukan intimidasi. Kemudian, partai politik agar bisa mengirimkan kader-kader terbaiknya yang memiliki visi untuk mengabdi bukan mengharapkan gaji, sehingga nantinya komposisi anggota dewan diisi oleh orang-orang yang berkualitas yang mampu mewakili suara dari konstituennya dengan baik. Aammiinn..

Monday, May 7, 2018

Kebijakan Pembangunan yang Berkelanjutan di Propinsi Aceh

May 07, 2018 2
Kata berkelanjutan (sustainability) saat ini menjadi sebuah kata yang menjadi tren tersendiri dikalangan pemangku kebijakan dalam menyusun strategi pembangunan nasional, tidak hanya di Indonesia namun juga di dunia. Dan ketika kata tersebut disandingkan dengan tajuk pembangunan, maka muncul istilah pembangunan berkelanjutan. Menurut Brundtland report (1987), pembangunan berkelanjutan adalah proses pemenuhan kebutuhan hidup dimasa sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan hidup generasi masa depan, kemudian terdapat tiga pilar utama yang menjadi fokus pembangunan berkelanjutan, yaitu; pembangunan ekonomi (economic development), pembangunan sosial (social development), dan pembangunan lingkungan (environmental development).

Ihwal naik daunnya terminologi pembangunan berkelanjutan ini dilatarbelakangi oleh diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) antar negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada 25-27 September 2015 yang lalu di markas besar PBB di New York-Amerika Serikat. Dalam musyawarah tersebut, lahirlah sebuah konsensus bersama dalam mensuksekan agenda pembangunan global yang diberi nama Sustainable Development Goals (SDGs). Komitmen internasional yang ingin dicapai bersama pada tahun 2030 ini terdiri atas 17 goals (tujuan) dan 169 target yang membidik berbagai macam isu pembangunan, mulai dari masalah kemiskinan hingga program kerja sama internasional.
  1. Goal 1 End poverty in all its forms everywhere
  2. Goal 2 End hunger, achieve food security and improved nutrition and promote sustainable agriculture
  3. Goal 3 Ensure healthy lives and promote well-being for all at all ages
  4. Goal 4 Ensure inclusive and equitable quality education and promote lifelong learning opportunities for all
  5. Goal 5 Achieve gender equality and empower all women and girls
  6. Goal 6 Ensure availability and sustainable management of water and sanitation for all
  7. Goal 7 Ensure access to affordable, reliable, sustainable and modern energy for all
  8. Goal 8 Promote sustained, inclusive and sustainable economic growth, full and productive employment and decent work for all
  9. Goal 9 Build resilient infrastructure, promote inclusive and sustainable industrialization and foster innovation
  10. Goal 10 Reduce inequality within and among countries
  11. Goal 11 Make cities and human settlements inclusive, safe, resilient and sustainable
  12. Goal 12 Ensure sustainable consumption and production patterns
  13. Goal 13 Take urgent action to combat climate change and its impacts
  14. Goal 14 Conserve and sustainably use the oceans, seas and marine resources for sustainable development
  15. Goal 15 Protect, restore and promote sustainable use of terrestrial ecosystems, sustainably manage forests, combat desertification, and halt and reverse land degradation and halt biodiversity loss
  16. Goal 16 Promote peaceful and inclusive societies for sustainable development, provide access to justice for all and build effective, accountable and inclusive institutions at all levels
  17. Goal 17 Strengthen the means of implementation and revitalize the global partnership for sustainable development
SDGs bukanlah produk kebijakan global pertama, sebelumnya ada Millenium Development Goals (MDGs) yang telah diadopsi oleh sejumlah negara pada periode 2000-2015. Namun, SDGs terlihat lebih inklusif dengan berhasil mengakomodir lebih banyak isu dan kepentingan, hal ini terlihat jelas pada jumlah goals MDGs yang hanya 8 dibandingkan dengan SDGs yang mencapai 17 goals. Kemudian, perihal target dan sasaran SDGs juga lebih komprehensif, contohnya dalam upaya pengentasan kemiskinan, MDGs hanya berani menyasar 50 persen penduduk dunia terbebas dari kemiskinan, sementara SDGs tampil lebih berani dengan menargetkan 100 persen penduduk dunia lepas dari jerat kemiskinan. Jadi bisa dinyatakan bahwa kehadiran SDGs merupakan suatu langkah penyempurnaan dari pelaksanaan MDGs.

Terlepas dari adanya beberapa sisi kelemahan yang dimiliki oleh MDGs, Indonesia sendiri juga ikut ambil peran pada fase pertama kebijakan pembangunan global tersebut. Kala itu pemerintah berhasil mencapai 47 poin dari total 67 indikator yang ada, dan hasil tersebut tergolong sukses dibanding beberapa negara lain. Lebih lanjut, pengalaman Indonesia dalam mengampu MDGs adalah langkah awal untuk mematik rasa optimistisme yang lebih tinggi dari pemangku kebijakan untuk mampu mencapai persentase target yang lebih baik pada masa SDGs.

Perlu diketahui bahwa SDGs bukanlah kerangka pemikiran luar yang dipaksakan untuk diterapkan dalam agenda pembangunan nasional, karena pada prinsipya SDGs memiliki fleksibilitas yang memungkinkan sebuah negara untuk mengintegrasikan agenda pembangunan global dengan lokal. Dan sebagai negara yang sedang tumbuh, implementasi SDGs akan meberikan manfaat bagi Indonesia dalam membangun jejaring kemitraan global dengan negara-negara pemangku kepentingan yang berpartisipasi.

Dokumen pembangunan nasional seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) mengisyaratkan akan pentingnya konvergensi antara kebijakan nasional dan internasional, seperti yang terdapat dalam Bab 3.4 RPJMN tahun 2015-2019 yang menyatakan kesiapan negara dalam mengadaptasikan SDGs kedalam pilar pembangunan nasional. Selain itu, terbitnnya Perpres Nomor 59 Tahun 2017 Tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan juga menjadi salah satu wujud komitmen tertinggi yang ditunjukan oleh pemerintah dalam menyongsong SDGs di tahun 2030 nanti. Dan sepertinya langkah yang diambil oleh pemerintah juga sudah cukup jauh, hal ini terlihat dari upaya kovergensi secara menyeluruh melalui adanya pelembagaan 169 indikator SDGs kedalam RPJMN tahun 2020-2024 (tribunnews.com).

Aceh Hebat
SDGs tidak hanya menjadi tanggung jawab satu pihak saja, namun seluruh stakeholders termasuk pemerintah daerah harus ikut mengambil tanggung jawab ini. Pemerintah daerah sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat diharapkan mampu menjadi ujung tombak keberhasilan pelaksanaan SDGs melalui serangkain praktik kebijakan yang inovatif. Beruntungnya, pemangku kebijakan Aceh saat ini sadar betul akan kebutuhan kebijakan yang berkelanjutan, seperti halnya 15 program Aceh Hebat yang telah dianggarkan dalam APBA 2018 yang ternyata sarat akan 17 goals dari SDGs.
  1. Aceh Seujahtra (JKA Plus). Jaminan Kesejahteraan Aceh meliputi pemenuhan akses layanan kesehatan gratis, beasiswa bagi anak yatim dan anak orang miskin dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi di PTN, dan santunan untuk manula;
  2. Aceh SIAT (Sistem Informasi Aceh Terpadu). Pengembangan sistem informasi dan database Aceh yang terpadu untuk semua sektor pembangunan dan pelayanan masyarakat;
  3. Aceh Caròng. Seluruh anak-anak di Aceh mendapatkan pendidikan yang berkualitas yang mampu bersaing dan mengukir prestasi di tingkat nasional, regional dan internasional;
  4. Aceh Teunaga. Pemenuhan energi listrik bagi rakyat Aceh dan industri yang berasal dari energi bersih-terbarukan;
  5. Aceh Meugoë dan Meulaôt. Pembangunan pertanian dan ekonomi maritim melalui program intensifikasi dan ekstensifikasi;
  6. Acèh Troë. Pemenuhan bahan pangan dan gizi bagi seluruh rakyat Aceh secara mandiri;
  7. Acèh Kreatif. Mendorong tumbuhnya industri sesuai dengan potensi sumberdaya daerah dan memproteksi produk yang dihasilkannya;
  8. Acèh Kaya. Merangsang tumbuhnya entrepreneur yang ditunjang dengan kemudahan akses terhadap modal, keterampilan dan pasar;
  9. Acèh Peumulia. Pemenuhan layanan pemerintahan yang mudah, cepat, berkualitas dan bebas pungli;
  10. Acèh Damê. Penguatan pelaksanaan UUPA sesuai prinsip-prinsip MoU Helsinki secara konsisten dan komprehensif;
  11. Acèh Meuadab. Mengembalikan khittah Aceh sebagai Serambi Mekkah melalui implementasi nilai-nilai keislaman dalam kehidupan sehari-hari;
  12. Acèh Teuga. Mengembalikan dan meningkatkan prestasi olahraga Aceh di tingkat nasional dan regional;
  13. Acèh Green. Menegaskan kembali pembangunan aceh berwawasan lingkungan dan berkelanjutan;
  14. Acèh Seuninya. Penyediaan perumahan bagi masyarakat miskin dan pasangan muda;
  15. Acèh Seumeugot. Memastikan tersedianya sarana dan prasarana (infrastruktur) secara cerdas dan berkelanjutan untuk mendukung pencapaian tujuan semua program unggulan terutama yang menjadi daya ungkit pembangunan ekonomi.


Dari 15 program unggulan tersebut, hanya tiga diantaranya, yaitu; Aceh SIAT, Acèh Meuadab, dan Acèh Teuga yang memiliki ciri khas tersendiri, sedangkan 12 program lainnya sangat identik dengan SDGs. Mulai dari (i) Aceh Seujahtra (JKA Plus) yang merupakan gabungan dari Goal 1 No Poverty dan Goal 3 Good Health and Well-being, (ii) Aceh Caròng yang menyerupai Goal 4 Quality Education, (iii) Aceh Teunaga yang persis dengan Goal 7 Affordable and Clean Energy, (iv) Aceh Meugoë dan Meulaôt yang serupa dengan Goal 14 Life Below Water, (v) Acèh Troë yang memiliki kemiripan dengan Goal 2 Zero Hunger, (vi) Acèh Kreatif yang sepadan dengan Goal 9 Industry, Innovation and Infrastructure, (vii) Acèh Kaya yang seirama dengan Goal 8 Decent Work and Economic Growth, (viii) Acèh Damê dan (xi) Acèh Peumulia dua program yang terinspirasi dengan Goal 16 Peace, Justice and Strong Institutions,  (x) Acèh Green yang selaras dengan Goal 15 Life on Land, (xi) Acèh Seuninya yang cocok dengan Goal 11 Sustainable Cities and Communities, (xii) Acèh Seumeugot yang sejalan dengan Goal 17 Partnerships for the Goals. Untuk lebih detilnya bisa dilihat dalam tabel dibawah ini.
Konfigurasi Aceh Hebat dan SDGs
Aceh Hebat (2017-2022)
SDGs (2015-2030)
Aceh Seujahtra (JKA Plus)
Goal 1 dan Goal 3
Aceh SIAT (Sistem Informasi Aceh Terpadu)
-
Aceh Caròng
Goal 4
Aceh Teunaga
Goal 7
Aceh Meugoë dan Meulaôt
Goal 14
Acèh Troë
Goal 2
Acèh Kreatif
Goal 9
Acèh Kaya
Goal 8
Acèh Peumulia
Goal 16
Acèh Damê
Goal 16
Acèh Meuadab
-
Acèh Teuga
-
Acèh Green
Goal 15
Acèh Seuninya
Goal 11
Acèh Seumeugot
Goal 17

Secara keseluruhan, dari total 17 goals yang ada pada SDGs, hanya terdapat 12 goals yang dimasukkan oleh Pemerintah Aceh kedalam 15 program Aceh Hebat. Sisanya, Goal 5 Gender Equality, Goal 6 Clean Water and Sanitation, Goal 10 Reduced Inequalities, Goal 12 Responsible Consumption and Production, dan Goal 13 Climate Action secara eksplisit tidak nampak pada 15 program Aceh Hebat. Mungkin saja lima goals sisa tersebut tidak masuk dalam agenda yang diprioritaskan oleh Irwandy-Nova untuk periode 2017-2022, bisa jadi akan dimasukkan kembali pada periode selanjutnya, itupun jika mereka berhasil terpilih kembali.

Peluang, Tantangan dan Harapan
Melihat kondisi saat ini, Aceh berpotensi menjadi pelopor keberhasilan pelaksanaan SDGs di Indonesia. Pertama, limpahan dana otonomi khusus yang akan menjadi penopang utama kegiatan setidaknya hingga 2027 atau tiga tahun menjelang berakhirnya SDGs. Kekuatan pendanaan menjadikan pemerintah lebih leluasa dalam berinovasi, sehingga tidak perlu khawatir akan mahalnya dana yang perlu dianggarkan. Namun, bagai dua mata pedang, penggunaan anggaran juga sering menjadi momok bagi Pemerintah Aceh, seperti halnya beberapa tahun terakhir yang selalu mengalami kesulitan dalam memaksimalkan serapan anggaran. Kedua, maraknya sosialisasi yang dilakukan mulai dari surat kabar, social media, hingga papan reklame disepanjang jalan. Hal ini berpengaruh penting dalam proses edukasi dan pemberdayaan masyarakat, sehingga mampu membuka ruang partisipasi publik dalam bentuk dukungan dan pengawasan.

Dan yang ketiga, adanya komitmen tinggi pemerintah. Program Aceh Hebat atau SDGs-nya Aceh sebenarnya merupakan janji kampanye yang diikrarkan oleh gubernur terpilih pada saat proses kontentasi Pilkada Aceh tahun 2017 lalu. Kemudian, produk kampanye tersebut telah menjadi program unggulan pemerintah Aceh untuk periode 2017-2022, dibuktikan dengan masuknya kelimabelas butir janji politik tersebut kedalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) tahun 2017-2022. Dan proses transformasi tersebut mengindikasikan bahwa setidaknya hingga saat ini pemerintah benar-benar berkomitmen untuk merealisasikan pembangunan yang berkelanjutan di Aceh. Namun, peluang terbengkalainya program bisa terjadi ketika pucuk pimpinan tertinggi berganti, karena setiap pemimpin masing-masing memiliki kebijakan dan fokus pembangunannya sendiri.

Jika dilaksanakan secara baik, program Aceh Hebat akan mampu mewujudkan harapan tinggi masyarakat Aceh akan kualitas kehidupan yang lebih baik dalam berbagai aspek, dan secara inklusif akan mampu menjamin kehidupan generasi ke generasi. Terlepas dari siapa yang merancangnya, setiap pihak wajib mendukung penuh keberadaan agenda pembangunan global dalam wujud kearifan lokal ini.