Di
kalangan ilmuan (sosial-budaya) di Indonesia, Clifford Greetz mempunyai
kedudukan yang khusus. Karyanya terbilang monumental, dalam arti menjadi bahan
acuan pada berbagai diskusi sosial budaya Indonesia. Diantara buah pikirannya
yang paling populer dirujuk, baik diterima maupun untuk dikritik, adalah
klasifikasinya terhadap masyarakt Jawa dalam bukunya, “The Religion of Java”
yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Aswab Mahasin
menjadi “Abangan, Santri, Priyayi dalam masyarakat Jawa”.
Arti
penting karya Greetz ini adlah sumbangannya mengenai sistem-sitem simbol,
yaitu, bagaimana hubungan antara struktur-struktur sosial yang ada dalam suatu
masyarakat dengan pengorganisasian dan perwujudan simbol-simbol, dan bagaimana
para anggota masyarakat mewujudkan adanya integrasi dan disintegrasi dengan
cara mengorganisasi dan mewujudkan simbol-simbol tertentu, sehingga
perbedaa-perbedaan yang nampak diantara struktur sosial yang ada dalam
masyarakat tersebut bersifat komplementer.
Masyarakat
Jawa di Mojokuto dilihatnya sebagai sistem sosial, dengan kebudayaan jawanya
yang akulturatif dan agamanya yang sinkretik, yang terdiri atas tiga sub
kebudayaan Jawa yang masing-masing merupakan struktur-struktur sosial yang
berlainan. Abangan, santri dan priyayi yang walaupun masing-masing merupakan
struktur-sturktur sosial yang berlainan, tetapi masing-masing saling melengkapi
satu sama lainnya dalam mewujudkan adanya sistem sosial jawa di Mojokuto. Tesis
dalam bukunya tersebut, yaitu: agama bukan hanya memainkan peranan bagi
terwujudnya integarasi tetapi juga memainkan peranan pemecah belah dalam
masyarakat. Jadi perhatian Greetz menurut Harsja W. Bachtiar (1973 : 521) adalah
masalah perpecahan dalam sistem sosial orang Jawa di Mojokuto, bukan pada
integrasi yang terwujud di dalamnya.
Dalam
buku hasil penelitiannya ini Greetz sekalipun tidak mengatakan secara tersurat
kerangka teori mana yang dipakainya, tetapi menurut Pardi Suparlan dalam kata
pengantar terjemah bahasa Indonesia justru Greetz telah mempunyai suatu
kerangka teori yang digunakan untuk menciptakan model untuk analisa, model yang
digunakan OLEH Robert Redfield. Redfield melihat bahwa kota dan desa merupakan
dua struktur sosial yang ebrbeda, yang masing-masing diwakili oleh warga elti
kota dan warga petani di desa, tetapi keduanya mewujudkan adanya suatu hubungan
saling tergantung dan melengkapi mewujudkan adanya suatu hubungan saling
tergantung dan melengkapi satu sama lainnya, sehingga merupakan suatu sistem
sosial sendiri. Greetz secara tersurat menggunakan teori Redfield dalam
pembahasan hubungan antara priyayi danpetani dengan penekanan pada dimensi
struktur yang berbeda dengan Redfield yang menekankan pada proses komunikasi
terus-menerus antara kota dan desa.
Salah
satu kelebihan dari buku Greetz sebagaimana diakui oleh HW. Bachtiar adalah
begitu melimpahnya bahan-bahan deskriptif yang terperinci tentang sejumlah
besar aspek kepercayaan dan praktek keagamaan yang telah diamati Greetz di
Mojokuto; data yang mencerminkan seorang pekerja lapangan yang rajin jika
diingat terbatasnya waktu yang tersedi baginya (dari bulan mei 1953 sampau
bulan september 1954) untuk meneliti suatu masalah yang begitu rumit.
Namun
tetap di dalamnya terdapat beberapa kelemahan yang cukup mendasar yang oleh
beberapa ahli dianggap sesuatu yang cukup krusial untuk dikritisi. Kritikan
dari bebrapa ahli ini akan dibicarakan pada bagian akhir tulisan ini.
Latar
Belakang Greetz
Cliffor
Greetz dilahirkan di San Fransisco, negara bagian California, Amerika Serikat,
pada tanggal 23 Agustus 1926. Ia adalah putra dari Clifford James seorang
insinyur dari Lio Brieger. Greetz pendidikan S1-nya dirampungkan di Antioch
College, di negara bagian Ohio, AS pada tahun 1950. Semula ia memilih jurusan
“English” dan bercita-cita untuk menjadi seorang novelis, setelah beberapa
tahun di jurusan itu, ia pindah ke jurusan Filsafat. Kepindahan jurusan itu
sebagiannya karena ia terpengaruh oleh kharisma seorang pengajar di jurusan
filsafat, di samping juga ia kehilangan selera terhadap mata kuliah yang
terbatas variasinya di jurusan “English”.
Semula
tak terlintas di benak Greetz untuk memilih jurusan antropologi bagi pendidikan
pascasarjananya. Mata kuliah S1-nya memang tidak ada yang berkaitan dengan ilmu
antropologi, bahkan nyaris tidak ada juga mata kuliah sosiologi. Kenyataan ini
mudah dimengerti karena pada saat ia menempuh S1-nya, jurusan antropologi belum
ada di Antioch College.
Greetz
akhirnya memilih pendidikan pascasarjananya di bidang antropologi di Harvard
University, dan meraih gelar doktor pada tahun 1956. Greetz beruntung dibina
oleh para pakar ilmu budaya, diantaranya adalah Clyd Kluckhohn, Talcot Parson,
Harry Muray, dan Gordon Allport.
Greetz
termasuk cakap berbahasa Belanda, Prancis, Jerman, Indonesia/Melayu, Jawa dan
Arab (dialek Maroko), tentu saja disamping bahasa Inggris yang merupakan bahasa
ibunya. Tampaknya ia punya bakat yang menonjol di bidang kebahasaan.
Perkenalannya dengan bahasa Indonesia dimulai sekitar tahun 1952-an, sebagai
bagian dari persiapannya untuk studi lapangan di Indonesia. Pada waktu ia tiba
di Indonesia, bekal kemampuan bahasanya cukup memadai. Dengan dibantu oleh
beberapa mahasiswa Universitas Gadjah Mada, kemudia belajar bahasa Jawa.
Dari
perjalanan karirnya, ia menyimpulkan bahwa sentral aktivitasnya adalah justru
“menulis”. Ia bahkan menilai dirinya lebih tepat disebut sebagai “penulis di
bidang antropologi” ketimbang disebut sebagai antropologi. Sebagai penulis, ia
tergolong cukup produktif. Sejak ia “resmi” bergelar doktor di bidang
antropologi (1956) hingga sekitar tahun 1988, tercatat 46 judul publikasinya
tentang culture area. Lima belas diantaranya berupa buku dan hampir setengah
dari judul publikasinya mengetengahkan kasus Indonesia, termasuk Jawa dan Bali.
Empat publikasinya mengenai Maroko, yang itupun masih berkaitan dengna
Indonesia sebagai pembanding.
Masyarakat
Jawa Clifford Geertz
Greetz
mengadakan penelitiannya di sebuah kota kecil di bagian timur Jawa tengah,
Mojokuto, sebuah kota samaran untuk kota pare kediri. Tidak diketahui secara
jelas alasan kenapa Greetz menyebut nama samaran untuk kota tempat
penelitiannya.
Sekalipun
buku berjudul agama Jawa (The Religion of Java) tapi di dalamnya tidak dibahas
agama di Jawa, akan tetapi justru yang dibahas adalah agama yang
dimanifestasikan oleh orang-orang Jawa yang menganggap diri mereka sebagai
pemeluk agama Islam yang tidak mesti identik dengan agama Islam sebagaimana
yang diajarkan oleh Nabi Muhammad. Interpretasi ini nampaknya sesuai dengan
pernyataan pendahuluan Greetz, dimana ia mengatakan bahwa ia mencoba untuk
menunjukkan betapa banyaknya variasi ritual, kontras dalam kepercayaan dan
konflik dalam nilai-nilai yang tersembunyi di belakang pernyataan yang sederhana
bahwa lebih dari 90 persen penduduk jawa adalah muslim.
Pada
bagian pendahuluan ini juga dideskripsikan secara mendetail kondisi kota
Mojokuto sebagai latar belakang pembahasannya yang kemudian memunculkan tiga
tipe kebudayaan atau varian keagamaan.
Penggolongan
penduduk menurut pandangan mereka –menurut kepercayaan keagamaan, preferensi
etnis dan ideologi politik mereka- menghasilkan tiga tipe utama kebudayaan yang
mencerminkan organisasi moral kebudayaan Jawa sebagaimana dicerminkan di
Mojokuto, ide umum tentang ketertiban yang berkenaan dengan tingkah laku
petani, buruh, pekerja tangan, pedagang dan pegawai Jawa dalam semua arena
kehidupan. Tiga tipe kebudayaan in adalah abangan, santri, dan priyayi (Greetz,
1973: 7-8)
Selanjutnya
Greetz melukiskan ketiga varian agama itu secara singkat sebagai berikut :
Abangan,
yang menekankan aspek-aspek animisme sinkretis Jawa secara keseluruhan dan pada
umumnya diasosiasikan dengan unsur petani desa penduduk; santri, yang
menekankan aspek-aspek Islam sinkretik itu dan pada umumnya diasosiasikan
dengan unsur pedagang (dan juga dengan unsur-unsur tertentu kaum tani), dan
priyayi yang menekankan aspek-aspek hindu dan diasosiasikan dengan unsur
birokrasi… (Greetz, 1973:6)
Varian
keagamaan Greetz ini memiliki karakter dan pola-pola tersendiri yang kompleks
yaitu:
1. Varian Abangan
Varian
abangan secara luas dan umum diasosiasikan dengan desa atau kaum tani. Tradisi
agama abangan, pada intinya terdiri dari pesta ritual yang dinamakan slametan,
yaitu satu kompleks kepercayaan yang luas dan rumit tentang roh-roh, dan
seperangkat teori dan praktek penyembuhan, ilmu tenung dan ilmu ghaib. Meskipun
ia juga mengasosiasikan varian abangan ini kepada proletariat kota, yakni
kelas-kelas rendahan di daerah perkotaan. Satu ciri orang abangan adalah sikap
masa bodoh terhadap ajaran dan hanya terpesona oleh perincian-perincian
upacara.
Dalam
varian ini slametan, atau kadang disebut juga kenduren, merupakan upacara
keagamaan yang paling umum. Slametan ini terbagi kepada empat jenis: (1) yang
berkisar sekitar krisis-krisis kehidupan –kelahiran, khitanan, perkawinan, dan
kematian: (2) yang ada hubungannya dengan hari-hari raya Islam –maulud Nabi,
Idul Fitri, Idul Adha dan sebagainya; (3) yang ada sangkutannya dengan
integrasi sosial desa, bersih desa (pembersihan desar dari roh-roh jahat) dan
(4) slametan sela yang diselenggarakan dalam waktu yang tidak tetap, tergantung
kepada kejadian luar biasa yang dialami seseorang – keberangkatan untuk suatu
perjalanan jauh, pindah tempat, ganti nama, sakit, terkena tenung dan
sebagainya. Dalam slametan senantiasa ada hidangan khas (yang berbeda-beda
menurut maksud slametan itu), dupa, pembacaan do’a Islam dan pidato tuan rumah
yang disampaikan dalam bahasa Jawa tinggi yang sangat resmi. Faktor yang
mendasari penentuan waktu slametan adalah petungan (hitungan) atau sistem
numerologi orang Jawa. Sistem yang cukup berbelit-belit ini terletak konsep
metafisis orang Jawa yang fundamental, : cocog (sesuai/cocok).
Tujuan
diselenggarakan slametan bagi orang-orang abangan adalah untuk menjaga diri
dari roh-roh halus agar tidak diganggu. Bagi orang jawa kepercayaan makhluk
halus merupakan bagian dari kehidupan, bahkan dalam slametan makhluk halus itu
juga ikut berkumpul dan makan bersama, namun makanan mereka adalah dupa yang
disediakan dalam slametan. Bila ditelusuri banyak jenis makhluk halus yang
dikenal di Jawa diantaranya adalah memedi yaitu roh yang mengganggu orang atau
menakut-nakuti mereka, tetapi biasanya tidak sampai merusak, (genderuwo memedi
laki-laki dan wewe memedi perempuan). Lelembut adalah roh yang dapat
menyebabkan seseorang jatuh sakit, gila, kesurupan, kampir-kampiran (kemasukan
roh yang berasal dari tempat tertentu), setanan (bertingkah aneh), kemomongan
(kerasukan dengan sukarela untuk punya kekuatan tertentu). Tuyul (anak-anak
makhlus halus) bisa menolong orang yang memilikinya untuk menjadi kaya. Selain
itu juga dikenal demit (makhluk halus yang menghuni suatu tempat). Danyang (roh
pelindung). Demikian makhluk-makhuk halusitu bisa ditundukkan dengan mengadakan
slametan.
Selain
slametan dan kepercayaan kepada makhluk halus orang abangan juga mengakui
adanya pengobatan, sihir dan magi yang berpusat di sektar peranan seorang dukun
(sekalipun dukun juga diakui digolongan santri dan priyayi tapi tidak sebesar
di golongan abangan. Dukun memiliki beberapa macam: dukun bayi, dukun pijet,
dukun prewangan (medium), dukun calak (tukang sunat), dukun wiwit (ahli upacara
panen), dukun temanten (ahli upacara perkawinan), dukun petungan (ahli meramal
dengan angka), dukun sihir, dukun susuk (spesialis mengobati dengan memasukkan
jarum emas di bawah kulit), dukun jampi, dukun siwer (spesialis mencegah
kesialan alami, seperti hujan), dukun tiban (tabih dengan kekuatan hasil dari
kerusakan roh).
Varian
abangan menurut pengertian orang Jawa mengacu kepada satu kategori sosial yang
empiris –mereka yang tidak melibatkan diri secara aktif dalam agama Islam-
sekalipun menurut Greetz sendiri ini menyesatkan karena tradisi abangan adalah
identik dengan tradisi rakyat (folk tradition).
2. Varian Santri
Santri
diidentifikasi dalam pelaksanaan yang cermat dan teratur ritual-ritual pokok
agama Islam, seperti shalat lima kali sehari, shalat jum’at, berpuasa selam
Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji, juga dimanifestasikan dalam kompleks
organisasi-organisasi sosial, amal dan politik seperti Muhammadiyah, Masyumi
dan Nahdhatul Ulama. Nilai-nilai bersifat antibirokratik, bebas dan egaliter.
Varian santri diasosiasikan dengan pasar. Ini mengandung arti adanya analogi
varian agama santri di Jawa dan semangat Protestanisme di Eropa menurut Max
Weber. Analogi in seperti yang dirumuskan Greetz berikut ini:
Meskipun
secara luas dan umum subvarian santri diasosiasikan dengan unsur pedagang Jawa,
ia tidak terbatas kepadanya, demikian pula tidak semua pedagang merupakan
penganutnya. Di desa-desa terdapat unsur santri yang kuat, yang seringkali
dipimpin oleh petani-petani kaya yang telah naik haji ke Mekkah dan setelah
kembali mendirikan pesantren-pesantren. Di kota, kebanyakan santri adalah
pedagang dan tukang, terutama tukang jahit (Greetz, 1973:5)
Sekalipun
pembahasan tentang varian santri lebih mudah dari varian abangan, ternyata
Greetz juga kesulitan untuk mengidentifikasi santri dengan tepat. Para guru
agama, para kyai, dan murid-murid mereka –yang merupakan santri sebenarnya-
yang biasanya dianggap sebagai inti golongan santri, dikesampingkan demi kaum
pedagang, yang apabila mereka santri, tergantung kepada guru-guru agama itu.
Tapi
sekalipun demikian diterangkan pula pola pendidikan santri berupa pondok atau
pesantren. Dalam sebuah pondok terdapat seorang guru pemimpin, umumnya seorang
haji, yang disebut kyai, dan sekelompok murid yang disebut santri. Bangunan
pokok, hampir semuanya terletak di luar kota, biasanya terdiri dari sebuah
mesjid, rumah kyai dan sederetan asrama untuk santri. Sistem pondok in menurut
Greetz berbeda dengan sistem biara yang ada dalam kristen katolik.
Di
berbagai pondok juga terdapat sistem mistik rahasia yang dibumbui dengan ujian
kekuatan, kekebalan kulit dan puasa yang berkepanjangan atau juga persaudaraan
orang tua yang berkerumun di sekitar kyai yang ahli dalam ilmu itu dan mereka
melakukan beberapa ritual pembacaan kalimat tertentu beberapa ribu kali dalam
sehari. Mistik ini disebut dengan tarekat, yang di Jawa timur didominasi oleh
Qadariyah dan Naqsabandiyah.
Selain
pondok, sistem pendidikan varian santri juga dikenal madrasah. Madrasah seperti
sekolah, memiliki tingkatan kelas, teratur jadwalnya dan menekankan isi, ini
berbeda dengan pondok.
Di
varian santri selain organisasi keagamaan seperti yang disebutkan di atas juga
terdapat lembaga keagamaan resmi pemerintah (departemen agama) yang mengurus
pelaksanaan hukum Islam mulai dari perkawinan dan perceraian, pelaksanaan haji,
dakwah keagamaan dan juga masalah partai politik.
3. Varian Priyayi
Priyayi
adalah kaum elit yang sah memanifestasikan satu tradisi agama yang khas yang
disebut sebagai varian agama priyayi dari sistem keagamaan pada umumnya di
Jawa. Priyayi tadinya hanya mengacu kepada golongan bangsawan yang
turun-temurun, yang oleh Belanda dilepaskan dari ikatan mereka dengan raja-raja
kerajaan yang telah ditaklukkan dan kemudian menjadi pegawai negeri yang
diangkat dan digaji. Elti pegawai ini terus mempertahankan dan memelihara tata
krama keraton yang sangat halus, kesenian yang sangat kompleks serta mistik
Hindu-Budha.
Mereka
tidak menekankan unsur animisme dalam sinkretisme Jawa secara keseluruhan
sebagaimana dilakukan oleh kaum abangan, tidak pula menekankan unsur islam sebagaimana
dilakukan oleh kaum santri, melainkan yang mereka tekankan adalah unsur
Hinduismenya.. (Greetz, 1973:6)
Namun
priyayi dibedakan dari rakyat biasa karena memiliki gelar kehormatan yang
terdiri dari pelbagai tingkat menurut hirarki hak dan kewajiban. Gelar-gelar
itu berfungsi sebagai identifikasi. Gelar-gelar itu diberikan secara
turun-temurun, anak seorang yang bergelar berhak mendapat gelar kehormatan satu
tingkat lebih rendah dari sang ayah. Diantara gelar-gelar itu untuk pria adalah
: Raden, Raden Mas, Raden Panji, Raden Temenggung, Raden Ngabehi, Raden Mas
Panji, dan Raden Mas Aria. Sedangkan untuk wanita adalah Raden Roro, Raden
Ajeng dan Raden Ayu. Kelas priyayi merupakan kelas yagn jelas batas-batasnya.
Tradisi
lain yang ada dalam varian priyayi selain mistik, dan kesadaran akan pangkat
adalah perbedaan antara lahir dan batin antara alus dan kasar. Peraturan
etiket, gerak, sikap dan ucapan serta kesenian harus alus disamping penguasaan
diri sendiri. Diantara kesenian alus adalah wayang, gamelan, joged, tembang,
dan batik. Berbeda dengan kesenian yang kasar, seperti ludrug, kledek, jaranan
dan dongeng.
Secara
tradisional seorang priyayi dianggap mempunyai pengetahuan yang cukup tentang
kesusasteraan dan filsafat priyayi yang tradisional terdiri dari
tulisan-tulisan Jawa kuno dan modern serta epik-epik Hindu yang terkenal. Oleh
karenanya kaum priyayi cenderung untuk mengungkapkan kepercayaan agama mereka
dengan istilah-istilah Hindu.
Demikianlah
tiga varian agama yang ada di Mojokuto. Tiga kelompok ini sering mengalami
antagonisme. Ketegangan terbesar adalah antara kaum santri dan dua kelompok
lainnya, selain juga ada ketegangan antara priyayi dan abangan. Ketegangan in
terjadi dalam hal konflik ideologi. Kelompok abangan dan priyayi menuduh kelompok
santri sebagai orang munafik yang sok suci, dan kelompok santri menuduh
kelompok priyayi sebagai penyembah berhala. Ada juga ketegangan karena konflik
kelas, ketegangan priyayi-abangan terlihat jelas dalam hubungannya dengan
persoalan status. Priyayi sering menuduh orang desa tak tahu tempat yang layak
dan karenanya mengganggu keseimbangan organis masyarakat. Dan ketegangan juga
diakibatkan karena konflik politik. Intensifnya perjuangan kekuasaan politik
merupakan pemecah ketiga yang mempertajam konflik keagamaan. Biasanya berupa
konflik antar partai politik.
Namun,
selain kekuatan yang memecah belah, ada juga unsur-unsur yang mempersatukan
masyarakat Jawa yaitu rasa satu kebudayaan, perasaan bahwa masa sekarang
merosot dilihat dari masa lalu. Selain juga adanya kekuatan nasionalisme yagn
makin tumbuh yang mencoba menghimbau sentimen harga diri bangsa, solidaritas
dna harapan kepada gaya hidup yang lebih “modern”.
Kritikan
Terdapat
banyak kritikan pada penelitian Greetz ini, tokoh yang paling banyak memberikan
kritik adalah Harsja W. Bachtiar diantara kritikannya adalah :
- Pengertian tentang agama. Menurut Bachtiar Greetz tidak memberikan definisi agama secara jelas. Seperti diungkapkan di atas, agama Jawa yang menjadi judul dalam buku Greetz ternyata tidak menggambarkan agama-agama yang ada di Jawa atau agama Jawa itu sendiri. Menurutnya agama Jawa tidaklah sama dengan agama Islam di Jawa. Agama Jawa pada pokoknya dimanifestasikan sebagai pemujaan kepada nenek moyang atau leluhur.
- Tiga varian yang disebutkan oleh Greetz ternyata tidak konsisten sebagai kategori-kategori daris astu tipe klasifikasi. Pembedaan antara abangan dan santri diadakan karena penduduk digolongkan menurut prilaku keagamaan, sedangkan istilah priyayi tidak bisa dianggap sebagai kategori yang sama. Istilah priyayi mengacu kepada kelas sosial tertentu.
- Batasan masing-masing varian tidak jelas, diantaranya:
- Abangan hanyalah istilah derogatif (merendahkan derajat) yang digunakan oleh mereka yang taat menjalankan agama Islam kepada yang tidak atau kurang taat. Selain itu juga abangan diidentifikasi kepada orang-orang desa, atau petani, tetapi Greetz juga menyatakan bahwa para petani kaya di desa adalah santri setelah mereka pulang dari naik haji. Acara slametan dianggap sebagai salah satu bentuk kepercayaan abangan padahal santri dan priyayi juga melakukan hal yang sama.
- Santri, oleh Greetz diidentifikasi sebagai kaum pedagang di perkotaan, sedangkan santri yang sebenarnya yang ada di pesantren (selain guru agama/kyai) dianggap hanya bagian kecil dari varian santri. Dan penilaian apakah seseorang itu santri tergantung kepada pengertian orang yang menilai dan dinilai tentang makna santri itu sendiri.
- Priyayi, tradisi keagamaannya menurut Greetz adalah Hindu, padalah terdapat berbagai macam kepercayaan agama dan bukan hanya satu tradisi agama yang merupakan varian dari sistem agama orang Jawa. Ada priyayi yang aktif melibatkan diri dalam agama Islam, mereka adalah priyayi-santri. Ada priyayi yang tidak menghiraukan soal agama, mereka disebut priyayi-abangan. Jadi menurut Bachtiar, kepercayaan-kepercayaan agama, nilai-nilai dan norma-norma priyayi pada dasarnya tidak berbeda dengan yang ada di kalangan bukan priyayi, hanya priyayi lebih mampu mengungkapkan kepercayaan dan nilai-nilai mereka secara lebih nyata dan lebih sophisticated.
Sumber
: http://ikadabandung.blogspot.com/2005/03/abangan-santri-priyayiclifford-greetz.html