Demokrasi
(democracy) dan pendidikan (education), mau tidak mau, suka atau
tidak suka seperti ditegaskan oleh Chomsky, kita akan berjumpa dengan pemikiran
salah satu filsuf besar Amerika Serikat di abad 20, yakni John Dewey. Chomsky
sendiri mengakui, bahwa pemikiran Dewey tentang pendidikan juga mempengaruhi
pemikirannya. Salah satu argumen yang cukup menarik, yang diajukan oleh Dewey
adalah reformasi pendidikan (reform in
education) berupa perubahan paradigma pendidikan, perlu dilakukan sejak
orang masih berusia muda.
Dalam
konteks ini, tetaplah perlu diperhatikan, bahwa menurut Dewey, tujuan
pendidikan bukanlah menghasilkan barang-barang bagus yang bisa dijual dan
menambah kas Negara, melainkan menghasilkan manusia-manusia bebas (produces free men) yang mampu berhubungan
satu sama lain dalam situasi yang setara (equal
relation). Itulah tujuan pendidikan sejati, yang sekarang ini banyak
terlupakan.
Mengapa
demikian, pada prinsipnya masa sekarang ini, pendidikan sedang diancam oleh dua
kekuatan besar. Yang pertama adalah kekuatan dari rezim-rezim otoriter (authoritarian regimes) yang ingin
menciptakan manusia-manusia yang tunduk dan patuh (docile human) pada ideologi yang ada. Sementara yang kedua adalah
kekuatan dari sistem kapitalisme yang hendak mengubah konsep warga negara (citizenship) yang bebas menjadi konsep
konsumen (consumer) yang bebas, yang
pikirannya hanya terfokus pada konsumsi tanpa batas semata.
Dua
macam power ini masih dapat kita temukan sekarang ini. Bisa dikatakan Rezim
otoriter sekarang ini banyak mengatasnamakan agama dan tradisi untuk
melenyapkan kebebasan manusia. Sementara sistem kapitalisme, dengan daya pikat
konsumtivismenya, masih mencengkram pikiran banyak orang, sehingga mereka
kehilangan kesadarannya sebagai warga negara, dan hanya semata sibuk
mengumpulkan uang tanpa memikirkan sesuatu yang penting yaitu tujuan
pendidikan.
Tujuan Pendidikan
Chomsky
mengajak kita kembali mengingat tujuan utama pendidikan, yakni menghasilkan
manusia-manusia yang bebas dan mampu berhubungan satu sama lain dalam situasi,
kondisi yang setara. Maka dapatlah dikatakan, bahwa pendidikan adalah suatu
proses produksi, namun bukanlah produksi barang-barang dengan cetakan ketat
yang telah ditentukan sebelumnya, melainkan produksi manusia-manusia bebas.
Di
sisi lain, Chomsky juga mengutip pendapat Bertrand Russell, seorang filsuf
besar asal Inggris di awal abad ke-20 lalu, tentang pendidikan. Baginya,
pendidikan adalah suatu proses untuk memberi makna dari segala sesuatu, dan
bukan untuk menguasainya (manusia dan alam). Pendidikan juga adalah proses
untuk menciptakan warga negara yang bijak dan masyarakat yang bebas (wise citizens and free society). Menurut
Russell, kebijaksanaan publik seorang warga negara mencakup dua hal, yakni
kepatuhan pada hukum seorang warga negara pada hukum di satu sisi, dan
kreativitas individual dalam berkarya serta mencipta ulang hidupnya di sisi
lain. Kedua aspek ini harus berjalan seimbang dan dinamis.
Nilai-nilai
individualistik yang mengabaikan solidaritas sosial berkembang pesat di berbagai
masyarakat dunia sekarang ini. Di satu sisi, orang hanya bisa mengandalkan
dirinya sendiri untuk mencapai keberhasilan dalam hidup. Di sisi lain, tingkat
kecemasan menjadi amat tinggi, karena tidak ada jaring pengaman yang menangkap
mereka, ketika jatuh atau gagal dalam kehidupan, Pada titik ini, menurut kami,
proses globalisasi yang terjadi sekarang ini sebenarnya adalah proses
penyebaran nilai-nilai individualisme khas Amerika Serikat ke seluruh dunia.
Di
dalam penyebaran nilai-nilai tersebut, solidaritas sosial yang menjadi fondasi
dari banyak komunitas, dan juga merupakan fondasi bagi proses-proses demokrasi
yang sehat, secara perlahan namun pasti terkikis. Yang juga perlu diperhatikan,
terutama dengan melihat situasi dewasa ini, nilai-nilai invidiualisme justru
membawa kehancuran pada komunitas, ketidakadilan akibat kesenjangan sosial yang
begitu tajam antara si kaya dan si miskin, serta krisis ekonomi raksasa yang
merugikan begitu banyak pihak yang tak bersalah.
Proses
globalisasi (baca: Amerikanisasi) masa kini, bisa dibayangkan sebagai proses
penyebaran “racun” politis ke seluruh dunia. Di dalam semua proses tersebut,
dan ini menyebabkan dunia pendidikan di Indonesia pada umumnya dan Aceh pada
khususnya tidak menjalankan fungsinya sebagai institusi kritis, tetapi justru
mengabdi pada pengembangan sekaligus penyebaran nilai-nilai individualistik
yang egois dan rakus tersebut.
Untuk
menjelaskan argumen ini, Chomsky mengutip tulisan David Montgomery, seorang
sejarahwan dari Inggris. Menurut Montgomery, Amerika Serikat modern adalah
negara yang dibangun dari pemberontakan kelas pekerja terhadap kelas penguasa,
mulai dari kelas penguasa dari Inggris, maupun kelas penguasa modal yang rakus
dan enggan berbagi. Pemberontakan itu berbentuk protes keras dan berkelanjutan
dari awal abad ke-19 sampai dengan 1950-an.
Chomsky
sepakat dengan argumen ini. Yang melakukan protes ini adalah orang-orang biasa,
kaum pekerja, terutama kaum perempuan. Mereka bangkit dan bekerja sama untuk
menolak nilai-nilai kelas penguasa borjuis yang individualistik, kompetitif,
dan penuh dengan nuansa kerakusan. Mereka memperjuangkan perbaikan untuk nasib
mereka yang direndahkan, dan situasi kerja maupun hidup mereka yang tidak
manusiawi. Perbudakan memang dihapus. Namun, jenis perbudakan baru lahir, yakni
apa yang disebut Chomsky sebagai perbudakan yang bergaji (wage slavery).
Pada
saat yang sama, minat pada karya-karya sastra klasik dan filsafat menurun
drastis, terutama di kalangan para pekerja kasar yang hidupnya bagaikan “budak
yang bergaji”. Para pejuang kelas pekerja, sebagian dari mereka adalah kaum
perempuan, menolak tata kelola politis semacam ini, dan mengorganisir gerakan
perubahan (change movement). Gerakan
perubahan tersebut berhasil, dan terciptalah Amerika Serikat modern.
Politik Masa Kini
Seiring
berjalannya waktu, demokratisasi yang terjadi pada hari ini sangat tidak
stabil, barometernya adalah uang (money)
artinya kekuasaan tersebut tidak datang dari rakyat maupun prosedur-prosedur
demokrasi, melainkan dari pendekatan personal dan finansial pada
penguasa-penguasa politis. Orang tidak lagi diukur dari kualitas dirinya,
tetapi dari berapa uang dan kuasa yang ia punya, tak peduli uang dan kuasa itu
didapat dari mana. Proses-proses politik demokratisasi pun ditunggangi oleh
kekuatan uang yang hanya menguntungkan sebagian kelompok masyarakat, sambil
mengorbankan kelompok masyarakat lainnya.
Pertanyaanya
adalah apa dampak dari semua ini? Yakni dari otoritas kekuasaan yang menerkam
kebebasan, dan menciptakan kesenjangan yang semakin besar dalam masyarakat.
Yang tercipta kemudian adalah suatu masyarakat yang diwarnai ketidakadilan dan
ketidakpedulian. Di Indonesia sekarang ini, banyak orang curiga dan pesimis
pada dunia politik. Sedikit sekali yang berpendapat, bahwa para pemimpin
politik kita mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik.
Menurut
Chomsky, pola semacam ini adalah hasil dari pola pendidikan yang menindas cara
berpikir kritis, dan mencegah manusia untuk menjadi manusia-manusia yang setara
sehingga dapat menjadikan insan yang malas, karena terlalu berharap untuk
mendapatkan yang lebih mudah didapatkan, ini merupakan fakta yang terjadi hari
ini. Apakah hanya dengan politik/kekuasaan semuanya bisa diubah? Dan, apakah
dengan uang semuanya bisa didapatkan? Kedua pertanyaan ini dapat dijawab oleh
diri sendiri.
No comments:
Post a Comment