Blognya Anak Kuliahan

Sunday, December 25, 2011

Perempuan Dan Peluang Politik di Indonesia

December 25, 2011 0
Undang –undang no 12 tahun 2003 tertang partai Politik dalam pasal 65 ayat (1), partai politik di anjurkan untuk mencalonkan 30% kaum perempuan untuk duduk di kursi legislatif (DPR, DPD, DPRD I dan DPRD II) memberikan angin segar pada kancah politik di Indonesia khususnya perempuan.
Kontruksi budaya dan sosial yang awalnya memasung perempuan dan menempatkan perempuan pada wilayah privat (urusan rumah tangga), macak, manak dan masak, telah membuka jalan pada perempuan untuk berkiprah pada wilayah publik dengan kebijakan pererintah yang lahir pada tahun 2003 tersebut.
Seiring dengan perkembangan dan beragamnya persoalan perempuan yang haknya sering dirampas dan belum diletakkan sebagaimana mestinya oleh masyarakat, misalnya tingginya tingkat kekerasan perempuan secara psikologis dan fisik menggugah pola pikir dibeberapa kalangan aktivis perempuan maupaun politisi yang dekat dengan produk kebijakan untuk mengkaji masalah ini secara serius, tidak hanya menjadikan bagian objek kajian saja.
Paradigma yang menganggap perempuan sebagai kaum lemah dan hanya sebagai konco wingking, pelengkap, nunut surga dan segudang lagi kata kiasan yang menunjukkan perempuan hanya sebagai donor tulang serta donor –donor yang lain, inferior, warga kelas dua akan sedikit terkikis dengan adanya Intruksi Presiden (Inpres) No. 9 tahun 2000 tentang penghapusan Gender dalam pembangunan Nasional. Legitimasi Negara tersebut harus bener – benar dimanfaatkan sebagai moment politik bagi kuam perempuan. Tidak hanya hiasan formalitas yang hanya untuk memenuhi jumlah undang –undang saja .
Secara umum, hak –hak perempuan dianggap telah memiliki signifikansi yang kuat di masa modern. Namun secar a Historis perempuan masih juga telah tersubordinasi oleh laki –laki. Perempuan dianggap sebagi jenis kelamin ke dua , sebagaimana Simon de Behavoir menggambarkan perempuan. Meski demikian keseluruahan pandangan berubah dengan sangat cepet. Proses liberalisasi perempuan telah memperoleh signifikansinya yang baru, dan banyak alasan untuk itu.
Kita mendengar gerakan pembebasan perempuan di Eropa di amerika di awal tahun enam puluhan. dinamika ini terjadi juga di negara –negara berkemban atau negara dunia ketiga. Hanya saja realisasi keadilan gender bukanlah perkara mudah. Bahkan di Barat yang sangat maju di bidang industri, ilmu pengetahuan dan teknologi yang rata rat melek hurufnya 100% dan tingkat pendidikan tinggi kaum perempuan jauh lebih besar dan potensi lapangan pekerjaan dan gender yang lebih besar, kaum perempuan masih menempati pada posisi subordinat. Pemukulan istri (wife- battering ) juga masih merajalela.
Namun demikian kita tidak menafikan bahwa di wilayah dunia ketiga kesadaran tentang keadilan gender juga meningkat tajam. Kaum elit pada kalangan perempuan kota memimpin gerakan perempuan itu, karena mereka sangat terdidik dan memiliki kesadaran tinggi terhadap isu gender bahkan hak asasi manusia menjadi isu sentral.
Perempuan Indonesia sudah terlibat dalam perjalanan bangsa sejak revolusi fisik sampai sekarang adalah modal sejarah yang bisa dipakai perempuan Indonesia dalam era reformasi yang sudah megakui peran perempuan memalui legitimasi Undnag –undang partai maupun dalam bentuk intruksi presiden.
Perempuan perempuan hebat seperti Kartini, Cut Nyak Dien, Dewi Sartika yang menjadi figur nyata bagi perempuan Indonesia untuk mengisi pembangunan bangsa ini. Dengan terjun pada wilayah politik ungensi perempuan Indonesia akan satu kelas lebih maju dari sebelumnya denngan memanfaatkan keterbukaan dan globalisasi dalam emansipasi yang lebih besar untuk membawa bangsa ini menjadi bangsa yang lebih bermartabat.
Perempuan harus lebih aktif mulai dari perlibatan dalam APBDes sampai pada kebijakan yang lebih tinggi, karena ia sebagai kekuatan perubahan dalam masyarakat, mengingat jumlah perempuan di Indonesia lebih besar dari pada laki laki.
Politik yang identik dengan maskulinitas dengan produknya yang masih memarginalkan perempuan dimana pokok masalah masih di lihat pada sudut pandang laki - laki. Oleh karenanya masih minimal jumlah perempuan yang bergabung dan terjun dalam dunia politik. Pada tahun Pemilu 2004 yang satu tahun telah diterbitkanya undang undang tentang kuota 30% pada perempuan masih menempatkan perempan pada nomer urut sepatu dan memilki peluang yang sangat kecil untuk menembus kursi Parlemen. . Karena itu perjuangan ini akan efektif bila sarana politik yang sudah tersedia dengan jatah 30% harus benar - benar terisi untuk membangun kekuatan politik diparlemen mendatang. Yang menjadi PR bersama adalah apakah perempuan akan bangga dengan label kecantikan dan object saja atau bangkit mengisi pembangunan bangsa ini?.. By Venty Z

Sumber : http://gerindrajatim.or.id/artikel/politik.html

Thursday, December 22, 2011

Perjalanan Birokrasi Indonesia Dari Masa ke Masa

December 22, 2011 2
Pengertian
Istilah birokrasi berasal dari dua akar kata, yaitu bureau (burra, kain kasar penutup meja), dan-cracy. Keduanya membentuk kata bureaucracy. Berbagai sumber berpendapat, setidaknya ada tiga macam arti birokrasi. Pertama, birokrasi diartikan sebagai “government by bureaus” yaitu pemerintahan biro oleh aparat yang diangkat oleh pemegang kekuasaan, pemerintah atau pihak atasan dalam sebuah organisasi formal, baik publik maupun privat (Riggs, 2003:513), pemerintahan birokratik adalah pemerintahan tanpa partisipasi pihak yang diperintah. Kedua, birokrasi diartikan sebagai sifat atau perilaku pemerintahan, yaitu sifat kaku, macet, berliku-liku dan segala tuduhan negatif terhadap instansi yang berkuasa (Kramer, 2003:513). Ketiga, birokrasi sebagai tipe ideal organisasi, biasanya dalam arti ini dianggap bermula pada teori Max Weber tentang konsep sosiologik rasionalisasi aktivitas kolektif.

Birokrasi Zaman Kerajaan
Sebagian besar wilayah Indonesia sebelum kedatangan bangsa asing pada abad ke-16, menganut sistem kekuasaan dan pengaturan masyarakat yang berbentuk sistem kerajaan. Dalam sistem kerajaan, pucuk pimpinan ada di tangan raja sebagai pemegang kekuasaan tunggal atau absolute. Segala keputusan ada di tangan raja dan semua masyarakat harus patuh dan tunduk pada kehendak sang Raja. Birokrasi pemerintahan yang terbentuk pada saat itu adalah birokrasi kerajaan, yang memiliki cirri-ciri sebagai berikut :
  • Penguasa menganggap dan menggunakan administrasi publik sebagai urusan pribadi;
  • Administrasi adalah perluasan rumah tangga istana;
  • Tugas pelayanan ditujukan kepada pribadi sang raja;
  • “Gaji” dari raja kepada bawahan pada hakikatnya adalah anugerah yang juga dapat ditarik sewaktu- waktu sekehendak raja;
  • Para pejabat kerajaan dapat bertindak sekehndak hatinya terhadap rakyat, seperti halnya dilakukan oleh raja.
Aparat kerajaan dikembangkan sesuai dengan perkembangan kebutuhan raja. Di dalam pemerintahan pusat (keratin), urusan dalam pemerintahan diserahkan kepada empat pejabat setingkat menteri (wedana lebet) yang dikoordinasikan oleh seorang pejabat setingkat Menteri Kordinator (pepatih lebet). Pejabat-pejabat kerajaan tersebut masing-masing membawahi pegawai (abdidalem) yang jumlahnya cukup banyak. Daerah di luar keraton, seperti daerah pantai raja menunjuk bupati-bupati yang setia kepada raja untuk menjadi penguasa daerah. Para bupati biasanya bupati lama yang telah ditaklukkan oleh raja, pemuka masyarakat setempat, atau saudara raja sendiri.

Birokrasi Zaman Kolonial
Pelayanan publik pada masa pemerintahan kolonial Belanda tidak terlepas dari sistem administrasi pemerintahan yang berlangsung pada saat itu. Kedatangan penguasa kolonial tidak banyak mengubah sistem birokrasi dan adminitrasi pemerintahan yang berlaku di Indonesia, sebagai bangsa pendatang yang ingin menguasai wilayah nusantara baik secara politik maupun ekonomi, pemerintah kolonial menjalin hubungan politik dengan pemerintah kerajaan yang masih disegani oleh masyarakat, motif utamanya adalah menanamkan pengaruh politiknya terhadap elite politik kerajaan. Selama pemerintahan kolonial terjadi dualisme sistem birokrasi pemerintahan. Di satu sisi telah mulai diperkenalkan dan diberlakukan sistem administrasi kolonial (binnenlandcshe Bestuur) yang mengenalkan sistem birokrasi dan administrasi modern, sedangkan pada sisi lain, sistem tradisional (Inheemsche Bestuur) masih tetap dipertahankan.
Birokrasi pemerintahan kolonial disusun secara hierarki yang puncaknya pada Raja Belanda. Dalam mengimplementasikan kebijakan pemerintahan di Negara jajahan, Ratu Belanda menyerahkan kepada wakilnya, yakni seorang gubernur jenderal. Kekuasaan dan kewenangan gubernur jenderal meliputi seluruh keputusan politik di wilayah Negara jajahan yang dikuasai. Gubernur Jenderal dibantu oleh para gubernur dan residen. Gubernur merupakan wakil pemerintah pusat yang berkedudukan di Batavia untuk wilayah provinsi, sedangkan di tingkat kabupaten terdapat asisten residen dan pengawas yang diangkat oleh gubernur jenderal untuk mengawasi bupati dan wedana dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari.

Birokrasi Zaman Orde Lama
Berakhirnya masa pemerintahan kolonial membawa perubahan sosial politik yang sangat berarti bagi kelangsungan sistem birokrasi pemerintahan. Perbedaan-perbedaan pandangan yang terjadi diantara pendiri bangsa di awal masa kemerdekaan tentang bentuk Negara yang akan didirikan, termasuk dalam pengaturan birokrasinya, telah menjurus ke arah disintegrasi bangsa dan keutuhan aparatur pemerintahan. Perubahan bentuk Negara dari kesatuan menjadi federal berdasarkan konstitusi RIS melahirkan dilematis dalam cara pengaturan aparatur pemerintah. Setidak-tidaknya terdapat dua persoalan dilematis menyangkut birokrasi pada saat itu. Pertama, bagaimana cara menempatkan pegawai Republik Indonesia yang telah berjasa mempertahankan NKRI,tetapi relatif kurang memiliki keahlian dan pengalaman kerja yang memadai. Kedua, bagaimana menempatkan pegawai yang telah bekerja pada Pemerintah belanda yang memiliki keahlian,tetapi dianggap berkhianat atau tidak loyal terhadap NKRI.
Demikian pula penerapan sistem pemerintahan parlementer dan sistem politik yang mengiringinya pada tahun 1950-1959 telah membawa konsekuensi pada seringnya terjadi pergantian kabinet hanya dalam tempo beberapa bulan. Seringnya terjadi pergantian kabinaet menyebabkan birokrasi sangat terfragmentasi secara politik. Di dalam birokrasi tejadi tarik-menarik antar berbagai kepentingan partai politik yang kuat pada masa itu. Banyak kebijakan atau program birokrasi pemerintah yang lebih kental nuansa kepentingan politik dari partai yang sedang berkuasa atau berpengaruh dalam suatu departemen. Program-program departemen yang tidak sesuai dengan garis kebijakan partai yang berkuasa dengan mudah dihapuskan oleh menteri baru yang menduduki suatu departemen. Birokrasi pada masa itu benar- benar mengalami politisasi sebagai instrument politik yang berkuasa atau berpengaruh.Dampak dari sistem pemerintahan parlementer telah memunculkan persaingan dan sistem kerja yang tidak sehat di dalam birokrasi. Birkrasi menjadi tidak professional dalam menjalankan tugas-tugasnya, birokrasi tidak pernah dapat melaksanakan kebijakan atau program-programnya karena sering terjadi pergantian pejabat dari partai politik yang memenangkan pemilu. Setiap pejabat atau menteri baru selalu menerapkan kebijakan yang berbeda dari pendahulunya yang berasal dari partai politik yang berbeda. Pengangkatan dan penempatan pegawai tidak berdasarkan merit system, tetapi lebih pada pertimbangan loyalitas politik terhadap partainya.

Birokrasi Zaman Orde Baru
Birokrasi pada masa Orde Baru menciptakan strategi politik korporatisme Negara yang bertujuan untuk mendukung penetarsinya ke dalam masyarakat, sekaligus dalam rangka mengontrol piblik secara penuh. Strategi politik birokrasi tersebut merupakan strategi dalam mengatur system perwakilan kepentingan melalui jaringan fungsional nonideologis, dimana sistem tersebut memberikan berbagai lisensi pada kelompok fungsional dalam masyarakat, seperti monopoli atau perizinan, yang bertujuan untuk meniadakan konflik antar kelas atau antar kelompok kepentingan dalam masyarakat yang memiliki konsekuensi terhadap hilangnya pluralitas social,politik maupun budaya. Pemerintahan Orde Baru mulai menggunakan birokrasi sebagai premium mobile bagi program pembangunan nasional. Reformasi birokrasi yang dilakukan diarahkan pada :
  • Memindahkan wewenang administratif kepada eselon atas dalam hierarki birokrasi
  • Untuk membuat agar birokrasi responsif terhadap kehendak kepemimpinan pusat
  • Untuk memperluas wewenang pemerintah baru dalam rangka mengkonsolidasikan pengendalian atas daerah-daerah.

Birokrasi Zaman Reformasi
Publik mengharapkan bahwa dengan terjadinya Reformasi, akan diikuti pula dengan perubahan besar pada desain kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baik yang menyangkut dimensi kehidupan politik, sosial, ekonomi maupun kultural. Perubahan struktur, kultur dan paradigma birokrasi dalam berhadapan dengan masyarakat menjadi begitu mendesak untuk segera dilakukan mengingat birokrasi mempunyai kontribusi yang besar terhadap terjadinya krisis multidimensional yang tengah terjadi sampai saat ini. Namun, harapan terbentuknya kinerja birokrasi yang berorientasi pada pelanggan sebagaimana birokrasi di Negara-negara maju tampaknya masih sulit untuk diwujudkan. Osborne dan Plastrik (1997) mengemukakan bahwa realitas sosial, politik dan ekonomi yang dihadapi oleh Negara-negara yang sedang berkembang seringkali berbeda dengan realitas sosial yang ditemukan pada masyarakat di negara maju. Realitas empirik tersebut berlaku pula bagi birokrasi pemerintah, dimana kondisi birokrasi di Negara-negara berkembang saat ini sama dengan kondisi birokrasi yang dihadapi oleh para reformis di Negara-negara maju pada sepuluh dekade yang lalu. Persoalan birokrasi di Negara berkembang, seperti merajalelanya korupsi, pengaruh kepentingan politik partisan, sistem Patron-client yang menjadi norma birokrasi sehingga pola perekrutan lebih banyak berdasarkan hubungan personal daripada faktor kapabilitas, serta birokrasi pemerintah yang digunakan oleh masyarakat sebagai tempat favorit untuk mencari lapangan pekerjaan merupakan sebagian fenomena birokrasi yang terdapat di banyak Negara berkembang, termasuk di Indonesia.
Kecenderungan birokrasi untuk bermain politik pada masa reformasi, tampaknya belum sepenuhnya dapat dihilangkan dari kultur birokrasi di Indonesia. Perkembangan birokrasi kontemporer memperlihatkan bahwa arogansi birokrasi sering kali masih terjadi. Kasus Brunei Gate dan Bulog Gate setidak-tidaknya memperlihatkan bahwa pucuk pimpinan birokrasi masih tetap mempraktikkan berbagai tindakan yang tidak transparan dalam proses pengambilan keputusan. Birokrasi yang seharusnya bersifat apolitis, dalam kenyataannya masih saja dijadikan alat politik yang efektif bagi kepentingan-kepentingan golongan atau partai politik tertentu. Terdapat pula kecenderungan dari aparat yang kebetulan memperoleh kedudukan atau jabatan strategis dalam birokrasi, terdorong untuk bermain dalam kekuasaan dengan melakukan tindak KKN. Mentalitas dan budaya kekuasaan ternyata masih melingkupi sebagian besar aparat birokrasi pada masa reformasi. Kultur kekuasaan yang telah terbentuk semenjak masa birokrasi kerajaan dan kolonial ternyata masih sulit untuk dilepaskan dari perilaku aparat atau pejabat birokrasi. Masih kuatnya kultur birokrasi yang menempatkan pejabat birokrasi sebagai penguasa dan masyarakat sebagai pengguna jasa sebagai pihak yang dikuasai, bukannya sebagai pengguna jasa yang seharusnya dilayani dengan baik, telah menyebabkan perilaku pejabat birokrasi menjadi bersikap acuh dan arogan terhadap masyarakat
Dalam kondisi pelayanan yang sarat dengan nuansa kultur kekuasaan, publik menjadi pihak yang paling dirugikan. Kultur kekuasaan dalam birokrasi yang dominan membawa dampak pada terabaikannya fungsi dan kultur pelayanan birokrasi sebagai abdi masyarakat. Pada tataran tersebut sebenarnya berbagai praktik penyelewengan yang dilakukan oleh birokrasi terjadi tanpa dapat dicegah secara efektif. Penyelewengan yang dilakukan birokrasi terhadap masyarakat pengguna jasa menjadikan masyarakat sebagai objek pelayanan yang dapat dieksploitasi untuk kepentingan pribadi pejabat ataupun aparat birokrasi. Inefisiensi kinerja birokrasi dalam penyelengaraan kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik masih tetap terjadi pada masa reformasi. Birokrasi sipil termasuk salah satu sumber terjadinya inefisiensi pemerintahan. Inefisiensi kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik terlihat dari masih sering terjadinya kelambanan dan kebocoran anggaran pemerintah. Jumlah aparat birokrasi sipil yang terlampau besar merupakan salah satu faktor yang memberikan kontribusi terhadap inefisiensi pelayanan birokrasi. Lambannya kinerja pelayanan birokrasi dimanifestasikan pada lamanya penyelesaian urusan dari masyarakat yang membutuhkan prosedur perizinan birokrasi seperti pengurusan sertifikasi tanah, IMB, HO dan sebagainya.
Sebagian besar aparat birokrasi masih memiliki anggapan bahwa eksistensinya tidak ditentukan oleh masyarakat dalam kapasitasnya sebagai pengguna jasa. Persepsi yang masih dipegang kuat aparat birokrasi adalah prinsip bahwa gaji yang diterima selama ini bukan dari masyarakat tetapi dari pemerintah sehingga konstruksi nilai yang tertanam dalam birokrasi yang sangat independen terhadap publik tersebut menjadikan birokrasi memiliki anggapan bahwa masayarakat-lah yang membutuhkan birokrasi, bukan sebaliknya. Kecenderungan perilaku birokrasi yang masih tetap korup dan belum mengubah kultur pelayanan kepada publik, semakin terlihat pada masa reformasi. Birokrasi di Indonesia saat ini masih dikuasai oleh kekuatan yang begitu terbiasa berperilaku buruk selama puluhan tahun, birokrasi tidak hanya mengidap kleptomania tetapi juga antireformasi. Kontraproduktif dalam birokrasi tersebut sangat berpotensi untuk terjadinya penularan ke seluruh jaringan birokrasi pemerintah baik Pusat maupun Daerah, baik di kalangan pejabat tinggi maupun di kalangan aparat bawah. Masih belum efektifnya penegakkan hukum dan kontrol publik terhadap birokrasi, menyebabkan berbagai tindakan penyimpangan yang dilakukan aparat birokrasi masih tetap berlangsung.

Membangun Paradigma Baru
Pembahasan soal pertanyaan pokok apakah birokrasi perlu berpolitik atau tidak, merupakan persoalan yang sering dibahas dalam studi ilmu politik. Untuk kasus Indonesia era Orde Lama Dan Orde Baru, dalam praktiknya birokrasi terlibat dalam kepengurusan dan pemenangan partai politik pemerintah. Walaupun dalam dua zaman tersebut, sebagaimana kalangan aktor politik, para ilmuwan politik dan cendekiawan pun ada yang berbeda pandangan. Ada yang menyatakan setuju (pro) dan ada pula yang menyatakan menolak (kontra) terhadap peran birokrasi dalam kehidupan politik. Mereka yang pro terhadap ide birokrasi boleh berpolitik antara lain mendasarkan diri pada asumsi bahwa semua orang mempunyai hak memilih dan hak dipilih, sehingga tidak rasional membatasi peran politik pegawai negeri. Pembatasan seperti itu menurut kubu ini dicarikan alasan sebagai tindakan pelanggaran HAM. Sedangkan mereka yang kontra, lebih mendasarkan diri pada pertimbangan kenyataan politik bahwa sangat sulit bagi masyarakat luas yang dilayani dan tidak adil bagi partai politik lainnya, bila birokrasi boleh dan harus berperan ganda sebagai pegawai pemerintah yang nota bene menjadi pelayan masyarakat, sekaligus bertindak sebagai aktor politik.
Gejala tumpang tindihnya kedua peran tersebut (sebagai pelayan masyarakat dan aktor politik sekaligus) baik dalam tingkatan perorangan maupun institusi birokrasi, diduga dan diyakini akan menyebabkan conflict of interest yang pada akhirnya akan merusak salah satu wadah tersebut, merusak kinerja birokrasi ataupun bisa merusak kehidupan politik, yang menciptakan pembusukan politik dalam jangka panjang. Bagian penting yang relevan diperhatikan untuk menyusun paradigma baru birokrasi adalah perlunya menumbuhkan kesadaran bahwa birokrasi perlu mengakui bahwa publik-lah yang berkuasa, karena mereka dibiayai oleh pajak yang dibayarkan oleh masyarakat. Begitu juga perlu menghidupkan koordinasi dan pengawasan dari rekan kerja ketimbang koordinasi dan pegawasan dari atasan. Dalam model pemerintahan enterpreuneur, pemerintah dan birokrasi bertindak mengarahkan masyarakat, bukan mengurusi semua bidang kemasyarakatan; melakukan pemberdayaan masyarakat bukan cuma melayani masyarkat; membuka kompetisi dan saling bersaing dalam memberikan pelayanan yang terbaik, bukan monopoli bidang usaha; bekerja digerakkan oleh misi yang ditetapkan oleh Negara,bukan aturan yang dibuat sendiri oleh birokrat; menghasilkan pendanaan, bukan menunggu anggaran dari Negara; bekerja dikendalikan oleh warga Negara pembayar pajak, bukan aturan sepihak birokrat; memperhitungkan adanya tabungan, bukan hanya menghabiskannya; mempunyai prinsip lebih baik mencegah, daripada mengobati permasalahan; melibatkan kerja dan pengawasan kelompok (peer group),bukan hanya kerja individu atau pengawasan atasan; lebih memperhatikan kemauan pasar, ketimbang maunya organisasi saja.

Selain itu, ada pemikiran yang terus berkembang misalnya :
  • Adanya keinginan perlu tumbuhnya kesadaran baru di kalangan PNS dan pejabat struktural maupun fungsional bahwa rakyat banyak yang diwakili di legislatif-lah yang berkuasa, sedangkan pemerintah dan birokrasi hanya pelaksana.
  • Birokrasi perlu transparan dalam kegiatan- kegiatannya dan dalam membuat ketentuan- ketentuan teknis harus terbuka dan mengikutsertakan wakil-wakil kelompok kepentingan dalam masyarakat.
  • Pejabat birokrasi perlu “merakyat”, mau turun ke lapangan ke bidang tanggung jawabnya.
  • Keinginan kelompok LSM agar segala sesuatu yang sudah bisa dan diurus oleh masyarakat, biarkan dikerjakan oleh masyarakat itu sendiri.

http://stisiptasikmalaya.blogspot.com/2009/06/sekilas-birokrasi-indonesia-dari-zaman.html

Saturday, December 17, 2011

Konflik Dan Negosiasi

December 17, 2011 2
1. Pengertian dan Pandangan Tentang Konflik
Definisi konflik menurut Robbins, adalah suatu proses yang dimulai bila satu pihak merasakan bahwa pihak lain telah mempengaruhi secara negatif atau akan segera mempengaruhi secara negatif pihak lain. Sedangkan menurut Alabaness dalam nimran (1996) mengartikan konflik sebagai kondisi yang dipersepsikan ada diantara pihak-pihak atau lebih merasakan adanya ketidaksesuaian antara tujuan dan peluang untuk mencampuri usaha pencapaian tujuan pihak lain. Dari kedua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa konflik itu adalah proses yang dinamis dan keberadaannya lebih banyak menyangkut persepsi dari orang atau pihak yang mengalami dan merasakannya. Jadi apabila persepsi mempengaruhi orang lain yang tidak sesuai maka akan terjadi konflik.
Ada tiga pandangan tentang konflik, yaitu:
Pandangan tradisional, menyatakan bahwa konflik harus dihindari karena akan menimbulkan kerugian. Aliran ini juga memandang konflik sebagai sesuatu yang buruk, tidak menguntungkan dan selalu merugikan organisasi. Oleh karena itu konflik harus dicegah dan dihindari sebisa mungkin dengan mencari akar permasalahannya (muhyadi, 1989)
Pandangan hubungan kemanusiaan, pandangan behavioral ini menyatakan bahwa konflik merupakan sesuatu yang wajar, alamiah dan tidak terelakkan dalam setiap kelompok manusia. Konflik tidak selalu buruk karena memiliki potensi kekuatan yang positif di dalam menentukan kinerja kelompok. Konflik tidak selamanya merugikan, bahkan bisa menguntungkan, yang oleh karena itu konflik harus dikelola dengan baik.
Pandangan interaksionis, yang menyatakan bahwa konflik buka sekedar sesuatu kekuatan positif dalam suatu kelompok, melainkan juga mutlak perlu untuk suatu kelompok agar dapat berkinerja positif. Oleh karena itu konflik harus diciptakan. Pandangan ini didasari keyakinan bahwa organisasi yang tenang, harmonis, damai ini justru akan membuat organisasi itu menjadi statis, stagnan dan tidak inovatif. Dampaknya adalah kinerja organisasi menjadi rendah.

2. Jenis dan Penyebab Konflik
Jenis konflik dibedakan dalam beberapa perspektif, antara lain:
  • Konflik intraindividu, yaitu konflik yang dialami oleh individu dengan dirinya sendiri karena adanya tekanan peran dan ekspektasi di luar berbeda dengan keinginan atau harapannya.
  • Konflik antarindividu. Konflik yang terjadi antar individu yang berada dalam suatu kelompok atau antarindividu pada kelompok yang berbeda.
  • Konflik antar kelompok. Konflik yang bersifat kolektif antara satu kelompok dengan kelompok lain.
  • Konflik organisasi. Konflik yang terjadi anatara unit organisasi yang bersifat struktural maupun fungsional.
Jenis konflik ditinjau dari fungsinya, yaitu:
  • Konflik konstruktif, adalah konflik yang memiliki nilai positif bagi pengembangan organisasi.
  • Konflik destruktif, adalah konflik yang berdampak negatif bagi pengembangan organisasi.
Jenis konflik ditinjau dari segi intasionalnya, yaitu:
  • Konflik kebutuhan individu dengan peran yang dimainkan dalam organisasi. Tidak jarang kebutuhan dan keinginan karyawan bertentangan atau tidak sejalan dengan kebutuhan dan kepentingan organisasi. Hal ini bisa memunculkan konflik.
  • Konflik peranan dengan peranan. Setiap karyawan organisasi memiliki peran yang berbeda-beda dan ada kalanya perbedaan peran tiap individu tersebut memunculkan konflik karena setiap individu berusaha untuk memainkan peran tersebut dengan sebaik-baiknya.
  • Konflik individu dengan individu lainnya. Konflik seringkali muncul jika seorang individu berinteraksi dengan individu lain, disebabkan oleh latar belakang, pola pikir, pola tindak, kepribadian, minat, persepsi, dan sejumlah karakteristik yang berbeda antara yang satu dengan yang lain.
Jenis konflik ditinjau dari segi materi/masalah yang menjadi sumber konflik, yaitu:
  • Konflik tujuan. Adanya perbedaan tujuan antar individu, kelompok, atau organisasi bisa memunculkan konflik.
  • Konflik peranan. Setiap manusia memiliki peran lebih dari satu. Peran yang dimainkan, yang jumlahnya banyak tersebut, seringkali memunculkan konflik.
  • Konflik nilai. Nilai yang dianut seseorang seringkali tidak sejalan dengan sistem nilai yang dianut organisasi atau kelompok. Hal ini berpotensi untuk memunculkan konflik.
  • Konflik kebijakan. Konflik ini muncul karena seorang individu atau kelompok tidak sependapat dengan kebijakan yang ditetapkan organisasi (depdikbud, 1981).
Mastenbroek (1987) membagi konflik ini menjadi empat, yaitu:
  • Instrumental conflicts. Konflik terjadi karena adanya ketidaksepahaman antar komponen dalam organisasi dan proses pengoperasiannya.
  • Socio-emotional conflicts. Konflik ini berkaitan dengan identitas, kandungan emosi, citra diri, prasangka dan lambang-lambang tertentu, sistem nilai dan reaksi individu dengan lainnya.
  • Negotianting conflicts. Konflik negosiasi adalah ketegangan-ketegangan yang dirasakan pada waktu proses negosiasi terjadi, baik antar individu dengan individu atau kelompok dengan kelompok.
  • Power and dependency conflicts. Konflik kekuasaan dan ketergantungan berkaitan dengan persaingan dalam organisasi, misalnya pengamanan dan penguatan kedudukan yang strategis.
Penyebab konflik ada bermacam-macam. Beberapa sebab yang penting adalah sebagai berikut:
  • Saling bergantungan. Saling bergantung dalam pekerjaan terjadi jika dua kelompok organisasi atau lebih saling membutuhkan satu sama lain guna menyelesaikan tugas.
  • Perbedaan tujuan. Perbedaan tujuan yang ada di antara satu bagian dengan bagian lain, seperti unit produksi yang bertujuan semaksimal mungkin biaya produksi dan mengusahakan sesedikit mungkin kerusakan produk, sementara bagian penelitian dan pengembangan berurusan dengan pengmbangan ide-ide baru untuk mengubah dan mengembangkan produk yang berhasil secara komersial. Hal ini dapat menjadi potensi konflik.
  • Perbedaan persepsi. Dalam menghadapi suatu masalah, jika terjadi perbedaan persepsi maka hal itu dapat menyebabkan munculnya konflik.
Menurut Smith, Mazzarella dan Piele (1981), sumber terjadinya konflik adalah:
  • Masalah komunikasi, yang bisa terjadi pada masing-masing atau gabungan dari unsur-unsur komunikasi, yaitu sumber komunikasi, pesan, penerima pesan dan saluran.
  • Struktur organisasi, yang secara potensial dapat memunculkan konflik. Tiap departemen/fungsi dalam organisasi mempunyai tujuan, kepentingan dan program sendiri-sendiri yang seringkali berbeda dengan yang lain.
  • Faktor manusia. Sifat dan kepribadian manusia satu dengan yang lain berbeda dan unik. Hal ini berpotensi memunculkan konflik.

3. Proses Dan Hubungan Konflik Dengan Kinerja
Menurut Pondi (dalam Indriyo, 1997, dan Umar Nimran, 1999), proses konflik dimulai dari:
  • Tahap I, Latent Conflict, konflik laten, yaitu tahap munculnya faktor-faktor yang menjadi penyebab konflik dalam organisasi. Bentuk-bentuk dasar dari situasi ini adalah persaingan untuk memperebutkan sumberdaya yang terbatas, konflik peran, persaingan perebutan posisi dalam organisasi, dll.
  • Tahap II, Perceived Conflict, konflik yang dipersepsikan. Pada tahap ini salah satu pihak memandang pihak lain lain sebagai penghambat atau mengancam pencapaian tujuanna.
  • Tahap III, Felt Conflict, konflik yang dirasakan. Pada tahap ini konflik tidak sekedar dipandang ada akan tetapi sudah benar-benar dirasakan.
  • Tahap IV, Manifest Conflict, konflik yang dimanifestasikan. Pada tahap ini perilaku tertentu sebagai indikator konflik sudah mulai ditunjukkan, seperti adanya sabotase, agresi terbuka, konfrontasi, rendahnya kinerja, dll.
  • Tahap V, Conflict Resolution, resolusi konflik. Pada tahap ini konflik yang terjadi diselesaikan dengan berbagai macam cara dan pendekatan.
  • Tahap VI, Conflict Aftermath. Jika konflik sudah benar-benar diselesaikan maka hal itu akan meningkatkan hubungan para anggota organisasi. Hanya saja jika penyelesaiannya tidak tepat maka akan dapat menimbulkan konflik baru.

 4. Strategi Manajemen Konflik
Strategi manajemen konflik yang diterapkan dalam suatu organisasi tergantung pada bagaimana seorang pimpinan memandang suatu konflik. Meskipun demikian harus kita sadari bahwa konflik pasti terjadi dalam suatu organisasi, hanya saja dengan skala berbeda. Ada yang berskala besar, sedang, atau kecil.
Gordon (1990) dan Miftah Thoha (1995), mengemukakan strategi manajemen konflik adalah sebagai berikut:
  • Strategi menang-kalah. Strategi ini ada kalanya pihak tertentu akan menggunakan wewenang atau kekuasaan untuk memenangkan/menekan pihak lain.
  • Strategi kalah-kalah. Strategi ini dapat berupa kompromi, dimana kedua belah pihak berkorban untuk kepentingan bersama.
  • Strategi menang-menang. Konflik dipecahkan melalui metode problem solving. Metode ini dianggap paling baik karena tidak ada pihak yang dirugikan. Scmuck (1976) menunjukkan bahwa: (1) Metode pemecahan masalah mempunyai hubungan positif dengan manajemen konflik yang efektif, (2) Pemecahan masalah banyak dipergunakan oleh pihak-pihak yang memiliki kekuasaan tetapi lebih suka bekerjasama.

5. Negosiasi Atau Perundingan
Negosiasi atau perundingan merupakan suatu proses tawar-menawar antara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Dalam perundingan ini diharapkan ada kesepakatan nilai antara dua kelompok tersebut. Atau Robs mengatakan negosiasi dapat di definisikan sebagai proses yang di dalamnya terdapat dua pihak/lebih bertuka barang atau jasa dan berupaya menyepakati tingkat kerjasama tersebut bagi mereka. Robbins (1999) menawarkan 2 strategi perundingan, yang meliputi:
  • Tawar-menawar distributif, artinya perundingan yang berusaha untuk membagi sejumlah tetap sumberdaya (suatu situasi kalah menang).
  • Tawar-menawar integratif, yaitu perundingan yang mengusahakan satu penyelesaian atau lebih yang dapat menciptakan pemecahan menang-menang.
Nimran (1999) menawarkan bebrapa strategi manajemen konflik, yaitu:
  • Strategi kompetisi, disebut strategi kalah-menang, yaitu penyelesaian masalah dengan kekuasaan.
  • Strategi kolaborasi atau strategi menang-menang dimana pihak yang terlibat mencari cara penyelesaian konflik yang sama-sama menguntungkan.
  • Strategi penghindaran, yaitu strategi untuk menjauhi sumber konflik dengan mengalihkan persoalan sehingga konflik itu tidak terjadi.
  • Strategi akomodasi, adalah strategi yang menempatkan kepentingan lawan diatas kepentingan sendiri. Strategi ini juga disebut dengan sifat mengalah.
  • Strategi kompromi, yaitu strategi kalah-kalah dimana pihak-pihak yang terlibat konflik sama-sama mengorbankan sebahagian dari sasarannya dan mendapatkan hasil yang tidak maksimal.