Blognya Anak Kuliahan

Wednesday, March 14, 2012

Pencerdasan Pemilih Pemula

March 14, 2012 0
Pemilih pemula dalam ritual demokrasi (Pemilu Legisaltif, Pilpres, Pemilukada) selama ini agaknya sengaja dijadikan objek politik sebagai bagian dari massa untuk kepentingan elit sesaat. Selepas momen politik berlangsung praktis pemilih pemula ditinggal begitu saja bak pepatah ’’habis manis sepah dibuang”. Fenomena riil akan hal itu tampak jelas dari momentum kampanye selama ini yang justru menampakkan pembodohan pemilih. Sekadar melibatkan pemilih pemula untuk meramaikan kampanye melalui karnaval kendaraan bermotor, joget bersama bersama artis, bagi-bagi kaos, tanpa dibarengi dengan proses-proses pencerdasan melalui dialog, pemahaman visi-misi kandidat misalnya. Ruang dialog yang mampu membentuk dan mengasah rasionalitas pemilih pemula belum mampu terbangun. Kalaupun ada proses tersebut, selama ini tidak lebih dari upaya pemilih pemula sendiri yang berasal dari komunitas kampus.
Hal yang kirannya belum terjadi pada pemilih pemula dari pelajar (SMU), maupun dari pemilih pemula di luar pelajar dan mahasiswa yakni mereka dengan usia 17-21 tahun yang sudah tidak lagi mengenyang bangku pendidikan. Mereka semakin menjadi sapi perahan elit politik tanpa adanya upaya proses pencerdasan yang semestinya sedini mungkin didapat. Akibat yang kemudian muncul adalah tidak adanya perbedaan distingtif antara pemilih pemula dengan pemilih uzur, yang mana konsideran dalam mengambil keputusan politik sekadar berdasarkan popularitas figur, nderek tiyang sepuh , atau lebih sial lagi menjadi bagian dari pemilih pragmatis yang mendasar pada berapa nilai nominal uang yang akan diterima. Dalam proses seremoni demokrasi selama ini sikap kritis yang semestinya muncul dari pemilih pemula menjadi kurang nampak.
Ekspolitasi terhadap pemilih pemula oleh elit kian tak terhindarkan jika melihat munculnya organisasi sayap partai yang didesain guna menggalang basis kekuatan pada pemilih pemula. Dalam strategi politik memang halal hukumnya, bahkan satu keharusan (wajib) ketika partai mencoba membidik segmen pemilih pemula melalui organisasi sayap yang dikhususkan untuk perjuangan pemilih pemula.
Namun demikian hakikat ideal dari sayap partai yang sejatinya berfungsi sebagai instrumen pendidikan politik semestinya juga dibangun. Melalui program-program yang berakar dari kebutuhan dasar pemilih pemula berupa pembentukan pola pikir politik dengan basis rasionalitas. Mempertimbangkan segala keputusan politik atas dasar kemampuan, visi-misi, dan track record dari para kandidat.
Pengaruh keluarga
Antusiasme yang tinggi sementara keputusan pilihan yang belum bulat, sebenarnya menempatkan pemilih pemula sebagai swing voters yang sesungguhnya. Pilihan politik mereka belum dipengaruhi motivasi ideologis tertentu dan lebih didorong oleh konteks dinamika lingkungan politik lokal.
Pemilih pemula mudah dipengaruhi kepentingan-kepentingan tertentu, terutama oleh orang terdekat seperti anggota keluarga, mulai dari orangtua hingga kerabat. Kondisi tersebut tampak jika merunut perilaku pemilih pemula pada beberapa penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Hasil jajak pendapat pasca-pemungutan suara (exit poll), pada Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta (8 Agustus 2007), menunjukkan orangtua adalah yang paling memengaruhi pilihan para pemilih pemula. Teman dan saudara juga ikut memengaruhi namun dengan persentase yang lebih kecil.
Pola yang sama juga terlihat pada hasil exit poll Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat (13 April 2008) dan Jawa Timur putaran pertama (23 Juli 2008). Orangtua menjadi pihak yang paling memengaruhi pilihan para pemula di Jabar dan Jatim. Selain teman dan saudara, yang turut memengaruhi pilihan adalah pasangan hidup. Di Jatim, peran orangtua dalam memengaruhi pilihan sebagian besar diambil alih oleh pasangan hidup si pemilih.
Media massa juga turut memengaruhi pilihan pemilih pemula. Pengaruh terbesar berasal dari pemberitaan media elektronik terutama televisi (antara 60 persen dan 67 persen).
Disusul kemudian lewat spanduk, poster, brosur, dan sejenisnya. Sementara pengaruh dari internet belum begitu besar bagi kelompok ini, hanya 0,5 persen-2 persen.
Konsep mengenai ke-Indonesiaan yang dimiliki kelompok muda juga mendorong mereka menentukan pilihan secara otonom. Dari hasil jajak pendapat diketahui, para pemilih pemula ini memiliki gambaran ideal tentang Indonesia, yaitu Indonesia yang makmur dan sejahtera.
Untuk menuju Indonesia yang seperti itu, jalannya adalah melalui pemilu. Keyakinan ini disampaikan delapan dari sepuluh responden.

Peran Pemilih Pemula Dalam Pemilu & Pilkada

March 14, 2012 0
’’Berikan aku sepuluh pemuda, lalu aku akan sanggup menggemparkan dunia”
Letupan semangat dari Bung Karno di atas terbukti benar dan tetap relevan. Akan peran pemuda dalam perjalanan sejarah bangsa ini yang tidak dapat dilupakan. Sejumlah fakta sejarah menggambarkan peran dan kekuatan pemuda dalam mendorong terjadinya gelombang perubahan. Mulai dari Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi 1945, hingga reformasi 1998.
Bahwa pemuda memiliki energi potensial untuk melakukan perubahan sejarah. Dalam kondisi kekinian peran dan eksistensi kaum muda dihadapkan pada situasi yang tidak mudah. Pada satu sisi harus menyiapkan diri untuk bersaing dalam iklim kompetesi global, sementara pada sisi yang lain gelombang demokrasi juga menuntut kaum muda untuk aktif jika mengingankan eksistensinya diakui serta mampu membawa perubahan. Termasuk di dalamnya gelombang demokrasi yang berujung pada munculnya kompetisi politik di ranah lokal bernama pemilihan kepala daerah (Pemilukada) langsung.
Sebagai bagian dari pemilih, kaum muda (pemilih pemula) yang terdiri dari pelajar, mahasiswa, atau pemilih dengan rentang usia 17-21 tahun menjadi segmen yang memang unik, seringkali memunculkan kejutan, dan tentu menjanjikan secara kuantitas. Unik, sebab perilaku pemilih pemula dengan antusiasme tinggi, relatif lebih rasional, haus akan perubahan, dan tipis akan kadar polusi pragmatisme.
Dari kecenderungan memilih tersebut, tidaklah mengherankan jika potensi munculnya golongan putih (golput) dari pemilih pemula sangat tinggi. Terlebih jika pada saat yang sama dihadapkan kepada kandidat calon kepala daerah yang kurang mendapat tempat di hati pemilih pemula. Ketiadaan pilihan kandidat kepala daerah yang dirasa pemilih pemula mampu membawa perubahan dengan rekam jejak serta program yang pas di hati pemilih pemula.
Sebagai contoh : Meskipun tidak keluar sebagai partai pemenang, PKS dengan perolehan 45 kursi dan Partai Demokrat 57 kursi di DPR sebagai pendatang baru (new comer) dalam Pemilu 2004 lalu juga dapat dijadikan cerminan akan suara pemilih pemula yang secara mengejutkan mampu mendudukkan kedua partai tersebut dalam jajaran tujuh partai besar. Mayoritas pemilih PKS dan Partai Demokrat yang didominasi oleh pemilih pemula serta unggul di wilayah perkotaan. Bahkan untuk PKS militansi kader muda dari kalangan mahasiswa adalah kunci keberhasilan tersendiri yang belum dimiliki partai politik lainnya.

Tuesday, March 13, 2012

Beberapa Istilah Bagi Mereka Yang Tidak Berpartisipasi Dalam Politik

March 13, 2012 4
Mereka yang berpartisipasi dalam bentuk yang paling banyak dalam aktivitas politik, umumnya merupakan minoritas (seringkali berupa minoritas yang sangat kecil) dari anggota suatu masyarakat. Macam-macam istilah diterapkan pada mereka yang tidak turut serta ini, dan mereka dilukiskan secara berbeda-beda sebagai apatis, sinis, alienasi (terasing), dan anomi (terpisah). Sesungguhnya, istilah-istilah tersebut digunakan dalam studi mengenai partisipasi politik.
1. Apatis (masa bodoh)
Secara sederhana didefinisikan sebagai tidak punya minat atau perhatian terhadap orang lain, situasi, atau gejala-gejala pada umumnya maupun khususnya. Ditinjau dari aspek sosiologis, dapat diterapkan pada masyarakat secara umum atau hanya pada aspek-aspek tertentu dari masyarakat. Sifat paling penting dari seorang yang apatis adalah kepasifannya atau tidak adanya kegiatan politik.
Morris Rosenberg mensugestikan tiga alasan pokok untuk menerangkan apati politik. Kesimpulannya didasarkan pada satu seri wawancara tidak berstruktur yang mendalam. Alasan pertama adalah konsekuensi yang ditanggung dari aktivitas politik. Hal tersebut dapat berupa beberapa bentuk, seperti individu dapat merasa, bahwa aktivitas politik merupakan ancaman terhadap berbagai aspek hidupnya; kedua, bahwa individu menganggap aktivitas politik sia-sia saja; dan alasan ketiga seperti yang dikemukakan oleh Milbrath, Rosenberg beranggapan bahwa “memacu diri untuk bertindak” atau perangsang politik adalah faktor penting untuk mendorong aktivitas politik.
2. Sinisme
Seperti halnya apati, sisnisme meliputi kepasifan dan ketiakatifan relatif, merupakan satu sikap yang dapat diterapkan baik pada aktivitas maupun ketidakatifan. Robert Agger dan rekan-rekannya mendefinisikan sinisme sebagai “kecurigaan yang buruk dari sifat manusia”; dengan bantuan suatu alat skala sikap yang dibuat untuk mengukur derajat terhadap para responden mereka bersikap sinis–baik secara pribadi maupun secara politis–karena mereka telah mencari relasi sinisme dengan bermacam-macam aspek dari tingkah laku politik.
Sinisme merupakan perasaan yang menghayati tindakan dan motif orang lain dengan rasa kecurigaan, bahwa pesimisme adalah lebih realistis daripada optimisme; dan bahwa individu harus memperhatikan kepentingan sendiri, karena pada dasarnya masyarakat bersifat ego-sentris (memusatkan segala sesuatu pada diri sendiri). Sinisme tidak dapat menghindari partisipasi pada semua tingkatan hierarki, walaupun sinisme itu mungkin memberikan suatu penjelasan mengenai non-partisipasi oleh orang-orang terntu pada tingkat-tingkat khusus.
3. Alienasi
Robert Lane mendifinisikan alienasi politik sebagai “perasaan keterasingan seseorang dari politik dan pemerintahan masyarakat…(dan)…kecenderungan berfikir mengenai pemerintahan dan politik bangsa yang dilakukan oleh orang lain untuk orang lain, mengikuti aturan-aturan yang tidak adil”.Dari definisi tersebut, nampak bahwa sikap alienasi jauh melampaui sinisme.
4. Anomi
Istilah ini dirancang oleh Emile Durkheim dalam studinya mengenai bunuh diri,dan kemudian dilukiskan oleh Lane sebagai “perasaan kehilangan nilai dan ketiadaan arah”, di mana individu mengalami perasaan ketidakefektivan dan bahwa penguasa bersikap “tidak perduli”, yang mengakibatkan devaluasi daripada tujuan-tujuan dan hilangnya urgensi untuk bertindak. Leo Srole telah mengembangkan suatu skala anomi yang di mana dengan menggunakan skala ini, ia menemukan relasi akrab antara anomi dengan kepribadian otoriter.
Kelompok-kelompok ini tidak mempunyai organisasi, tetapi individu-individu yang terlibat merasa mempunyai perasaan frustasi dan ketidakpuasan yang sama. Sekalipun tidak terorganisir secara rapi, dapat saja kelompok ini mengadakan aksi massal jika tiba-tiba muncul frustasi dan kekecewaan mengenai suatu masalah.[1]

Penggunaan kekerasan untuk tujuan politik dapat dianggap sebagai suatu–dan hanya satu–manifestasi alienasi politik. Jelaslah, rasa permusuhan terhadap suatu rezim tertentu atau bahkan terhadap suatu sistem sosial tertentu atau tidak perlu mengambil satu bentuk kekerasan. Sejak penggunaan kekerasan untuk tujuan politik dapat dianggap sebagai manifestasi daripada alienasi politik, adalah menyesatkan untuk mengasosiasikan hal terakhir itu semata-mata dengan ketidakaktifan politik. Banyak diantara mereka yang aktif secara poltis pada beberapa tingkat tertentu bisa bersikap sinis terhadap gejala politik, dan bersikap apatis terhadap tipe partisipasi lainnya. Milbrath berasumsi, bahwa partisipasi politik itu bervariasi bkaitan dengan empat faktor utama, yaitu pertama, sejauh mana orang bisa menerima perangsang politik; kedua, karakteristik peribadi seseorang; ketiga, karakteristik sosial seseorang; dan keempat keadaan politik atau lingkungan politik di mana seseorang dapat menemukan dirinya sendiri.
Semakin peka atau terbuka seseorang terhadap perang politik melalui kontak pribadi dan organisatoris serta media massa, semakin besar pula kemungkinannya dia turut serta dalam kegiatan politik. Jelas bahwa keterbukaan atau kepekaan ini kiranya berbeda dari satu orang dengan orang lainnya, dan bagaimanapun juga, hal ini merupakan bagian dari proses sosialisasi politik.
Seseorang yang tidak memiliki pengetahuan atas informasi mengenai suatu masalah politik atau situasi politik, mungkin merasa kurang kompetenuntuk berpartisipasi dalam suatu usaha gunu memecahkan masalahnya atau untuk merubah situasinya; maka kompeten sikap individu dapat berlawanan dengan partisipasinya. Sedemikian luasnya, sampai-sampai dia bersikap sini, terasing atau anomis; atau hal tersebut mungkin mendorong tumbuhnya kegiatan politik karena peristiwanya dapat memuaskan perasaan untuk menjalankan tugas, kewajiban atau prestasi, ataupun pengalaman partisipasi politik. Status sosial seseorang, seperti status sosio-ekonomisnya, kelompok ras atau etnis, usia, seks dan agamanya, baik ia organisasi sukarela tertentu dan sebagainya, semua mempengaruhi partisipasi politiknya.
Walaupun penerimaan rangsangan politik dan sifat dari karakteristik pribadi serta karakteristik sosial seseorang itu penting dalam mempengaruhi luasnya aktivitas politik, tetapi penting juga untuk memperhitungkan lingkungan atau keadaan politiknya. Ini berlaku pula bagi peraturan konstitusional dan institusional yang ditemukan dalam suatu sistem politik terntu seperti juga aspek-aspek yang kurang formal, misalnya sifat dari sistem partai, atau perbedaan regional, atau faktor-faktor yang mempengaruhi peristiwa khusus, seperti pemilihan.
Di bidang keanggotaan partai, partai berusaha untuk mengkontrol komposisi keanggotaan jauh lebih luas daripada semua parpol non-totaliter. Untuk masuk ke dalam parpol, dikontrol dengan teliti. Selanjutnya, kadang-kadang kepemimpinan partai berusaha untuk mengeluarkan kelompok tertentu dari keanggotaan partai, dan mendorong kelompok lain untuk bergabung.
Bentuk dan sifat partisipasi politik jelas berbeda dari satu tipe sistem politik dengan yang lain, walaupun adakalanya terdapat lembaga politik yang nyata sama, seperti adanya pemilihan atau parpol. Meskipun begitu, semua sistem politik memperlihatkan jenis relasi tertentu di antara partisipasi politik dengan karakteristik pribadi dan sosial dari mereka yang aktif secara politis. Sifat relasi ini bergantung kepada lingkungan sosial dan lingkungan politik setiap sistem politik.
Masyarakat berkembang cenderung untuk mengeping-epingkan lingkungan sosial dan lingkungan politik: lingkungan sosialnya seringkali mendasarkan diri pada suatu sistem startifikasi sosial-tradisional yang relatif kaku, yang oleh kekuatan modernitas dicoba untuk diruntuhkan. Hal tersebut merupakan basis bagi suatu lingkungan politik dalam lembaga yang sangat modern berlangsung bersama-sama, dan tingkah laku politik ditentukan oleh kekuatan yang pada hakikatnya bersifat tradisional.
Penjelasan mengenai tingkah-laku politik individu pada umumnya, dan partisipasi politik pada khususnya, tidaklah teramat sulit untuk dikemukakan. S. M. Lipset dengan mempergunakan sederetan studi dan data, telah memberikan uraian tentang berbagai aspek perilaku elektoral, termasuk di dalamnya hasil jumlah yang turut memberikan suara, petunjuk mengenai voting dan dukungan berbagai gerakan-gerakan ekstrimis.
Lebih khusus, mengenai asosiasi antara status sosio-ekonomis dengan tingkah-lakuelektoral yang telah didokumentasikan secara luas dan banyak sekali perhatian telah dicurahkan pada individu-individu yang “menyimpang” dari norma class voting. Studi tersebut mengemukakan perilaku politik seseorang itu ditentukan oleh interaksi dari sikap sosial dan sikap politik individi yang mendasar, dan oleh situasi khusus yang dihadapinya. Asosiasi antara berbagai karakteristik pribadi dan sosial (seperti status sosioekonomis) dan tingkah-laku politik mungkin adalah hasil dari motivasi sadar atau tidak sadar, atau yang lebih mungkin lagi kombinasi dari keduanya.
Rudolf Herbele mengemukakan adanya empat masalah yang menyulitkan studi mengenai motif yang mendorong tingkah-laku sosial dan perilaku politik. Pertama, motif yang sebenarnya sengaja disembunyikan oleh individu, dan si pengamat secara konsekuen disesatkan oleh hal-hal yang tampak sebagai informan yang cermat; kedua, motif yang sesungguhnya mungkin tidak jelas bagi individu, dan mungkin dia merasionalisir tindakan sendiri sebelumnya, baik sesudah maupun selama berlangsungnya peristiwa; ketiga, motif yang sebenarnya tidak jelas, tidak hanya bagi individu yang tindakannya tengah diselidiki, akan tetapi juga bagi orang lain yang telah dipengaruhi tidakannya; dan akhirnya atau yang keempat, motif itu tanpa kecualis elalu kompleks dan sulit untuk diukur secara cermat.
Max Weber berpendapat bahwa motivasi tersebut bisa disebabkan oleh bebrapa motif, diantaranya (1) rasional-bernilai, didasarkan atas penerimaan secara rasional akan nilai-nilai suatu kelompok; (2) afektual-emosional, didasarkan atas kebencian atau “enthusiamsm” terhadap suatu ide, organisasi atau individu; (3) tradisional, didasarkan atas penerimaan norma tingkah-laku individudari suatu kelompok sosial; dan (4) rasional-bertujuan, yang didasarkan atas keuntungan pribadi.
Sedangkan Robert Lane mempersoalkan bahwa partisipasi politik memnuhi empat macam fungsi, diantaranya pertama, sebagai sarana untuk mengejar kebutuhan ekonomis; kedua, memuaskan suatu kebutuhan bagi penyesuaian sosial; ketiga, sebagai sarana untuk mengejar nilai-nilai khusus; dan keempat untuk memenuhi kebutuhan bawah-sadar dan kebutuhan psikologis tertentu.
Individu memperoleh orientasi politik dan pola tingkah-laku politiknya melalui proses sosialisasi politik, dan pengalamannya mengenai gejala sosial dan politik; melalui berbagai tingkat dan tipe partisipasi politik (atau melalui ketidakikutsertaannya dalam segala bentuk partisipasi), merupakan bagian dari proses sosialisasi yang berkesinambungan, serta merupakan faktor yang penting dalam mempengaruhi partisipasinya dikemudian hari.


[1] Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT. Gramedia. Hal. 387