Kontestansi
Pemilihan Umum (Pemilu) di Aceh selalu menjadi bahan yang menarik untuk disimak
dan diperbincangkan, adalah keberadaan partai politik lokal yang menyebabkan
mengapa Aceh selalu menjadi fokus pembicaraan para penggiat pemilu dan partai
politik di ranah akademik maupun di forum diskusi warung kopi dan sebagainya.
Keikutsertaan
partai politik lokal di Pemilu legislatif merupakan hak eksklusif yang hanya
diberikan Pemerintah Indonesia untuk Propinsi Aceh, dan hal ini telah diatur
dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Peraturan
Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh. Hanya
saja, partai politik lokal ini hanya boleh mengirimkan kader terbaiknya untuk
mengemban amanah di level propinsi dan kabupaten/kota saja. Yaitu; DPRA dan
DPRK untuk pemilihan legislatif, dan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil
Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota untuk pemilihan eksekutif.
Pemilu
Legislatif tahun 2009-2014 merupakan titik awal kebangkitan euphoria politik masyarakat Aceh. Pada
periode tersebut sebanyak sepuluh partai politik lokal mendaftarkan diri di
kantor kementerian Hukum dan HAM Provinsi Aceh, dan hanya enam yang berhasil
lolos proses verifikasi yang dilakukan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP)
Aceh, yaitu; Partai Aceh (PA), Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA),
Partai Bersatu Ajeh (PBA), Partai Daulat Aceh (PDA), Partai Rakyat Aceh (PRA), dan
Partai Aceh Aman Seujahtera (PAAS). Pileg yang dilaksanakan pada tanggal 09
April 2009 ini total diikuti oleh 44 parlok dan parnas, dan mereka bertarung
memperebutkan 69 kursi DPRA. Berikut adalah hasil perolehan suara dan kursi dari
enam partai politik lokal.
Table 1. Hasil Pileg Aceh
2009
Nama
Partai
|
Perolehan
Suara
|
Peringkat
Akhir
|
Jumlah
Kursi
|
Partai Aceh (39)
|
1.007.173 (46,91%)
|
1
|
33
|
Partai Daulat Aceh (36)
|
39.706 (1,85 %)
|
8
|
1
|
Partai Suara Independen Rakyat Aceh (37)
|
38.157 (1,78 %)
|
9
|
-
|
Parta Rakyat Aceh (38)
|
36.574 (1,70%)
|
13
|
-
|
Partai Bersatu Atjeh (40)
|
16.602 (0,77%)
|
20
|
-
|
Partai Aceh Aman Seujahtera (35)
|
11.117 (0,52%)
|
23
|
-
|
Sumber:
KIP Aceh 2009
Ketentuan
electoral threshold alias ambang
batas peserta pemilu akhirnya membatasi hak sejumlah partai politik lokal yang
berkiprah pada Pemilu Legislatif 2009-2014 untuk kembali mengikuti pertarungan
pada Pemilu Legislatif 2014-2019. Aturan yang mensyaratkan setiap partai
politik harus mendapatkan minimal lima persen suara pada pemilu sebelumnya agar
bisa kembali mengikuti ajang politik tahun selanjutnya mengakibatkan lima dari
enam partai harus rela untuk tidak ikut berkompetisi. Otomatis, hanya Partai
Aceh (PA) saja yang langsung berhak atas satu nomor undian pada periode kedua
ini. Kemudian, berdasarkan hasil verifikasi faktual dari penyelenggara pemilu
di Aceh pada tahun 2014, akhirnya memutuskan untuk meloloskan Partai Nasional
Aceh (PNA) dan Partai Damai Aceh menemani Partai Aceh (PA) untuk bersaing dalam
memperebutkan suara dari masyarakat Aceh. Pileg yang dilaksanakan pada tanggal
09 April 2014 ini total diikuti oleh 15 parlok dan parnas, dan memperebutkan 81
kursi DPRA. Berikut adalah hasil perolehan suara dan kursi dari tiga partai
politik lokal.
Table 2. Hasil Pileg Aceh
2014
Nama
Partai
|
Perolehan
Suara
|
Peringkat
Akhir
|
Jumlah
Kursi
|
Partai Aceh (13)
|
847.956 (35,34%)
|
1
|
29
|
Partai Nasional Aceh (12)
|
113.452 (4,73%)
|
8
|
3
|
Partai Damai Aceh (11)
|
72.721 (3,03%)
|
11
|
1
|
Sumber:
KIP Aceh 2014
Adapun
gelombang ketiga pesta politik lokal Aceh akan diselenggarakan pada 19 April
2019. Terdapat enam partai politik lokal yang mendaftarkan diri ke KIP, yaitu;
Partai Aceh (PA), Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA), Partai Daerah
Aceh (PDA), Partai Nanggroe Aceh (PNA), Partai Geuneurasi Aceh Beusaboh Tha’at
dan Taqwa (GABTHAT), dan Partai Gerakan Rakyat Aceh Mandiri (GRAM). Sayangnya,
dua nama terakhir harus kandas ditengah jalan karena tidak lolos verifikasi
faktual penyelenggara lokal. Jadi, Pemilu Legislatif Aceh periode 2019-2024
akan diikuti oleh sebanyak empat partai politik lokal, dan tidak lupa enam
belas partai politik nasional. Dalam menyongsong dan menyemarakkan Pemilu
Legislatif Aceh 2019, berikut saya tampilkan sekilas profil dan peta partai
politik lokal yang akan berkompetisi.
Partai Aceh (nomor urut
15)
Sejarahnya partai ini merupakan tranfromasi dari
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang akhirnya meninggalkan medan perang menuju meja
politik. Sebelum memprakarsakan diri dengan sebutan Partai Aceh, partai ini
sempat dua kali berganti nama, yaitu Partai Gerakan Aceh Merdeka dan Partai Gerakan
Aceh Mandiri. Ternyata, keinginan para founding
father untuk tetap mempertahankan akronim GAM pada tubuh partai mendapat
penolakan keras dari pemerintah pusat, akhirnya pada 22 April 2008 semua
sepakat untuk memakai nama Partai Aceh. Saat ini, partai yang lahir langsung dari
rahim MoU Helsinski antara GAM dengan pemerintah RI tahun pada 2005 silam ini bisa
dikatakan sebagai partai lokal tersukses dan terbesar di Aceh karena memiliki
basis dukungan masyarakat di hampir seluruh pesisir Aceh, hal ini bisa dilihat
dari hasil Pileg periode sebelumnya dimana setiap daerah pemilihan hampir
dikuasai penuh oleh partai yang dimotori oleh eks kombatan GAM ini.
- Tokoh kunci: Anwar Ramli, Kautsar, Tgk Muharuddin, Azhari, Ridwan Abubakar, Abdullah Saleh
- Dapil potensial: Dapil 2, Dapil 3, Dapil 5, Dapil 6, Dapil 7, Dapil 9, Dapil 10
Partai SIRA (nomor urut
16)
Merupakan alumni Pileg 2009 yang harus rela cuti
pada Pileg 2014 karena aturan electoral
threshold, kini kembali lagi dengan nama yang sama dengan bendera yang
sedikit berbeda. Pada dasarnya SIRA telah eksis jauh sebelum partai politik
lokal diperbolehkan di Aceh. Awalnya SIRA adalah singkatan dari Sentral
Informasi Referendum Aceh, yaitu sebuah wadah bagi para aktivis mahasiswa yang
mendukung dan mengkampanyekan kemerdekaan (referendum) Aceh pada awal masa
reformasi dan darurat militer di Aceh, dan barulah pada tahun 2007 kelompok
kepentingan ini akhirnya bertranformasi menjadi sebuah partai politik lokal. Pengalaman
masuk dalam top 10 peraih suara tertinggi pada Pileg 2009 menjadi modal awal
partai ini untuk kembali eksis di percaturan politik lokal di Aceh.
- Tokoh kunci: Muhammad Nazar
- Dapil potensial: Dapil 1 atau Dapil 2
Partai Daerah Aceh (Nomor
urut 17)
Partai lokal yang satu ini belum pernah absen
dalam tiap edisi pertarungan calon legislatif tingkat daerah, sama halnya
dengan Partai Aceh, tahun 2019 nanti akan menjadi yang ketiga kalinya
berpartisipasi. Uniknya, tiap periode pemilihan muncul dengan nama dan bendera
yang berbeda-beda namun tetap mempertahankan akronim yang sama yaitu PDA,
yaitu; Partai Daulat Aceh (2009), Partai Damai Aceh (2014), dan Partai Daerah
Aceh (2019). Hasilnya mereka berhasil mengamankan satu kursi DPRA tiap
periodenya, mungkin ini alasan mengapa partai yang didirikan oleh para ulama
Dayah (pesantren tradisional di Aceh) betah untuk sering gonta-ganti nama,
karena satu kursi di level propinsi sepertinya sudah jadi milik partai yang
memiliki basis suara dari santri dan tengku dayah se Aceh ini.
- Tokoh kunci: Tgk Muhibbussabri A. Wahab
- Dapil potensial: Dapil 1
Partai Nangroe Aceh (nomor
urut 18)
Sebagian tokoh penting dan eks kombatan GAM yang
tidak betah di PA berpindah haluan ke partai politik lain, bahkan kader-kader
terbaik partai yang merasa aspirasinya tidak tersalurkan dengan baik oleh PA akhirnya
melahirkan partai baru yang bernama Partai Nasional Aceh (PNA). Ikut
berpartisipasi pada Pileg 2014, partai besutan Irwandy Yusuf cs ini berbagi nasib
dengan PDA karena tidak mampu melewati ambang batas peserta pemilu, namun dalam
hal perolehan kursi sedikit lebih beruntung karena berhasil mengirimkan tiga
nama ke DPRA. Kemudian, demi mengikuti pergelarakan pesta politik 2019, partai
yang didirikan pada tahun 2012 ini harus rela berpindah atribut dan berganti
nama menjadi Partai Nanggroe Aceh.
- Tokoh kunci: Irwansyah, Zaini Yusuf
- Dapil potensial: Dapil 1, Dapil 3, Dapil 5
Paska
Pilgub Aceh 2017, peta percaturan politik di Aceh mengalami perubahan yang bisa
dibilang cukup signifikan. Jika sebelumnya banyak pengamat pemilu dan partai
politik meniscayakan Partai Aceh akan dengan mudah menggulingkan lawan-lawan
politiknya, maka opini yang berkembang sekarang meyakini bahwa partai pimpinan
Muzakir Manaf tersebut akan mengalami kesulitan untuk terus mendominasi peta
perpolitikan di Aceh. Pertama, melihat track
record keikutsertaan partai bercorak merah-hitam ini dalam kontes
legislatif dan eksekutif menunjukkan penurunan. Pilkada serentak tahun 2017 lalu
menjadi sinyal melemahnya hagemoni Partai Aceh, setengah dari 20 pasangan yang
diusung dan didukung oleh PA harus tumbang, angka tersebut sudah termasuk
Pilgub. Kemudian, sebelum kalah dalam Pilgub 2017, PA sudah duluan kehilangan
hampir 12% suara pada Pileg 2014, padahal pada keikutsertaan pertama mereka
pada Pileg 2009 hampir melahap 50% suara rakyat Aceh.
Beberapa
penyebab lain yang melatar belakangi trend
negatif yang sedang dialami oleh
Partai Aceh, diantaranya seperti konflik internal ditubuh partai yang
menyebabkan beberapa tokoh penting yang biasanya menjadi vote getter hengkang ke partai sebelah, contohnya eksodus beberapa
kader dan simpatisan ke PNA tahun 2014 lalu. Kemudian, terdapat banyak janji
politik yang belum ditunaikan, dan masyarakat juga sudah jengah dengan prilaku elit
Partai Aceh yang masih kerap melakukan serangkaian politik intimidasi. Lebih
lanjut, keberadaan PA diluar jajaran eksekutif sejak 2017 ternyata ikut
melemahkan ruang partisipasi mereka dalam ranah pengambilan kebijakan,
contohnya akses mereka terhadap anggaran yang hilang sejak dipergubkannya APBA
2018, hal ini tentu akan berpengaruh besar terhadap pendanaan pemenangan partai
pada Pileg 2019 nanti. Terakhir, fokus kader dalam memenangkan PA di level DPRA
sedang terpecah, melihat adanya wacana sejumlah ujung tombak partai seperti
Azhari Cage, Kautsar, dan Abdullah Saleh yang berkeinginan mencicipi kursi
DPR-RI melalui jalur partai nasional. Walaupun sedang berada diposisi yang
tidak mengenakkan, Partai Aceh akan tetap memimpin klasemen perebutan kursi
Pileg 2019, dengan kemungkinan akan kehilangan suara yang lebih-kurang 10% dari
suara pada Pileg edisi sebelumnya.
Bagi
lawan politiknya, ini merupakan momentum yang tepat untuk mencuri beberapa
kursi DPRA milik Partai Aceh. Partai nasional seperti Golkar, Demokrat, dan
Nasdem tentu berambisi untuk melampaui pencapaian pada periode sebelumnya,
yaitu minimal 10 kursi, sesuatu yang dirasa bukan hal yang mustahil. Sementara
itu, mission impossible untuk dapat berbicara
banyak pada Pileg 2019 dihadapi oleh PDA dan SIRA.
Secara
finansial dan nilai jual, PDA sedikit lebih beruntung karena memiliki akses
terhadap kekuasaan akibat tergabung dalam koalisi pemenangan Irwandy-Nova pada
Pilgub 2017 lalu. Tidak dengan SIRA yang cukup lama vakum dari persaingan
politik Aceh, hal ini secara tidak langsung bisa mempengaruhi antusiasme caleg
dan relawan untuk bergabung dalam pemenangan partai. Secara struktural dan
dukungan, PDA cukup kokoh karena memiliki basis dukungan dari ulama dan santri
Dayah se Aceh. Sementara itu, pondasi partai SIRA terlihat rapuh dimana pernah terjadi
dualisme akibat adanya perbedaan pandangan politik, bahkan tahun 2012 sempat
muncul Partai SIRA Perjuangan yang sekarang entah bagaimana kabarnya. Jika
dilihat persamaan, satu kesamaan antara keduanya adalah sama-sama mengalami krisis
tokoh dan sangat bergantung pada one-man
show dari Tgk Muhibbussabri A. Wahab (PDA) dan Muhammad Nazar (SIRA). Maka,
mendapatkan satu kursi saja pada Pileg 2019 nanti sepertinya merupakan sebuah
prestasi bagi kedua partai tersebut.
Sementara
itu, antusiasme tinggi sedang melanda segenap pengurus, kader, dan simpatisan
PNA. Keberhasilan mengantarkan Irwandy Yusuf ke kursi Aceh 1 diharapkan dapat
menular pada Pileg 2019 nanti. Namun lagi-lagi, krisis tokoh bisa menjadi batu
sandungan bagi partai yang identik dengan warna oranye ini. Stok tokoh melimpah
di Dapil 1 (Sabang-Banda Aceh-Aceh Besar), namun tidak dibarengi dengan Dapil
lainnya. Walaupun begitu, permasalahan ini sepertinya tidak terlalu besar
mengingat posisi PNA yang sedang menguasai eksekutif, sehingga factor bisa
menjadi magnet tersendiri untuk menggaet sejumlah tokoh untuk bertarung dibawah
payung PNA. Oleh karena itu, Irwandy effect
sangat diharapkan untuk kembali menciptakan keajaiban jilid 2 seperti yang
terjadi pada Pilgub 2017 lalu.
Masyarakat
pemilih semakin cerdas, peta politik bisa berubah, dan partai politik
diharapakan segera berbenah. Besar harapan agar Pileg 2019 nanti dapat berjalan
dengan aman dan damai tanpa ada konflik yang bergejolak, sehingga masyarakat
dapat memilih dengan tenang sesuai dengan pilihan hati bukan intimidasi. Kemudian,
partai politik agar bisa mengirimkan kader-kader terbaiknya yang memiliki visi
untuk mengabdi bukan mengharapkan gaji, sehingga nantinya komposisi anggota
dewan diisi oleh orang-orang yang berkualitas yang mampu mewakili suara dari
konstituennya dengan baik. Aammiinn..