Blognya Anak Kuliahan

Showing posts with label Partai Politik. Show all posts
Showing posts with label Partai Politik. Show all posts

Saturday, June 2, 2018

Profil dan Peta Partai Politik Lokal Peserta Pemilu Legislatif Tahun 2019 di Aceh

June 02, 2018 3
Kontestansi Pemilihan Umum (Pemilu) di Aceh selalu menjadi bahan yang menarik untuk disimak dan diperbincangkan, adalah keberadaan partai politik lokal yang menyebabkan mengapa Aceh selalu menjadi fokus pembicaraan para penggiat pemilu dan partai politik di ranah akademik maupun di forum diskusi warung kopi dan sebagainya.

Keikutsertaan partai politik lokal di Pemilu legislatif merupakan hak eksklusif yang hanya diberikan Pemerintah Indonesia untuk Propinsi Aceh, dan hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh. Hanya saja, partai politik lokal ini hanya boleh mengirimkan kader terbaiknya untuk mengemban amanah di level propinsi dan kabupaten/kota saja. Yaitu; DPRA dan DPRK untuk pemilihan legislatif, dan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota untuk pemilihan eksekutif.

Pemilu Legislatif tahun 2009-2014 merupakan titik awal kebangkitan euphoria politik masyarakat Aceh. Pada periode tersebut sebanyak sepuluh partai politik lokal mendaftarkan diri di kantor kementerian Hukum dan HAM Provinsi Aceh, dan hanya enam yang berhasil lolos proses verifikasi yang dilakukan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, yaitu; Partai Aceh (PA), Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA), Partai Bersatu Ajeh (PBA), Partai Daulat Aceh (PDA), Partai Rakyat Aceh (PRA), dan Partai Aceh Aman Seujahtera (PAAS). Pileg yang dilaksanakan pada tanggal 09 April 2009 ini total diikuti oleh 44 parlok dan parnas, dan mereka bertarung memperebutkan 69 kursi DPRA. Berikut adalah hasil perolehan suara dan kursi dari enam partai politik lokal.
Table 1. Hasil Pileg Aceh 2009
Nama Partai
Perolehan Suara
Peringkat Akhir
Jumlah Kursi
Partai Aceh (39)
1.007.173 (46,91%)
1
33
Partai Daulat Aceh (36)
39.706 (1,85 %)
8
1
Partai Suara Independen Rakyat Aceh (37)
38.157 (1,78 %)
9
-
Parta Rakyat Aceh (38)
36.574 (1,70%)
13
-
Partai Bersatu Atjeh (40)
16.602 (0,77%)
20
-
Partai Aceh Aman Seujahtera (35)
11.117 (0,52%)
23
-
Sumber: KIP Aceh 2009
Ketentuan electoral threshold alias ambang batas peserta pemilu akhirnya membatasi hak sejumlah partai politik lokal yang berkiprah pada Pemilu Legislatif 2009-2014 untuk kembali mengikuti pertarungan pada Pemilu Legislatif 2014-2019. Aturan yang mensyaratkan setiap partai politik harus mendapatkan minimal lima persen suara pada pemilu sebelumnya agar bisa kembali mengikuti ajang politik tahun selanjutnya mengakibatkan lima dari enam partai harus rela untuk tidak ikut berkompetisi. Otomatis, hanya Partai Aceh (PA) saja yang langsung berhak atas satu nomor undian pada periode kedua ini. Kemudian, berdasarkan hasil verifikasi faktual dari penyelenggara pemilu di Aceh pada tahun 2014, akhirnya memutuskan untuk meloloskan Partai Nasional Aceh (PNA) dan Partai Damai Aceh menemani Partai Aceh (PA) untuk bersaing dalam memperebutkan suara dari masyarakat Aceh. Pileg yang dilaksanakan pada tanggal 09 April 2014 ini total diikuti oleh 15 parlok dan parnas, dan memperebutkan 81 kursi DPRA. Berikut adalah hasil perolehan suara dan kursi dari tiga partai politik lokal.
Table 2. Hasil Pileg Aceh 2014
Nama Partai
Perolehan Suara
Peringkat Akhir
Jumlah Kursi
Partai Aceh (13)
847.956 (35,34%)
1
29
Partai Nasional Aceh (12)
113.452 (4,73%)
8
3
Partai Damai Aceh (11)
72.721 (3,03%)
11
1
Sumber: KIP Aceh 2014

Adapun gelombang ketiga pesta politik lokal Aceh akan diselenggarakan pada 19 April 2019. Terdapat enam partai politik lokal yang mendaftarkan diri ke KIP, yaitu; Partai Aceh (PA), Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA), Partai Daerah Aceh (PDA), Partai Nanggroe Aceh (PNA), Partai Geuneurasi Aceh Beusaboh Tha’at dan Taqwa (GABTHAT), dan Partai Gerakan Rakyat Aceh Mandiri (GRAM). Sayangnya, dua nama terakhir harus kandas ditengah jalan karena tidak lolos verifikasi faktual penyelenggara lokal. Jadi, Pemilu Legislatif Aceh periode 2019-2024 akan diikuti oleh sebanyak empat partai politik lokal, dan tidak lupa enam belas partai politik nasional. Dalam menyongsong dan menyemarakkan Pemilu Legislatif Aceh 2019, berikut saya tampilkan sekilas profil dan peta partai politik lokal yang akan berkompetisi. 

Partai Aceh (nomor urut 15)
Sejarahnya partai ini merupakan tranfromasi dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang akhirnya meninggalkan medan perang menuju meja politik. Sebelum memprakarsakan diri dengan sebutan Partai Aceh, partai ini sempat dua kali berganti nama, yaitu Partai Gerakan Aceh Merdeka dan Partai Gerakan Aceh Mandiri. Ternyata, keinginan para founding father untuk tetap mempertahankan akronim GAM pada tubuh partai mendapat penolakan keras dari pemerintah pusat, akhirnya pada 22 April 2008 semua sepakat untuk memakai nama Partai Aceh. Saat ini, partai yang lahir langsung dari rahim MoU Helsinski antara GAM dengan pemerintah RI tahun pada 2005 silam ini bisa dikatakan sebagai partai lokal tersukses dan terbesar di Aceh karena memiliki basis dukungan masyarakat di hampir seluruh pesisir Aceh, hal ini bisa dilihat dari hasil Pileg periode sebelumnya dimana setiap daerah pemilihan hampir dikuasai penuh oleh partai yang dimotori oleh eks kombatan GAM ini.
  • Tokoh kunci: Anwar Ramli, Kautsar, Tgk Muharuddin, Azhari, Ridwan Abubakar, Abdullah Saleh
  • Dapil potensial: Dapil 2, Dapil 3, Dapil 5, Dapil 6, Dapil 7, Dapil 9, Dapil 10 

Partai SIRA (nomor urut 16)
Merupakan alumni Pileg 2009 yang harus rela cuti pada Pileg 2014 karena aturan electoral threshold, kini kembali lagi dengan nama yang sama dengan bendera yang sedikit berbeda. Pada dasarnya SIRA telah eksis jauh sebelum partai politik lokal diperbolehkan di Aceh. Awalnya SIRA adalah singkatan dari Sentral Informasi Referendum Aceh, yaitu sebuah wadah bagi para aktivis mahasiswa yang mendukung dan mengkampanyekan kemerdekaan (referendum) Aceh pada awal masa reformasi dan darurat militer di Aceh, dan barulah pada tahun 2007 kelompok kepentingan ini akhirnya bertranformasi menjadi sebuah partai politik lokal. Pengalaman masuk dalam top 10 peraih suara tertinggi pada Pileg 2009 menjadi modal awal partai ini untuk kembali eksis di percaturan politik lokal di Aceh.
  • Tokoh kunci: Muhammad Nazar
  • Dapil potensial: Dapil 1 atau Dapil 2 

Partai Daerah Aceh (Nomor urut 17)
Partai lokal yang satu ini belum pernah absen dalam tiap edisi pertarungan calon legislatif tingkat daerah, sama halnya dengan Partai Aceh, tahun 2019 nanti akan menjadi yang ketiga kalinya berpartisipasi. Uniknya, tiap periode pemilihan muncul dengan nama dan bendera yang berbeda-beda namun tetap mempertahankan akronim yang sama yaitu PDA, yaitu; Partai Daulat Aceh (2009), Partai Damai Aceh (2014), dan Partai Daerah Aceh (2019). Hasilnya mereka berhasil mengamankan satu kursi DPRA tiap periodenya, mungkin ini alasan mengapa partai yang didirikan oleh para ulama Dayah (pesantren tradisional di Aceh) betah untuk sering gonta-ganti nama, karena satu kursi di level propinsi sepertinya sudah jadi milik partai yang memiliki basis suara dari santri dan tengku dayah se Aceh ini.
  • Tokoh kunci: Tgk Muhibbussabri A. Wahab
  • Dapil potensial: Dapil 1 

Partai Nangroe Aceh (nomor urut 18)
Sebagian tokoh penting dan eks kombatan GAM yang tidak betah di PA berpindah haluan ke partai politik lain, bahkan kader-kader terbaik partai yang merasa aspirasinya tidak tersalurkan dengan baik oleh PA akhirnya melahirkan partai baru yang bernama Partai Nasional Aceh (PNA). Ikut berpartisipasi pada Pileg 2014, partai besutan Irwandy Yusuf cs ini berbagi nasib dengan PDA karena tidak mampu melewati ambang batas peserta pemilu, namun dalam hal perolehan kursi sedikit lebih beruntung karena berhasil mengirimkan tiga nama ke DPRA. Kemudian, demi mengikuti pergelarakan pesta politik 2019, partai yang didirikan pada tahun 2012 ini harus rela berpindah atribut dan berganti nama menjadi Partai Nanggroe Aceh.
  • Tokoh kunci: Irwansyah, Zaini Yusuf
  • Dapil potensial: Dapil 1, Dapil 3, Dapil 5 

Paska Pilgub Aceh 2017, peta percaturan politik di Aceh mengalami perubahan yang bisa dibilang cukup signifikan. Jika sebelumnya banyak pengamat pemilu dan partai politik meniscayakan Partai Aceh akan dengan mudah menggulingkan lawan-lawan politiknya, maka opini yang berkembang sekarang meyakini bahwa partai pimpinan Muzakir Manaf tersebut akan mengalami kesulitan untuk terus mendominasi peta perpolitikan di Aceh. Pertama, melihat track record keikutsertaan partai bercorak merah-hitam ini dalam kontes legislatif dan eksekutif menunjukkan penurunan. Pilkada serentak tahun 2017 lalu menjadi sinyal melemahnya hagemoni Partai Aceh, setengah dari 20 pasangan yang diusung dan didukung oleh PA harus tumbang, angka tersebut sudah termasuk Pilgub. Kemudian, sebelum kalah dalam Pilgub 2017, PA sudah duluan kehilangan hampir 12% suara pada Pileg 2014, padahal pada keikutsertaan pertama mereka pada Pileg 2009 hampir melahap 50% suara rakyat Aceh.

Beberapa penyebab lain yang melatar belakangi trend negatif yang sedang dialami oleh Partai Aceh, diantaranya seperti konflik internal ditubuh partai yang menyebabkan beberapa tokoh penting yang biasanya menjadi vote getter hengkang ke partai sebelah, contohnya eksodus beberapa kader dan simpatisan ke PNA tahun 2014 lalu. Kemudian, terdapat banyak janji politik yang belum ditunaikan, dan masyarakat juga sudah jengah dengan prilaku elit Partai Aceh yang masih kerap melakukan serangkaian politik intimidasi. Lebih lanjut, keberadaan PA diluar jajaran eksekutif sejak 2017 ternyata ikut melemahkan ruang partisipasi mereka dalam ranah pengambilan kebijakan, contohnya akses mereka terhadap anggaran yang hilang sejak dipergubkannya APBA 2018, hal ini tentu akan berpengaruh besar terhadap pendanaan pemenangan partai pada Pileg 2019 nanti. Terakhir, fokus kader dalam memenangkan PA di level DPRA sedang terpecah, melihat adanya wacana sejumlah ujung tombak partai seperti Azhari Cage, Kautsar, dan Abdullah Saleh yang berkeinginan mencicipi kursi DPR-RI melalui jalur partai nasional. Walaupun sedang berada diposisi yang tidak mengenakkan, Partai Aceh akan tetap memimpin klasemen perebutan kursi Pileg 2019, dengan kemungkinan akan kehilangan suara yang lebih-kurang 10% dari suara pada Pileg edisi sebelumnya.

Bagi lawan politiknya, ini merupakan momentum yang tepat untuk mencuri beberapa kursi DPRA milik Partai Aceh. Partai nasional seperti Golkar, Demokrat, dan Nasdem tentu berambisi untuk melampaui pencapaian pada periode sebelumnya, yaitu minimal 10 kursi, sesuatu yang dirasa bukan hal yang mustahil. Sementara itu, mission impossible untuk dapat berbicara banyak pada Pileg 2019 dihadapi oleh PDA dan SIRA.

Secara finansial dan nilai jual, PDA sedikit lebih beruntung karena memiliki akses terhadap kekuasaan akibat tergabung dalam koalisi pemenangan Irwandy-Nova pada Pilgub 2017 lalu. Tidak dengan SIRA yang cukup lama vakum dari persaingan politik Aceh, hal ini secara tidak langsung bisa mempengaruhi antusiasme caleg dan relawan untuk bergabung dalam pemenangan partai. Secara struktural dan dukungan, PDA cukup kokoh karena memiliki basis dukungan dari ulama dan santri Dayah se Aceh. Sementara itu, pondasi partai SIRA terlihat rapuh dimana pernah terjadi dualisme akibat adanya perbedaan pandangan politik, bahkan tahun 2012 sempat muncul Partai SIRA Perjuangan yang sekarang entah bagaimana kabarnya. Jika dilihat persamaan, satu kesamaan antara keduanya adalah sama-sama mengalami krisis tokoh dan sangat bergantung pada one-man show dari Tgk Muhibbussabri A. Wahab (PDA) dan Muhammad Nazar (SIRA). Maka, mendapatkan satu kursi saja pada Pileg 2019 nanti sepertinya merupakan sebuah prestasi bagi kedua partai tersebut.

Sementara itu, antusiasme tinggi sedang melanda segenap pengurus, kader, dan simpatisan PNA. Keberhasilan mengantarkan Irwandy Yusuf ke kursi Aceh 1 diharapkan dapat menular pada Pileg 2019 nanti. Namun lagi-lagi, krisis tokoh bisa menjadi batu sandungan bagi partai yang identik dengan warna oranye ini. Stok tokoh melimpah di Dapil 1 (Sabang-Banda Aceh-Aceh Besar), namun tidak dibarengi dengan Dapil lainnya. Walaupun begitu, permasalahan ini sepertinya tidak terlalu besar mengingat posisi PNA yang sedang menguasai eksekutif, sehingga factor bisa menjadi magnet tersendiri untuk menggaet sejumlah tokoh untuk bertarung dibawah payung PNA. Oleh karena itu, Irwandy effect sangat diharapkan untuk kembali menciptakan keajaiban jilid 2 seperti yang terjadi pada Pilgub 2017 lalu.

Masyarakat pemilih semakin cerdas, peta politik bisa berubah, dan partai politik diharapakan segera berbenah. Besar harapan agar Pileg 2019 nanti dapat berjalan dengan aman dan damai tanpa ada konflik yang bergejolak, sehingga masyarakat dapat memilih dengan tenang sesuai dengan pilihan hati bukan intimidasi. Kemudian, partai politik agar bisa mengirimkan kader-kader terbaiknya yang memiliki visi untuk mengabdi bukan mengharapkan gaji, sehingga nantinya komposisi anggota dewan diisi oleh orang-orang yang berkualitas yang mampu mewakili suara dari konstituennya dengan baik. Aammiinn..

Tuesday, September 10, 2013

Sejarah Pemilu Indonesia ; Pemilu Tahun 2009

September 10, 2013 0
Pemilihan Umum tahun 2009 merupakan masa akhir elit lama, berseminya elit baru. Menyongsong pemilu 2009, DPR melakukan perubahan regulasi yang terkait dengan penyelenggaraan pemilu. Perubahan itu dimaksudkan untuk dapat menjawab persoalan-persoalan mendasar yang muncul dalam pemilu sebelumnya. Beberapa persolan yang muncul dalam sistem pemilu sebelumnya diantaranya berupa representasi wakil rakyat, proporsionalitas nilai kursi, pembentukan kepartaian yang efektif, dan sebagainya, berusaha diatasi.

Terkait dengan masa depan politik Indonesia, pemilu 2009 oleh banyak kalangan diyakini sebagai fase transisi elit politik lama ke elit politik baru. Generasi politik yang dibentuk dan dibesarkan pada masa penghujung kekuasaan Orde Baru dan era reformasi. Pada masa ini, elit politik lama akan berusaha memaksimalkan karir politiknya pada pemilu 2009. Mereka yang belum mengenyam jabatan-jabatan strategis pemerintahan, seperti menteri, ketua DPR dan MPR, serta jabatan presiden dan wakil presiden akan berusaha direbut dengan usaha yang maksimal. Sembari itu, elit politik lama juga berusaha melakukan regenerasi pengaruh pada generasi politik berikutnya. salah satu caranya adalah dengan menempatkan mereka yang masih memiliki hubungan darah ke dalam seleksi kandidat anggota legislatif. Dengan kata lain sebelum generasi elit politik lama berakhir, mereka itu berusaha membentuk dinasti atau klan politik berbasis hubungan darah.

Sementara itu, generasi politik baru juga berusaha muncul ke permukaan. Mereka secara maksimal juga berusaha dapat masuk dalam sistem politik melalui pemilu ini. Generasi politik yang lahir pada penghujung kekuasaan Orde Baru dan Reformasi berusaha mendapatkan tempat yang strategis dalam struktur partai dan daftar calon anggota legislatif. Mereka menyebar dan berlomba-lomba dalam banyak partai untuk memastikan mereka mendapat tempat dalam kompetisi itu.

Beberapa Catatan Menuju Pemilu 2009
Dalam proses menuju pemilu 2009 terdapat dinamika politik yang perlu menjadi catatan. Dinamika itu terutama terkait dengan KPU dan partai politik. Adapun beberapa dinamika itu adalah sebagai berikut. Pertama, terjadinya delegitimasi pemilu. Delegitimasi itu muncul pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan otomatisasi partai-partai yang tidak lolos electoral threshod (ET) tetapi mendapatkan kursi di DPR untuk menjadi peserta pemilu 2009. Terdapat sembilan partai yang masuk dalam katagori ini, yaitu PKPB, PKPI, PNI-Marhaenisme, PPDI, PPDK, PP, PS, PBR, dan PBB. Terhadap partai-partai tersebut, KPU seharusnya melakukan verifikasi keabsahan keikutsertaannya dalam pemilu. Bukannya melakukan verifikasi, KPU justru mengikutsertakan partai-partai peserta pemilu 2009, yaitu Partai Merdeka,PNUI, PSI, dan Partai Buruh. Dengan demikian, dalam pemilu 2009 terdapat peserta selundupan, dan itu menjadikan pemilu mengalami delegitimasi karena diikuti oleh partai yang tidak melalui proses verifikasi padahal waktu untuk melakukan hal itu masih tersedia. Prinsip fairness telah ditabrak oleh KPU.

Kedua, adanya dulisme penetapan calon jadi, yaitu antara sistem nomor urut bersyarat vs sistem suara terbanyak. Dalam penetapan calon terpilih, Undang-undang pemilu memakai prinsip ini, sebuah partai yang mendapatkan kursi maka penetapan calon terpilih diberikan kepada mereka yang berda di nomor urut kecil atau atas dengan syarat mereka mendapatkan sura 30% BPP lebih banyak daripada perolehan kursi partai maka penetapan calon terpilih berdasarkan nomor urut. Pengecualian diberikan kepada mereka yang mendapatkan 100% dari BPP. Kepada yang mendapatkan 100% BPP maka secara otomatis ditetapkan sebagai calon terpilih meskipun berada di nomor urut besar.

Ditengah perjalanan ketika penominasian kandidat sedang dilakukan, beberapa partai politik menyatakan diri tidak akan memakai sistem seperti yang diatur dalam Undang-undang Pemilu. Bebnerapa partai seperti PAN, Golkar, PBR, dan PD berencana memakai sistem suara terbanyak dalam menetapkan calon jadi/terpilih. Sementara itu, partai-partai lain seperti seperti PDIP, PKS dan PPP tetap akan menggunakan sistem nomor urut bersyarat. Sistem suara terbanyak dipakai terutama untuk meminimalisasi konflik internal partai dalam penyusunan daftar calon legislatif dan untuk menggerakkan mesin partai mendapatkan suara pemilih sebanyak-banyaknya.

Ketiga, menjamurnya calon anggota legislatif dari kalangan artis dan kerabat elit politik. Dalam rangka meraih suara sebanyak-banyaknya, banyak partai memunculkan artis dalam daftar calon anggota legislatif. Dengan modal popularitas yang mereka miliki, para artis itu dianggap mampu menarik suara pemilih. Selain itu, partai politik juga menempatkan calon-calon yang memiliki hubungan darah dengan elit politik yang saat ini sedang berkuasa di pemerintahan maupun partai.

Keikutsertaan partai lokal dalam pemilu legislatif di tingkat lokal. Keikutsertaan partai lokal ini hanya terjadi di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Terdapat 6 (enam) partai lokal yang ikut dalam pemilu, yaitu partai Aceh, Partai Aceh Aman Sejahtera, Partai Bersatu Aceh, Partai Daulat Aceh, Partai Rakyat Aceh, dan Partai Suara Independen Rakyat Aceh (Partai SIRA). Dalam daftar nomor urut partai di kertas suara, partai lokal tersebut masing-masing secara berurutan menempati nomor urut 35, 36, 37, 38, 39 dan 40.

Jumlah pemilih pada pemilu 2009 mencapai 170.022.239 orang, tersebar di 33 provinsi. Penentuan pemilih didasarkan pada verivikasi KPU terhadap data kependudukan yang disediakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Mereka yang berhak menjadi pemilih adalah (1) Warga Negara Indonesia, (2) Pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin. Untuk menggunakan hak memilih, Warga Negara Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih. Sistem pendaftaran pemilih adalah campuran stelsel pasif dan aktif. Mereka didaftar oleh KPU berdasarkan prinsip de jure.

Pada pemilu ini peserta pemilu tergantung pada jenis pemilunya. Untuk Pemilu DPR/D pesertanya adalah parati politik sedangkan pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan. Sementara itu pada pemilu presiden dan wakil presiden pesertanya adalah pasangan calon yang mendapatkan dukungan dalam jumlah tertentu dari partai politik.

Peserta Pemilu DPR
Pada tingkat nasional, peserta pemilu 2009 berjumlah 38 partai politik. dari jumlah tersebut, secara katagoris dapat diklasifikasikan sebagai berikut. Pertama, partai-partai yang lolos electoral threshold sebesar 2% kursi DPR dalam pemilu sebelumnya. Pada katagori ini, terdapat 7 partai yang lolos electoral threshold yaitu Golkar, PDIP, PPP, PKB, PAN, PD, dan PKS.

Kedua, partai-partai baru berdiri dan lolos berdasarkan syarat-syarat keikutsertaan dalam pemilu. Syarat keikutsertaan dalam pemilu itu meliputi: (a) memiliki kepengurusan di 2/3 jumlah provinsi, dan memiliki kepengurusan di 2/3(dua pertiga) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan, (b) memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 orang atau 1/1.000 dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan partai politik, (c) sebagai bagian dari affirmative action gerakan perempuan, partai politik juga harus menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat, (d) paratai harus mempunyai kantor tetap untuk setiap level kepengurusan serta mengajukan nama dan tanda gambar partai kepada KPU. Masuk dalam katagori ini terdapat 27 partai.

Kelompok partai yang pada pemilu 2004 mendapatkan kursi di DPR tetapi perolehan kursinya tidak mencapai electoral threshold 2%. Terdapat 10 partai yang masuk dalam katagori ini. Terakhir, kelompok partai dari peserta pemilu 2004 yang tidak lolos electoral threshold dan tidak mendapatkan kursi di DPR, terdapat 4 partai dalam katagori ini, yaitu Partai Merdeka, Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia, Partai Serikat Indonesia, dan Partai Buruh. Kelompok partai ini dapat menjadi peserta pemilu 2009 karena gugatan mereka atas ketidak adilan dari pasal 316 huruf d dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Atas putusan MK tersebut, KPU tanpa melakukan verivikasi keabsahan syarat-syarat ikut serta dalam pemilu 2009 mengesahkan mereka menjadi peserta pemilu 2009.

Hasil Pemilu Legislatif
Berikut adalah hasil Pemilu Anggota DPR 2009, masing-masing untuk perolehan suara dan jumlah kursi di DPR.
No.
Partai
Jumlah suara
Persentase suara
Jumlah kursi
Persentase kursi
Status PT*
1
Partai Hati Nurani Rakyat
3.922.870
3,77%
18
3,21%
Lolos
2
Partai Karya Peduli Bangsa
1.461.182
1,40%
0
0,00%
Tidak lolos
3
Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia
745.625
0,72%
0
0,00%
Tidak lolos
4
Partai Peduli Rakyat Nasional
1.260.794
1,21%
0
0,00%
Tidak lolos
5
Partai Gerakan Indonesia Raya
4.646.406
4,46%
26
4,64%
Lolos
6
Partai Barisan Nasional
761.086
0,73%
0
0,00%
Tidak lolos
7
Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia
934.892
0,90%
0
0,00%
Tidak lolos
8
Partai Keadilan Sejahtera
8.206.955
7,88%
57
10,18%
Lolos
9
Partai Amanat Nasional
6.254.580
6,01%
43
7,68%
Lolos
10
Partai Perjuangan Indonesia Baru
197.371
0,19%
0
0,00%
Tidak lolos
11
Partai Kedaulatan
437.121
0,42%
0
0,00%
Tidak lolos
12
Partai Persatuan Daerah
550.581
0,53%
0
0,00%
Tidak lolos
13
Partai Kebangkitan Bangsa
5.146.122
4,94%
27
4.82%
Lolos
14
Partai Pemuda Indonesia
414.043
0,40%
0
0,00%
Tidak lolos
15
Partai Nasional Indonesia Marhaenisme
316.752
0,30%
0
0,00%
Tidak lolos
16
Partai Demokrasi Pembaruan
896.660
0,86%
0
0,00%
Tidak lolos
17
Partai Karya Perjuangan
351.440
0,34%
0
0,00%
Tidak lolos
18
Partai Matahari Bangsa
414.750
0,40%
0
0,00%
Tidak lolos
19
Partai Penegak Demokrasi Indonesia
137.727
0,13%
0
0,00%
Tidak lolos
20
Partai Demokrasi Kebangsaan
671.244
0,64%
0
0,00%
Tidak lolos
21
Partai Republika Nusantara
630.780
0,61%
0
0,00%
Tidak lolos
22
Partai Pelopor
342.914
0,33%
0
0,00%
Tidak lolos
23
Partai Golongan Karya
15.037.757
14,45%
107
19,11%
Lolos
24
Partai Persatuan Pembangunan
5.533.214
5,32%
37
6,61%
Lolos
25
Partai Damai Sejahtera
1.541.592
1,48%
0
0,00%
Tidak lolos
26
Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia
468.696
0,45%
0
0,00%
Tidak lolos
27
Partai Bulan Bintang
1.864.752
1,79%
0
0,00%
Tidak lolos
28
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
14.600.091
14,03%
95
16,96%
Lolos
29
Partai Bintang Reformasi
1.264.333
1,21%
0
0,00%
Tidak lolos
30
Partai Patriot
547.351
0,53%
0
0,00%
Tidak lolos
31
Partai Demokrat
21.703.137
20,85%
150
26,79%
Lolos
32
Partai Kasih Demokrasi Indonesia
324.553
0,31%
0
0,00%
Tidak lolos
33
Partai Indonesia Sejahtera
320.665
0,31%
0
0,00%
Tidak lolos
34
Partai Kebangkitan Nasional Ulama
1.527.593
1,47%
0
0,00%
Tidak lolos
41
Partai Merdeka
111.623
0,11%
0
0,00%
Tidak lolos
42
Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia
146.779
0,14%
0
0,00%
Tidak lolos
43
Partai Sarikat Indonesia
140.551
0,14%
0
0,00%
Tidak lolos
44
Partai Buruh
265.203
0,25%
0
0,00%
Tidak lolos
Jumlah
104.099.785
100,00%
560
100,00%
 *) Karena adanya penerapan parliamentary threshold (PT), partai politik yang memperoleh suara dengan persentase kurang dari 2,50% tidak berhak memperoleh kursi di DPR.

Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2009 (biasa disingkat Pilpres 2009) diselenggarakan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden Indonesia periode 2009-2014. Pemungutan suara diselenggarakan pada 8 Juli 2009. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono berhasil menjadi pemenang dalam satu putaran langsung dengan memperoleh suara 60,80%, mengalahkan pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto. Berikut hasil Pilpres 2009 :
No.
Pasangan Calon
Jumlah Suara
Persentase Suara
1.
Megawati Soekarnoputri - Prabowo Subianto
32.548.105
26,79%
2.
Susilo Bambang Yudhoyono - Boediono
73.874.562
60,80%
3.
Muhammad Jusuf Kalla - Wiranto
15.081.814
12,41%
Jumlah
121.504.481
100,00%


Sumber : id.wikipedia.org dan kepustakaan-presiden.pnri.go.id