Pegertian
koalisi dan aliansi di dalam Islam sepadan dengan istilah at-tahaluf
as-siyasi yang artinya secara etimologi
dari kata al-hilfu yakni al-‘ahdu yaitu perjanjian dan sumpah, selanjutnya
disebut at-tahaluf. Dalam hadits Nabi Shalallahu ‘allaihi wa sallam disebutkan
:
Anas
berkata, “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukan perjanjian
(mempersekutukan) antara Quraisy dan al-Anshar di rumahnya di Madinah.” (HR
Muslim: bab muakhookh: 16/82)
Lebih
jauh Ibu al-Atsir mengatakan bahwa pada dasarnya tahaluf adalah saling mengikat
dan saling berjanji dalam tolong menolong, bantu membantu dan kesepakatan.
(Ibnu Katsir: Nihayah fi Gharibil Hadits; I/424)
Hukum Tahaluf Siyasi
“Dan
orang-orang yang beriman lelaki dan perempuan sebahagian mereka adalah menjadi
penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang ma’ruf
mencegah yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat
kepada Allah dan Rasul-Nya. ‘ (Qs.
At-Taubah 71)
“Darah
kaum muslimin satu dengan yang lain adalah sederajat. Yang lemah di antara
mereka dapat member jaminan (kepada yang lain). Yang jauh di antara mereka
dapat melindungi yang lainnya dan mereka adalah tangan atas kaum muslimin yang
lain.”(HR Abu Dawud: 3/183-185)
Dari
paparan diatas dapat disimpulkan bahwa bentuk tahaluf adakalanya sesame muslim
(ideologis), ada yang lintas agama sebagaimana dilakukan nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam dengan kaum yahudi di Madinah dan dukungannya terhadap hilful
fudhul.
Tahaluf
yang pertama ini selanjutnya disebut tahaluf ideologis hanya dapat dilakukan
dengan kelompok atau orang yang memiliki ideology dan agama yang sama dalam
berbagai persoalan dari yang paling prinsip hingga yang paling sederhana
sepanjang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam.
Sedangkan
bentuk tahaluf yang kedua adalah bertujuan untuk menegakkan kebenaran dan
keadilan, memerangi kezhaliman serta kemaslahatan kaum muslimin. Oleh karena
itu imam Syafi’I menegaskan bahwa yang menjadi ukuran dalam boleh dan tidaknya
tahaluf dengan non muslim adalah kemaslahatan umat (lihat Mughni al-Mahtaj;
4/221). Dalam hal ini imam Ibnu Taimiyah juga sepakat bahwa pemberlakuan
tahaluf tidak harus bertendensi kepada ideology melainkan kepada maslahat umat
agar tidak di luar koridor, maka ia memberikan batasan sepanjang tidak
bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam :
Rassulullah
Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Barang siapa membuat persyaratan
(perjanjian) yang tidak sesuai dengan kitab Allah, maka syarat tersebut batal
walaupun mengajukan 100 persyaratan, karena syarat Allah lebih benar dan lebih
kuat” (HR Bukhari; kitabul Buyu’) (Lihat Ibnu Taimiyah; al-Majmu’ al-Fatawa
35/92-97).
Sumber
: Dr. H. Salim Segaf Al Jufri, M.A. Fatwa-Fatwa Dewan Syariah (Jakarta: ROBBANI
PRESS, 2005), hlm 191-197.
Maaf, bukannya yang dimaksud kerja sama disini adalah tentang kerja sama namun untuk hal selain pemerintahan yah? Soalnya ada dalil yang melarang untuk itu, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin( mu). Sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Ma’idah : 51)
ReplyDeletesepakat sama akhi farid,
ReplyDeletememang sudah jelas dlam al-quran tidak membenarkan kita untuk mengangkat non-muslim sebagai pemimpin, dan saya juga pernah mendengar (lupa sumbernya), bahwa lebih baik mengangkat seorang pemimpin yg islam tapi zalim, daripada baik tapi non-muslim.
Namun, koalisi itu hanya sebatas kerjasama dengan tujuan untuk kemaslahatan ummat :)