Dinamika kehidupan bernegara terkadang tidak selalu berjalan
sesuai dengan apa yang dicita-citakan. Hal ini
karena perbedaan pendapat dan kepentingan berbagai pihak bertemu dalam
satu wadah dan saling berebut pengaruhnya. Negara haruslah menjadi penengah
jika terjadi konflik antar warga negaranya. Tapi pertanyaannya bagaimana jika
terjadi konflik antara rakyat dan Negara? Kekerasan Negara terhadap rakyatnya.
Menurut Profesor Henk Schulte Nordholt, dalam sejarah
Indonesia, intensitas kekerasan meningkat pada masa peralihan kekuasaan, ketika
negara memperkuat kekuasaan, juga pada masa ekonomi yang suram. Hal itulah yang
terjadi dari awal sampai akhir orde baru. Bahkan era pasca reformasipun masih
ada kejadian-kejadian serupa, peristiwa
terakhir yaitu kejadian Mesuji dan Bima dan ini karena tipe dan gaya
kepemimpinan yang diterapkan oleh pemimpin negaranya yang lemah.
Kasus Mesuji yang dilatarbelakangi sengketa lahan dan pihak
pemodal perkebunan dan masyarakat. Masalahnya sudah jelas terlihat pengelolaan
bisnis sawit yang tidak jujur dan merugikan masyarakat. Bisnis yang dilakukan
adalah kerja sama Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang dilakukan sejak 1997 dengan
PT Treekreasi Margamulya (TM/Sumber Wangi Alam). Masalah semakin meruncing
karena keterlibatan polisi Brimob yang melakukan pengamanan dengan cara-cara
kekerasan kepada warga sekitar
Peristiwa Bima pun tidak berbeda jauh keterlibatan aparat
negara yang memicu konflik, laporan warga kabupaten Bima yang mengeluhkan
berdirinya tambang awal 2011 di daerah mereka yang mengganggu pertanian, air
bersih dan ternak warga sekitar tambang. Perijinan pendirian tambangpun
bermasalah karena tidak mengantongi analisa dampak lingkungan (AMDAL).
Penolakan dari wargapun tak digubris dan terus dibiarkan berlarut-larut.
Padahal warga telah melaporkan dan sudah ada pengaduan aparat terkait. Tapi
aktifitas PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) masih tetap berjalan.
Kedekatan Pemerintah dengan Pemilik Modal
Ada apa dengan kebijakan penempatan Polisi Brimob dilokasi
perusahaan-perusahaan yang rawan konflik agrarian, ini menjadi pertanyaan
besar. Terlihat jelas dekatnya hubungan antara POLRI atau pemerintah dengan
pihak pemodal. POLRI yang seharusnnya mengamankan dan membela hak rakyat
berbalik fungsinya, rasa aman yang diharap tembakan peluru, tendangan dan
pukulan yang didapat.
Ada beberapa hal yang bisa kita lihat dalam beberapa konflik
terakhir, pertama bahwa konflik itu bukanlah konflik baru akan tetapi sudah
cukup dan baru mencuat kepermukaan sekarang, ibarat fenomena gunung es.
Lambannya birokrasi dan keberpihakan terhadap pemodal, selain itu pembangunan
infrastruktur yang tidak merata, korupsi yang sudah menjalar disemua instansi
dan penegakan hukum yang masih carut marut.
Presiden sebagai pemimpin negara dalam berbagai pidatonya
yang menekankan pro rakyat, penegakkan hukum, pemberantasan korupsi ternyata
hanya retorika semata. Gaya kepemimpinan yang dimunculkan SBY cenderung pada
laizes feier atau permisif, ini terlihat dari belum adanya tindakan tegas atau
pernyataan tegas dari Sby menyikapi semua kejadi konflik dimana rakyat dan
aparat saling berhadapan.
Bentuk ketidaktegasan dan pembiaran terhadap kekerasan yang
terjadi merupakan bentuk kejahatan negara. Ini termaktub dalam amanah pembukaan
UUD 1945 alenia 4 melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, sekarang jika negara melalui
pemerintah ternyata belum mampu memberikan rasa aman bagi rakyatnya sendiri dan
salah satu tujuan utama dari berdirinya Negara republik Indonesia masih menjadi
angan setelah 66 tahun merdeka.
No comments:
Post a Comment