Guna
melaksanakan sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik, pada 29 Oktober 2012 yang lalu Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono telah menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 tentang
pelaksanaan UU tersebut.
PP
ini mengatur tentang: a. ruang lingkup Pelayanan Publik; b. sistem pelayanan
terpadu; c. pedoman penyusunan standar pelayanan; d. proporsi akses dan
kategori kelompok masyarakat dalam Pelayanan Berjenjang; dan d. keikutsertaan
masyarakat dalam penyelenggaraan Pelayanan Publik.
Adapun
ruang lingkup Pelayanan Publik yang diatur dalam PP ini meliputi: a. Pelayanan
barang publik; b. Pelayanan jasa publik; dan c.Pelayanan administrasi.
Sementara
penyelenggara pelayanan meliputi institusi negara yang terdiri atas lembaga
negara dan/atau lembaga pemerintah; korporasi berupa BUMN/BUMD atau Satuan
Kerja; lembaga independen yang dibentuk berdasarkan UU; dan badan hukum lain
yang menyelenggarakan Pelayanan Publik dalam rangka pelaksanaan Misi Negara.
“Dalam
pelayanan publik, penyelenggara dapat menyelenggarakan sistem pelayanan terpadu
yang dilaksanakan di lingkungan kementerian/lembaga, pemerintah provinsi,
pemerintah kabupaten/kota, dan atau kecamatan,” bunyi Pasal 11 Ayat (1,2) PP
ini.
Sistem
pelayanan terpadu itu dimaksudkan untuk: a. memberikan perlindungan dan
kepastian hukum kepada masyarakat; b. mendekatkan pelayanan kepada masyarakat;
c. memperpendek proses pelayanan; d. mewujudkan proses pelayanan yang cepat,
mudah, murah, transparan, pasti, dan terjangkau; dan e. memberikan akses yang
lebih luas kepada masyarakat untuk memperoleh pelayanan.
“Sistem
pelayanan terpadu merupakan satu kesatuan proses pengelolaan pelayanan terhadap
beberapa jenis pelayanan yang dilakukan secara terintegrasi dalam satu tempat,
baik secara fisik maupun virtual,” jelas Pasal 14 Ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 96 Tahun 2012 ini.
Sistem
pelayanan terpadu secara fisik itu bisa dalam bentuk sistem pelayanan terpadu
satu pintu, dan sistem pelayanan terpadu satu atap. “Penyelenggaraan sistem
pelayanan satu pintu wajib dilaksanakan untuk jenis pelayanan perizinan dan
nonperizinan bidang penanaman modal,” tegas Pasal 15 Ayat (2) PP ini.
Dalam
sistem pelayanan terpadu satu pintu atau satu atap dan secara virtual itu,
menurut PP ini, pimpinan lembaga negara, pimpinan kementerian, pimpinan lembaga
pemerintah non kementerian, termasuk pimpinan lembaga komisi negara atau yang
sejenis, Gubernur, Bupati/Walikota harus mendelegasikan wewenang kepada petugas
yang ditunjuk melaksanakan tugas dalam sistem tersebut.
Pendelegasian
itu meliputi penerimaan dan pemrosesan permohonan pelayanan, penolakan
permohonan pelayanan, pemberian persetujuan dan/atau penandatananganan dokumen
perizinan dan/atau non perizinan, penerimaan dan pengadministrasian biaya jasa
pelayanan, serta penetapan Standar Pelayanan dan Maklumat Pelayanan.
Khusus
untuk penanaman modal, PP ini tegas mewajibkan pimpinan kementerian, pimpinan
lembaga pemerintah non kementerian, gubernur, bupati dan walikota
mendelegasikan seluruh kewenangan pemberian persetujuan dan penandatanganan
dokumen perizinan dan/atau non perizinan .
Dalam
melaksanakan sistem pelayanan terpadu itu, setiap penyelenggara wajib menyusun,
menetapkan dan menerapkan Standar Pelayanan, yang mengikutsertakan Masyarakat
dan Pihak Terkait serta mengacu pada ketentuan teknis yang telah ditetapkan.
Adapun
mengenai penentuan biaya/tariff yang dituangkan dalam Standar Pelayanan
ditetapkan setelah mendapatkan persetujuan dari DPR/DPRD Provinsi/DPRD
Kabupaten/Kota. (sumber)
No comments:
Post a Comment