Halaman
sejarah akan menelusuri perjalanan pemilu Indonesia dari waktu ke waktu,
dimulai dari Pemilu 2009 lalu bergerak ke belakang sampai Pemilu 1955. Setiap
sesi akan dibahas konteks sosial politik penyelenggaraan pemilu, kedudukan
pemilih, penyelenggara, partai politik peserta pemilu, calon anggota
legislatif dan calon pejabat eksekutif.
Pada setiap pemilu akan dipaparkan hasil singkat pemilu sebagai buah dari
penerapan sistem pemilihan, yaitu penggunaan instrumen-instrumen teknis pemilu
yang mengolah suara pemilih menjadi kursi buat calon terpilih.
Perjalanan
Sejarah Pemilu Tidak Selalu Progresif
Demokrasi
bukanlah jalan mudah. Pemilu yang sudah berulang pada pasca-Orde Baru, belum
menunjukkan progresivitas kualitas. Selalu ada aktor yang mengambil manfaat di
balik sedikitnya pengalaman mengelola demokrasi. Dari Pemilu 1999, ke Pemilu
2004 lalu Pemilu 2009, tampak kualitas proses maupun hasilnya menurun. Pilkada
2005-2008 malah menempatkan pemilih sebagai obyek politik uang. Namun jalan
demokrasi sudah dipilih, sehingga lebih realistis untuk terus memperbaiki
proses penyelenggaraan pemilu daripada menggantikankan pemilu dengan mekanisme
lain.
Pemilu
2009: Buah Rendahnya Profesionalitas
Penyelenggaraan
Pemilu 2009 diwarnai kontroversi atas hilangnya hak pilih jutaan warga
negara. Jelas ini tanggungjawab KPU
selaku penyelenggara pemilu. Namun mereka berkilah dan balik menuding
pemerintah dan pemerintah daerah sebagai sumber kesalahan. UU No. 10/2008 yang
buruk juga menjadi sumber lain keribetan pemilu, sedang keputusan MK di tengah
proses pemilu menjadikan hasil pemilu tidak bisa diprediksi akibat perubahan
peraturan permainan di tengah pertandingan. Rendahnya profesionalitas
penyelenggara di satu pihak, dan buruknya undang-undang pemilu di pihak lain,
menjadi sebab banyaknya kekacauan Pemilu 2009.
Pilkada
2005-2008: Politik Uang Meluas
Dasar
penyelenggaraan pilkada adalah UU No. 32/2004 dan UU No. 12/2008. Kontribusi
putusan MK dalam menata pilkada sangat signifikan karena dua undang-undang itu sering digugat ke MK.
Namun sampai sejauh itu, peraturan perundang-undangan pilkada gagal menyentuh
praktek politik uang yang marak setiap kali pilkada digelar. Siapa pelakunya?
Banyak: pengurus partai politik melakukan jual beli surat dukungan pencalonan,
pasangan calon membeli suara pemilih dan membeli petugas untuk mengubah hasil
penghitungan suara, pemilih sendiri merasa tidak bersalah menerima uang dan
barang yang disalurkan oleh tim sukses pasangan calon.
Pemilu
2004: Terbesar dan Terkompleks di Dunia
Perubahan
Ketiga UUD 1945 oleh SU-MPR 2002 mengharuskan adanya pemilihan langsung
presiden dan wakil presiden, serta pemilihan anggota DPR dari setiap provinsi.
Pemilu presiden membuat penyelenggaraan pemilu Indonesia semakin besar
volumenya; sementara pemilihan anggota DPD di setiap provinsi bersamaan dengan
pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, membuat pemilu
Pemilu 2004 menjadi sangat kompleks. Pemilu 2004 berjalan sukses, namun
berakhir tragis: beberapa anggota KPU harus masuk penjara karena terlibat
korupsi.
Pemilu
1999: Antusiasme Menyambut Demokrasi
Tumbangnya
Orde Baru membuat rakyat antusias memasuki alam demokrasi. Pemilu 1999 yang
dipersiapkan tidak lebih dari satu tahun berjalan aman dan tertib. Kekhawatiran
akan terjadinya konflik besar, tidak terbukti. Rakyat sudah memahami apa yang
harus dilakukan dalam berdemokrasi. Mereka menghukum penguasa yang dinilai
buruk, sekaligus memilih mereka yang dianggap baik dan memberi harapan. Golkar
pun terpuruk dan PDIP menang. Tindakan Presiden Habibie yang mengambil alih
urusan pemilu – setelah KPU tidak bersedia mengesahkan hasil pemilu – mendapat
sokongan rakyat sehingga hasil Pemilu 1999 tetap memiliki legitimasi tinggi.
Pemilu
Orde Baru: Represi dan Manipulasi Demi Golkar
Sebagai
antitesis Orde Lama, pada awalnya rezim Orde Baru menawarkan ruang demokrasi.
Menjelang Pemilu 1971, mereka mau menukar sistem pemilu mayoritarian yang
diinginkannya dan mempertahankan sistem pemilu proporsional yang dituntut
partai politik, dengan imbalan kursi gratis militer di parlemen. Sejurus
kemudian kehidupan politik diredam. Orde Baru mereduksi partai politik hanya
jadi dua, yaitu PPP dan PDI, plus Golkar, lalu melarang partai beroperasi
sampai desa, dan memaksa PNS memilih Golkar. Pemilu berikutnya hanya bertujuan
memenangkan Golkar, karena pada golongan kuning inilah legitimasi semu rezim
Orde Baru disandarkan.
Pemilu
1955: Pengalaman Pertama Paling Berharga
Para
pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak mencantumkan kata “pemilu”
dalam naskah asli UUD 1945. Namun itu bukan berarti mereka tidak menghendaki
pemilu dalam proses penyelenggaraan negara. BPKNIP yang difungsikan sebagai
parlemen pun menetapkan undang-undang pemilu sebagai agenda utama. Tetapi
suasana revoluasi dan gonta-ganti kabinet membuat pemilu baru terlaksana 10
tahun setelah kemerdekaan. Inilah pemilu pertama yang syarat nilai: keragaman,
kejujuran, kesederhanaan, dan kedamaian. Pemilu 1955 adalah pemilu pertama
sekaligus terbaik, yang terus menjadi contoh penyelenggaraan pemilu-pemilu
berikutnya.
(sumber)
No comments:
Post a Comment