Demokrasi
adalah sistem tata kelola politik yang menjadikan kepentingan rakyat (demos)
sebagai fokus utamanya; dilatarbelakangi
oleh asumsi bahwa rakyat merupakan penguasa (kratos = kekuasaan) utama dari
negara. Sejak kemerdekaan dari kolonial Belanda 67 tahun yang lalu, Indonesia
telah melalui lima sistem politik demokrasi dengan nama yang berbeda-beda:
Demokrasi Revolusi, Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila. Setelah
kejatuhan rezim Orde Baru, ruang sosial politik yang lebih terbuka dan liberal
tercipta. Pada saat yang bersamaan, masyarakat sipil mendorong agar otoritas
sipil yang lebih kuat dan demokratis terwujud.
Demokrasi
merupakan sebuah dialog, sebuah diskusi, sebuah proses deliberatif dimana warga
negara terlibat. Dalam konteks Indonesia yang bhineka, demokrasi memberi semua
warga negara hak yang sama dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi
hidupnya. Untuk memastikan tegaknya demokrasi, maka perhatian yang serius harus
diberikan kepada empat pilar yang menopangnya, yaitu ;
- Citizen Participation (partisipasi warga negara)
- Rule of Law (penegakan hukum)
- Political Competition (kompetisi politik)
- Good Governance (tata kelola pemerintahan yang baik)
Reformasi
yang dimulai sejak kejatuhan rezim Soeharto tahun 1997, sejauh ini berhasil
menyadarkan masyarakat Indonesia mengenai pentingnya rotasi kekuasaan, karena
kekuasaan yang tidak terkontrol akan cenderung diselewengkan. Namun,
keterlibatan seluruh masyarakat Indonesia mutlak diperlukan sehingga negara
bangsa ini berada di rel yang tepat dalam mewujudkan tujuan negara Indonesia.
Sekitar 105 juta jiwa rakyat Indonesia merupakan penduduk usia produktif (20
hingga 49 tahun). Di tangan merekalah partisipasi yang bertanggung jawab dan
efektif menjadi elemen penting untuk memperkuat demokrasi konstitusional
Indonesia. Idealisme demokrasi sebagai “sebuah pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat” hanya dapat terwujud jika setiap anggota masyarakat
berperan aktif dalam pemerintahan. Lebih jauh, keterlibatan masyarakat dalam
sebuah sistem demokrasi harus berdasarkan atas pengetahuan, refleksi kritis,
pemahaman dan penerimaan terhadap hak dan kewajiban yang berkait kelindan
dengan keanggotaannya di dalam institusi politik bernama Indonesia.
Pasca
runtuhnya Soeharto dari tampuk kekuasaan selama 32 tahun, muncul kebutuhan
untuk melakukan amandemen terhadap konstitusi negara Republik Indonesia yang
merupakan rujukan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, utamanya
menyangkut jaminan HAM. Proses amandemen UUD 1945 telah terjadi empat kali,
yaitu pada 19 Oktober 1999, 18 Agustus 2000, 9 November 2001 dan 10 Agustus
2002. Kini, UUD 1945 merupakan salah
satu undang-undang dasar yang paling lengkap memuat perlindungan terhadap HAM.
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan “Indonesia adalah negara hukum” sehingga
membangun negara hukum bagi Indonesia adalah mandat konstitusi. Pemisahan
kekuasaan (baca: trias politica) antara parlemen (legislatif), pemerintah
(eksekutif) dan yudikatif merupakan fondasi dari penegakan hukum. Indonesia
masih harus berbenah untuk mengimplementasikan penegakan hukum yang mampu
menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat, terutama kelompok miskin, perempuan,
masyarakat adat dan kelompok minoritas.
Dalam
sistem demokrasi, jabatan-jabatan publik dipilih melalui mekanisme pemilihan
umum. Sejak 2004, ada 19.446 jabatan
publik (baca: kursi kekuasaan) yang diperebutkan secara langsung, yaitu
presiden dan wakilnya, DPR, DPD, DPRD, gubernur dan wakilnya, serta
bupati/walikota dan wakilnya. Adapun konsekuensi dari pemilihan langsung yaitu
meningkatnya jumlah mobilisasi warga negara ke bilik suara; dalam 5 tahun ada
533 pemilu, atau 107 pemilu setiap tahun, 9 pemilu setiap bulan, atau lebih
dari 2 pemilu setiap minggu. Namun, apakah praktik pemilihan langsung ini telah
pula mengubah wajah partisipasi warga negara kita dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara (baca: mendorong peningkatan kualitas demokrasi sehingga demokrasi
menjadi alat untuk mencapai tujuan kemerdekaan bangsa Indonesia)? Bukankah
pilar partisipasi warga negara hanya dijadikan sebagai stempel “majority rule”
bahwa yang memperoleh suara terbanyak yang berkuasa, yang dibutuhkan hanya
setiap 5 tahun sekali? Bukankah ini hanya memberikan elit akses untuk
“menduduki” sistem politik sehingga kekuasaan bisa digunakan untuk akumulasi
kekayaan dan mencederai sistem dengan ketiadaan akuntabilitas dan integritas?
Demokrasi
adalah sebuah cita-cita, dan dengan mengembangkan institusi-institusi dan
proses tata kelola pemerintahan yang baik, masyarakat akan mampu bergerak ke
arah ini. Beberapa karakteristik utama tata kelola pemerintahan yang baik
adalah tingginya partisipasi warga negara dalam pemerintahan, transparansi yang
dibangun atas dasar kebebasan informasi, ketanggapan lembaga-lembaga dan
prosedur-prosedur untuk melayani warga negara secara baik dan aspiratif,
berorientasi pada konsensus, kesetaraan (setiap warga negara memiliki
kesempatan yang sama untuk meningkatkan dan mempertahankan kesejahteraan, hak
dan kewajiban, serta persamaan di depan hukum), serta efektif dan efisien
terkait dengan penggunaan sumber daya secara tepat guna dan berdaya guna.
Sumber : http://mirisa.wordpress.com/2013/04/24/the-essential-fours-empat-pilar-demokrasi/
No comments:
Post a Comment