Blognya Anak Kuliahan

Showing posts with label Catatan. Show all posts
Showing posts with label Catatan. Show all posts

Sunday, January 20, 2013

5 Alasan Pindahkan Ibukota Dari Jakarta

January 20, 2013 0

Para Presiden Indonesia terdahulu sudah punya gagasan untuk memindahkan ibukota negara dari Jakarta ke kota lain. Mereka sudah meramalkan Jakarta akan penuh sesak dan tidak ideal untuk menjadi sebuah ibukota negara.

Soekarno punya ide memindahkan ibukota ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah tahun 1957. Sementara Soeharto pernah menggagas pusat pemerintahan digeser ke sekitar Jonggol, Kabupaten Bogor. Tapi niatan kedua Presiden ini tak jadi terlaksana. Sebenarnya memindahkan pusat pemerintahan bukan hal tabu.

Malaysia memindahkan pusat pemerintahan ke Putrajaya karena Kuala Lumpur dianggap sudah tak ideal lagi. Atau Turki yang memindahkan ibukota dari Istambul ke Ankara. Demikian juga Brasil dari Rio de Janeiro ke Brasilia. Di Asia Tenggara ada Burma yang memindahkan ibukota dari Yangoon ke Naypyidaw. Berikut alasan Jakarta sudah tak layak menjadi ibukota negara :
  1. Banjir. Jakarta dikepung banjir awal tahun 2013 ini. Siklus banjir lima tahun kali ini membuat 10.000 orang mengungsi, tak kurang dari 39 kelurahan tergenang, dan jumlah ini masih terus bertambah. Banjir kali ini bahkan merendam istana presiden dan kantor-kantor pemerintahan. Balai Kota DKI Jakarta yang menjadi kantor Jokowi ikut tergenang. Perekonomian terganggu, dan ribuan orang terpaksa bolos kerja karena jalanan dan rel kereta tergenang.
  2. Macet. Berdasarkan data Direktorat Lalu Lintas (Ditlantas) Polda Metro Jaya, jumlah penjualan mobil di Jakarta mengalami peningkatan 11 persen pada 2012. pada Bulan April 2012 lalu, jumlah mobil dan motor di Jakarta mencapai 13.346.802 buah. Angka ini terus bertambah. Secara keseluruhan, Indonesia kini menjadi negara ketiga yang paling banyak menggunakan kendaraan bermotor setelah Amerika dan China. Di tahun 2011, jumlah kendaraan bermotor di Indonesia mencapai 107.226.572 unit. Dengan rincian, mobil sebanyak 20.158.595 unit dan sepeda motor 87.067.796 unit. Setiap jam-jam sibuk, ribuan mobil terjebak macet berjam-jam di Jakarta. Rugi waktu, rugi uang dan bahan bakar minyak terbuang sia-sia.
  3. Padat dan sumpek. Berdasarkan data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil DKI Jakarta bulan November 2011, tercatat ada 10.183.498 penduduk. Dengan tingkat kepadatan 15.427 penduduk per kilometer persegi.  Jumlah ini bertambah saat siang hari dimana orang-orang yang tinggal di luar Jakarta datang untuk bekerja. Tak heran Jakarta padat dan sumpek. Kawasan padat menjamur di belakang gedung-gedung perkantoran mewah.
  4. Kumuh. Tahun 2011, Badan Pusat Statistik melansir masih ada 392 rukun warga kumuh di wilayah DKI Jakarta. Sebelumnya tahun 2004 malah ada 640 RW kumuh dan menurun menjadi 416 RW kumuh tahun 2008. Rumah-rumah kardus berdiri sepanjang rel kereta api. Gang-gang sempit yang bahkan tidak bisa dilalui sepeda motor berderet di tengah-tengah kota hingga pinggiran Jakarta. Kawasan kumuh di Jakarta tak dilengkapi dengan sanitasi maupun listrik yang baik. Seringkali korsleting listrik mengakibatkan kebakaran dan menghabiskan ratusan rumah. Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan wakilnya Basuki Tjahaja Purnama bertekad membenahi kampung kumuh di Jakarta sebagai salah satu program utamanya.
  5. Sarana transportasi buruk. Idealnya sebagai pusat pemerintahan dan sentra bisnis, Jakarta memiliki sarana transportasi massal yang memadai. Tapi transportasi umum di Jakarta adalah mimpi buruk. Tengok saja jejalan penumpang busway dan kereta rel listrik di jam sibuk. Belum lagi ancaman pelecehan seksual di dua moda transportasi itu. Naik angkot, Metromini atau Kopaja jauh lebih mengerikan. Ancaman copet, pemerkosaan hingga pengamen yang kerap memaksa membuat penumpang tak nyaman. Jakarta memang tertinggal jauh dari Kuala Lumpur, Singapura bahkan Bangkok sekalipun. (sumber)

Tuesday, January 8, 2013

Jebakan Popularitas Kandidat Capres (Hasanuddin Ali)

January 08, 2013 0

Baru-baru ini Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis hasil survei terkait konstelasi kandidat capres yang akan bertarung pada pilpres 2014. Secara metodologi dan temuan, survei LSI ini menarik untuk dikaji, selain menggunakan metode yang tidak biasa - menggunakan opinion leader sebagai responden -, temuan itu juga semakin memperjelas siapa-siapa yang punya potensi untuk bertarung di pemilu presiden 2014.

Meski Pilpres masih dua tahun lagi, tapi kehebohan nama-nama yang mempunyai potensi menjadi capres mulai riuh di sana sini. Nama-nama lama seperti Prabowo, Jusuf Kalla, Megawati, dan Aburizal Bakrie masih di urutan atas popularitas hasil survei. Meski demikian, nama-nama baru seperti Dahlan Iskan, Mahfud MD, dan Hatta Rajasa juga sudah mulai merangsek ke posisi tengah.

Nama-nama kandidat tersebut saat ini sedang berebut panggung di berbagai pentas nasional terkait dengan berbagai isu dan problem kebangsaan. Panggung itu timbul dan tenggelam seiring dengan maraknya pemberitaan media. Panggung penting bagi kandidat untuk meningkatkan popularitas mereka sekaligus menjaga agar nama-nama mereka masih dan terus terekam dalam radar benak pemilih.

Ironinya, terminologi popularitas seakan menjadi mantra bagi para kandidat capres. Mereka berebut untuk mencapai tingkat popularitas setinggi mungkin. Pertanyaannya adalah apakah popularitas itu menjamin keterpilihan seorang kandidat dalam pilpres nanti? Jawabnya belum tentu!!

Popularitas memang penting sebagai pintu masuk. Tapi popularitas bukanlah "key winning formula". Popularitas hanya menjamin seorang kandidat dikenal atau tidak oleh pemilih. Seorang kandidat bisa populer karena track recordnya yang baik atau bisa juga track record yang buruk. Sebagai ilustrasi, survei yang kami lakukan menunjukkan popularitas Aburizal Bakrie sangat tinggi di kalangan pemilih. Tapi tingkat keterpilihan Aburizal Bakrie lebih rendah di antara kandidat-kandidat yang lain.

Tingkat keterpilihan seorang kandidat, menurut kami, paling tidak dipengaruhi oleh 4 faktor, Popularitas, Citra, Enggagement, dan Voters Charactersistic. Tiga yang pertama adalah yang utama. Pertama, Popularitas. Langkah pertama kandidat harus dikenal oleh pemilih. Seorang kandidat tidak harus menjadi yang pertama dalam ukuran popularitas, yang penting dia masih dalam peringkat 3 besar masih punya peluang terpilih. Kedua, Citra. Popularitas yang tinggi harus di dukung oleh citra yang baik, citra ini menyangkut karakter dan kapabilitas kandidat.

Ketiga, Enggagement. Bisa diartikan sebagai ikatan batin antara kandidat dan pemilih. Seorang kandidat harus mampu membangun hubungan yang baik dengan pemilih sehingga pemilih tidak merasa ada jarak antara mereka dan kandidat. Seorang kandidat yang berhasil membangun ikatan batin dengan pemilih akan lebih mudah menggerakkan pemilih mengambang (swing voters) untuk memilih dia.

Dengan mengetahui pentingnya tiga faktor tadi, seorang kandidat dapat menyusun program kampanye dan komunikasi yang lebih tepat sasaran ke pemilih. Untuk meningkatkan popularitas dan citra cara yang bisa ditempuh oleh kandidat adalah melalui komunikasi media baik elektronik, cetak, sampai umbul-umbul dan spanduk. Sementara itu, enggagement hanya bisa ditingkatkan melalui "kehadiran" kandidat baik secara fisik maupun virtual di kalangan pemilih. Berdasarkan survei yang kami lakukan, biasanya faktor enggagement lebih menentukan tingkat keterpilihan dibanding dua faktor yang pertama.

Faktor keempat, yang tidak kalah penting, adalah voters characteristics. Faktor ini meliputi karakteristik pemilih dari sisi komposisi demografi dan geografi. Pemilih yang didominasi pemilih muda tentu memiliki aspirasi yang berbeda dengan pemilih tua. Begitu juga perbedaan antara pemilih kota dan desa.

Karena itu, penting bagi seorang kandidat untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan dia dari berbagai sisi popularitas, citra, dan enggagement sebelum melakukan program kampanye dan komunikasi pemilih, agar seorang kandidat tidak terjerumus dalam jebakan popularitas. [sumber]

Friday, December 14, 2012

Menggagas Pilkada via E-Voting

December 14, 2012 0

Kemajuan teknologi dapat berjalan beriringan sekaligus berimbas positif terhadap perkembangan kehidupan demokrasi. Dalam kampanye pemilihan umum presiden (pilpres) di Amerika Serikat, misalnya, Barack Obama menggunakan jejaring Facebook sebagai media untuk menjangkau calon pemilih. Dengan dukungan teknologi juga, alternatif cara menggunakan hak pilih makin bertambah dengan adanya teknologi electronic voting (e-voting).

Berkaitan dengan contoh yang disebutkan terakhir, di Jembrana, Bali, pemilihan kepala desa (pilkades) di sejumlah desa tahun 2009 juga telah berhasil menggunakan metode e-voting. Fenomena pilkades dengan e-voting di Jembrana menarik minat dan keingintahuan banyak kalangan (dari mulai anggota DPR, Mendagri hingga beberapa kepala daerah).

Ketertarikan itu bahkan sampai mendorong banyak pihak-yang disebutkan di atas-untuk mengunjungi salah satu kabupaten di Bali ini dengan tujuan melihat langsung bagaimana proses dan mekanisme e-voting. Meski masih dalam ruang lingkup kecil (level desa), apa yang telah "diujicobakan" di Jembrana sangat layak diacungi jempol.

Kesuksesan di tingkat pilkades menginspirasi pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jembrana untuk menginisiasikan perubahan teknik memilih dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) di Jembrana dari mencoblos menjadi e-voting. Keinginan kuat Pemkab Jembrana terlihat dari usaha mengajukan judicial review terhadap Pasal 88 UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada akhir 2009. Permohonan Pemkab Jembrana itu terdaftar di MK dalam permohonan Nomor 147/PUU-VII/2009.


Plus Minus E-voting
E-voting adalah memilih dalam sebuah proses pemilihan yang didukung dengan alat elektronik. Pemanfaatan media elektronik tersebut dilakukan dalam pendaftaran suara, penghitungan suara, dan belakangan termasuk channel untuk memilih dari jarak jauh, khususnya melalui internet voting (Kersting dan Baldersheim, 2004: 5). Teknik e-voting yang telah dipraktikkan di Jembrana memang belum sampai pada penggunaan metode internet voting, melainkan baru menggunakan teknik mesin penghitung suara.

Dorongan terhadap gagasan untuk mewujudkan e-voting tidak terlepas dari kelebihan-kelebihannya. Secara garis besar, keunggulan e-voting terutama berkaitan erat dengan faktor efisiensi dan akurasi. Efisiensi yang dimaksudkan adalah bahwa dengan menggunakan e-voting, maka dapat relatif menghemat biaya dan waktu.

Secara filosofis, penyelenggaraan pemilu harus mengikuti prinsip efisiensi (Allan Wall, et.al., 2006:24). Terkait hal itu, seperti diberitakan banyak media massa, masalah tidak tersedianya (dan atau belum cairnya) anggaran menjadi salah satu persoalan krusial yang menghinggapi banyak daerah yang akan menggelar pilkada pada tahun 2010 ini. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat pernah melansir data dari 244 daerah (7 provinsi dan 237 kabupaten/kota), 122 di antaranya harus berhadapan dengan masalah anggaran yang belum juga cair.

Padahal, tidak sedikit dari ratusan daerah di Indonesia, pada awal 2010 ini sudah harus masuk tahapan proses pilkada, seperti pendaftaran pemilih, pembentukan pengawas, dan sebagainya. Sejumlah daerah yang anggaran pilkadanya belum cair, juga terkendala kurangnya dana untuk menggelar pilkada.

Berangkat dari konteks itu, tidak tertutup kemungkinan, apabila syarat pendukungnya terpenuhi, e-voting dapat menjadi alternatif solusi untuk mengatasi masalah anggaran dalam pilkada. Apalagi dengan teknik e-voting, menurut Kepala Dinas Perhubungan, Informasi, dan Komunikasi Kabupaten Jembrana, Komang Wyasaeng, bisa dihemat dana hingga 70 persen dibanding biaya pemilu dengan sistem konvensional yang selama ini berlangsung, yaitu mencoblos atau mencontreng.

Selain efisien dari aspek anggaran, nilai efisiensi juga terdapat pada masalah waktu. Berdasarkan pengalaman di sejumlah negara, voting lewat perangkat elektronik akan mempercepat pemilih untuk mengetahui hasil pemilu. Sebab, biasanya jika pagi hari diproses, malam harinya sudah diketahui hasilnya. Jadi, pemilih tidak usah menunggu selama 30 hari untuk mengetahui hasil pemungutan suara.

Kemudian, terkait akurasi, menyitir Willis, kecepatan dan akurasi suatu pemilu adalah hal yang penting dalam demokrasi modern (1966: 26). Selama mendapat dukungan dari daftar pemilih tetap (DPT) yang berbasis sistem administrasi kependudukan (SIAK), e-voting jauh lebih akurat dalam konteks hasil penghitungan dibandingkan dengan cara penghitungan manual.

Selain keunggulan-keunggulan di atas, e-voting juga mengandung beberapa kelemahan. Pertama, jika petugas pemilu tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang e-voting. Moynihan (2004:516), misalnya, mengkhawatirkan apabila teknologi e-voting gagal, maka akan mengurangi legitimasi proses pemilu.  Kedua, bagi sejumlah kelompok pemilih (seperti kelompok pemilih usia lanjut), e-voting berpotensi tidak disukai. Hasil riset Roseman, Jr. dan Stephenson (2005: 39) dalam pemilihan gubernur di Negara Bagian Georgia, Amerika Serikat, tampak bahwa ternyata pemilihan dengan menggunakan teknologi tinggi (e-voting) tidak cukup disukai oleh para calon pemilih, khususnya yang termasuk kategori berusia tua (di atas 65 tahun).


Faktor Pendukung
Pertanyaanya, apakah mungkin pilkada menggunakan e-voting? Pada masa yang akan datang, bukan tidak mungkin, pilkada dengan e-voting dapat diejawantahkan. Untuk memanifestasikannya, terdapat beberapa faktor pendukung yang harus dipenuhi.

Pertama, asas legal formal berupa UU No 32 Tahun 2004, mau tidak mau, harus direvisi. Usaha Pemkab Jembrana mengajukan judicial review merupakan salah satu pintu masuk untuk mendapatkan legitimasi terhadap revisi Pasal 88 UU No 32 Tahun 2004.

Belum lagi, DPR tahun ini juga mengagendakan penyusunan Rancangan Undang-Undang Pilkada (RUU Pilkada). Apabila Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan Bupati Jembrana, maka possibility dimasukkannya klausul tentang e-voting akan makin besar.

Kedua, masalah infrastruktur. Infrastruktur utama dalam pilkada adalah terkait sistem pendataan penduduk dengan menggunakan SIAK. Terakhir, faktor sosialisasi. Ketika nantinya prasyarat pelembagaan formal dan infrastruktur telah terpenuhi, maka sosialisasi yang gencar mengenai e-voting mutlak dilakukan. (sumber)

Tuesday, November 13, 2012

Andai Aku Menjadi Ketua KPK

November 13, 2012 5

Menjadi seorang Ketua KPK merupakan sebuah tanggung jawab yang besar dan sangatlah tidak mudah untuk mengembannya. Ketua KPK bisa kita ibaratkan seperti gambar pada dua sisi mata uang logam dan gambar yin-yang menurut filosofi budaya cina, yang mana keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.

Disatu sisi yang pertama Ketua KPK dianggap sebagai sesosok pahlawan kebajikan yang dicintai, dimana setiap kehadiranya selalu ditunggu ditengah-tengah masyarakat, aksi heroiknya dalam pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh segerombolan penjahat yang bernama koruptor merupakan aksi yang paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat. Kemudian disatu sisi lainnya, Ketua KPK menjadi orang yang paling dibenci dan dianggap sebagai musuh bersama yang wajib diperangi oleh para koruptor untuk menegakkan bendera ‘mari korupsi’, berbagai macam upaya dilakukan oleh para koruptor dan kawan-kawan untuk melemahkan kekuatan dasyat yang dimiliki oleh Ketua KPK, mulai dari teror, fitnah, bahkan ancaman pembunuhan. Jadi, apabila ingin menjadi seorang Ketua KPK maka bersiaplah untuk mendapatkan banyak teman, dan juga banyak musuh tentunya.

Bagi saya tidaklah mengapa apabila banyak mempunyai musuh yang semuanya adalah para koruptor dan antek-anteknya, karena mereka semua memang wajib untuk dimusuhi dan dibumi hanguskan dari negeri tercinta ini. Dan apabila saya diberikan kesempatan untuk mengemban amanah sebagai seorang ketua KPK maka dengan senang hati saya akan menerima jabatan tersebut.

Melihat kondisi KPK pada saat ini, maka terdapat tiga langkah awal yang harus saya lakukan terlebih dulu untuk lebih menguatkan posisi KPK dalam pemberantasan korupsi, berikut tiga langkah tersebut : (1). Memperkuat kerangka hukum, (2). Merombak habis dan memperkuat kembali struktur internal KPK, (3). Membangun kekuatan politik dari pemerintah dan meminta dukungan dari masyarakat.

Setelah tiga hal tersebut telah mampu terlaksana dengan baik, maka terdapat beberapa program kerja yang akan saya lakukan untuk meningkatkan kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi, berikut beberapa program kerja tersebut :
  • Pertama, merealisasikan wacana untuk membentuk KPK di tingkatan daerah, minimal ditingkat provinsi. Lahirnya koruptor di daerah bisa jadi karena tidak adanya suatu lembaga yang secara khusus menangani permasalahan korupsi di daerah, dengan adanya KPK di daerah maka para raja-raja daerah tersebut akan berpikir dua kali untuk melakukan praktek korupsi. Dan juga dengan adanya KPK di daerah, KPK dipusat jadi lebih bisa berkonsentrasi untuk pemberantasan korupsi dipusat.
  • Kedua, mengadakan acara tahunan berupa ajang penganugerahan KPK Award, yaitu memberikan penghargaan bagi institusi pemerintah baik departemen/kementrian, dan juga pemprov hingga pemkab/pemkot yang berhasil memiliki Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tertinggi. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan inspirasi dan contoh yang baik dalam hal pemberantasan korupsi, dan juga ikut memberikan sedikit motivasi bagi setiap departemen atau kementrian, dan juga pemprov hingga pemkab/pemkot untuk berlomba-lomba dalam pemberantasan korupsi.
  • Ketiga, menjalin kerjasama dengan seluruh perguruan tinggi yang ada di Indonesia untuk membangun program Sekolah Anti Korupsi yang dikhususkan bagi mahasiwa. Ketika masih duduk dibangku kuliah mahasiswa dikenal dengan daya kritisnya yang sangat tinggi dalam mengkritisi pemerintah terutama dalam hal pemberantasan korupsi, namun kebanyakan hal tersebut tidak terjadi lagi ketika mereka sudah duduk dikursi kepemerintahan, nikmatnya menjadi pejabat membuat mereka terlena dan lupa akan semangat yang telah dikobarkan ketika masih menjadi mahasiswa. Pada Sekolah Anti Korupsi akan diadakan berbagai macam kegiatan yang harapannya nanti akan mampu membentuk jiwa sadar anti korupsi yang bersifat permanen pada diri mahasiswa dari kuliah hingga dia lulus dan bekerja.

Saya rasa itulah beberapa hal yang akan saya lakukan apabila saya menjadi Ketua KPK, dan cukup tiga program saja, karena tidak usah muluk-muluk takutnya kebanyakan program malah satu pun ngak jalan nanti… hehe… J


Monday, November 5, 2012

Pemotongan Tunjangan : Upaya Reformasi Birokrasi

November 05, 2012 0

Kementerian Keuangan sebagai pelopor Reformasi Birokrasi telah banyak melakukan perubahan di setiap aspek kerjanya. Salah satunya adalah penerapan pemotongan tunjangan secara progresif yang berlaku bagi seluruh pegawai di lingkungan Kementerian Keuangan.      

Hal ini dilakukan demi tercapainya penegakan disiplin, pendorong profesionalitas, dan peningkatan kinerja pegawai. Pemberian dan Pemotongan Tunjangan Khusus Pembinaan Keuangan Negara (TKPKN)di lingkungan Kementerian Keuangan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 41/PMK.01/2011 tentang Penegakan Disiplin dalam Kaitannya dengan Pemberian Tunjangan Khusus Pembinaan Keuangan Negara Kepada Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Kementerian Keuangan.   

Pemotongan TKPKN diberlakukan kepada pegawai yang tidak masuk bekerja, terlambat masuk bekerja, pulang sebelum waktunya, mendapat peringatan tertulis, dijatuhi hukuman disiplin, dan dikenakan pemberhentian sementara dari jabatan negeri. Besaran pemotongan tersebut dimulai dari 0,5% hingga 100%bergantung pada berat-ringannya perbuatan indisipliner yang dilakukan pegawai.    

Dalam penerapan disiplin, setiap pegawai Kementerian Keuangan diharuskan melakukan absen sebanyak dua kali dalam sehari, yaitu sebelum masuk jam kerja dan setelah jam pulang kerja. Bagi pegawai yang terlambat datang (TL) ataupun pulang sebelum waktunya (PSW) akan dikenakan sanksi pemotongan TKPKN. Bagi pegawai yang terlambat atau pulang sebelum waktunya mulai dari 1-31 menit akan dikenakan pemotongan tunjangan sebesar 0,5%. TL atau PSW selama 31-61 menit akan dipotong sebesar 1%. Untuk pegawai yang TL atau PSW selama 61-91 menit dikenakan 1,25% dan lebih dari 91 menit dikenakan sebesar 2,5%.     Jumlah menit terlambat dan pulang sebelum waktunya akan diakumulasikan di akhir tahun dengan perhitungan satu hari kerja sama dengan 7 ½ jam. Jika jumlah akumulasi menit tersebut sebanding dengan tidak masuk bekerja selama empat hari, maka pegawai tersebut akan diberi peringatan tertulis dan dipotong tunjangannya sebesar 10% pada bulan berikutnya setelah diterbitkannya Peringatan Tertulis.     

Apabila setelah diberi peringatan tertulis, pegawai tersebut masih melakukan hal yang sama hingga memenuhi akumulasi lima hari tidak bekerja, maka pegawai tersebut akan dikenakan hukuman disiplin berdasarkan Peraturan Pemerintah tentang disiplin Pegawai Negeri Sipil.   Peraturan ini mulai berlaku sejak 1 Maret 2011. Dengan diberlakukannya peraturan tersebut, PMK Nomor 86/PMK.01/2010 tentangPemberian dan Pemotongan TKPKN kepada Pegawai di Lingkungan Kementerian Keuangan dan PMK Nomor 87/PMK.01/2010 tentang Pemberian Peringatan Tertulis Kepada Pegawai di Lingkungan Kementerian Keuangan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Link peraturan terkait : http://www.depkeu.go.id/ind/Data/Regulation/PMK_41.pdf