Blognya Anak Kuliahan

Friday, May 25, 2012

Good Governance Sebagai Proses Dalam Manajemen Perkotaan

May 25, 2012 0
Good Governance Sebagai Proses Dalam Manajemen Perkotaan
Pendahuluan
Siklus manajemen perkotaan seperti hal nya perencanaan melalui beberapa tahapan, yaitu input, poses, output, dan outcome. Makalah ini akan membahas mengenai proses dalam manajemen perkotaan, yaitu konsep dan praktek Good Governance dalam manajemen kota di Indonesia. Konsep good governance merupakan salah satu konsep kunci dalam manajemen perkotaan karena implemetasi dari perencanaan kota melibatkan semua aktor, lintas sektor dan lintas disiplin. Dengan demikian, semua komponen dan aktor dalam lingkungan perkotaan terlibat dalam implemenatsi dari perencanaan kota atau manajemen perkotaan, baik terlibat secara langsung maupun tidak langsung. Keterlibatan semua komponen ini harus dipayungi oleh dasar dan konsep yang kuat sehingga menghasilkan hubungan yang harmonis satu dengan yang lainnya. Makalah ini akan membahas mengeai konsep good governance ditinjau dari teori-teori yang ada dan praktiknya dalam manajemen Kota Solo.

Konsep Good Governance
Reformasi yang dimulai pada tahun 1998 memperjuangkan adanya good governance. Tuntutan yang diajukan ini merupakan reaksi terhadap keadaan pemerintah pada era Orde Baru dengan berbagai permasalahan yang terutama meliputi pemusatan kekuasaan pada Presiden, baik akibat konstitusi (UUD 45) maupun tidak berfungsi dengan baiknya lembaga teringgi dan lembaga tinggi negara lainnya, serta tersumbatnya saluran partisipasi masyarakat dalam memberikan kontrol sosial. Kemudian dari sini lah berkembang sebuah konsep tata pemerintahan yang diharapkan dapat menjadi solusi untuk berbagai permasalahan tersebut. Konsep itu yaitu Good Governance.
Munculnya istilah governance mendorong para ilmuwan politik untuk tidak sekedar memperhatikan pemerintah sebagai lembaga, melainkan juga pemerintahan sebagai proses multi arah, yaitu proses memerintah yang melibatkan pemerintah dengan unsur-unsur diluar pemerintah. Dalam memahami perbedaan antara governance dan government, Schwab dan Kubler (2001) melihatnya dari 5 dimensi:
  1. Dimensi actor. Governance dicirikan dengan banyaknya jumlah peserta baik yang berasal dari sektor publik maupun privat yang terlibat dalam pengaturan sebuah kebijakan. Adapun government dicirikan dengan sangat sedikit dan terbatasnya jumlah peserta dalam proses pengaturan kebijakan tersebut, faktor yang terlibat pun biasanya merupakan badan-badan (lembaga) pemerintahan.
  2. Dimensi fungsi. Governance dicirikan melalui banyaknya konsultasi yang dilakukan dalam pengaturan kebijakan. Hal ini memungkinkan bagi adanya kerjasama dalam pembuatan kebijakan antara aktor-aktor yang terlibat sehingga issue-issue kebijakan yang dihasilkan menjadi lebih sempit. Adapun government  dicirikan dengan sedikitnya konsultasi, tidak adanya kerjasama antar aktor dalam pembuatan kebijakan yang menyebabkan luasnya issue kebijakan yang dihasilkan.
  3. Dimensi struktur. Governance dicirikan dengan adanya batas-batas yang didefinisikan secara fungsional dan sangat terbuka selain keanggotaan dari struktur yang bersifat sukarela. Batas-batas yang didefinisikan secara fungsional disini berarti pertimbangan pengaturan kebijakan didasarkan atas kebutuhan fungsional. Adapun government mendefinisikan batas-batas berdasarkan kewilayahan dan bersifat tertutup selain tentu saja keanggotaannya yang tidak sukarela, artinya untuk dapat masuk sebagai struktur harus merupakan anggota dari organisasi sector publik.
  4. Dimensi konvensi interaksi. Governance dicirikan dengan konsultasi yang sifatnya horizontal dengan pola hubungan yang bersifat kooperatif sehingga lebih banyak keterbukaan.Government dicirikan dengan adanya hirarkhi kewenangan sehingga pola hubungan yang terjadi lebih banyak bersifat konflik dan dipenuhi dengan banyak kerahasiaan.
  5. Dimensi distribusi kekuasaan. Governance dicirikan dengan rendahnya dominasi negara, dipertimbangkannya kepentingan masyarakat dalam pengaturan kebijakan serta adanya keseimbangan atau simbiosis antar aktor. Adapun government dicirikan dengan adanya dominasi negara yang dalam banyak hal tidak terlalu memperhatikan kepentingan masyarakat serta tidak adanya keseimbangan antar actor yang terlibat.
Adapun prinsip-prinsip Good Governance menurut LAN (Lembaga AdministrasiNegara) adalah sebagai berikut :
  1. Partcipation. Semua warga negara berhak terlibat dalam pengambilan keputusan, langsung maupun melalui DPR; dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif
  2. Rule of law. Proses mewujudkan cita GG harus diimbangi dengan komitmen untuk penegakan hukum (gakkum), dengan karakter : (a) supremasi hukum, (b) kepastian hukum, (c) hokum yang responsif, (d) gakkum yang konsisten dan non-diskriminatif, dan (e) independensi peradilan.
  3. Transparency. Keterbukaan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Untuk memberantas KKN diperlukan keterbukaan dalam transaksi dan pengelolaan keuangan negara, serta pengelolaan sektor-sektor publik.
  4. Responsiveness. Peka dan cepat tanggap terhadap persoalan masyarakat. Pemerintah harus memiliki etik individual, dan etik sosial. Dalam merumuskan kebijakan pembangunan sosial, pemerintah harus memperhatikan karakteristik kultural, dan perlakuan yang humanis pada masyarakat.
  5. Consensus orientation. Pengambilan keputusan melalui musyawarah dan semaksimal mungkin berdasarkan kesepakatan bersama.
  6. Kesetaraan dan Keadilan. Kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan. Pemerintah harus memberikan kesempatan pelayanan dan perlakuan yang sama dalam koridor kejujuran dan keadilan.
  7. Effectiveness and efficiency. Berdaya guna dan berhasil guna. Kriteria efektivitas diukur dengan parameter produk yang dapat menjangkau sebesar-besarnya kepentingan masyarakat dari berbagai kelompok dan lapisan sosial. Efisiensi diukur dengan rasionalitas biaya pembangunan untuk memenuhi kebutuhan semua masyarakat. Pemerintah harus mampu menyusun perencanaan yang sesuai dengan kebutuhan nyata masyayarakat, rasional, dan terukur.
  8. Accountability. Pertanggungjawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang memberikan kewenangan mengurus kepentingannya. Ada akuntabilitas vertikal (pemegang kekuasaan dengan rakyat; pemerintah dengan warga negara; pejabat dengan pejabat di atasnya), dan akuntabilitas  horizontal (pemegang jabatan publik dengan  lembaga setara; profesi setara).
  9. Strategic vision. Pandangan strategis untuk menghadapi masyarakat oleh pemimpin dan publik. Hal ini penting, karena setiap bangsa perlu memiliki sensitivitas terhadap perubahan serta prediksi perubahan ke depan akibat kemajuan teknologi, agar dapat merumuskan berbagai kebijakan untuk mengatasi dan mengantisipasi permasalahan.
Dalam governance ada 3 komponen yang sejajar, setara, saling mengontrol, untuk menghindari terjadinya eksploitasi satu terhadap lainnya, yaitu state (negara/pemerintah), society (masyarakat), dan pihak swasta. Yang termasuk ke dalam state adalah negara termasuk lembaga-lembaga sekor publik dan lembaga-lembaga sektor publik. Swasta adalah perusahaan swasta yang bergerak diberbagai sektor informal lain dipasar, mempunyai pengaruh terhadap kewajiban sosial, politik, dan ekonomi yang dapat menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi pasar dan perusahaan itu sendiri. Adapun society adalah  individual maupun kelompok (baik yang terorganisasi maupun tidak) yang berinteraksi secara sosial, politik, dan ekonomi dengan aturan formal maupun tidak formal. Meliputi lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, dan lain-lain.
Good governance merupakan sebuah konsep yang netral, untuk menggambarkan pola-pola relasi antara negara, masyarakat, dan pasar. GG dibagi menjadi empat model, berdasarkan dua kriteria utama, yaitu basis politik (negara atau masyarakat); dan basis ekonomi (pasar atau nonpasar).
Libertarian bercirikan system ekonomi pasar dan system politik berbasis masyarakat. Contohnya adalah Amerika Utara dan Eropa Barat. Coporatist ditandai oleh system politik yang dikendalikan oleh negara (otoriter-monosentris), tetapi dari sisi ekonomi berbasis pada pasar. Contohnya adalah Singapura. Communitarian ditandai oleh system politik yang berbasis masyarakat dan sistem ekonomi yang berbasis nonpasar, terutama komunitas. Contoh yang menerapkan sistem ini adalah pemerintahan dan masyarakat di Bali dan Sumatera Barat. Model ini bisa disebut demokrasi sosialis. Statis (totaliter) ditandai oleh system politik yang dikendalikan negara secara total dan system ekonomi nonpasar, terutama negara. Dalam model ini negara adalah segala-galanya yang mengandalikan secara total dan monosentris terhadap proses politik dan mode of production.
Model GG yang diterapkan di suatu negara akan mempengaruhi penyelenggaraan manajemen perkotaan di negara tersebut karena manajemen perkotaan juga menyangkut kewenangan pemerintah daerah sebagai eksekutor sekaligus regulator, dan menyangkut pula keterlibatan masyarakat dan pasar (swasta) dalam implmentasinya. Good governance akan mempengaruhi efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan manajemen perkotaan melalui berbagai proses di dalamnya, termasuk proses birokrasi, partisipasi masyarakat, dan kerjasama dengan dunia swasta. Konsep good governance merupakan konsep yang ideal yang dalam pelaksanaannya sulit dilakukan. GG membutuhkan komitmen kuat, daya tahan dan waktu yang tidak singkat, diperlukan pembelajaran, pemahaman, serta implementasi nilai-nilai kepemerintahan yang baik pada seluruh stakeholder. Perlu adanya kesepakatan bersama serta rasa optimistik yang tinggi dari seluruh komponen bangsa bahwa kepemerintahan yang baik dapat diwujudkan demi mencapai masa depan bangsa dan negara yang lebih baik.
Dalam praktek good governance perlu dikembangkan indikator keberhasilan pelaksanaan good governance. Keberhasilan secara umum dapat dilihat dari indicator ekonomi makro atau tujuan-tujuan pembangunan atau indikator quality of life yang dituju. Untuk negara-negara terkena krisis, indikator recovery. Tetapi bias juga secara sektoral (produksi tertentu), peningkatan eskpor, investasi, jaringan jalan, tingkat danpenyebaran pendidikan). Dan juga secara mikro seperti laporan hasil audit suatu badan usaha. Tidak saja perusahaan tetapi juga unit-unit birokrasi (misalnya dalam pelayanan). Misalnya Lembaga Administrasi Negara telah mengembangkan Modul tentang Pengukuran Kinerja Instansi Pemerintah dan Modul tentang Evaluasi Kinerja Instansi Pemerintah. Pengembangan indicator keberhasilan atau kegagalan dilakukanantara lain mengenai :
  • Pelayanan publik UU No.I/1995
  • Koordinasi sector public dan swasta (terutama dari keluhan sector swasta/masyarakat )
  • Pengelolaan usaha yang memperhatikan dampak terhadap lingkungan ISO 14.000.
  • ISO 9.000 Kendali Mutu. Penilaian aspek manajemen tertentu.
  • Sertifikasi dan Standarisasi, juga suatu pengukuran/indikator kualitas produk.
  • MRA Standard and Conformance. Adanya kesepakatan aturan penilaian mutu produk antar negara.
  • Audit Report, Neraca Untung Rugi dan lain sebagainya bagi sesuatu badan usaha.
  • Beberapa manfaat utama diterapkannya konsep Good Governance adalah sebagai berikut.
  • Berkurangnya secara nyata praktek KKN di birokrasi pemerintahan
  • Terciptanya sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintahan yang bersih, efisien, efektif, transparan, professional, dan akuntabel
  • Terhapusnya peraturan perundang-undangan dan tindakan yang bersifat diskriminatif terhadap warga negara, kelompok atau golongan masyarakat
  • Terjaminnya konsistensi dan kepastian hukum seluruh peraturan perundang-undangan baik ditingkat pusat maupun daerah

Wednesday, May 23, 2012

Inspiratif : Penggusuran Damai PKL Ala Satpol PP Solo

May 23, 2012 0

Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan Dinas Pengelolaan Pasar Kota Solo melakukan penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL) di Jalan Veteran, Jumat 13 Desember 2012. Sekitar 104 PKL dipindahkan ke Pasar Notoharjo dan Pasal Gading, Solo.
Tak ada pemandangan adu jotos antara petugas dengan para pedagang -seperti penggusuran-penggusuran di tempat lainnya. Para petugas juga tak membawa pentungan, pedagang yang digusur pun tak lari terbirit-birit untuk menyelamatkan diri dan barang dagangannya. Bahkan, tak ada acara adu mulut yang seolah sudah menjadi ritual wajib dalam berbagai penggusuran oleh Satpol PP di berbagai tempat.
Yang terlihat dalam penertiban PKL di Solo ini adalah keramahan petugas dan kerelaan dari para pedagang untuk meninggalkan tempat yang telah mereka pakai sejak 1994. Satpol PP yang selama ini identik dengan kekerasan tampak berbaur dengan para pedagang, membantu mengemas dan mengangkut barang milik pedagang. Nir-kekerasan.
Tak hanya ramah, petugas juga memperlakukan para pedagang dengan istimewa. Para PKL dikirab, diangkut dengan empat kendaraan bak terbuka milik Satpol PP. Selain itu, mereka diperlakukan layaknya pejabat, dikawal dengan mobil patroli lalu lintas dan kendaraan roda dua milik DLLAJ yang lengkap dengan sirine.
Salah satu PKL yang menjual pakaian bekas di Jalan Veteran Solo, Sri Handayani mengaku senang dengan perlakuan ini. Dia mengatakan senang dan tidak keberatan. "Sebelumnya kami diberi pemahaman tentang ketertiban oleh Pemkot, terus diminta pindah ke Pasar Notoharjo untuk PKL klithikan dan PKL pakaian bekas ke Pasar Gading," kata dia kepadaVIVAnews.com.
Tak hanya menerima penggusuran, Handayani mengaku senang dengan relokasi ini. Karena, pemerintah Kota Solo memberikan tempat baru untuk para pedagang. Bahkan, lapak baru di Pasar Gading diberikan secara cuma-cuma dan tidak dipungut biaya. Selain itu, kondisinya jauh lebih bagus. "Semoga ditempat baru nanti laris dagangannya," harapnya.

Sejarah Kelam
Diakui atau tidak, selama ini Satpol PP sering diidentikkan dengan kekerasan. Ketegangan dan bentrokan yang melibatkan Satpol PP dengan warga bisa dibilang sudah tak terhitung jumlahnya. Tak jarang, korban berjatuhan, luka-luka hingga meninggal dunia.
Sejarah kelam bentrok Satpol PP dengan warga yang mungkin tak kan terlupakan adalah peristiwa penggusuran makam Mbah Priok di Jakarta Utara pada April 2010 yang lalu. Saat itu, Satpol PP terlibat bentrokan dengan ahli waris dan masyarakat setempat yang menolak penggusuran makam yang 'dikeramatkan' itu.
Berdasar hasil investigasi PMI, peristiwa itu memakan korban sebanyak 231 orang. Korban meninggal dunia tiga orang, luka berat termasuk di dalamnya cacat fungsi 26 orang, luka sedang sebanyak 35 orang, dan luka ringan sebanyak 167 orang.
Selang tiga bulan kemudian, atau Juli 2010, Satpol PP juga terlibat bentrokan dengan di Desa Manis Lor Kecamatan Jalaksana Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Kali ini, Satpol PP justru masuk dalam konflik yang berbau agama. Satpol PP berhadapan dengan jamaah Ahmadiyah. 
Peristiwa itu berawal penyegelan Mesjid An-Nur milik jamaah Ahmadiyah. Kericuhan itu sudah yang kesekian kali terjadi. Bermula saat warga sekitar (non Ahmadiyah) menuntut agar jemaah Ahmadiyah tidak lagi menjalankan segala aktivitas keagamaan yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Jamaah Ahmadiyah yang merasa terancam sampai meminta perlindungan polisi.
Selain dua peristiwa-peristiwa itu, masih banyak lagi bentrokan-bentrokan yang menghadapkan Satpol PP dengan warga. Baik dengan skala kecil maupun besar. Namun, bentrokan berdarah itu tidak berlaku untuk Satpol PP di Kota Solo.

Trik
Kepala Satpol PP Kota Solo, Tri Puguh Priyadi mengatakan pasukannya tak pernah memandang remeh para pedagang kaki lima itu. Para pedagang itu selalu ditempatkan sebagai saudara, sahabat, dan mitra kerja, bukan sebagai musuh yang harus dilawan. "Intinya, penertiban petugas Satpol PP itu nguwongke (memanusiakan manusia), jadi tidak ada kekerasan," kata Puguh.
Pendekatan kepada para pedagang adalah kunci sukses yang sangat berperan. Menurut dia, Satpol PP dan pemerintah Solo selalu mencari tahu permasalahan para pedagang itu. Langkah persuasi selalu dikedepankan. "Pertama kita beri tahu mereka. Kita persuasi, kalau belum ada titik temu, kita ulur lagi," ujar Puguh. "Negosiasi lagi dengan cara yang menentramkan para pedagang hingga ketemu solusinya."
Puguh juga mengatakan, pasukannya telah menyingkirkan jauh-jauh pentungan dan tameng yang selama ini identik dengan Satpol PP. Tujuannya satu, menghindarkan mereka dari tindakan represif. Pentungan dan tameng mereka telah digudangkan oleh Sang Walikota, Joko Widodo. "Kita sengaja menghindari alat-alat yang merujuk ke arah represif," katanya.
Seperti halnya penertiban PKL di jalan Veteran itu. Pasukan Satpol PP membaur dengan para pedagang. Mereka membantu para pedagang memindahkan barang-barangnya ke lokasi baru yang telah disiapkan. "Kita dari pihak Satpol PP menawarkan kendaraan kepada pedagang untuk mengangkut barangnya. Untuk mengangkut barang milik pedagang di Veteran, kita kerahkan 4 truk, sampai bolak-balik 6 kali," ujar Puguh.
Sementara itu, Kepala Dinas Pengelolaan Pasar Kota Solo, Subagiyo mengatakan proses relokasi humanis ini memang tak mudah dilakukan. Dibutuhkan waktu lama untuk proses ini, yaitu sekitar 6 bulan. Langkah pertama adalah memberikan pemahaman tentang keberadaan PKL di jalur hijau tersebut yang melanggar aturan.
"Setelah diberikan pemahaman dan pengertian, kami beri solusi dengan memberikan lokasi tempat berjualan yang baru di Pasar Notoharjo dan Pasar Gading. Semua shelter PKL digratiskan," jelas Subagiyo.

Solusi Konkrit
Sementara itu, Ketua Paguyuban PKL Gotong Royong Veteran, Sriyanto menyebutkan dari 104 PKL yang direlokasi itu terdiri dari 30 pedagang pakaian bekas dan 74 pedagang klithikan onderdil. "Kami siap direlokasi di tempat yang baru. Hanya saja kami meminta supaya fasilitas pelengkap seperti toilet yang rusak, jalan kurang bagus dan listrik segera diperbaiki," ujarnya.
Di tempat baru tersebut, diakui Sriyanto, untuk sementara waktu omzet penjualan akan turun, mengingat ditempat baru ini harus mulai dari nol lagi. "Kami meminta kepada pemerintah untuk promosikan tempat relokasi PKL ini supaya tidak terpuruk," papar dia.
Sebagai Kadis Pengelolaan Pasar, Subagiyo memahami keluhan para pedagang tersebut. Namun dia meminta para pedagang yang direlokasi tak perlu khawatir. Pemerintah, kata dia, telah mengerahkan berbagai upaya untuk menyosialisasikan tempat baru itu, bahkan promosi melalui media. Selain itu, pemerintah kota juga memasang spanduk di titik strategis supaya lokasi relokasi PKL yang baru diketahui oleh masyarakat umum.
"Itulah cara-cara untuk promosikan tempat PKL yang baru. Kita akan melaksanakan berbagai even di lokasi itu supaya masyarakat tahu keberadaan PKL itu," tutur dia.
Terkait keluhan fasilitas pelengkap dari pedagang, dia menjawab bahwa semua fasilitas telah diperbaiki. "Mulai hari ini fasilitas sudah beres. Listrik sudah hidup, WC sudah diperbaiki," tegasnya.

Senjata Peluit
Konsep Satpol PP yang humanis itu memang diinginkan oleh Walikota Solo, Joko Widodo. Pria yang akrab disapa Jokowi itu membuat langkah berani dengan menggudangkan tameng dan pentungan yang selama ini menjadi senjata Satpol PP. Menurut dia, pasukan ini hanya perlu dipersenjatai dengan peluit.
Jokowi menginginkan setiap kali Satpol PP Solo beroperasi maupun melakukan relokasi terhadap hunian liar penduduk maupun pedagang kaki lima liar, selalu mengedepankan pendekatan komunitas, kelompok, dan personal. "Kami selalu intensif melakukan persuasi dengan warga sebelum melakukan penggusuran. Kami mencari langkah solusi terbaik. Kadang nanti hasilnya mereka dengan kesadaran sendiri akan pindah," kata Jokowi beberapa waktu lalu.
Hasilnya, berbagai penggusuran yang dilakukan oleh Satpol PP Kota Solo memang tak menggunakan kekerasan. Antara lain: penggusuran hunian liar di Balekambang, Tirtonadi, Kali Gajah Putih, Kalianyar, dan bantaran Bengawan Solo. Bahkan, ada juga penggusuran ribuan pedagang kaki lima di Banjarsari.
Saat menghadiri acara 'Deklarasi Nasional Menuju Indonesia Bangkit: Birokrasi Bersih dan Melayani' di Balai Sidang Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Kamis, 8 Desember 2011 yang lalu, Jokowi mengaku prihatin dengan berita-berita kekerasan aparat saat melakukan penggusuran PKL di kota tertentu. 
Dia pun memperlihatkan gambar traktor besar yang sedang meruntuhkan bangunan liar, serta penertiban PKL oleh aparat Satpol PP. "Ini jelas bukan di Solo. Di kota saya tidak ada yang seperti ini. Zaman seperti ini, kok, masih ada yang main gebuk-gebukan," ucapnya sambil tersenyum.
Dia mengatakan penggusuran PKL dengan menggunakan kekerasan fisik, bukanlah bentuk pelayanan pemerintah. "Tugas kita ini sebagai pemerintah adalah melindungi rakyat, melayani kepentingan umum, pimpinan-pimpinan sudah lupa ini. Ini kekeliruan yang harus sudah diubah," ujarnya.
Dia mengisahkan, dulu di Solo, kurang lebih sosok yang dipilih sebagai Kepala Satpol PP sama seperti di kota-kota besar lainnya. Tinggi besar, berwajah seram, berkumis lebat. Namun, Jokowi berani mengubah ini semua demi pelayanan yang lebih baik bagi rakyatnya.
"Sekarang lihat, Satpol PP saya wanita. Pakai kebaya. Cantik 'kan?" kata Jokowi sambil menunjukkan foto pasukan Satpol PP Kota Solo pilihannya.

Wednesday, May 9, 2012

Teori Manajemen Pelayanan

May 09, 2012 1
Momen Kritis Pelayanan / Moment of Truth  (Albrecht & Bradford ,1990)
Ia mendefinisikannya sebagai kontak yang terjadi antara konsumen dengan setiap aspek organisasi yang akan membentuk opini konsumen tentang kualitas pelayanan yang diberikan oleh organisasi tersebut. Untuk menciptakan pelayanan yang berkualitas, setiap organisasi harus mengidentifikasikan dan mengelola momen kritis pelayanan tersebut secara baik. Dengan kata lain, harus ada kesesuaian/kompatibilitas antara 3 faktor dalam pengelolaan momen kritis pelayanan; yaitu:
  • Konteks pelayanan (service context)
  • Referensi yang dimiliki konsumen (customer’s frame of reference)
  • Referensi yang dimiliki anggota organisasi penyelenggara pelayanan (employee’s frame of reference)
Bagan Teori Momen Kritis Pelayanan

Lingkaran Pelayanan / The Cycles of Service  (Albrecht & Bradford ,1990)
Untuk dapat memberikan pelayanan yang prima, pandangan produsen dan konsumen harus sama. Hal ini sulit diwujudkan karena biasanya organisasi penyelenggara sudah merumuskan sistem dan prosedur pelayanan. Untuk mengatasi hal tersebut, Albrecht & Bradford, merumuskan konsep lingkaran pelayanan yang berarti serangkaian momen kritis pelayanan yang dialami oleh konsumen ketika ia memanfaatkan jasa layanan tersebut.
Dari model tersebut terlihat bahwa, bagi konsumen hampir setiap detik adalah momen kritis pelayanan yang mungkin tidak disadari oleh penyelenggara pelayanan dan orang-orang yang ada di dalamnya. Konsep lingkaran pelayanan ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi momen-momen kritis pelayanan yang harus dikelola secara profesional.
Contoh Lingkaran Pelayanan

Teori Exit & Voice (Albert Hirschman)
Menurut teori ini, kinerja pelayanan publik dapat ditingkatkan apabila ada mekanisme  exit dan voice. Mekanisme exit  mengandung arti bahwa jika  pelayanan publik tidak berkualitas, maka konsumen/klien harus memiliki kesempatan untuk memilih lembaga penyelenggara pelayanan publik lain yang disukainya. Mekanisme voice berarti ada kesempatan untuk mengungkapkan ketidakpuasan kepada lembaga penyelenggara pelayanan publik.
Penghambat mekanisme exit:
  • Kekuatan pemaksa dari negara
  • Tidak tersedianya lembaga penyelenggara pelayanan publik alternatif
  • Tidak tersedianya biaya untuk menciptakan lembaga penyelenggara pelayanan publik alternatif
Penghambat mekanisme voice:
  • Pengetahuan dan kepercayaan terhadap mekanisme yang ada
  • Aksesbilitas dan biaya untuk mempergunakan mekanisme tersebut
Dengan demikian untuk meningkatkan pelayanan publik diperlukan adanya kesetaraan posisi tawar antara klien dengan lembaga penyelenggara layanan. Kesetaraan posisi tawar dapat dicapai dengan:
  • Memberdayakan klien
  • Mengontrol kewenangan/kekuasaan lembaga penyelenggara pelayanan
Keseimbangan posisi tawar antara klien dengan lembaga penyelenggara pelayanan dapat dicapai dengan menerapkan konsep-konsep (salah satu atau beberapa konsep yang sesuai dengan karakteristik pelayanan umum yang diselenggarakan) sebagai berikut:
  • Customer’s charter:
  • Customer service standard
  • Customer redress
  • Quality guarantees
  • Quality inspectors
  • Customer complaint systems
  • Ombudsmen
  • Competitive public choice systems
  • Vouchers and reimbursement programs
  • Customer information systems and brokers
  • Competitive bidding
  • Competitive benchmarking
  • Privatization
  • Sistem penggajian berdasarkan prestasi
  • Sistem kerja berdasarkan kontrak
  • Sistem Evaluasi kerja tiga ratus enam puluh derajat (3600) 

Model Segitiga Pelayanan (The Service Triangle)
Organisasi-organisasi yang bergerak di bidang pelayanan yang sangat berhasil memiliki tiga kesamaan, yaitu:
strategi pelayanan yang tersusun secara baik
orang di lini depan berorientasi pada pelanggan
sistem pelayanan yang ramah.
Setiap organiisasi penyelenggara pelayanan harus mengelola tiga faktor tersebut untuk mewujudkan kepuasan pelanggan. Interaksi ketiga faktor tersebut dengan pelanggan akan menentukan keberhasilan manajemen dan kinerja pelayanan organisasi.
Model Segitiga Pelayanan

Model Gap (Zeithaml, Parasuraman & Berry, 1990)
Ketiga pakar ini mengemukakan bahwa manajemen pelayanan yang baiktidak dapat terwujud karena adanya 5 (lima) gap, yaitu :
  1. Gap 1 (gap persepsi manajemen): terjadi apabila terdapat perbedaan antara  konsumen dengan persepsi manajemen mengenai harapan-harapan konsumen. Exp: harapan konsumen mendapatkan pelayanan prima (harga tidak mjd soal); sebaliknya manajemen mempunyai persepsi bahwa konsumen mengharapkan harga yang murah meskipun kualitasnya agak rendah.
  2. Gap 2 (persepsi kualitas) : terjadi apabila terdapat perbedaan antara persepsi manajemen tentang harapan-harapan konsumen dengan spesifikasi kualitas pelayanan yang dirumuskan.
  3. Gap 3 (penyelenggaraan pelayanan) : terjadi jika pelayanan yang diberikan berbeda dengan spesifikasi yang telah dirumuskan.
  4. Gap 4 (komunikasi pasar) : terjadi akibat adanya perbedaan antara pelayanan yang diberikan dengan komunikasi eksternal terhadap konsumen.
  5. Gap 5 (kualitas pelayanan) : terjadi karena pelayanan yang diharapkan konsumen tidak sama dengan pelayanan yang senyatanya diterima/dirasakan oleh konsumen.
Model GAP
Penyebab terjadinya GAP.
  • Gap 1: Kurang/tidak dimanfaatkannya riset pemasaran. Top down komunikasi yang kurang efektif. Terlalu banyak tingkatan manajemen.
  • Gap 2: Komitmen manajemen terhadap kualitas pelayanan yang lemah. Persepsi tentang fasibilitas yang tidak tepat. Standarisasi tugas yang tidak tepat. Perumusan tujuan yang kurang tepat.
  • Gap 3: Ketidak jelasan peran. Ada konflik peran. Karakteristik pekerja dengan pekerjaan yang tidak cocok. Karakteristik pekerjaan dengan teknologi yang tidak cocok. Sistem pengawasan yang tidak tepat; kontrol yang lemah. Tim yang tidak kompak.
  • Gap 4: Kurangnya komunikasi horizontal. Cenderung mengobral janji.
  • Gap 5: Akumulasi dari  empat  macam GAP tersebut.


Sumber Ratminto & Atik Septi Winarsih. 2005. Manajemen Pelayanan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar