Blognya Anak Kuliahan

Tuesday, July 24, 2012

Birokrasi Terkooptasi Politik

July 24, 2012 0
Komposisi pegawai negeri sipil di Indonesia sangatlah paradoks. PNS dengan keahlian tertentu atau tenaga fungsional sangat sedikit. Di pelosok Nusantara, kekurangan tenaga medis dan guru, misalnya, sangat mencolok sehingga menjadi problem yang kerap kali mengganggu aktivitas kehidupan. Sebaliknya, tenaga administrasi umum bercokol di mana-mana.
Perbandingan antara jumlah PNS fungsional dan administrasi umum ibarat bumi dan langit. Jumlah tenaga fungsional, menurut Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Eko Prasojo, hanya 20 persen dari keseluruhan PNS yang jumlahnya sekitar 4,7 juta orang. Sebagian besar atau 80 persen PNS adalah tenaga administrasi umum.
Ini baru sekadar jumlah. Belum lagi masalah mentalitas bekerja PNS kita yang seadanya, lamban, dan selalu mengharapkan ”uang lelah”. Moto ”kalau bisa diperlambat, kenapa harus dipercepat” seakan-akan tak lepas dari komunitas pegawai kita walaupun pada era reformasi birokrasi. Memang, kultur itu tak bisa dipukul rata. Tentu masih ada PNS yang bekerja keras, profesional, dan jujur. Namun, jumlah mereka minoritas.

Kronis
Sesungguhnya, kompleksitas masalah birokrasi di Indonesia kian rumit membelit ketika ditambah kooptasi politik. Tarikan kepentingan politik ini terjadi baik di tingkat pusat ataupun daerah. Di tingkat pusat, menteri-menteri umumnya dipilih berdasar asal partai politik yang ikut penyusun koalisi pemerintah. Pos-pos menteri sudah dijatah untuk parpol tertentu. Dari 34 menteri, 17 menteri berasal dari parpol. Tentu saja, semua menteri dari parpol mempunyai agenda politik sesuai kepentingan parpol masing-masing.
Di daerah, cengkeraman kooptasi politik pada birokrasi tak kalah kuat. Jabatan kepala dinas, kepala badan, dan asisten di sekretariat daerah hanya diberikan kepada pendukung calon kepala daerah terpilih. Pejabat yang memberikan dukungan penuh terhadap calon kepala daerah yang memenangi pilkada, dipastikan akan mendapat kedudukan empuk sebagai balas jasa. Di sini, barangkali jangan lagi bicara soal kualitas kinerja dan latar pendidikan karena pada umumnya hal-hal seperti itu menjadi pertimbangan nomor dua.
Dengan kooptasi seperti itu, politik yang menciptakan sistem di birokrasi, bukan sebaliknya. Birokrasi menjadi tidak netral, susah bekerja profesional, apalagi melayani rakyat secara sepenuhnya. Birokrasi malah lebih banyak melayani kepentingan-kepentingan politik.

Penyakit Kronis
Bertahun-tahun birokrasi seperti terjangkiti penyakit kronis dan akut. Menyembuhkannya tidaklah mudah. Akan tetapi, sejak era reformasi birokrasi, pembenahan dilakukan secara intensif. Paling pokok adalah deteksi postur birokrasi. Birokrasi yang gemuk tentu tak lincah untuk bekerja. Masalah juga yang sangat penting adalah berimbas pada biaya belanja aparatur yang membengkak. Gaji, tunjangan, dan biaya perjalanan dinas, serta honorarium mendominasi anggaran belanja negara.
Satu-satunya jalan harus melalui pemangkasan. Struktur birokrasi yang tidak jelas tugas pokok dan fungsinya dirampingkan. Di tingkat pusat saja saat ini terdapat 34 kementerian, 28 lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK), dan 88 lembaga nonstruktural (LNS). Padahal, setelah desentralisasi, semestinya organisasi di tingkat pusat semakin ramping karena sudah banyak kewenangan diserahkan kepada birokrasi di daerah.
Namun, runyamnya, struktur di daerah pun setali tiga uang. Seperti di tingkat pusat, postur birokrasi di daerah pun ikut-ikutan tambun. Apalagi sejak era otonomi daerah yang telah berjalan lebih satu dasawarsa ini, pemerintah daerah (khususnya kabupaten/kota) bisa melakukan apa saja karena kewenangan ada di tangan mereka.

PNS Tambah Terus
Walaupun birokrasi sudah tambun, penerimaan PNS berlangsung terus. Lagi-lagi, hal itu akan menyedot anggaran daerah karena untuk membayar gaji, tunjangan, honor, dan biaya perjalanan dinas PNS serta pejabat daerah yang lebih banyak.
Bayangkan saja, hal yang sangat tidak logis, anggaran belanja dan pendapatan daerah (APBD) di sejumlah kabupaten justru lebih banyak untuk belanja pegawai, bahkan bisa di atas 50 persen hingga 70 persen. Artinya, anggaran untuk pembangunan, proyek infrastruktur, sarana dan prasarana, pemberdayaan ekonomi masyarakat sangatlah kecil. Anggaran pembangunan justru hanya untuk memberikan makan birokrasi saja.
Selain menyedot anggaran, struktur birokrasi yang gemuk itu juga menyulitkan kerja yang terintegrasi. Kewenangan dan tugas satu instansi dan lainnya tumpang-tindih. Ketika terjadi kekacauan, hal itu justru membuka peluang untuk saling lempar tanggung jawab. Indeks efektivitas pemerintah pada 2009, minus 0,29. Dengan kinerja yang terjadi sekarang ini, bisakah dicapai target 0,5 persen pada tahun 2014? Hal ini tentu saja sangat bergantung pada reformasi birokrasi yang tengah digalakkan.
Adapun jumlah lembaga yang menyerahkan laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (LAKIP) juga pada 2009, hanya 24 persen!

Pembenahan Internal
Desain struktur serta profil kementerian dan lembaga yang diperlukan di tingkat pusat dan daerah memang masih didiskusikan. Pembenahan akan dilakukan dalam jangka panjang sebab memerlukan komitmen politik luar biasa. Sebaliknya, pembenahan internal birokrasi dirasakan lebih mungkin dilakukan bertahap mulai saat ini. Setidaknya, proses perekrutan dan promosi pegawai ditata. Promosi eselon 1 dan eselon 2 dilakukan terbuka untuk semua PNS yang memenuhi syarat kepangkatan dan keahlian, yang penilaiannya dilakukan tim independen.
Agar tidak lagi mendapatkan tenaga yang sia-sia, proses perekrutan PNS berbagai instansi harus berbasis kebutuhan. Tes berbasis komputer serta penilaian kompetensi diharapkan mampu menyaring PNS dengan keahlian dan integritas. Harapannya, sistem perekrutan ini juga akan memutus mata rantai penjualan formasi PNS yang berkelindan di birokrasi.
Namun, semua itu masih harus menunggu karena masih dipersiapkan dalam Rancangan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara yang masih dibahas di DPR. Dalam masa peralihan ini, setiap daerah hanya diharuskan membuat analisis beban kerja dan analisis jabatan sebagai syarat merekrut PNS baru. Selain itu, seleksi ditangani konsorsium sepuluh perguruan tinggi negeri.
Secara umum, pembenahan birokrasi akan diterapkan pada organisasi, proses kerja, sumber daya manusia, perekrutan, akuntabilitas kerja, pengawasan, pelayanan publik, serta perbaikan pola pikir dan budaya birokrasi. Memang, soal pola pikir dan budaya birokrasi akan menjadi satu pilar yang sangat sulit dibenahi. Bangsa Indonesia terjerat mentalitas jalan pintas dan berorientasi hasil (result oriented).
Kalau diumpamakan, mestinya berproses menjadi batik tulis, bukan batik cap. Proses menenun dan membatik dengan keringat, ketekunan, kerja keras, sampai menghasilkan selembar kain cantik nan bermutu seharusnya melandasi mental birokrat kita.


Tuesday, July 17, 2012

Soekarno Belum Bergelar Pahlawan Nasional

July 17, 2012 0

Meskipun dikenal sebagai Bapak Proklamator, presiden pertama Indonesia, Soekarno, hingga saat ini belum bergelar pahlawan nasional. Tak hanya Soekarno, Bung Hatta juga mengalami nasib serupa.
"Sampai kini Bung Karno memang belum jadi pahlawan nasional," kata Jimly Asshidiqie, anggota Dewan Gelar Pahlawan Nasional, seusai menghadiri seminar Kebangsaan dan Kepahlawanan di Surabaya, Senin, 16 Juli 2012. Menurut Jimly, kendati segala bahan riset, seminar, diskusi tentang Bung Karno selama ini sudah sangat lengkap, tetapi pengajuan gelar kepahlawanan tetap saja harus diproses sesuai mekanisme yang berlaku. Karena itu, seusai seminar ini, dirinya minta dilakukan proses pembahasan di tingkat akademisi. Apalagi gelar kepahlawanan tidak hanya soal formalitas, melainkan juga harus dijadikan instrumen kepahlawanan bagi segenap anak bangsa.
Khusus pemberian gelar kepahlawanan bagi Bung Karno, Jimly mengusulkan dilakukan pada tanggal 1 Juni sehingga ketokohan Bung Karno bisa lebih istimewa dan tidak bersamaan dengan pemberian gelar kepahlawanan bagi pahlawan nasional kebanyakan yang dilakukan tiap tanggal 10 November. "Saya ini anggota Dewan Gelar, tidak etis sebenarnya kalau bicara teknis, tapi saya harap gelar Bung Karno bisa diberikan 1 Juni," kata Jimly. Jika gelar Bung Karno selesai, Jimly berharap bisa dilanjutkan untuk memproses pemberian gelar bagi Bung Hatta.
Menurut Jimly, hal yang mengganjal dalam pemberian gelar kepahlawanan bagi Bung Karno di antaranya adalah adanya TAP MPRS No.XXXIII/MPRS/1967 yang mencabut kekuasaan Soekarno. Dalam TAP tersebut di Bab II Pasal 6 disebutkan juga jika penyelesaian proses hukum menyangkut Soekarno selanjutnya dilakukan menurut ketentuan hukum yang berlaku dan menyerahkan pelaksanaanya kepada pejabat Presiden.
"Asumsinya, Bung Karno telah melakukan tindakan hukum, tapi proses hukum ternyata tidak pernah dilakukan oleh Presiden Soeharto," kata Jimly. Karena itu, asumsi Bung Karno melakukan pelanggaran hukum bisa dipandang tidak benar, meskipun juga tidak dapat dinafikan seolah-olah benar. Jimly menambahkan, Keputusan Presiden Nomor 081 Tahun 1986 yang memberikan gelar bagi Soekarno bersama Bung Hatta sebagai pahlawan proklamator secara dwitunggal jelas tidak memiliki dasar perundang-undangananya. Apalagi, gelar kepahlawanan tidak mengenal istilah pahlawan proklamator. "Justru dwitunggal itu mengkrangkeng nama besar Bung Karno dan Bung Hatta yang tidak bisa sendiri-sendiri diabadikan secara semestinya," kata Jimly.
Gubernur Jawa Timur Soekarwo yang hadir dalam seminar itu mengatakan polemik terkait status hukum bagi Bung Karno sebenarnya sudah bisa dianggap selesai. "Beliau sudah wafat, Pak Harto juga sudah wafat, jadi tidak ada lagi alasan untuk mengulur gelar bagi Bung Karno," kata Soekarwo.
Seminar itu setidaknya juga dihadiri sejarawan muda JJ Rizal serta Daniel Dhakidae. Pengajar hukum Tata Negara Universitas Surabaya (Ubaya), Martono, yang menjadi panitia acara mengatakan, hasil diskusi selanjutnya akan dijadikan pijakan akademis untuk mengusulkan Bung Karno sebagai pahlawan nasional.

Monday, July 16, 2012

Demokrasi ala Chomsky

July 16, 2012 0
Demokrasi (democracy) dan pendidikan (education), mau tidak mau, suka atau tidak suka seperti ditegaskan oleh Chomsky, kita akan berjumpa dengan pemikiran salah satu filsuf besar Amerika Serikat di abad 20, yakni John Dewey. Chomsky sendiri mengakui, bahwa pemikiran Dewey tentang pendidikan juga mempengaruhi pemikirannya. Salah satu argumen yang cukup menarik, yang diajukan oleh Dewey adalah reformasi pendidikan (reform in education) berupa perubahan paradigma pendidikan, perlu dilakukan sejak orang masih berusia muda.
Dalam konteks ini, tetaplah perlu diperhatikan, bahwa menurut Dewey, tujuan pendidikan bukanlah menghasilkan barang-barang bagus yang bisa dijual dan menambah kas Negara, melainkan menghasilkan manusia-manusia bebas (produces free men) yang mampu berhubungan satu sama lain dalam situasi yang setara (equal relation). Itulah tujuan pendidikan sejati, yang sekarang ini banyak terlupakan.
Mengapa demikian, pada prinsipnya masa sekarang ini, pendidikan sedang diancam oleh dua kekuatan besar. Yang pertama adalah kekuatan dari rezim-rezim otoriter (authoritarian regimes) yang ingin menciptakan manusia-manusia yang tunduk dan patuh (docile human) pada ideologi yang ada. Sementara yang kedua adalah kekuatan dari sistem kapitalisme yang hendak mengubah konsep warga negara (citizenship) yang bebas menjadi konsep konsumen (consumer) yang bebas, yang pikirannya hanya terfokus pada konsumsi tanpa batas semata.
Dua macam power ini masih dapat kita temukan sekarang ini. Bisa dikatakan Rezim otoriter sekarang ini banyak mengatasnamakan agama dan tradisi untuk melenyapkan kebebasan manusia. Sementara sistem kapitalisme, dengan daya pikat konsumtivismenya, masih mencengkram pikiran banyak orang, sehingga mereka kehilangan kesadarannya sebagai warga negara, dan hanya semata sibuk mengumpulkan uang tanpa memikirkan sesuatu yang penting yaitu tujuan pendidikan.

Tujuan Pendidikan
Chomsky mengajak kita kembali mengingat tujuan utama pendidikan, yakni menghasilkan manusia-manusia yang bebas dan mampu berhubungan satu sama lain dalam situasi, kondisi yang setara. Maka dapatlah dikatakan, bahwa pendidikan adalah suatu proses produksi, namun bukanlah produksi barang-barang dengan cetakan ketat yang telah ditentukan sebelumnya, melainkan produksi manusia-manusia bebas.
Di sisi lain, Chomsky juga mengutip pendapat Bertrand Russell, seorang filsuf besar asal Inggris di awal abad ke-20 lalu, tentang pendidikan. Baginya, pendidikan adalah suatu proses untuk memberi makna dari segala sesuatu, dan bukan untuk menguasainya (manusia dan alam). Pendidikan juga adalah proses untuk menciptakan warga negara yang bijak dan masyarakat yang bebas (wise citizens and free society). Menurut Russell, kebijaksanaan publik seorang warga negara mencakup dua hal, yakni kepatuhan pada hukum seorang warga negara pada hukum di satu sisi, dan kreativitas individual dalam berkarya serta mencipta ulang hidupnya di sisi lain. Kedua aspek ini harus berjalan seimbang dan dinamis.
Nilai-nilai individualistik yang mengabaikan solidaritas sosial berkembang pesat di berbagai masyarakat dunia sekarang ini. Di satu sisi, orang hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri untuk mencapai keberhasilan dalam hidup. Di sisi lain, tingkat kecemasan menjadi amat tinggi, karena tidak ada jaring pengaman yang menangkap mereka, ketika jatuh atau gagal dalam kehidupan, Pada titik ini, menurut kami, proses globalisasi yang terjadi sekarang ini sebenarnya adalah proses penyebaran nilai-nilai individualisme khas Amerika Serikat ke seluruh dunia.
Di dalam penyebaran nilai-nilai tersebut, solidaritas sosial yang menjadi fondasi dari banyak komunitas, dan juga merupakan fondasi bagi proses-proses demokrasi yang sehat, secara perlahan namun pasti terkikis. Yang juga perlu diperhatikan, terutama dengan melihat situasi dewasa ini, nilai-nilai invidiualisme justru membawa kehancuran pada komunitas, ketidakadilan akibat kesenjangan sosial yang begitu tajam antara si kaya dan si miskin, serta krisis ekonomi raksasa yang merugikan begitu banyak pihak yang tak bersalah.
Proses globalisasi (baca: Amerikanisasi) masa kini, bisa dibayangkan sebagai proses penyebaran “racun” politis ke seluruh dunia. Di dalam semua proses tersebut, dan ini menyebabkan dunia pendidikan di Indonesia pada umumnya dan Aceh pada khususnya tidak menjalankan fungsinya sebagai institusi kritis, tetapi justru mengabdi pada pengembangan sekaligus penyebaran nilai-nilai individualistik yang egois dan rakus tersebut.
Untuk menjelaskan argumen ini, Chomsky mengutip tulisan David Montgomery, seorang sejarahwan dari Inggris. Menurut Montgomery, Amerika Serikat modern adalah negara yang dibangun dari pemberontakan kelas pekerja terhadap kelas penguasa, mulai dari kelas penguasa dari Inggris, maupun kelas penguasa modal yang rakus dan enggan berbagi. Pemberontakan itu berbentuk protes keras dan berkelanjutan dari awal abad ke-19 sampai dengan 1950-an.
Chomsky sepakat dengan argumen ini. Yang melakukan protes ini adalah orang-orang biasa, kaum pekerja, terutama kaum perempuan. Mereka bangkit dan bekerja sama untuk menolak nilai-nilai kelas penguasa borjuis yang individualistik, kompetitif, dan penuh dengan nuansa kerakusan. Mereka memperjuangkan perbaikan untuk nasib mereka yang direndahkan, dan situasi kerja maupun hidup mereka yang tidak manusiawi. Perbudakan memang dihapus. Namun, jenis perbudakan baru lahir, yakni apa yang disebut Chomsky sebagai perbudakan yang bergaji (wage slavery).
Pada saat yang sama, minat pada karya-karya sastra klasik dan filsafat menurun drastis, terutama di kalangan para pekerja kasar yang hidupnya bagaikan “budak yang bergaji”. Para pejuang kelas pekerja, sebagian dari mereka adalah kaum perempuan, menolak tata kelola politis semacam ini, dan mengorganisir gerakan perubahan (change movement). Gerakan perubahan tersebut berhasil, dan terciptalah Amerika Serikat modern.

Politik Masa Kini
Seiring berjalannya waktu, demokratisasi yang terjadi pada hari ini sangat tidak stabil, barometernya adalah uang (money) artinya kekuasaan tersebut tidak datang dari rakyat maupun prosedur-prosedur demokrasi, melainkan dari pendekatan personal dan finansial pada penguasa-penguasa politis. Orang tidak lagi diukur dari kualitas dirinya, tetapi dari berapa uang dan kuasa yang ia punya, tak peduli uang dan kuasa itu didapat dari mana. Proses-proses politik demokratisasi pun ditunggangi oleh kekuatan uang yang hanya menguntungkan sebagian kelompok masyarakat, sambil mengorbankan kelompok masyarakat lainnya.
Pertanyaanya adalah apa dampak dari semua ini? Yakni dari otoritas kekuasaan yang menerkam kebebasan, dan menciptakan kesenjangan yang semakin besar dalam masyarakat. Yang tercipta kemudian adalah suatu masyarakat yang diwarnai ketidakadilan dan ketidakpedulian. Di Indonesia sekarang ini, banyak orang curiga dan pesimis pada dunia politik. Sedikit sekali yang berpendapat, bahwa para pemimpin politik kita mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik.
Menurut Chomsky, pola semacam ini adalah hasil dari pola pendidikan yang menindas cara berpikir kritis, dan mencegah manusia untuk menjadi manusia-manusia yang setara sehingga dapat menjadikan insan yang malas, karena terlalu berharap untuk mendapatkan yang lebih mudah didapatkan, ini merupakan fakta yang terjadi hari ini. Apakah hanya dengan politik/kekuasaan semuanya bisa diubah? Dan, apakah dengan uang semuanya bisa didapatkan? Kedua pertanyaan ini dapat dijawab oleh diri sendiri.