Blognya Anak Kuliahan

Friday, March 18, 2011

Model-model Formulasi Kebijakan Publik

March 18, 2011 0
Model-model Formulasi Kebijakan Publik
Proses pembuatan kebijakan merupakan proses yang rumit. Oleh karena itu, beberapa ahli mengembangkan model-model perumusan kebijakan publik untuk mengkaji proses perumusan kebijakan agar lebih mudah dipahami. Dengan demikian, pembuatan model-model perumusan kebijakan digunakan untuk lebih menyederhanakan proses perumusan kebijakan yang berlangsung secara rumit tersebut.
  1. Model Sistem
Paine dan Naumes menawarkan suatu model proses pembuatan kebijakan merujuk pada model sistem yang dikembangkan oleh David Easton. Model ini menurut Paine dan Naumes merupakan model deskripitif karena lebih berusaha menggambarkan senyatanya yang terjadi dalam pembuatan kebijakan.
Menurut Paine dan Naumes, model ini disusun hanya dari sudut pandang para pembuat kebijakan. Dalam hal ini para pembuat kebijakan dilihat perannya dalam perencanaan dan pengkoordinasian untuk menemukan pemecahan masalah yang akan (1) menghitung kesempatan dan meraih atau menggunakan dukungan internal dan eksternal, (2) memuaskan permintaan lingkungan, dan (3) secara khusus memuaskan keinginan atau kepentingan para pembuat kebijakan itu sendiri.
Dengan merujuk pada pendekatan sistem yang ditawarkan oleh Easton, Paine dan Naumes menggambarkan model pembuatan kebijakan sebagai interaksi yang terjadi antara lingkungan dengan para pembuat kebijakan dalam suatu proses yang dinamis.
Model ini mengasumsikan bahwa dalam pembuatan kebijakan terdiri dari interaksi yang terbuka dan dinamis antar para pembuat kebijakan dengan lingkungannya. Interaksi yang terjadi dalam bentuk keluaran dan masukan (inputs dan outputs). Keluaran yang dihasilkan oleh organisasi pada akhirnya akan menjadi bagian lingkungan dan seterusnya akan berinteraksi dengan organisasi. Paine dan Naumes memodifikasi pendekatan ini dengan menerapkan langsung pada proses pembuatan kebijakan.
Menurut model sistem, kebijakan politik dipandang sebagai tanggapan dari suatu sistem politik terhadap tuntutan-tuntutan yang timbul dari lingkungan yang merupakan kondisi atau keadaan yang berada diluar batas-batas politik. Kekuatan-kekuatan yang timbul dari dalam lingkungan dan mempengaruhi sistem politik dipandang sebagai masukan-masukan (inputs) sebagai sistem politik, sedangkan hasil-hasil yang dikeluarkan oleh sistem politik yang merupakan tanggapan terhadap tuntutan-tuntutan tadi dipandang sebagai keluaran (outputs) dari sistem politik.
Sistem politik adalah sekumpulan struktur untuk dan proses yang saling berhubungan yang berfungsi secara otoritatif untuk mengalokasikan nilai-nilai bagi suatu masyarakat. Hasil-hasil (outputs) dari sistem politik merupakan alokasi-alaokasi nilai secara otoritatif dari sistem dan alokasi-alokasi ini merupakan kebijakan politik. Di dalam hubungan antara keduanya, pada saatnya akan terjadi umpan balik antara output yang dihasilkan sebagai bagian dari input berikutnya. Dalam hal ini, berjalannnya sistem tidak akan pernah berhenti.
Gambar ini adalah suatu versi yang disederhanakan dari gagasan ilmu politik yang dijelaskan panjang lebar oleh seorang ilmuwan politik bernama David Easton. Pemikiran sistem politik yang dikemukakan oleh Easton ini, baik secara implisit atau eksplisit telah digunakan oleh banyak sarjana untuk melakukan analisis mengenai sebab-sebab dan konsekuensi-konsekuensi yang timbul akibat adanya kebijakan publik.
Menurut model sistem, kebijakan publik merupakan hasil dari suatu sistem politik. Konsep ”sistem” itu sendiri menunjuk pada seperangkat lembaga dan kegiatan yang dapat diidentifikasi dalam masyarakat yang berfunsi mengubah tuntutan-tuntutan (demands) menjadi keputusan-keputusan yang otoritatif. Konsep ”sistem” juga menunjukkan adanya saling hubungan antara elemen-elemen yang membangun sistem politik serta mempunyai kemampuan dalam menanggapi kekuatan-kekuatan dalam lingkungannya. Masukan-masukan diterima oleh sistem politik dalam bentuk tuntutan-tuntutan dan dukungan.
Tuntutan-tuntutan timbul bila individu atau kelompok-kelompok dalam sistem politik memainkan peran dalam mempengaruhi kebijakan publik. Kelompok-kelompok ini secara aktif berusaha mempengaruhi kebijakan publik. Sedangkan dukungan (supports) diberikan bila individu-individu atau kelompok-kelompok dengan cara menerima hasil-hasil pemilihan-pemilihan, mematuhi undang-undang, membayar pajak dan secara umum mematuhi keputusan-keputusan kebijakan. Suatu sistem menyerap bermacam-macam tuntutan yang kadangkala bertentangan antara satu dengan yang lain.
Untuk mengubah tuntutan-tuntutan menjadi hasil-hail kebijakan (kebijakan-kebijakan publik), suatu sistem harus mampu mengatur penyelesaian-penyelesaian pertentangan atau konflik dan memberlakukan penyelesaian-penyelesaian ini pada pihak yang bersangkutan. Oleh karena suatu sistem dibangun berdasarkan elemen-elemen yang mendukung sistem tersebut dan hal ini bergantung pada interaksi antara berbagai subsistem, maka suatu sistem akan melindungi dirinya melalui tiga hal, yakni: 1) menghasilkan outputs yang secara layak memuaskan, 2) menyandarkan diri pada ikatan-ikatan yang berakar dalam sistem itu sendiri, dan 3) menggunakan atau mengancam untuk menggunakan kekuatan (penggunaan otoritas).
Dengan penjelasan yang demikian, maka model ini memberikan manfaat dalam membantu mengorganisaikan penyelidikan terhadap pembentukan kebijakan. Selain itu, model ini juga menyadarkan mengenai beberapa aspek penting dari proses perumusan kebijakan, seperti misalnya bagaimana masukan-masukan lingkungan mempengaruhi substansi kebijakan publik dan sistem politik? Bagaimana kebijakan publik mempengaruhi lingkungan dan tuntutan-tuntutan berikut sebagai tindakan? Kekuatan-kekuatan atau faktor-faktor apa saja dalam lingkungan yang memainkan peran penting untuk mendorong timbulnya tuntutan-tuntutan pada sistem politik.

  1. Model Rasional Komprehensif
Model ini merupakan model perumusan kebijakan yang paling terkenal dan juga paling luas diterima para kalangan pengkaji kebijakan publik. Pada dasarnya model ini terdiri dari beberapa elemen, yakni :
  1. Pembuatan keputusan dihadapkan pada suatu masalah tertentu. Masalah ini dapat dipisahkan dengan masalah-masalah lain atau paling tidak masalah tersebut dapat dipandang bermakna bila dibandingkan dengan masalah-masalah yang lain.
  2. Tujuan-tujuan, nilai-nilai atau sasaran-sasaran yang mengarahkan pembuat keputusan dijelaskan dan disusun menurur arti pentingnya.
  3. Berbagai alternatif untuk mengatasi masalah perlu diselidiki.
  4. Konsekuensi-konsekuensi (biaya dan keuntungan) yang timbul dari setiap pemilihan alternatif diteliti.
  5. Setiap alternatif dan konsekuensi yang menyertainya dapat dibandingkan dengan alternatif-alternatif lain. Pembuat keputusan memiliki alternatif beserta konsekuensi-konsekuensinya yang memaksimalkan pencapaian tujuan, nilai- atau sasaran-sasaran yang hendak dicapai.

Keseluruhan proses tersebut akan menghasilkan suatu keputusan rasional, yaitu keputusan yang efektif untuk mencapai tujuan tertentu.
  1. Model Penambahan
Kritik terhadap model rasional komprehensif akhirnya melahirkan model penambahan atau inkrementalisme. Oleh karena itu berangkat dari kritik terhadap model rasional komprehensif, maka model ini berusaha menutupi kekurangan yang ada dalam model tersebut dengan jalan menghindari banyak masalah yang ditemui dalam model rasional komprehensif.
Model ini lebih bersifat deskriptif dalam pengertian, model ini menggambarkan secara aktual cara-cara yang dipakai para pejabat dalam membuat keputusan. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mempelajari model penambahan (inkrementalisme), yakni:
  1. Pemilihan tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran dan analisis-analisis empirik terhadap tindakan dibutuhkan. Keduanya lebih berkaitan erat dengan dan bukan berada satu sama lain.
  2. Para pembuat keputusan hanya mempertimbangkan beberapa alternatif untuk menaggulangi masalah yang dihadapi dan alternatif-alternatif ini hanya berada secara marginal dengan kebijakan yang sudah ada.
  3. Untuk setiap alternatif, pembuat keputusan hanya mengevaluasi beberapa konsekuensi yang dianggap penting saja.
  4. Masalah yang dihadapi oleh pembuat keputusan dibatasi kembali secara berkesinambungan. Inkrementalisme memungkinkan penyesuaian-penyesuaian sarana-tujuan dan tujuan-sarana sebanyak mungkin sehingga memungkinkan masalah dapat dikendalikan.
  5. Tidak ada keputusan tunggal atau penyelesaian masalah yang dianggap ”tepat” pengujian terhadap keputusan yang dianggap baik bahwa persetujuan terhadap berbagai analisis dalam rangka memecahkan persoalan tidak diikuti persetujuan bahwa keputusan yang diambil merupakan sarana yang paling cocok untuk meraih sasaran yang telah disepakati.
  6. Pembuatan keputusan secara inkremental pada dasarnya merupakan remedial dan diarahkan lebih banyak kepada perbaikan terhadap ketidaksempurnaan sosial yang nyata sekarang ini daripada mempromosikan tujuan sosial di masa depan.

Inkrementalisme merupakan proses pembuatan keputusan-keputusan dan kebijakan-kebijakan yang merupakan hasil kompromi dan kesepakatan bersama antara banyak partisipan. Dalam kondisi seperti ini, keputusan yang bijaksana akan lebih mudah dicapai kesepakatan bila persoalan-persoalan yang dipersengketakan berbagai kelompok dalam masyarakat hanya berupa perubahan-perubahan terhadap program-program yang sudah ada atau hanya menambah atau mengurangi anggaran belanja.
Sementara itu, konflik biasanya akan meningkat bila pembuat keputusan memfokuskan pada perubahan-perubahan kebijakan besar yang dapat menimbulkan keuntungan atau kerugian besar. Karena ketegangan politik yang timbul demikian besar dalam menetapkan program-program atau kebijakan baru, maka kebijakan masa lalu diteruskan untuk tahun depan kecuali bila terdapat perubahan politik secara substansial. Dengan demikian, pembuatan keputusan secara inkrementalisme adalah penting dalam rangka mengurangi konflik, memelihara stabilitas dan sistem politik itu sendiri.
Menurut pandangan kaum inkrementalis, para pembuat keputusan dalam menunaikan tugasnya berada dibawah keadaan yang tidak pasti yang berhubungan dengan konsekuensi-konsekuensi dari tindakan mereka di masa depan, maka keputusan-keputusan inkremental dapat mengurangi resiko atau biaya ketidakkepastian itu. Inkrementalisme juga mempunyai sifat realistis karena didasari kenyataan bahwa para pembuat keputusan kurang waktu, kecakapan dan sumber-sumber lain yang dibutuhkan untuk melakukan analisis yang menyeluruh terhadap semua penyelesaian alternatif masalah-masalah yang ada.
Di samping itu, pada hakikatnya orang ingin bertindak secara pragmatis, tidak selalu mencari cara hingga yang paling baik dalam menanggulangi suatu masalah. Singkatnya, inkrementalisme menghasilkan keputusan-keputusan yang terbatas, dapat dilakukan dan diterima.
  1. Model Penyelidikan Campuran
Ketiga model yang telah dipaparkan sebelumnya, yakni model sistem, model rasional komprehensif dan model inkremental pada dasarnya mempunyai keunggulann dan kelemahannya masing-masing. Oleh karena itu, dalam rangka mencari model yang lebih komprehensif, Amitai Etzioni mencoba membuat gabungan antara keduanya dengan menyarankan penggunaan mixedscanning. Pada dasarnya ia menyetujui model rasional, namun dalam beberapa hal ia juga mengkritiknya. Demikian juga, ia melihat pula kelemahan-kelemahan model pembuatan keputusan inkremental.
Menurtu Etzioni, keputusan yang dibuat para inkrementalis merefleksikan kepentingan kelompok-kelompok yang paling kuat dan terorganisir dalam masyarakat, sementara kelompok-kelompok yang lemah tidak terorganisir secara politik diabaikan. Di samping itu, dengan memfokuskan pada kebijakan-kebijakan jangka pendek dan terbatas, para inkrementalis mengabaikan pembaruan sosial yang mendasar. Keputusan-keputusan yang besar dan penting, seperti pernyataan perang dengan negara lain tidak tercakup dengan inkrementalisme. Sekalipun jumlah keputusan yang dapat diambil dengan menggunakan model rasional terbatas, tetapi keputusan-keputusan yang mendasar menurut Etzioni adalah sangat penting dan seringkali memberikan suasana bagi banyak keputusan yang bersifat inkremental.
Etzioni memperklenalkan mixed scanning sebagai suatu pendekatan terhadap pembuatan keputusan yang memperhitungkan keputusan-keputusan pokok dan inkremental, menetapkan proses-proses pembuat kebijakan pokok urusan tinggi yang menentukan petunjuk-petunjuk dasar, proses-proses yang mempersiapkan keputusan-keputusan pokok dan menjalankannya setelah keputusan itu tercapai.
Untuk menjelaskan mixed scanning, Etzioni memberi gambaran sebagai berikut:
”kita beranggapan akan membuat sistem pengamatan cuaca seluruh dunia dengan menggunakan satelit-satelit cuaca”.
Pendekatan rasionalitas akan menyelidiki keadaan-keadaan cuaca secara mendalam dengan menggunakan kamera-kamera yang mampu melakukan pengamatan-pengamatan dengan teliti dan dengan pemeriksaan-pemeriksaan terhadap seluruh angkas sesering mungkin. Hal ini akan memberikan banyak hasil pengamatan secara terperinci, biaya yang mahal untuk menganalisisnya dan kemungkinan membebani kemampuan-kemampuan untuk mengambil tindakan. Inkrementalisme akan memusatkan pada daerah-daerah itu serta pola-pola yang serupa yang berkembang pada waktu yang baru lalu dan barangkali terdapat diwilayah terdekat. Dengan demikian, inkrementalisme mungkin tidak dapat mengamati tempat-tempat yang kacau di daerah-daerah yang tidak dikenal.
Strategi penyelidikan campuran (mixed scanning strategy) menggunakan elemen-elemen dari dua pendekatan dengan menggunakan dua kamera, yakni sebuah kamera dengan sudut pandang lebar yang mencakup semua bagian luar angkasa, tetapi tidak sangat terperinci dan kamera yang kedua membidik dengan tepat daerah-daerah yang diambil oleh kamera pertama untuk mendapatkan penyelidikan yang mendalam. Menurut Etzioni, daerah-daerah tertentu mungkin luput dari penyelidikan campuran ini, namun pendekatan ini masih lebih baik dibandingkan dengan inkrementalisme yang mungkin tidak dapat mengamati tempat-tempat yang kacau di daerah-daerah yang tidak dikenal.
Dalam penyelidikan campuran para pembuat keputusan dapat memanfaatkan teori-teori rasional komprehensif dan inkremental dalam situasi-situasi ayang berbeda. Dalam beberapa hal, mungkin pendekatan inkrementalisme mungkin telah cukup memadai namun dalam situasi yang lain dimana masalah yang dihadapi berbeda, maka pendekatan yang lebih cermat dengan menggunakan rasional komprehensif mungkin jauh lebih memadai.
Penyelidikan campuran juga memperhitungkan kemampuan-kemampuan yang berbeda dari para pembuat keputusan. Semakin besar kemampuan para pembuat keputusan memobilisasi kekuasaan untuk melaksanakan keputusan, maka semakin besar pula penyelidikan campuran dapat digunakan secara relistis oleh para para pembuat keputusan. Menurut Etzioni, bila bidang cakupan penyelidikan campuran semakin besar, maka akan semakin efektif pembuatan keputusan tersebut dilakukan.
Dengan demikian, penyelidikan campuran merupakan suatu bentuk pendekatan ”kompromi”yang menggabungkan penggunaan inkrementalisme dan rasionalisme sekaligus. Namun demikian, Etzioni tidak memberi penjelasan yang cukup memadai menyangkut bagaimana pendekatan itu digunakan dalam praktiknya. Walaupun begitu, pendekatan yang ditawarkan Etzioni tersebut dapat membantu mengingatkan kenyataan-kenyataan penting bahwa keputusan berubah secara besar-besaran dan proses keputusan yang berbeda adalah wajar sejalan dengan sifat keputusan yang berubah-ubah tadi.

http://abdiprojo.blogspot.com

Thursday, March 17, 2011

Pengertian Kebijakan Publik

March 17, 2011 0
Dari berbagai kepustakaan dapat diungkapkan bahwa kebijakan publik dalam kepustakaan Internasional disebut sebagai public policy, yaitu suatu aturan yang mengatur kehidupan bersama yang harus ditaati dan berlaku mengikat seluruh warganya. Setiap pelanggaran akan diberi sanksi sesuai dengan bobot pelanggarannya yang dilakukan dan sanksi dijatuhkan didepan masyarakat oleh lembaga yang mempunyai tugas menjatuhkan sanksi (Nugroho R., 2004; 1-7).
Aturan atau peraturan tersebut secara sederhana kita pahami sebagai kebijakan publik, jadi kebijakan publik ini dapat kita artikan suatu hukum. Akan tetapi tidak hanya sekedar hukum namun kita harus memahaminya secara utuh dan benar. Ketika suatu isu yang menyangkut kepentingan bersama dipandang perlu untuk diatur maka formulasi isu tersebut menjadi kebijakan publik yang harus dilakukan dan disusun serta disepakati oleh para pejabat yang berwenang. Ketika kebijakan publik tersebut ditetapkan menjadi suatu kebijakan publik; apakah menjadi Undang-Undang, apakah menjadi Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden termasuk Peraturan Daerah maka kebijakan publik tersebut berubah menjadi hukum yang harus ditaati.
Sementara itu pakar kebijakan publik mendefinisikan bahwa kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh pemerintah, mengapa suatu kebijakan harus dilakukan dan apakah manfaat bagi kehidupan bersama harus menjadi pertimbangan yang holistik agar kebijakan tersebut mengandung manfaat yang besar bagi warganya dan berdampak kecil dan sebaiknya tidak menimbulkan persoalan yang merugikan, walaupun demikian pasti ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan, disinilah letaknya pemerintah harus bijaksana dalam menetapkan suatu kebijakan (Thomas Dye, 1992; 2-4).
Untuk memahami kedudukan dan peran yang strategis dari pemerintah sebagai public actor, terkait dengan kebijakan publik maka diperlukan pemahaman bahwa untuk mengaktualisasinya diperlukan suatu kebijakan yang berorientasi kepada kepentingan rakyat. Seorang pakar mengatakan: (Aminullah dalam Muhammadi, 2001: 371 – 372):
bahwa kebijakan adalah suatu upaya atau tindakan untuk mempengaruhi sistem pencapaian tujuan yang diinginkan, upaya dan tindakan dimaksud bersifat strategis yaitu berjangka panjang dan menyeluruh.
Demikian pula berkaitan dengan kata kebijakan ada yang mengatakan: (Ndraha 2003: 492-499)
bahwa kata kebijakan berasal dari terjemahan kata policy, yang mempunyai arti sebagai pilihan terbaik dalam batas-batas kompetensi actor dan lembaga yang bersangkutan dan secara formal mengikat.
Meski demikian kata kebijakan yang berasal dari policy dianggap merupakan konsep yang relatif (Michael Hill, 1993: 8):
The concept of policy has a particular status in the rational model as the relatively durable element against which other premises and actions are supposed to be tested for consistency.
Dengan demikian yang dimaksud kebijakan dalam Kybernology dan adalah sistem nilai kebijakan dan kebijaksanaan yang lahir dari kearifan aktor atau lembaga yang bersangkutan. Selanjutnya kebijakan setelah melalui analisis yang mendalam dirumuskan dengan tepat menjadi suatu produk kebijakan. Dalam merumuskan kebijakan Thomas R. Dye merumuskan model kebijakan antara lain menjadi: model kelembagaan, model elit, model kelompok, model rasional, model inkremental, model teori permainan, dan model pilihan publik, dan model sistem.
Selanjutnya tercatat tiga model yang diusulkan Thomas R. Dye, yaitu: model pengamatan terpadu, model demokratis, dan model strategis. Terkait dengan organisasi, kebijakan menurut George R. Terry dalam bukunya Principles of Management adalah suatu pedoman yang menyeluruh, baik tulisan maupun lisan yang memberikan suatu batas umum dan arah sasaran tindakan yang akan dilakukan pemimpin (Terry, 1964:278).
Kebijakan secara umum menurut Said Zainal Abidin (Said Zainal Abidin,2004:31-33) dapat dibedakan dalam tiga tingkatan:
  1. Kebijakan umum, yaitu kebijakan yang menjadi pedoman atau petunjuk pelaksanaan baik yang bersifat positif ataupun yang bersifat negatif yang meliputi keseluruhan wilayah atau instansi yang bersangkutan.
  2. Kebijakan pelaksanaan adalah kebijakan yang menjabarkan kebijakan umum. Untuk tingkat pusat, peraturan pemerintah tentang pelaksanaan suatu undang-undang.
  3. Kebijakan teknis, kebijakan operasional yang berada di bawah kebijakan pelaksanaan.

Namun demikian berdasarkan perspektif sejarah, maka aktivitas kebijakan dalam tataran ilmiah yang disebut analisis kebijakan, memang berupaya mensinkronkan antara pengetahuan dan tindakan. Dikatakan oleh William N. Dunn (William N. Dunn, 2003: 89)
Analisis Kebijakan (Policy Analysis) dalam arti historis yang paling luas merupakan suatu pendekatan terhadap pemecahan masalah sosial dimulai pada satu tonggak sejarah ketika pengetahuan secara sadar digali untuk dimungkinkan dilakukannya pengujian secara eksplisit dan reflektif kemungkinan menghubungkan pengetahuan dan tindakan.
Setelah memaparkan makna kebijakan, maka secara sederhana kebijakan publik digambarkan oleh Bill Jenkins didalam buku The Policy Process sebagai Kebijakan publik adalah suatu keputusan berdasarkan hubungan kegiatan yang dilakukan oleh aktor politik guna menentukan tujuan dan mendapat hasil berdasarkan pertimbangan situasi tertentu. Selanjutnya Bill Jenkins mendefinisikan kebijakan publik sebagai: (Michael Hill, 1993: 34)
A set of interrelated decisions taken by a political actor or group of actors concerning the selection of goals and the means of achieving them within a specified situation where these decisions should, in principle, be within the power of these actors to achieve.
Dengan demikian kebijakan publik sangat berkait dengan administasi negara ketika public actor mengkoordinasi seluruh kegiatan berkaitan dengan tugas dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat melalui berbagai kebijakan publik/umum untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan negara. Untuk itu diperlukan suatu administrasi yang dikenal dengan “administrasi negara.” Menurut Nigro dan Nigro dalam buku M. Irfan Islamy “Prinsip-prinsip Kebijakan Negara (Islamy, 2001:1), administrasi negara mempunyai peranan penting dalam merumuskan kebijakan negara dan ini merupakan bagian dari proses politik. Administrasi negara dalam mencapai tujuan dengan membuat program dan melaksanakan berbagai kegiatan untuk mencapai tujuan dalam bentuk kebijakan. Oleh karena itu kebijakan dalam pandangan Lasswell dan Kaplan yang dikutip oleh Said Zainal Abidin (Abidin, 2004: 21) adalah sarana untuk mencapai tujuan atau sebagai program yang diproyeksikan berkenaan dengan tujuan, nilai, dan praktik.
Terkait dengan kebijakan publik, menurut Thomas R. Dye penulis buku “Understanding Public Policy, yang dikutip oleh Riant Nugroho D (Riant, 2004:3)
Kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan hasil yang membuat sebuah kehidupan bersama tampil.
Sedangkan menurut Said Zainal Abidin, alumni University of Pittsburgh, Pennsylvania, US, (Said Zainal Abidin,2004: 23)
Kebijakan publik biasanya tidak bersifat spesifik dan sempit, tetapi luas dan berada pada strata strategis. Sebab itu kebijakan publik berfungsi sebagai pedoman umum untuk kebijakan dan keputusan-keputusan khusus di bawahnya.
Dalam Kybernology dan dalam konsep kebijakan pemerintahan kebijakan publik merupakan suatu sistem nilai yang lahir dari kearifan aktor atau lembaga yang bersangkutan dapat digambarkan sbb :

Sistem Nilai Kearifan
Selanjutnya kebijakan publik tersebut setelah melalui analisa yang mendalam dan dirumuskan dengan tepat menjadi suatu produk kebijakan publik. Dalam merumuskan kebijakan publik Thomas R. Dye merumuskan model kebijakan yaitu:
  1. Model Kelembagaan;
  2. Model Elit;
  3. Model Kelompok;
  4. Model Rasional;
  5. Model Inkremental;
  6. Model Teori Permainan;
  7. Model Pilihan Publik;
  8. Model Sistem

Selain itu ada tiga model yang diusulkan Thomas R. Dye, yaitu:
  1. Model Pengamatan Terpadu;
  2. Model Demokratis;
  3. Model Strategis

Di sisi lain kebijakan publik sangat berkait dengan administasi negara ketika public actor mengkoordinasi seluruh kegiatan berkaitan dengan tugas dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat melalui berbagai kebijakan publik/umum untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan negara. Untuk itu diperlukan suatu administrasi yang dikenal dengan “administrasi negara.” Kebutuhan masyarakat tidak seluruhnya dapat dipenuhi oleh individu atau kelompoknya melainkan diperlukan keterlibatan pihak lain yang dibentuk oleh masyarakat itu sendiri. Pihak lain inilah yang kemudian disebut dengan administrasi negara.
Proses dilakukan organisasi atau perorangan yang bertindak dalam kedudukannya sebagai pejabat yang berkaitan dengan penerapan atau pelaksanaan hukum dan peraturan yang dikeluarkan oleh legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Administrasi negara dalam mencapai tujuan dengan membuat program dan melaksanakan berbagai kegiatan untuk mencapai tujuan dalam bentuk kebijakan. Kebijakan menurut Lasswell dan Kaplan yang dikutip oleh Said Zainal Abidin (Abidin, 2004: 21) adalah sarana untuk mencapai tujuan, menyebutkan kebijakan sebagai program yang diproyeksikan berkenaan dengan tujuan, nilai, dan praktik. Pendapat lain tentang kebijakan menurut Heinz Eulau dan Kenneth Prewit adalah suatu keputusan yang menuntut adanya perilaku yang konsisten dan pengulangan bagi pembuat dan pelaksana kebijakan.
Terkait dengan kebijakan publik, menurut Thomas R. Dye penulis buku “Understanding Public Policy, yang dikutip oleh Riant Nugroho D (Riant, 2004:3) Kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan hasil yang membuat sebuah kehidupan bersama tampil.
Sedangkan menurut Said Zainal Abidin, alumni University of Pittsburgh, Pennsylvania, US, (Said Zainal Abidin,2004: 23)
kebijakan publik adalah biasanya tidak bersifat spesifik dan sempit, tetapi luas dan berada pada strata strategis. Sebab itu kebijakan publik berfungsi sebagai pedoman umum untuk kebijakan dan keputusan-keputusan khusus di bawahnya.
Kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk mengatur kehidupan bersama untuk mencapai visi dan misi yang telah disepakati. Hal ini seperti tergambar dalam gambar berikut: 

 Kebijakan Publik
Dari gambar di atas dapat simpulkan bahwa kebijakan publik sebagai manajemen pencapaian tujuan yang dapat diukur. Namun menurut Riant Nugroho D., bukan berarti kebijakan publik mudah dibuat, mudah dilaksanakan, dan mudah dikendalikan, karena kebijakan publik menyangkut politik (Nugroho, 2004:52).
Kebijakan publik dalam praktik ketatanegaraan dan kepemerintahan pada dasarnya terbagi dalam tiga prinsip yaitu: pertama, dalam konteks bagaimana merumuskan kebijakan publik (Formulasi kebijakan); kedua, bagaimana kebijakan publik tersebut diimplementasikan dan ketiga, bagaimana kebijakan publik tersebut dievaluasi (Nugroho 2004,100-105)
Dalam konteks formulasi, maka berbagai isu yang banyak beredar didalam masyarakat tidak semua dapat masuk agenda pemerintah untuk diproses menjadi kebijakan. Isu yang masuk dalam agenda kebijakan biasanya memiliki latar belakang yang kuat berhubungan dengan analisis kebijakan dan terkait dengan enam pertimbangan sebagai berikut:
  1. Apakah Isu tersebut dianggap telah mencapai tingkat kritis sehingga tidak bisa diabaikan?.
  2. Apakah Isu tersebut sensitif, yang cepat menarik perhatian masyarakat?
  3. Apakah Isu tersebut menyangkut aspek tertentu dalam masyarakat?
  4. Apakah Isu tersebut menyangkut banyak pihak sehingga mempunyai dampak yang luas dalam masyarakat kalau diabaikan?
  5. Apakah Isu tersebut berkenaan dengan kekuasaan dan legitimasi?
  6. Apakah Isu tersebut berkenaan dengan kecenderungan yang sedang berkembang dalam masyarakat?

Namun dari semua isu tersebut di atas menurut Said Zainal Abidin (Said Zainal Abidin, 2004: 56-59) tidak semua mempunyai prioritas yang sama untuk diproses. Ini ditentukan oleh suatu proses penyaringan melalui serangkaian kriteria. Berikut ini kriteria yang dapat digunakan dalam menentukan salah satu di antara berbagai kebijakan:
  1. Efektifitas – mengukur suatu alternatif sasaran yang dicapai dengan suatu alternatif kebijakan dapat menghasilkan tujuan akhir yang diinginkan.
  2. Efisien – dana yang digunakan harus sesuai dengan tujuan yang dicapai.
  3. Cukup – suatu kebijakan dapat mencapai hasil yang diharapkan dengan sumberdaya yang ada.
  4. Adil
  5. Terjawab – kebijakan dibuat agar dapat memenuhi kebutuhan sesuatu golongan atau suatu masalah tertentu dalam masyarakat.

Aktivitas analisis didalam kebijakan publik pada dasarnya terbuka terhadap peran serta disiplin ilmu lain. Oleh karena itu didalam kebijakan publik akan terlihat suatu gambaran bersintesanya berbagai disiplin ilmu dalam satu paket kebersamaan. Berdasarkan pendekatan kebijakan publik, maka akan terintegrasi antara kenyataan praktis dan pandangan teoritis secara bersama-sama. Dalam kesempatan ini Ripley menyatakan (Randal B. Ripley, 1985: 31)
Didalam proses kebijakan telah termasuk didalamnya berbagai aktivitas praktis dan intelektual yang berjalan secara bersama-sama.
Pada praktik kebijakan publik antara lain mengembangkan mekanisme jaringan aktor (actor networks). Melalui mekanisme jaringan aktor telah tercipta jalur-jalur yang bersifat informal (second track), yang ternyata cukup bermakna dalam mengatasi persoalan-persoalan yang sukar untuk dipecahkan. Mark Considine memberi batasan jaringan aktor sebagai: (Mark Considine, 1994: 103)
Keterhubungan secara tidak resmi dan semi resmi antara individu-individu dan kelompok-kelompok di dalam suatu sistem kebijakan.
Terdapat 3 (tiga) rangkaian kesatuan penting didalam analisis kebijakan publik yang perlu dipahami, yaitu formulasi kebijakan (policy formulation), implementasi kebijakan (policy implementation) dan evaluasi kebijakan (policy evaluation). Didalam kesempatan ini dibahas lebih lanjut mengenai implementasi kebijakan, karena memiliki relevansi dengan tema kajian.
Sumber : http://abdiprojo.blogspot.com

Wednesday, March 16, 2011

WILAYAH : Konsep Kepemimpinan Dalam Syi’ah Imamiyah

March 16, 2011 0
WILAYAH : Konsep Kepemimpinan Dalam Syi’ah Imamiyah
WILAYAH
Konsep Kepemimpinan Dalam Islam
Salah satu prinsip utama Islam yang mendapat perhatian besar Alqur’an adalah prinsip wilayah. Alqur’an menyebutnya hingga 236 kali. 124 kali dalam bentuk kata benda dan 112 kali dalam bentuk kata kerja. Salah satunya adalah yang terdapat pada surat al-Maidah ayat 55 dan 56. Pada kedua ayat ini Alqur’an menggunakan kedua bentuk kata wilayah itu.
“Sesungguhnya wali (bentuk kata benda) kalian adalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mukmin yang mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat saat mereka sedang ruku’. Maka barangsiapa yang berwilayah (kata kerja: yatawalla) kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, sesungguhnya partai Allah adalah yang menang.”
Secara bahasa, wilayah atau walayah yang berakar dari kata w-l-y pada dasarnya mengandung makna kedekatan, apakah itu kedekatan jasmaniyah atau kedekatan maknawiyah. Karena itu, ia kadang berarti berteman, menolong, mencintai, mengikuti, menteladani, memimpin atau mematuhi. Karena makna-makna tersebut pada dasarnya merujuk pada makna adanya kedekatan antara pelaku, subyek, dan penderita.
Kata wali (isim fail: nama pelaku) misalnya, kadang berarti teman, pembela, atau pemimpin; tergantung penggunaannya. Ketiga makna yang berbeda ini sesungguhnya memiliki dasar yang sama, yakni adanya kedekatan antara subjek dengan objek. Karena itu ia bisa berarti salah satunya atau keseluruhannya, tergantung qarinah, keadaan yang menyertainya dalam pembicaraan. Ayat 5: 55-56 di atas misalnya, walayah (wali) digunakan dalam arti kepemimpinan.
Jadi maknanya: “Sesungguhnya pemimpin kalian adalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman yang mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat ketika mereka sedang ruku. Maka barangsiapa yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman sebagai pemimpinnya, sesungguhnya partai Allah adalah yang menang.”
Sementara itu pada ayat 10: 62, walayah (auliya’) dimaksudkan sebagai kekasih: “Ketahuilah, sesungguhnya para kekasih Allah (Auliya’ Allah) tidak memiliki rasa takut dan tidak pernah gusar.” Sehubungan dengan itu, Alqur’an banyak berbicara tentang bagaimana seharusnya kita menyikapi persoalan wilayahini. Atau dengan kata lain, bagaimana seharusnya kita berwilayah.
Alqur’an menjelaskan terdapat dua bentuk wilayah, yaitu wilayah positif dan wilayah negatif. Wilayah positif ialah wilayah yang diseru oleh Allah, sedangkan wilayah negatif ialah wilayah yang dilarang Allah. Maksudnya ialah Allah memerintahkan kita agar berwilayah kepada pihak-pihak yang diperkenankan-Nya (wilayah positif) dan melarang kita berwilayah kepada pihak-pihak yang tidak diperkenankan-Nya. (wilayah negatif)
WILAYAH NEGATIF.
Berkaitan dengan wilayah negatif, Alqur’an dengan tegas mengatakan bahwa kaum Muslimin dilarang berwilayah kepada orang-orang yang berada di luar barisan mereka, yakni orang-orang kafir. Firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu angkat musuh-Ku dan musuhmu sebagai wali-wali, yang kamu curahkan cinta kasihmu kepada mereka. Karena mereka telah mengingkari kebenaran yang datang kepadamu, mengusir Rasulullah, dan mengusir kamu karena imanmu kepada Allah Tuhanmu.” (QS. 60:1)
Hal itu karena orang-orang yang jelas-jelas menolak kebenaran, tidak dapat dipercaya. Dalam diri mereka tersimpan rasa permusuhan dan ketidaksenangan terhadap kaum Muslimin. Alqur’an menegaskan: “Jika mereka menangkap kamu, mereka memperlakukanmu sebagai musuh dan bertindak buruk terhadapmu dengan tangan dan lidah mereka. Mereka ingin kamu kembali kafir lagi.”(QS 60:2)
Akan tetapi larangan ini tidak berarti bahwa kaum Muslimin juga dilarang berbuat baik kepada orang-orang luar (non muslim) yang tidak punya maksud buruk terhadap kaum Muslimin. Sama sekali tidak. Alqur’an dengan jelas menyatakan: “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang yang tidak memerangimu dalam agama dan mengusir kamu dari tempatmu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil.” (QS 60 : 8)
Islam adalah agama rahmatan lil-’alamin. Agama yang menyeru umatnya untuk berbuat baik kepada siapa pun. Akan tetapi karena di antara orang-orang kafir itu terdapat orang-orang yang punya maksud buruk terhadap Islam, kaum Muslimin harus selalu waspada dan tidak boleh lengah sedikitpun. Sebab jika mereka lengah, orang-orang kafir itu dapat menguasai kaum Muslimin. Untuk itu wilayah tidak boleh diberikan kepada orang-orang kafir.
WlLAYAH POSITIF.
Ada dua bentuk wilayah positif yang mesti dilakukan oleh kaum Muslimin, yaitu wilayah terhadap kaum Muslimin secara umum, disebut Wilayah Positif Umum. Dan wilayah kepada pihak-pihak tertentu secara khusus, Wilayah Positif Khusus. Ada banyak penjelasan tentang kedua hal ini secara khusus di dalam Alqur’an. Demikian pula penjelasan oleh Nabi saw.
WlLAYAH POSITIF UMUM.
Alqur’an menegaskan bahwa kaum Muslimin satu sama lain adalah wali terhadap yang lainnya. “Wal-Mu’minuuna wal-mu’minaatu ba’dhuhum auliya-u ba’dh.” (QS 9:71) Mereka adalah saudara, innamal-mu’minuuna ikhwah. (QS 49: 10) Hubungan sesamanya didasarkan pada cinta kasih, ruhamaa-u bainahum (QS 48:29).
Bahkan Nabi saw menggambarkan bahwa kaum Muslimin itu bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggotanya sakit, maka anggota yang lain ikut sakit. Karena itu kaum Muslimin tidak boleh gontok-gontokan (QS 8:46). Harus bersatu (QS 3: 103) dan membangun hubungan di antara mereka dengan saling percaya (QS 48:12). Jika demikian, maka kaum Muslimin akan jaya selamanya. “Janganlah kamu bersikap lemah dan jangan pula bersikap gusar. Sesungguhnya kamulah yang unggul, jika kamu beriman.”(QS 3: 139)
WlLAYAH POSITIF KHUSUS.
Yang dimaksud di sini adalah wilayah kepada Ahlubait, keluarga suci Nabi saw. Sunni dan Syi’ah sepakat bahwa Nabi saw menuntut umatnya agar berwilayah kepada Ahlubait. Alqur’an Surat al-Syura (42) 23 menegaskan:
Katakan: “Aku tidak minta upah apapun atas risalahku ini, kecuali cinta kepada keluarga(ku).”
Demikian pula ayat 55-56 Surat al-Maidah (5): “Sesungguhnya (wali) pemimpin kamu ialah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman yang mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat saat mereka ruku”. Para ahli tafsir menjelaskan bahwa orang beriman yang dimaksud dalam ayat di atas adalah Imam Ali ibn Abi Thalib. Nabi saw berkata, “Barangsiapa yang menganggapku sebagai maula,, pemimpinnya, maka Ali adalah maula, pemimpinnya.”
Namun demikian, wilayah kepada Ahlubait dapat dibagi dalam beberapa bentuk.
  • Pertama, wilayah mahabbah atau kecintaan kepada Ahlubait.
  • Kedua, wilayah imamah atau menteladani dan mengikuti Ahlubait.
  • Ketiga, wilayah ziamah atau mengakui Ahlubait sebagai pemimpin-pemimpin sosial dan politik.
  • Keempat wilayah tasharruf atau mengakui Ahlubait memiliki kemampuan “mengendalikan” alam.
WILAYAH MAHABBAH.
Cinta kepada Ahlubait merupakan keharusan yang tidak terbantahkan. Puluhan bahkan ratusan hadis menyeru kita untuk mencintai Ahlubait, apakah itu hadits Sunni atau Syiah. Bahkan ahli tafsir terkenal, Fakhrur-Razi, penulis kitab tafsir al-Kabir, yang dalam masalah khilafah menyerang keras pandangan Syiah, menukil banyak hadits tentang kewajiban mencintai Ahlubait. Antara lain:
“Barangsiapa yang meninggal dunia dalam kecintaan kepada keluarga Muhammad (Ahlubait), maka ia mati sebagai syuhada. Ketahuilah, barangsiapa meninggal dunia dalam kecintaan kepada keluarga Muhammad, mati sebagai orang yang telah diampuni dosa-dosanya oleh Allah. Ketahuilah, barangsiapa meninggal dunia dalam kecintaan kepada keluarga Muhammad, mati sebagai orang yang taubat kepada Allah. Dan ketahuilah, barangsiapa yang meninggal dunia dalam kecintaan kepada keluarga Muhammad, mati sebagai orang yang telah sempurna imannya.”
Berkenaan dengan kecintaan kepada Ahlubait ini, lmam Syafii telah menggubah beberapa syair kecintaan kepada ahlubait. Antara lain:
Wahai Ahlibait Rasulullah
Mencintai kalian diwajibkan Tuhan
Tingkatmu agung sudah jelaslah
Dalam Alqur’an terdapat bahan
Siapa meninggalkan shalawat untuk kalian
Shalat tidak sah, begitu hukumnya
Tinggi kedudukan, tinggi derajat kalian
Merupakan karunia Allah semuanya
Jika Ali serta Fatimah
Dipuji orang dengan sanjungan
Pasti ada orang amarah
Menamakan Rafdhi dalam kenangan Lalu kutanyai orang berbudi
Yang kuat imannya kepada Allah
Mencintai Fatimah bukan Rafdhi
Sebaliknya mencintai Rasulullah
Shalawat Tuhan tidak terhingga
Kepada Ahlubait serta salam
Laknat turun tangga
Kepada jahiliyah masa silam
Dalam pada itu diceritakan bahwa Farazdaq, penyair terkenal pada abad pertama Hijrah yang secara spontan melontarkan syair-syair pujian kepada Imam Ali Zainal Abidin putra lmam Husain tatkala Ibn Hisyam, penguasa Umayyah, pura-pura tidak mengenalnya saat ia dengan kesal menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, betapa orang-orang memberi jalan kepada Imam agar dapat bertawaf dengan baik. Sementara ia sendiri harus menanti berjam-jam menunggu sepinya petawaf. Ketika ditanya dalam mimpi sesudah ia meninggal dunia, apa yang dialaminya ? Farazdaq menjawab bahwa ia telah diselamatkan oleh syair-syair pujiannya kepada Imam Ali Zainal-Abidin.
Dengan demikian, maka seluruh kaum muslimin, siapa pun mereka, harus mencintai Ahlubait Rasulullah saw.
WILAYAH IMAMAH.
Yang dimaksud dengan Wilayah Imamah ialah al-marjaiyyah al-diniyyah atau posisi sebagai panutan dalam masalah-masalah agama dan akhlak. Umat harus menteladani mereka dan merujuk kepada mereka dalam masalah-masalah agama. Cinta saja, dalam arti kecenderungan perasaan, masih belum cukup. Cinta harus diikuti oleh sikap menteladani orang yang dicintai. Itulah maksud dari firman Allah(QS 3:31):
Katakanlah : “Jika kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku. Dengan demikian, Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Itulah arti cinta sejati. Tentang Rasulullah, Allah berfirman: “Sesungguhnya pada diri Rasulullah terdapat suri teladan yang baik buat kamu.” (QS 33:21) Ayat ini menjelaskan tentang wilayah imamah yang dimiliki Rasullulah. Kaum muslimin harus merujuk kepada Rasulullah dan menjadikannya sebagai teladan dalam kehidupan mereka.
Sesudah Rasulullah, posisi ini dipikul oleh Ahlubait. Nabi bersabda: “Kutinggalkan pada kamu dua hal yang berat (tsaqalain), jika kamu berpegang kepada keduanya niscaya kamu tidak akan sesat untuk selamanya, yaitu Kitab Allah dan keluargaku, Ahlubaitku. “
Hadits Nabi tentang keharusan mengikuti keluarga Rasulullah ini adalah hadits yang shahih, bahkan mutawatir. Semua ulama sepakat tentang kebenaran hadits ini dan tidak seorang pun yang berani menolaknya. Ia diriwayatkan oleh lebih dari 20 Sahabat Nabi. Karena itu ia termasuk di antara hadits-hadits yang qat’iy, yang kepastiannya tidak dapat diragukan oleh siapa pun. Selain hadits tsaqalain ini terdapat banyak hadits lain yang memiliki makna yang sama.
Misalnya hadits : “Barangsiapa yang ingin hidup seperti aku, maka ia harus berwilayah kepada Ali sesudahku dan mengikuti para imam dan keluargaku yang telah dikaruniai dengan pengetahuan dan kecerdasan. Celakalah orang-orang yang mengingkari keunggulan mereka. Orang-orang seperti ini akan dicabut keperantaraanku untuk kepentingan mereka.” dan sebagainya.
WILAYAH ZIAMAH.
Wilayah Ziamah atau kepemimpinan sosial-politik ialah otoritas yang diberikan Allah kepada nabi-Nya untuk mengatur urusan kemasyarakatan, tidak terkecuali masalah kekuasaan. Nabi adalah Wali Amril-muslimin atau penguasa Islam. Sesudah Nabi saw, otoritas atau wilayah ziamah ini dilimpahkan kepada Ahlubait Nabi. Merekalah yang dimaksud dalam firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan para Wali Amr kamu. ” (QS 4:59) Berdasarkan hadits yang sahih, wali amr kamu di sini adalah para lmam Ahlubait.
WILAYAH TASHARRUF.
Wilayah Tasharruf atau Wilayah Maknawilah ialah kemampuan yang diberikan Allah kepada seseorang yang telah mencapai maqam qurb, posisi kedekatan dengan Allah yang sedemikan rupa sehingga yang bersangkutan dianugrahkan kekuasaan mengendalikan alam dan jiwa manusia. Wilayah ini adalah wilayah tertinggi yang mungkin dapat dicapai oleh manusia. Alqur’an dengan tegas menyatakan adanya orang-orang tertentu yang dianugrahi wilayah ini.
Salah seorang di antara mereka adalah Nabi Sulaiman alaihis salam. Ia dianugrahi Allah misalnya, kemampuan mengatur perjalanan angin. “Maka Kami tundukkan angin untuknya yang berhembus dengan baik menurut kemana saja yang dikehendakinya.” (QS. 38:36) Demikian pula kekuatan yang diberikan Allah: “Berkatalah orang yang mempunyai ilmu dari Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.” Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia berkata : “Ini semua merupakan karunia Tuhanku.” ” (QS. 27:40)
Tetapi wilayah ini tidak didapat oleh sembarang orang. Hanya orang-orang tertentu yang telah mencapai kedudukan yang sangat dekat dengan Allah, yang dapat mencapainya. Tentu saja Rasulullah saw adalah orang yang paling utama dalam hal ini. Beliau memiliki wilayah tasharruf yang paling tinggi. Sesudah Rasulullah, para Imam suci Ahlubait adalah orang-orang yang dianugrahi Allah wilayah ini. Oleh karena itu, maka Islam memerintahkan kita untuk bertaqarrub kepada Allah melalui orang-orang suci ini.

Sumber : http://syiahali.wordpress.com


Tuesday, March 15, 2011

Mazhab Setelah Comte

March 15, 2011 0
Mazhab Setelah Comte
Mazhab Geografi dan Lingkungan
Mazhab Geografi dan Lingkungan telah lama berkembang. Dengan kata lain, jarang sekali terjadi para ahli pemikir menguraikan masyarakat manusia terlepas dari tanah atau lingkungan dimana masyarakat itu berada. Masyarakat hanya mungkin timbul dan berkembang apabila ada tempat berpijak dan tempat hidup bagi masyarakat tersebut. Teori yang termasuk mazhad ini adalah ajaran-ajaran dari Edward Buckle yang berasal dari Inggris (1821-1862) dan Le Play dari Prancis (1806-1888). Dalam karyanya History of Civilization in England, Buckle meneruskan ajaran-ajaran yang sebelumnya tentang pengaruh keadaan alam terhadap masyarakat.
Mazhab Organis dan Evolusiuner
Herbert Spencer adalah orang pertama-tama menulis tentang masyarakat atas dasar data empiris yang kongkret. Dia telah memberikan suatu model kongkret yang secara sadar maupun tidak telah diikuti oleh sosiolog setelah dia. Suatu organisme menurut Spencer , akan bertambah sempurna apabila bertambah kompleks dan dengan adanya diferensiasi antara bagian-bagiannya. Spencer ingin membuktikan bahwa masyarakat tanpa diferensiasi pada tahap pra industry secara intern tidak stabil karena terlibat pertentangan-pertentangan diantara mereka sendiri. Selanjutnya dia berpendapat bahwa masyarakat industry yang telah terdiferensiasi dengan mantap, aka nada suatu stabilitas yang menuju pada kehidupan yang damai.
Ajaran Spencer berpengaruh besar sekali terutama di Amerika Serikat. Salah satunya W.G Summer (1840-1910) salah satu hasil karyanya adalah Folkway. Folkway dimaksudkan dengan kebiasaan-kebiasaan social yang timbul secara tidak sadar dalam masyarakat, yang menjadi bagian dari tradisi. Division of Labor karya Emile Durkheim termasuk mazhab ini. Durkheim menyatakan bahwa unsure-unsur dalam masyarakat adalah factor solidaritas. Dia membedakan masyarakat yang memiliki solidaritas mekanis dan solidaritas organis. Masyarakat dengan solidaritas mekanis, warga-warga masyarakat belum mempunya diferensiasi dan pembagian kerja, masyarakat memiliki kepentingan dan kesadaran yang sama. Masyarakat dengan solidaritas organis, yang merupakan perkembangan dari masyarakat solidaritas mekanis, telah memiliki pembagian kerja yang ditandai dengan derajat spealisasi tertentu.
Sebagaimana halnya dengan Spencer dan Durkheim, Ferdinand Tonnies dari Jerman (1855-1936) juga terpengaruh oleh bentuk-bentuk kehidupan social yang lain. Hal yang penting bagi Tonnies adalah bagaimana warga suatu kelompok mengadakan hubungan dengan sesamanya. Tonnies berpendapat bahwa dasar hungungan tersebut disatu pihak adalah factor perasaan, simpati, pribadi, dan kepentingan bersama. Di pihak lain dasarnya adalah kepentingan-kepentingan rasional dan ikatan-ikatan yang tidak permanen sifatnya.
Mazhab Formal
Ahli piker yang menonjol pada mazhab ini, kebanyakan dari Jerman yang terpengaruh oleh ajaran-ajaran Immanuel Kant. Georg Simmel (1858-1918) menyatakan elemen-elemen masyarakat mencapai kesatuan melalui bentuk-bentuk yang mengatur hubungan antara elemen-elemen tersebut. Selanjutnya dia berpendapat bahwa pelbagai lembaga di dalam masyarakat terwujud dalam bentuk superioritas, subordinasi, dan konflik. Menurut Simmel, seseorang menjadi warga masyarakat untuk mengalami proses individualisasi dan sosialisasi.
Leopold von Wiese (1876-1961) berpendapat bahwa sosiologi harus memusatkan perhatian pada hubungan-hubungan antarmanusia tanpa mengkaitkannya dengan tujuan-tujuan maupun kaidah-kaidah. Alfred Vierkandt (1867-1953) menyatakan bahwa sosiologi menyoroti situasi-situasi mental yang berasal dari hasil perilaku yang timbul sebagai akibat interaksi antar individu dan kelompok dalam masyarakat.
Mazhab Psikologi
Gabriel Tarde (1843-1904) dari perancis. Dia mulai denagnsuatu dugaan atau pandangan awal bahwa gejala social mempunyai sifat psikologis yang terdiri dari interaksi antara jiwa-jiwa individu dimana jiwa tersebut terdiri dari kepercayaan – kepercayaan dan keinginan-keinginan. Keinginan utama Tarde adalah berusaha untuk menjelaskan gejala-gejala social di dalam kerangka reaksi-reaksi psikis seseorang. Salah satu sosiolog dari Amerika, Richard Horton Cooley (1864-1926) menyatakan bahwa individu dan masyarakat saling melengkapi, dimana individu hanya akan menemukan bentuknya di dalam masyarakat.
Di Inggris yang terkenal adalah L.T Hobhouse (1864-1929) yang sangat tertarik pada konsep-konsep pembangunan dan perubahan social. Dia menolak penerapan prisip-prinsip biologis terhadap studi masyarakat manusia; psikologi dan etika merupakan criteria yang diperlukan untuk mengukur perubahan social.
Mazhab Ekonomi
Di mazhab ini akan dikemukakan ajaran-ajaran dari Karl Marx (1818-1883) dan Max Webber (1864-1920). Marx telah mempergunakan metode-metode sejarah dan filsafat untuk membangun suatu teori tentang perubahan yang menunjukan perkembangan masyarakat menuju suatu keadaan dimana ada keadilan social. Menurut Marx, selama masyarakat masih terbagi atas kelas-kelas, maka pada kelas yang berkuasalah akan terhimpun segala kekuatan dan kekayaan. Webber menyatakan bahwa bentuk organisasi social harus diteliti menurut prilaku warganya, yang motivasinya serasi dengan harapan warga-warga lainnya.
Mazhab Hukum
Durkheim menaruh perhatian yang besar tehadap hukum yang dihubungkannya dengan jenis-jenis solidaritas yang terdapat di masyarakat. Hukum menurut Durkheim adalah kaidah-kaidah yang bersanksi yang berat-ringannya tergantung pada pelanggaran, anggapan-anggan serta keyakinan masyarakat tentang baik buruknya suatu tindakan. Tujuan kaidah-kaidah hukum ini adalah untuk mengemablikan keadaan pada situasi semula, sebelum terjadi kegoncangan sebagai akibat dilanggarnya kaidah hukum.
Max Webber yang mempunyai latar belakang prndidikan hukum dapat dimasukan dalam mazhab ini. Dia telah mempelajari pengaruh politik, agama dan ekonomi terhadap perkembangan hukum. Disamping itu , dia juga menyoroti pengaruh para cendikiawan hukum, praktikus hukum, dan para hororatioren terhadap perkembangan hukum. Bagi Webber hukum rasional dan formal merupakan dasar bagi suatu Negara modern.
Konsep budaya hukum di perkenalkan di Amerikan pada tahun60-an oleh Lawrence M. Friedmann lewat tulisannya yang berjudul “Legal Culture and Social”. Menurut Lev, konsepsi budaya hukum menujuk pada nilai-nilai yang berkaitan dengan hukum (substantif) dan proses hukum (hukum ajektif). Budaya hukum pada hakikatnya mencakup 2 komponen pokok yang saling berkaitan, yakni nilai-nilai hukum substantif dan nilai-nilai hukum ajektif. Nilai-nilai hukum hukum substantif beisikan asumsi-asumsi fundamental mengenai distribusi dan pengunaan sumber-sumber di dalam masyarakat, hal-hal yang secara social dianggap salah atau benar. Nilai-nilai hukum ajektif mencakup sarana pengaturan social maupun pengelolaan konflik yang terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan.
Di dalam perkembangan selanjutnya Lev memperkenalkan konsepsi system hukum yang mencakup struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum. Struktur hukum merupakan suatu wadah, kerangka maupun system hukum, yakni susunan daripada unsur-unsur system hukum yang bersangkutan. Substansi hukum mencakup norma-norma atau kaidah mengenai patokan prilaku yang pantas dan prosesnya. Budaya hukum mencakup segala macam gagasan, sikap, kepercayaan harapan maupun pendapat-pendapat mengenai hukum.
Pada dasarnya terdapat dua jenis cara kerja atau metode, yaitu metode kualitatif dan metode kuantitatif. Metode kualitatif mengutamakan bahan yang sukar dapat di ukur dengan angka-angka atau dengan ukuran lain yang bersifat eksak, walaupun bahan-bahan tersebut terdapat dengan nyata di dalam masyarakat. Di dalam metode Kualitatif termasuk metode historis dan metode komparatif. Metode historis menggunakan analisis atas peristiwa-peristiwa masa silam untuk merumuskan prinsip-prinsip umum. Metode komparatif mementingkan perbandingan antara bermacam-macam masyarakat berserta bidang-bidangnya untuk memperoleh perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan serta sebab-sebabnya.
Metode kuantitatif mengutamakan bahan-bahan keterangan dengan angka-angka, sehingga gejala-gejala yang di teliti dapat diukur menggunakan scalar-skalar, indeks, tabel dan formula-formula yang semuanya menggunakan ilmu pasti atau matematika. Yang termasuk metode kuntitatif adalah metode ststistik yang bertujuan untuk menelaah gejala-gejala social secara matematis.
Disamping metode-metode diatas, metode sosiologi lainnya berdasarkan penjenisan antara metode induktif yang mempelajari suatu gejala yang khusus untuk mendapatkan kaidah-kaidah yang berlakudalam lapang yang lebih luas, dan metode deduktif yang mempergunakan proses sebaliknya, yaitu mulai dengan kaidah-kaidah yang dianggap berlaku secara umum untuk kemudian dipelajari dalam keadaan khusus.

Sosiologi, Suatu Pengantar, Soerjono Soekanto

Saturday, March 12, 2011

Edisi Kritis Mazhab Frankfurt

March 12, 2011 0
Mazhab Frankfurt atau Mazhab Teori Kritis yang sudah mulai lazim dikenal di kalangan akademis, sesungguhnya adalah mazhab pemikiran di Jerman yang muncul sekitar 1923. Disebut Mazhab Frankfurt, karena pada awalnya mazhab ini berasal dari Universitas Frankfurt Institut fur Socialforchung (Institut Penelitian Sosial) yang merupakan jurusan resmi di universitas tersebut.
Mark Horkheimer adalah filsuf generasi pertama dari Mazhab Frankfurt. Ia bahkan sempat menjabat sebagai Direktur Institut fur Socialforchung. Walaupun Horkheimer bukan pemikir paling cemerlang dari mazhab ini, tapi lewat Horkheimerlah, Mazhab Frankfurt memiliki justifikasi untuk menjadi mazhab tersendiri dalam ilmu pengetahuan.
Generasi pertama Mazhab Frankfurt adalah Mark Horkheimer, Theodor Adorno, Walter Benjamin dan Herbert Marcuse. Sedangkan generasi kedua dari Mazhab Frankfurt adalah Jurgen Habermas yang merupakan filsuf paling cemerlang dari mazhab ini.
Kritik Terhadap Positivisme
Masuknya Mazhab Frankfurt ke dalam aliran pemikiran, memiliki arti terjadinya suatu pembalikan tradisi pemikiran sebelumnya, yaitu: positivisme. Pemikiran Mazhab Frankfurt berusaha memperjelas secara rasional kehidupan manusia moderen dan melihat akibat-akibatnya dalam kemanusiaan dan dalam kebudayaan, serta mengkritisi pemikiran-pemikiran abad ke-18 berkaitan dengan penerapan positivisme, masa pencerahan (aukflarung) yang menjadikan manusia menjadi tuan atas dirinya sendiri, tapi diperbudak oleh mesin, sehingga tidak bebas dan merdeka.
Positivisme sebagai paham keilmuan meyakini puncak ilmu pengetahuan manusia adalah ilmu berdasarkan fakta-fakta keras (terukur dan teramati), dan ciri-cirinya antara lain: pertama, ilmu adalah bebas nilai; kedua, pengetahuan yang absah hanya pada fenomena semesta. Metafisika yang mengandaikan sesuatu di belakang fenomena ditolak mentah-mentah; ketiga, semesta direduksi menjadi fakta yang dapat dipersepsi; keempat, paham tentang keteraturan peristiwa di alam semesta yang menisbikan penjelasan di luar ketentuan tersebut; kelima, semua gejala alam dapat dijelaskan secara mekanikal-determinisme seperti layaknya mesin.
Mazhab Frankfurt tidak bersepaham dengan pandangan ini. Mazhab Frankfurt memandang ilmu pengetahuan moderen yang dilatar-belakangi saintisme atau positivisme sudah menghasilkan masyarakat yang irrasional, ideologis dan terasing.
Bencana Modernitas
Kecuali itu, sebagaimana yang sudah disebut di atas, berkembangnya positivisme dan proyek pencerahan mengubah fungsi tenaga manusia dengan mesin. Hal ini agaknya disadari betul oleh Horkheimer dan Adorno – sebagai dua pemikir Mazhab Frankfurt generasi pertama – di mana dirasakan kemenangan yang diperoleh merupakan kemenangan yang penuh bencana.
Hal yang juga mengerikan dari proyek pencerahan dan akibat positivisme adalah menggunakan alam sebagai instrumen untuk menindas sesama manusia. Krisis lingkungan juga adalah akibat buruk dari kecenderungan demikian. Penemuan bom, senjata nuklir dan sebagainya yang harusnya dipakai untuk mewujudkan perdamaian, justru dipandang sebagai bentuk persenjataan yang lebih efektif, sehingga apa yang dimaui manusia untuk dipelajari dari alam adalah bagaimana menguasai alam, mengeksploitasinya dan pada akhirnya menjajah sesamanya.
Saat ini manusia moderen yang mengandaikan pencerahan nyatanya sudah kehilangan kekritisannya dan seolah-olah hanya berpijak pada satu nilai dimensi kebenaran. Kebenaran itupun adalah kebenaran positivisme yang absurd, karena mengagungkan aspek fungsional belaka dan tak melihat substansi yang ada di dalamnya.
Akibatnya, manusia dalam aspek ilmu pengetahuan, seni dan filsafat, pemikiran dan laku sehari-hari, sistim politik, ekonomi dan penerapan teknologi hanya berjalan di permukaan belaka, sehingga tidak pernah merasakan ada yang tidak beres dengan kehidupan yang mereka jalani. Mereka seolah-olah sudah merasa nyaman dengan satu dimensi dari kehidupan moderen mereka, yang sejatinya tidak dipungkiri adalah bibit-bibit bencana baginya, lingkungan dan sesamanya itu, juga ancaman bagi gnerasi-generasi mereka selanjutnya.
Sumber : http://syamsulkurniawan.blogspot.com

Sunday, February 27, 2011

Menyoroti Krisis Ilmu-Ilmu Sosial

February 27, 2011 0

Mazhab Liberal dan Mazhab Marxis
            Mazhab Amerika (liberal) dan Mazhab Marxis adalah dua mazhab besar dalam ilmu sosial. Dari sudut pandangan marxis, ilmu sosial mempunyai tugas untuk menemukan hukum-hukum fundamental evolusi historis. Menurut Marx, manusia adalah totalitas seluruh koneksi sosialnya, sehingga masyarakat yang sudah terbebaskan identik dengan manusia yang sudah teremanpasi.
            Ilmu-ilmu sosial jenis marxis adalah sintesis, historis, dan determinis. Sintesis karena mencoba menangkap masyarakat dalam seluruh totalitasnya. Historis karena tidak puas dengan sekedar menganalisis masyarakat modern bedasarkan struktur yang ada, tetapi menciba mengintepretasikan masyarakat modernbedasarkan human race. Dan determinis karena mencoba membuat prediksi tentang datangnya suatu mode ekonomi dan sosial masyarakat yang tidak mungkin dihindarkan.
            
Ilmu-ilmu sosial liberal, sebaliknya memiliki karakteristik yang sangat berlainan. Secara fundamental, ilmu-ilmu sosial liberal berwatak analitis, empiris, dan probabilitas. Analitis berarti bahwa mereka melakukananalisi atas kehidupan para individu dalam masyarakat yang sudah dikenal. Empiris mengandung makna bahwa ilmu sosial liberal mencoba menerangkan pelbagai institusi dan struktur berdasarkan tingkah laku para individu, dan berdasarkan tujuan, suasana mental, serta motif-motif yang menentukan perilaku para anggotan kelompok-kelompok sosial yang beranekaragam. Dan akhirnya, ilmu-ilmu sosial liberal bersifat lebih probabilitas daripada determinis, karena prinsip utamanya adalah bahwa terdapat suatu hubungan antara kebebasan dan pilihan, dan bahwa memahami hubungan antara keduanya merupakan sasaran analisis sosial.
            Perbedaan-perbedaan diantara dua mazhab tersebut, sebagaimana disebutkan diatas, mempengaruhi jalan pikiran para pendukung ilmu-ilmu sosial dimana saja di dunia ini, termasuk Indonesia. Mazhab liberal melahirkan pelbagai varian seperti halnya marxis yang walaupun mengalami perubahan di sana-sini, tetapi mempunyai konsep-konsep pokok yang sama.
            Teori dependesia (kebergantungan) yang dikembangkan antara lain oleh Andre Gunder Frank, seorang neo-marxis lulusan Universitas Chicago, sekarang ini banyak diminati oleh sarjana-sarjana di negara berkembang, barangkali karena sepintas teori ini dapat menawarkan suatu solusi gampang bagi keterbelakangan atau kemelaratan di Dunia ketiga. Mari kita lihat secara sepintas kelemahan-kelemahan ilmu-ilmu sosial yang dikembangkan di Indonesia, sehingga akhir-akhir ini kita sering mendengar tentang krisis ilmu-ilmu sosial di negara kita.

  •   Teori Liberal

Dalam membahas teori-teori ilmu sosial aliran liberal, kita dapat mengambil beberapa contoh yang yang di Indonesia pernah dan masih berlaku keras, walaupun teori-teori itu tidak banyak relevansinya dengan masyarakat Indonesia sendiri.
Misalnya teori atau pendekata fungsional. Karena tidak waspada bahwa pendekatan sistem-fungsional tersebut sesungguhnya sangat etnosentris, maka kita lantas dihinggapi kelatahan-akademis, sambil menyakini bahwa yang diteorisasi oleh sarjana-sarjana Amerika itu adalah teori universal yang juga pasti berlaku di Indonesia. Kita tidak ingat bahwa teori sistem fungsional itu sesungguhnya tidak lebih daripada neologisme yang sangat kaku.
Contoh teori lain yang juga sering disebut-sebut di Indonesia adalah dari Daniel Lerner dalam bukunya The Passsing of Traditional Society, yang membahas tentang trilogi urbanisasi, literasi dan pembangunan media massa sebagai variabel-variabel determinatif dalam pembangunan nasional suatu bangsa.
Kemudian juga dari Huntington dalam bukunya Political Order in Charge Societies, salah satu argumennya adalah bahwa tertib politik sebagai tujuan dari perubahan politik dapat didekati sebagaimana kita mendekati pertumbuhan ekonomi seperti dilukiskan dalam buku-buku teks ekonomi.


  •   Teori Neo-Marxis

Kali ini sarjana ilmu sosial di negara kita kena penyakit baru, yaitu latah pada suatu teori neo-marxis yang disebut dengan teori dependencia. Banyak mahasiswa tingkat terakhir di pelbagai kampus mengagumi teori dependencia sebagai suatu kebenaran, oleh karena itu tidak mau meliahat perspektif teori lainnya. Hal ini cukup menyedihkan, mengingat keterbukaan berpikir seharusnya menjadi ciri manusia akademis dimanapun mereka berada.
Teori neo-marxis yang mendapat pasaran di Dunia Ketiga (termasuk Indonesia) sesungguhnya mengindap beberapa kelemahan besar. Pertama, teori dependencia tidak pernah membuat suatu elaborasi mengenai apa yang harus dilakukan setelah berhasilnya revolusi sosialis. Kedua, para toritisi tidak pernah menyebutkan pentingnya perjuangan kelas. Ketiga, istilah-istilah kunci seperti misalnya development, dependence, underdevelopment, atau socialist revolution yang sering dipakai tidak mempunyai arti yang jelas, berhubung penulis satu dengan yang lain kerap memberikan arti yang beberda-beda sesuai dengan konteks yang dibicarakan.
Keempat, konsep hirarki-eksploitatif sejak dari pusat metropolitan sampai ke buruh pertanian yang paling rendah, bisa dikatakan sudah ketinggalan zaman. Kelima, teori dependencia mempunyai suatu kelemahan logika yang cukup serius. Karena ia mengambil asumsi bahwa sistem kapitalis internasional adalah sebab utama dari keterbelakangan negara-negara berkembang dan kemelaratan Dunia Ketiga dalam tingkat nasional, regional dan lokal, maka dapat disimpulkan secara logis bahwa sistem kapitalis dunia itu merupakan suatu kejahatan, dengan kalimat lain kejahatan sudah inheren dalam sistem tersebut.

Bagaimana Sikap Kita?
            Tidak saja dalam bidang bidang ilmu teknologi dan ekonomi kita tergantung pada dunia luar yang lebih maju dari kita, melainkan juga di bidang ilmu-ilmu sosial kita masih menjadi penerima dan konsumen. Untuk menciptakan teori-teori sendiri yang lebih relevan dengan masyarakat kita, barangkali diperlukan waktu yang cukup panjang. Karena itu kita harus benar-benar bersikap kritis dalam memakai teori-teori yang datangnya dari luar.
            Lantas bagaimanakah sikap kita sebaiknya? Sebelum kita mampu menciptakan teori-teori dan paragdima kita sendiri yang lebih relevan dengan kondisi sosial kita, sikap yang terbaik adalah sikap open-minded dan elektis, terbuka dan selalu mencari dan mengambil yang paling baik dan paling cocok dari aneka teori yang ditawarkan dalam khazanah ilmu-ilmu sosial. Dengan sikap dan pandangan elektis itulah kita di Indonesia dapat mengambil manfaat dari teori-teori yang diajukan.
Ket : Tugas kuliah Sosiologi Politik Islam, Drs. Suswanta, M. Si.
Ref. : Cakrawala Islam, Dr. H. Amien Rais.