Blognya Anak Kuliahan

Sunday, February 27, 2011

Menyoroti Krisis Ilmu-Ilmu Sosial


Mazhab Liberal dan Mazhab Marxis
            Mazhab Amerika (liberal) dan Mazhab Marxis adalah dua mazhab besar dalam ilmu sosial. Dari sudut pandangan marxis, ilmu sosial mempunyai tugas untuk menemukan hukum-hukum fundamental evolusi historis. Menurut Marx, manusia adalah totalitas seluruh koneksi sosialnya, sehingga masyarakat yang sudah terbebaskan identik dengan manusia yang sudah teremanpasi.
            Ilmu-ilmu sosial jenis marxis adalah sintesis, historis, dan determinis. Sintesis karena mencoba menangkap masyarakat dalam seluruh totalitasnya. Historis karena tidak puas dengan sekedar menganalisis masyarakat modern bedasarkan struktur yang ada, tetapi menciba mengintepretasikan masyarakat modernbedasarkan human race. Dan determinis karena mencoba membuat prediksi tentang datangnya suatu mode ekonomi dan sosial masyarakat yang tidak mungkin dihindarkan.
            
Ilmu-ilmu sosial liberal, sebaliknya memiliki karakteristik yang sangat berlainan. Secara fundamental, ilmu-ilmu sosial liberal berwatak analitis, empiris, dan probabilitas. Analitis berarti bahwa mereka melakukananalisi atas kehidupan para individu dalam masyarakat yang sudah dikenal. Empiris mengandung makna bahwa ilmu sosial liberal mencoba menerangkan pelbagai institusi dan struktur berdasarkan tingkah laku para individu, dan berdasarkan tujuan, suasana mental, serta motif-motif yang menentukan perilaku para anggotan kelompok-kelompok sosial yang beranekaragam. Dan akhirnya, ilmu-ilmu sosial liberal bersifat lebih probabilitas daripada determinis, karena prinsip utamanya adalah bahwa terdapat suatu hubungan antara kebebasan dan pilihan, dan bahwa memahami hubungan antara keduanya merupakan sasaran analisis sosial.
            Perbedaan-perbedaan diantara dua mazhab tersebut, sebagaimana disebutkan diatas, mempengaruhi jalan pikiran para pendukung ilmu-ilmu sosial dimana saja di dunia ini, termasuk Indonesia. Mazhab liberal melahirkan pelbagai varian seperti halnya marxis yang walaupun mengalami perubahan di sana-sini, tetapi mempunyai konsep-konsep pokok yang sama.
            Teori dependesia (kebergantungan) yang dikembangkan antara lain oleh Andre Gunder Frank, seorang neo-marxis lulusan Universitas Chicago, sekarang ini banyak diminati oleh sarjana-sarjana di negara berkembang, barangkali karena sepintas teori ini dapat menawarkan suatu solusi gampang bagi keterbelakangan atau kemelaratan di Dunia ketiga. Mari kita lihat secara sepintas kelemahan-kelemahan ilmu-ilmu sosial yang dikembangkan di Indonesia, sehingga akhir-akhir ini kita sering mendengar tentang krisis ilmu-ilmu sosial di negara kita.

  •   Teori Liberal

Dalam membahas teori-teori ilmu sosial aliran liberal, kita dapat mengambil beberapa contoh yang yang di Indonesia pernah dan masih berlaku keras, walaupun teori-teori itu tidak banyak relevansinya dengan masyarakat Indonesia sendiri.
Misalnya teori atau pendekata fungsional. Karena tidak waspada bahwa pendekatan sistem-fungsional tersebut sesungguhnya sangat etnosentris, maka kita lantas dihinggapi kelatahan-akademis, sambil menyakini bahwa yang diteorisasi oleh sarjana-sarjana Amerika itu adalah teori universal yang juga pasti berlaku di Indonesia. Kita tidak ingat bahwa teori sistem fungsional itu sesungguhnya tidak lebih daripada neologisme yang sangat kaku.
Contoh teori lain yang juga sering disebut-sebut di Indonesia adalah dari Daniel Lerner dalam bukunya The Passsing of Traditional Society, yang membahas tentang trilogi urbanisasi, literasi dan pembangunan media massa sebagai variabel-variabel determinatif dalam pembangunan nasional suatu bangsa.
Kemudian juga dari Huntington dalam bukunya Political Order in Charge Societies, salah satu argumennya adalah bahwa tertib politik sebagai tujuan dari perubahan politik dapat didekati sebagaimana kita mendekati pertumbuhan ekonomi seperti dilukiskan dalam buku-buku teks ekonomi.


  •   Teori Neo-Marxis

Kali ini sarjana ilmu sosial di negara kita kena penyakit baru, yaitu latah pada suatu teori neo-marxis yang disebut dengan teori dependencia. Banyak mahasiswa tingkat terakhir di pelbagai kampus mengagumi teori dependencia sebagai suatu kebenaran, oleh karena itu tidak mau meliahat perspektif teori lainnya. Hal ini cukup menyedihkan, mengingat keterbukaan berpikir seharusnya menjadi ciri manusia akademis dimanapun mereka berada.
Teori neo-marxis yang mendapat pasaran di Dunia Ketiga (termasuk Indonesia) sesungguhnya mengindap beberapa kelemahan besar. Pertama, teori dependencia tidak pernah membuat suatu elaborasi mengenai apa yang harus dilakukan setelah berhasilnya revolusi sosialis. Kedua, para toritisi tidak pernah menyebutkan pentingnya perjuangan kelas. Ketiga, istilah-istilah kunci seperti misalnya development, dependence, underdevelopment, atau socialist revolution yang sering dipakai tidak mempunyai arti yang jelas, berhubung penulis satu dengan yang lain kerap memberikan arti yang beberda-beda sesuai dengan konteks yang dibicarakan.
Keempat, konsep hirarki-eksploitatif sejak dari pusat metropolitan sampai ke buruh pertanian yang paling rendah, bisa dikatakan sudah ketinggalan zaman. Kelima, teori dependencia mempunyai suatu kelemahan logika yang cukup serius. Karena ia mengambil asumsi bahwa sistem kapitalis internasional adalah sebab utama dari keterbelakangan negara-negara berkembang dan kemelaratan Dunia Ketiga dalam tingkat nasional, regional dan lokal, maka dapat disimpulkan secara logis bahwa sistem kapitalis dunia itu merupakan suatu kejahatan, dengan kalimat lain kejahatan sudah inheren dalam sistem tersebut.

Bagaimana Sikap Kita?
            Tidak saja dalam bidang bidang ilmu teknologi dan ekonomi kita tergantung pada dunia luar yang lebih maju dari kita, melainkan juga di bidang ilmu-ilmu sosial kita masih menjadi penerima dan konsumen. Untuk menciptakan teori-teori sendiri yang lebih relevan dengan masyarakat kita, barangkali diperlukan waktu yang cukup panjang. Karena itu kita harus benar-benar bersikap kritis dalam memakai teori-teori yang datangnya dari luar.
            Lantas bagaimanakah sikap kita sebaiknya? Sebelum kita mampu menciptakan teori-teori dan paragdima kita sendiri yang lebih relevan dengan kondisi sosial kita, sikap yang terbaik adalah sikap open-minded dan elektis, terbuka dan selalu mencari dan mengambil yang paling baik dan paling cocok dari aneka teori yang ditawarkan dalam khazanah ilmu-ilmu sosial. Dengan sikap dan pandangan elektis itulah kita di Indonesia dapat mengambil manfaat dari teori-teori yang diajukan.
Ket : Tugas kuliah Sosiologi Politik Islam, Drs. Suswanta, M. Si.
Ref. : Cakrawala Islam, Dr. H. Amien Rais.

No comments:

Post a Comment