Pilar
pertama bagi tegak kokoh berdirinya negara-bangsa Indonesia adalah Pancasila.
Timbul pertanyaan, mengapa Pancasila diangkat sebagai pilar bangsa Indonesia.
Perlu dasar pemikiran yang kuat dan dapat dipertanggung jawabkan sehingga dapat
diterima oleh seluruh warga bangsa, mengapa bangsa Indonesia menetapkan Pancasila sebagai pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Berikut alasannya.
Pilar
atau tiang penyangga suatu bangunan harus memenuhi syarat, yakni disamping
kokoh dan kuat, juga harus sesuai dengan bangunan yang disangganya. Misal
bangunan rumah, tiang yang diperlukan disesuaikan dengan jenis dan kondisi
bangunan. Kalau bangunan tersebut sederhana tidak memerlukan tiang yang terlalu
kuat, tetapi bila bangunan tersebut merupakan bangunan permanen, konkrit, yang
menggunakan bahan-bahan yang berat, maka tiang penyangga harus disesuaikan
dengan kondisi bangunan dimaksud.
Demikian
pula halnya dengan pilar atau tiang penyangga suatu negara-bangsa, harus sesuai
dengan kondisi negara-bangsa yang disangganya. Kita menyadari bahwa
negara-bangsa Indonesia adalah negara yang besar, wilayahnya cukup luas seluas
daratan Eropah yang terdiri atas berpuluh negara, membentang dari barat ke
timur dari Sabang sampai Merauke, dari utara ke selatan dari pulau Miangas
sampai pulau Rote, meliputi ribuan kilometer.
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki 17
000 pulau lebih, terdiri atas berbagai suku bangsa yang memiliki beraneka adat
dan budaya, serta memeluk berbagai agama dan keyakinan, maka belief system yang
dijadikan pilar harus sesuai dengan kondisi negara bangsa tersebut.
Pancasila
dinilai memenuhi syarat sebagai pilar bagi negara-bangsa Indonesia yang
pluralistik dan cukup luas dan besar ini. Pancasila mampu mengakomodasi
keanekaragaman yang terdapat dalam kehidupan negara-bangsa Indonesia. Sila
pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, mengandung konsep dasar yang
terdapat pada segala agama dan keyakinan yang dipeluk atau dianut oleh rakyat
Indonesia, merupakan common denominator dari berbagai agama, sehingga dapat
diterima semua agama dan keyakinan. Demikian juga dengan sila kedua,
kemanusiaan yang adil dan beradab, merupakan penghormatan terhadap hak asasi
manusia. Manusia didudukkan sesuai dengan harkat dan martabatnya, tidak hanya
setara, tetapi juga secara adil dan beradab. Pancasila menjunjung tinggi
kedaulatan rakyat, namun dalam implementasinya dilaksanakan dengan bersendi
pada hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan Sedang kehidupan
berbangsa dan bernegara ini adalah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia, bukan untuk kesejahteraan perorangan atau golongan.
Nampak bahwa Pancasila sangat tepat sebagai pilar bagi negara-bangsa yang
pluralistik.
Pancasila
sebagai salah satu pilar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara memiliki
konsep, prinsip dan nilai yang merupakan kristalisasi dari belief system yang
terdapat di seantero wilayah Indonesia, sehingga memberikan jaminan kokoh
kuatnya Pancasila sebagai pilar kehidupan berbangsa dan bernegara.
Negara
Indonesia adalah negara hukum, yang bermakna bahwa hukum harus dijunjung tinggi
dan ditegakkan. Setiap kegiatan dalam negara harus berdasar pada hukum, dan
setiap warganegara harus tunduk dan taat pada hukum. Perlu kita sadari bahwa
satu-satunya norma kehidupan yang diakui sah untuk memaksa warganya adalah
norma hukum, hal ini berarti bahwa aparat pemerintah memiliki hak untuk
memaksa, dan apabila perlu dengan kekerasan, terhadap warganegara yang tidak
mau tunduk dan tidak mematuhi hukum. Memaksa adalah hak asasi aparat
penyelenggara pemerintahan dalam menegakkan hukum.
Suatu
negara yang tidak mampu menegakkan hukum akan mengundang terjadinya situasi
yang disebut anarkhi. Sebagai akibat warganegara berbuat dan bertindak bebas
sesuka hati, tanpa kendali, dengan berdalih menerapkan hak asasi, sehingga yang
terjadi adalah kekacauan demi kekacauan. Dewasa ini berkembang pendapat dalam
masyarakat, aparat yang dengan tegas menindak perbuatan warganegara yang
mengacau dinilai sebagai melanggar hak asasi manusia, bahkan sering diberi
predikat pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Kita perlu sadar bahwa
negara-bangsa Indonesia dewasa ini sedang dijadikan bulan-bulanan dalam
penerapan dan pembelaan hak asasi manusia. Negara-bangsa Indonesia dibuat lemah
tidak berdaya, sehingga kekuatan luar akan dengan gampang untuk
menghancurkannya. Untuk menangkal pengaruh tersebut negara-bangsa Indonesia
harus menjadi negara yang kokoh, berpribadi, memiliki karakter dan jatidiri
handal sehingga mampu untuk menangkal segala gangguan.
Agar
dalam penegakan hukum ini tidak dituduh sebagai tindak sewenang-wenang, sesuka
hati penguasa, melanggar hak asasi manusia, diperlukan landasan yang dapat
dipertanggung jawabkan dan dapat diterima oleh rakyat. Landasan tersebut berupa
cita hukum atau rechtsidee yang merupakan dasar filsafati yang menjadi
kesepakatan rakyat Indonesia. Pancasila sebagai cita hukum mengejawantah dalam
dasar negara, yang dijadikan acuan dalam menyusun segala peraturan
perundang-undangan. Pancasila merupakan common denominator bangsa, kesepakatan
bangsa, terbukti sejak tahun 1945 Pancasila selalu dicantumkan sebagai dasar
negara. Pancasila dipandang cocok dan mampu dijadikan landasan yang kokoh untuk
berkiprahnya bangsa Indonesia dalam menegakkan hukum, dalam menjamin
terwujudnya keadilan.
1. PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA
(NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA)
Rumusan
Pancasila tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, dan dinyatakan sebagai dasar
negara. Dalam setiap dasar negara terdapat dasar fikiran yang mendasar,
merupakan cita hukum atau rechtsidee bagi negara-bangsa yang bersangkutan. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, di
antaranya disebutkan:
.
. . , maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan
Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pancasila
menurut rumusan di atas berkedudukan sebagai dasar negara, sebagai staatsidee, cita negara sekaligus
sebagai cita hukum atau rechtsidee.
Cita hukum memiliki fungsi konstitutif dan regulatif terhadap kehidupan
berbangsa dan bernegara. Segala peraturan perundang-undangan harus merupakan
derivasi dari prinsip dan nilai yang terkandung dalam Pancasila. Segala
peraturan perundangan-undangan yang tidak konkordan apalagi bertentangan dengan
Pancasila, batal demi hukum. Berikut disampaikan beberapa contoh peraturan
perundang-undangan yang merupakan penjabaran dari Pancasila.
- Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia, di antaranya menentukan dalam ”Landasan” : “Bangsa Indonesia mempunyai pandangan dan sikap mengenai hak asasi manusia yang bersumber dari ajaran agama, nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.”
- Ketetapan MPR RI No. XVIII/MPR/1998, Pasal 1 menetapkan: ”Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indoinesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara.”
- UU No. 43 tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, menentukan di antaranya: (1) Pegawai negeri merupakan unsur aparatur negara yang bertugas secara adil dan merata, menjaga persatuan dan kesatuan negara, serta dengan penuh kesetiaan kepada Pancasila dan UUD 1945. (2) Termasuk pegawai negeri adalah pegawai negeri sipil dan militer dan semua pejabat negara. (3) Pasal 28 menetapkan bahwa sebelum seseorang diangkat menjadi pegawai negeri mengangkat sumpah :”Setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, UUD 1945, negara dan pemerintah.” (4) Pasal 23 menetapkan bahwa pegawai negeri diberhentikan tidak dengan hormat karena melanggar sumpah janji karena tidak setia kepada Pancasila, UUD 1945, negara dan pemerintah, dan atau melakukan penyelewengan terhadap ideologi negara Pancasila, UUD 1945 atau terlibat dalam kegiatan yang menentang negara dan pemerintah.
- UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
- Undang-undang tersebut di antaranya menentukan: (1) Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah mempunyai kewajiban memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (pasal 27). (2) Anggota DPRD mempunyai kewajiban mengamalkan Pancasila, melaksanakan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, dan menaati segala peraturan perundang-undangan; mempertahankan dan memeliha-ra kerukunan nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (pasal 45).
Merujuk
pada UU tersebut, bagi pegawai negeri, Pancasila adalah segalanya, karena
sangat menentukan sikap dan perilakunya dalam menjalankan tugasnya sebagai
aparatur negara. Bagi pegawai negeri yang tidak taat dan setia serta tidak
mengamalkan Pancasila dapat dipecat tidak dengan hormat. Namun penegakan hukum
terhadap UU No.43 tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004 ini masih sangat lemah,
masih terdapat begitu banyak penyimpangan, namun tetap dibiarkan saja. Negara
Indonesia sebagai negara hukum tidak selayaknya membiarkan kondisi demikian.
Perlu usaha nyata untuk mensosialisasikan UU dimaksud, melaksanakan law
enforcement, dan penindakan terhadap pelanggarnya. Dari ketentuan peraturan
perundang-undangan tersebut di atas, senang maupun tidak senang, Pancasila
harus dijadikan pilar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara agar
ketentuan-ketentuan hukum tersebut dapat diselenggarakan dengan semestinya.
Sementara
itu setiap warganegara memiliki kewajiban untuk taat kepada segala peraturan
perundang-undangan yang berlaku, sehingga wajib pula untuk berpegang teguh pada
Pancasila sebagai pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Agar kita dapat
memahami dengan baik dan benar Pancasila, sehingga timbul keyakinan akan
kebenaran Pancasila sebagai dasar negara perlu memahami konsep yang terdapat
dalam Pancasila yang merupakan common denominator dari gagasan yang berkembang
pada berbagai suku bangsa di seantero
tanah air. Tanpa memahami konsep yang terkandung dalam Pancasila tidak
mungkin kita dapat mengaktualisasikan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara secara tepat dan benar.
2. BERBAGAI KONSEP YANG TERDAPAT
DALAM PANCASILA
Konsep
adalah gagasan umum dan abstrak, merupakan faham universal hasil olah fikir dan
generalisasi manusia. Konsep adalah hasil konstruksi nalar manusia secara
teoretik. Secara logik konsep berfungsi sebagai dalil, suatu gagasan yang
memberikan makna terhadap fenomena atau hal ihwal sehingga ditemukan esensi
atau hakikat dari fenomena atau hal ihwal dimaksud. Konsep dipergunakan oleh
manusia untuk memberikan arti terhadap segala fenomena yang dialami oleh
manusia, sekaligus sebagai acuan kritik dalam memberikan makna terhadap
fenomena yang dihadapi.
Fenomena
yang menjadi perhatian manusia sejak zaman purba adalah ”siapa manusia itu dan
apa makna kehidupan ummat manusia ini.” Banyak gagasan yang dapat diterima atau
ditolak oleh masyarakat sebagai konsep mengenai siapakah manusia itu. Berikut
disampaikan beberapa konsep, sebagai bahan banding dan perluasan wawasan,
mengenai hakikat manusia.
Aristoteles,
yang hidup di tahun 384-322 sebelum Masehi, mengatakan bahwa manusia adalah zoon politicon; bahwa manusia adalah
makhluk yang bermasyarakat. Manusia adalah makhluk pribadi merupakan suatu
kesatuan, namun di sisi lain ia adalah makhluk sosial, suatu makhluk yang tidak
mungkin hidup seorang diri, manusia membentuk keluarga, masyarakat, bahkan
berbangsa dan bernegara. Bertitik tolak dari konsep ini maka dipandang wajar
apabila manusia berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Konsep
lain mengenai siapa manusia adalah pendapat Charles Robert Darwin, yang hidup
antara 1809-1882, mengemukakan teori tentang asal muasal segala makhluk yang
ada di dunia termasuk manusia. Dalam bukunya yang berjudul The Origin of Species ia kemukakan tentang konsep evolusi mengenai
terjadinya segala makhluk di dunia termasuk manusia. Manusia tidak terjadi
sekonyong-konyong tetapi melalui proses perlahan-lahan dan memakan waktu yang
panjang. Konsep ini sangat bertentangan dengan ajaran agama yang berasal dari
Timur Tengah, bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan dengan suatu sabda saja. Oleh
karena itu konsep yang dikemukakan oleh Darwin ini mengguncang dunia, dan
ditentang oleh agama. Dari konsep pokok tersebut berkembang konsep tentang
terjadinya makhluk yakni konsep natural selection dan survival of the fittest. Terjadi seleksi alami yang menyebabkan
tetap eksisnya suatu jenis makhluk tertentu dan berakhirnya makhluk yang lain
karena tidak mampu menyesuaikan dengan tantangan yang dihadapinya. Hanya
makhluk yang mampu untuk mempertahankan eksistensi dirinya, maka makhluk
tersebut dapat tetap ada.
Bagi
rakyat yang menempati kepulauan Nusantara, sejak zaman purba, sebelum masuknya
agama besar, telah memiliki suatu belief system tentang makna kehidupan manusia
dan hubungannya dengan alam semesta. Bila Aristoteles memandang kehidupan
manusia adalah dalam kaitannya dengan masyarakat, bahwa manusia adalah makhluk
yang bermasyarakat (zoon politicon), rakyat yang menempati bumi Nusantara ini,
khususnya orang Jawa, memandang bahwa kehidupan manusia adalah menyatu dengan alam
semesta. Orang Jawa menyebutnya sebagai ”manunggaling kawulo Gusti.” Hubungan
antara manusia sebagai individu dengan alam semesta tertata dan terikat dalam
keselarasan dan keserasian atau harmoni. Masing-masing unsur memiliki peran dan
fungsinya, dan masing-masing makhluk saling melayani sehingga terjadi
keteraturan dan ketertiban. Yang ingin diwujudkan adalah ketenteraman dan
kedamaian dunia. Orang Jawa menyebutnya sebagai ”memayu hayuning bawono.”
Berikut disampaikan beberapa konsep yang terdapat dalam Pancasila.
a. Konsep Religiusitas
Alam
semesta dengan segala isinya ada dan begerak, tumbuh dan berkembang oleh suatu
kekuatan gaib, yang manusia sendiri tidak mampu untuk memahami dengan seksama.
Berkembanglah konsep mengenai hal yang gaib tersebut. Sesuai dengan tingkat
daya nalar manusia, diberikan gambaran mengenai hal yang gaib tersebut. Suatu
ketika manusia beranggapan bahwa kekuatan gaib tersebut tersembunyi dalam
segala sesuatu yang berbentuk besar seperti batu yang besar, pohon yang besar,
gunung yang besar, lautan yang luas dan sebagainya. Manusia harus bersikap yang
baik terhadap benda-benda tersebut bila ingin selamat, tingkah laku yang tidak
terpuji akan mengundang kemarahan kekuatan gaib yang tersembunyi di dalam
benda-benda tersebut, dan berakibat yang tidak menyenangkan bagi manusia. Hal
yang gaib tersebut bersifat tremendum, menakutkan atau mengerikan, tetapi di
sisi lain menggiurkan atau fascinosum.
Namun
kemudian manusia beranggapan bahwa sesuatu yang gaib tersebut dapat
dimanfaatkan oleh manusia, seperti pohon yang besar dapat dimanfaatkan untuk
membuat perahu yang dapat dipergunakan untuk mengarungi samudera yang luas.
Meskipun demikian, dalam memanfaatkan benda besar tersebut masih memerlukan
upacara-upacara atau peribadatan tertentu agar segala yang dikerjakan manusia
selamat dan memberi manfaat. Berkembanglah kemudian suatu pola fikir bahwa
kekuatan gaib ini tidak terdapat dalam benda yang besar, tetapi pada
benda-benda keramat, seperti makam para leluhur dan orang hebat, pada benda-benda
keramat seperti keris, batu mulia dan sebagainya.
Pada
waktu manusia mulai terlibat dalam kegiatan pertanian timbul pertanyaan,
mengapa suatu ketika usaha pertaniannya berhasil suatu ketika gagal meski telah
diusahakan dengan sebaik mungkin. Timbul suatu gagasan bahwa di luar usaha
manusia dalam pertanian ini terdapat kekuatan gaib di luar kekuasaan manusia.
Manusia tidak mampu membuat padi tumbuh, manusia hanya mampu memberikan kondisi
yang sebaik mungkin agar padi dapat tumbuh dengan subur. Terdapat kekuatan gaib
yang menyebabkan padi tumbuh dan berhasil dengan baik. Manusia memproyeksikan
diri pada kekuatan gaib tersebut, bahwa kekuatan gaib ini berbentuk seperti
manusia tetapi mempunyai kekuatan dan kekuasaan yang luar biasa dan di luar
jangkauan manusia. Gagasan tentang kekuatan gaib semacam itu disebut pandangan
anthropomorph, memberikan gambaran
kekuatan luar biasa tersebut dalam suatu persona seperti manusia. Contoh
gagasan atau konsep anthropomorph ini misal dikenalnya Dewi Sri, Dewi Laksmi, Saripohaci
dan sebagainya. Setiap kali seorang petani melakukan kegiatan pertanian dimulai
dengan upacara memohon agar dewi-dewi tersebut memberikan restu dan
keberhasilan terhadap pertanian yang diusahakan.
Konsep
tentang dewa dan dewi ini berkembang dan diwujudkan dalam figur sebagai
penguasa terhadap aspek kehidupan tertentu, ada dewa penguasa laut, penguasa
api, angin, peperangan dan sebagainya. Dalam pewayangan dapat kita kenal
dewa-dewa tersebut. Di antara dewa-dewa tersebut ada dewa yang paling berkuasa
yang disebut dewa Sang Hyang Wenang. Wenang bermakna kekuasaan atau kewenangan
untuk melakukan apa saja, sehingga Sang Hyang Wenang adalah dewa penguasa
segala hal dan penentu segala seluk beluk kehidupan dewa-dewa, manusia dan alam
semesta.
Terdapat
pula suatu ketika timbulnya gagasan bahwa kekuatan gaib ini terwujud dari asal
muasal kehidupan yang bermula pada alat vital yang dimiliki oleh manusia.
Dibuatlah tiruan alat vital manusia dari batu besar yang disebut sebagai lingga
(alat kelamin laki-laki) dan yoni (alat kelamin wanita). Benda tiruan buatan
manusia tersebut dipuja-puja bila ingin mendapatkan kesuburan. Konsep mengenai
kekuatan gaib yang digambarkan di atas masih dapat kita temui dalam peninggalan
sejarah maupun praktek kehidupan sehari-hari masyarakat, namun secara perlahan
terkikis oleh hadirnya agama-agama baik yang berasal dari India, Cina, maupun
Timur Tengah. Namun dengan pendekatan sinkretisisme yang diterapkan oleh
rakyat, utamanya suku Jawa, dalam menerima agama-agama tersebut, konsep atau
gagasan mengenai kekuatan gaib tersebut masih tetap nampak.
Dengan
masuknya agama-agama besar terjadilah perubahan konsep terhadap hal yang gaib
di Indonesia. Kalau semula orang beranggapan bahwa kekuatan gaib itu
tersembunyi dalam benda-benda tertentu, kemudian terwujud dalam suatu sosok
yang digambarkan seperti manusia, maka dengan masuknya agama-agama tersebut
terjadilah perubahan yang sangat drastis mengenai hal yang gaib tersebut.
Kekuatan gaib ini tidak berupa dan tidak berwujud, tidak bermula dan tidak
berakhir, tetapi memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk menjadikan alam semesta
dan mengaturnya. Berkembanglah konsep mengenai Tuhan yang Esa, apapun namanya.
Nampaknya pemikiran mengenai konsep masalah gaib ini berkembang terus, dewasa
ini terdapat suatu gagasan oleh sementara pihak bahwa yang gaib itu terdapat
dalam diri segala yang tergelar di alam semesta itu sendiri. Oleh karena itu,
manusia dalam mencari kekuatan dan kekuasaan yang luar biasa itu perlu dicari
dalam diri masing-masing. Inilah konsep pantheisme. Konsep ini berkembang terus
sampai-sampai ada yang berpandangan bahwa kekuatan gaib yang luar biasa di luar
diri manusia itu tidak ada. Bagi bangsa Indonesia pemikiran terakhir ini
dinilai tidak sesuai dengan perkembangan yang terjadi di Indonesia.
Konsep
mengenai kekuatan gaib yang berpengaruh terhadap kehidupan manusia ini adalah
konsep religiositas, suatu konsep dasar
yang terdapat dalam setiap agama maupun keyakinan dan kepercayaan yang dianut
oleh manusia. Pancasila mengandung konsep religiositas, suatu konsep yang
mengakui dan meyakini bahwa di luar diri manusia terdapat kekuatan gaib yang
menjadikan alam semesta, mengaturnya sehingga terjadi keselarasan dan
keserasian. Sebagai akibat manusia Pancasila beriman dan bertakwa terhadap
kekuatan gaib tersebut. Pancasila menyebutnya sebagai suatu panduan yang
bernama Ketuhanan Yang Maha Esa, yang merupakan esensi dari segala agama dan
kepercayaan yang berkembang di Indonesia.
Dewasa
ini dunia terpolarisasi dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan, satu sisi
berusaha untuk menerapkan sistem pemerintahan sekular, satu pihak menerapkan
sistem pemerintahan berdasar agama. Pemerintahan sekular berusaha membatasi
bahwa urusan pemerintahan terbatas pada perkara yang menyangkut urusan kehidupan
duniawi, mengatur kehidupan manusia selama hidup di dunia. Masalah kehidupan
manusia setelah meninggalkan dunia menjadi tanggung jawab pribadi bukan urusan
negara dan pemerintahan. Sebagai acuan dalam penyelenggaraan pemerintahan
adalah kesepakatan yang berkembang dalam masyarakat sendiri. Sumber kekuasaan
dalam pemerintahan sekular adalah rakyat sendiri yang diperintah. Sedang negara
yang berdasar agama mengaitkan kehidupan duniawi dengan kehidupan setelah
manusia meninggalkan dunia yang fana ini. Penyelenggaraan pemerintahan tidak
dapat dipisahkan dari kehidupan duniawi dan kehidupan ukhrowi. Sebagai acuan
dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah segala wahyu yang berasal dari Tuhan.
Segala kebijakan penyelenggaraan pemerintahan hasil konstruksi nalar manusia
yang tidak sesuai atau tidak merupakan derivasi dari wahyu Tuhan batal demi
hukum. Ternyata pertentangan antara dua sistem pemerintahan ini berkembang
makin marak memasuki abad ke XXI.
Dengan
berdasar Pancasila utamanya sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, dalam
penyelenggaraan pemerintahan, agama didudukkan dan ditempatkan secara
proporsional. Agama dihormati tetapi tidak dijadikan dasar penyelenggaraan
pemerintahan dan negara. Dengan demikian kepentingan agama dan konsep sekular
diberi tempat dalam penyelenggaraan pemerintahan yang berdasar Pancasila.
Pemerintahan dengan dasar Pancasila bukan negara agama, tetapi juga bukan
negara sekular. Pemerintahan dengan dasar Pancasila memberikan akomodasi
terhadap gagasan sekular dan pemerintahan berdasar agama.
b. Konsep Humanitas
Sejak
berlangsungnya renaissance, pada abad 14-17, orang mulai menggagas ulang budaya
yang berlangsung pada masa Yunani kuno. Bila sejak abad pertama orang terbius
dengan agama-agama besar seperti agama Kristen dan Islam, sehingga pola fikir
dan pola tindak manusia diwarnai oleh ajaran agama-agama tersebut, dengan
berlangsungnya renaissance orang mulai mengembangkan daya fikirnya lagi untuk
memecahkan segala persoalan yang dihadapinya. Orang mempercayakan diri pada
daya fikir manusia, bahkan ada yang beranggapan hanya daya fikir yang dipercaya
untuk mengatasi segala persoalan hidup manusia.
Dengan
berlangsungnya renaissance terjadi perubahan yang sangat mendasar mengenai
pandangan manusia terhadap hakikat dirinya. Bila sebelum renaissance berlaku
anggapan bahwa suara Tuhan adalah segalanya, sehingga segala ketentuan yang
mengatur manusia sepenuhnya tergantung pada ketentuan Tuhan, dengan
berlangsungnya renaissance orang mulai bertanya apakah memang demikian
seharusnya. Manusia mengangkat dirinya dengan cara mendudukkan dirinya sesuai
dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk pemikir. Bahkan suatu ketika
merubah anggapan bahwa suara Tuhan itu adalah suara rakyat atau Vox populi vox
Dei.
Berkembanglah
faham humanisme suatu faham yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia
sebagai pribadi yang memiliki cirinya masing-masing secara tersendiri, atau
yang biasa disebut sebagai jatidiri. Sebagai turunan dari anggapan tersebut
manusia memiliki kebebasan dalam berfikir, mengemukakan pendapat, serta
menentukan pilihan hidupnya. Gerakan humanisme ini yang melahirkan gagasan
individualisme, liberalisme dan pluralisme. Gerakan humanisme ini berkembang
dengan pesatnya setelah berakhirnya perang dunia kedua. Hal ini sangat mungkin
dipicu oleh rasa penyesalan ummat manusia yang bersikap dan bertindak dehumanis
sepanjang zaman. Manusia diperlakukan sekedar sebagai alat pemuas
kepentingan-kepentingan tertentu. Bangsa-bangsa di dunia kemudian bersepakat
melindungi kebebasan individu tersebut dalam suatu konvensi yang disebut
”Universal Declaration of Human Rights.”
Faham
humanisme yang berisi konsep humanitas
menyentuh pula pemikiran para founding fathers, sehingga oleh Bung Karno
diangkat menjadi salah satu prinsip bagi kehidupan berbangsa dan bernegara,
bahkan diusulkan untuk dijadikan salah satu prinsip yang menjadi dasar negara.
Bung Karno menamakannya sebagai prinsip peri-kemanusiaan atau
internasionalisme. Namun Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia akhirnya menyepakati sila kedua Pancasila ini ditetapkannya menjadi
”Kemanusiaan yang adil dan beradab,” yang memiliki makna sebagai berikut:
- Manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa didudukkan sesuai dengan kodrat, harkat dan martabatnya. Manusia dikaruniai oleh Tuhan berbagai disposisisi atau kemampuan dasar untuk mendukung misi yang diembannya. Disposisi tersebut adalah kemampuan untuk berfikir, merasakan, berkemauan dan berkarya. Sebagai akibat dari kemampuan tersebut manusia mengalami perkembangan dan kemajuan dalam hidupnya. Dengan kemampuannya tersebut manusia menghasilkan karya-karya baik yang bersifat nampak (tangible) maupun yang tidak nampak (intangible), terakumulasi dalam kehidupannya, dipelihara dan dijadikan kiblat dan acuan bagi hidupnya. Berkembanglah budaya dan peradaban. Disebabkan oleh pengalaman sejarah hidup yang berbeda yang dialami oleh masing-masing komunitas atau kelompok masyarakat, maka setiap kelompok masyarakat memiliki budaya dan peradabannya sendiri-sendiri. Demikian pula halnya dengan bangsa Indonesia. Sebagai manusia atau suatu komunitas wajib menghormati kodrat, harkat dan martabat manusia yang manifestasinya berupa keaneka ragaman adat budaya lokal dan daerah.
- Dengan kemampuan dasar ”kemauan,” didukung oleh kemampuan fikir, perasaan, dan karya, manusia selalu berusaha untuk hidup dalam kondisi yang terbaik yang menimpa dirinya. Manusia selalu dirundung oleh ambisinya tersebut untuk mencari segala sesuatu yang diharapkan akan memberikan kepuasan hidupnya baik mengenai hal-hal yang bersifat jasmani maupun rokhani. Tuhan mengaruniai kebebasan pada manusia dalam menentukan pilihan hidupnya dalam mencari yang terbaik bagi kehidupannya. Namun kebebasan yang dikaruniakan oleh Tuhan kepada manusia tersebut tidak cuma-cuma. Kebebasan tersebut harus dipertanggung jawabkan kepada Tuhan maupun kepada masyarakat sekitarnya. Kebebasan ini biasa disebut sebagai hak asasi manusia, merupakan mahkota bagi kehidupan manusia yang tidak boleh diganggu gugat. Namun dalam melampiaskan kebebasan tersebut manusia dibatasi, sekurang-kurangnya oleh kebebasan yang juga menjadi hak manusia lain. Terdapat cara yang dengan mudah dapat dipergunakan sebagai acuan dalam menuntut atau melampiaskan kebebasan manusia, yakni tidak dibenarkan mengganggu dan melanggar kebebasan pihak lain pada waktu seseorang menuntut dan melampiaskan kebebasannya.
- Meskipun manusia diciptakan dalam kesetaraan, namun realitas menunjukkan adanya fenomena yang beragam ditinjau dari berbagai segi. Keaneka ragaman manusia dapat dilihat dari sisi jasmani maupun mentalnya, sehingga setiap manusia memiliki kepribadian yang beragam yang membentuk jatidiri manusia sebagai individu. Namun dalam keaneka ragaman tersebut terdapat hal-hal yang disepakati bersama, menjadi pengikat kehidupan bersama. Terdapat nilai-nlai dan prinsip-prinsip sama yang merupakan common denominator antar berbagai komunitas. Sifat pluralistik manusia dihormati dan didudukkan dengan sepatutnya, tetapi harus dibingkai dalam suatu kebersamaan dan kesatuan.
- Tata hubungan manusia dengan manusia yang lain dikemas dalam tata hubungan yang dilandasi oleh rasa kasih sayang. Bahwa eksistensi manusia di dunia adalah untuk dapat memberikan pelayanan pada pihak lain; orang Jawa menyebutnya sebagai ”leladi sesamining dumadi.” Manusia sebagai makhluk yang mengemban amanah untuk menjaga kelestarian ciptaan Tuhan memegang suatu prinsip ”memayu hayuning bawono.” Hal ini akan terselenggara dengan baik apabila dilandasi oleh sikap ”sepi ing pamrih, rame ing gawe; jer basuki mowo beyo;” bahwa dalam mengusahakan tewujudnya kehidupan yang sejahtera, terciptanya keharmonisan segala ciptaan Tuhan, manusia harus menyisihkan kepentingan pribadi dan golongan, serta rela berkorban demi terwujudnya kondisi yang diharapkan dimaksud. Hal ini dapat terselenggara bila didasari oleh rasa cinta dan kasih sayang sesama.
- Dalam berhubungan dengan sesama diharapkan manusia mampu untuk mengendalikan diri, tidak merasa dirinya yang paling benar, paling hebat, paling kuasa, sehingga mengabaikan dan memandang remeh atau tidak penting pihak lain. Orang Jawa mengatakannya ”ojo dumeh, ojo adigang, adigung, adiguno.” Secara bebas dapat diartikan jangan meremehkan pihak lain maupun kondisi yang terjadi, jangan bersikap angkuh, merasa dirinya paling hebat dalam segala hal. Sifat inklusif harus dikembangkan sedang sifat eksklusif harus dihindari. Sementara itu kejujuran harus dikembangkan sebagai landasan untuk mengikat hubungan yang serasi, selaras dan seimbang. Demikian pula sifat mementingkan diri sendiri yang mengantar timbulnya kesrakahan harus dihindari.
c. Konsep Nasionalitas
Abad
ke XX merupakan abad kebangkitan wawasan kebangsaan bagi negara-negara di
wilayah Asia, tidak terkecuali bagi masyarakat yang mendiami wilayah yang pada
waktu itu dikuasai oleh pemerintah Belanda, yang bernama Nederlands Oost Indie
atau Hindia Belanda. Sejak tahun 1908 para pemuda telah gandrung dengan wawasan
kebangsaan dengan mendirikan organisasi Boedhi Oetomo. Organisasi ini yang
kemudian memicu lahirnya berbagai organisasi kepemudaan yang berasal dari
berbagai daerah Hindia Belanda. Organisasi kepemudaan ini yang mendeklarasikan
”Sumpah Pemuda” yang sangat monumental, yang mengkristal menjadi dorongan kuat
bagi lahirnya negara-bangsa Indonesia.
Pada
tanggal 1 Juni 1945 Bung Karno mengusulkan bahwa salah satu prinsip dasar
negara adalah ”kebangsaan.” suatu prinsip bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara, bukan untuk kepentingan seseorang, golongan, tetapi suatu dasar
”semua buat semua.” Faham kebangsaan ini bukan merupakan faham kebangsaan yang
sempit atau chauvinisme. Usul Bung Karno ini kemudian disepakati oleh BPUPKI
menjadi persatuan Indonesia, yang memiliki makna sebagai berikut:
- Rakyat Indonesia dalam hidup bermasyarakat dan bernegara terikat dalam suatu komunitas yang namanya bangsa Indonesia. Mereka mengaku dengan ikhlas dan bangga sebagai warga bangsa Indonesia, cinta serta rela berkorban demi negara-bangsanya.
- Tanpa mengurangi hak pribadi, loyalitas warganegara terhadap negara-bangsanya, mengenai perkara yang bersifat sekular atau duniawi, diletakkan di atas kepentingan pribadi dan golongan.
- Dalam mengembangkan wawasan kebangsaan ciri golongan, baik ditinjau dari segi etnis, suku, agama, maupun adat budaya, dihormati dan ditempatkan secara proporsional dalam menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa. Wawasan kebangsaan tidak mengeliminasi keanekaragaman. Kearifan lokal (local wisdom) dipelihara, dijaga dan dikembangkan sejalan dengan wawasan kebangsaan. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudaya-an di daerah di seluruh Indonesia diperhitungkan sebagai kebudayaan bangsa.
- Atribut negara-bangsa seperti bendera merah putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya, lambang negara Garuda Pancasila, bahasa nasional Indonesia dan gambar kepala negara dihormati dan didudukkan secara proporsional sesuai dengan kesepakatan bangsa. Memperlakukan atribut negara secara tidak senonoh atau kurang beradab tidak sesuai dengan esensi wawasan kebangsaan. Menghormati atribut negara-bangsa tidak bermakna menyembah atau mensakralkan atribut tersebut. Perlu disadari bahwa mencederai atribut bangsa, atau melecehkan atribut bangsa sama saja dengan melecehkan diri sendiri sebagai warganegara-bangsa.
- Dengan berprinsip pada wawasan kebangsaan, bangsa Indonesia tidak menolak masuknya kebudayaan asing dengan syarat bahwa kebudayaan dimaksud harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, kesatuan dan persatuan banga. Bahwa kebudayaan asing dimaksud dapat memperkem-bangkan dan memperkaya kebudayaan bangsa, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.
- Dalam mengembangkan wawasan kebangsaan perlu dihindari berkembangnya faham kebangsaan sempit, yang memandang bangsanya sendiri yang paling hebat di dunia dan memandang rendah bangsa yang lain. Demikian pula dengan wawasan kebangsaan tidak berkembang menjadi faham ekspansionis yang berusaha untuk menguasai negara-bangsa lain. Dengan berpegang pada wawasan kebangsaan, bangsa Indonesia memiliki missi untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
d. Konsep Sovereinitas
Bila
sila pertama, kedua dan ketiga Pancasila memberikan makna tata hubungan manusia
dengan sekitarnya, maka sila keempat ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,” memberikan gambaran bagaimana
selayaknya tata cara hubungan antara unsur-unsur yang terlibat kehidupan
bersama, untuk selanjutnya bagaimana menentukan kebijakan dan langkah dalam
menghadapi permasalahan hidup. Sedangkan sila ke-lima ”Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia,” memberikan gambaran mengenai tujuan yang ingin
diwujudkan dalam kehidupan bersama, hidup berbangsa dan bernegara.
Berbagai
pihak memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud ”kerakyatan” adalah yang oleh
berbagai negara disebut demokrasi. Kerakyatan adalah demokrasi yang diterapkan
di Indonesia yang memiliki ciri sesuai dengan latar belakang budaya bangsa
Indonesia sendiri. Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang berprinsip
bahwa sumber kekuasaan atau wewenang dalam menyelenggarakan pemerintahan
bersumber pada rakyat.
Dengan
maraknya faham humanisme, pada era renaissance, manusia mulai mempertanyakan
mengenai hakikat kekuasaan dalam memerintah. Kalau pada abad tengah dan
sebelumnya negara pada umumnya dipimpin oleh seorang raja atau kaisar yang
mengaku mendapat limpahan wewenang dari Tuhan, pada akhir abad ke XVIII orang
mulai menyangsikan hal tersebut. Dengan mendudukkan manusia sesuai dengan
harkat dan martabatnya, berasumpsi bahwa selayaknya kekuasaan atau wewenang
memerintah itu bersumber dari yang diperintah, dari rakyat. Sangat terkenal semboyan yang disampaikan oleh Abraham
Lincoln (1809-1865), presiden ke-16 dari Amerika Serikat, tentang demokrasi.
Dikatakannya bahwa demokrasi adalah ”government
from the people, by the people and for the people”, pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Sebenarnya
gagasan manusia mengenai sumber kekuasaan yang terdapat pada rakyat, telah jauh
hari difikirkan sebelum Lincoln mengemukakan slogan yang sangat terkenal tersebut.
Thomas Jefferson (1743-1826) presiden ketiga dari Amerika Serikat sejak tahun 1770-an
telah mengemukakan gagasannya, dan setelah dibahas oleh para founding fathers
Amerika, diterima sebagai pernyataan Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat.
Sangat terkenal preambule deklarasi itu yang rumusannya sebagai berikut: “We hold these truths to be self-evident that
all men are created equal, that they are endowed by their Creator with
unalienable Rights, that among these are Life, Liberty, and the Pursuit of
Happiness. That to secure these rights, Governments are instituted among Men,
deriving just powers from the consent of the governed.”
Pernyataan
inilah sebagai dasar penyelenggaraan pemerintahan demokrasi yang bersifat
individualistik dan liberalistik di Amerika Serikat. Ada baiknya kalau kita bandingkan dengan
gagasan Lafayette (1757-1834) dari Perancis yang kemudian diolah menjadi
Declaration des Droits de l’Homme et du Citoyen yang rumusannya, setelah
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris adalah sebagai berikut: “Men are born and remain free and equal in
rights. Social distinction can be based only upon public utility. The aim of
every political association is the preservation of the natural and
imprescriptible rights of man. These rights are Liberty, Property, Security,
and Resistance to Oppression. The source of all sovereign is essentially in the
nation, no body, no individual can exercise authority that does not proceed
from it in plain terms. Liberty consists in the power to do anything that does
not injure others . . . .Law is the expression of general will, all citizen
have the right to take part personally or by their representatives in it
formations . . .”
Nampak
adanya perbedaan landasan penyeleng-garaan demokrasi antara Amerika Serikat dan
Perancis. Demokrasi Amerika Serikat terlalu berorientasi pada kepentingan
pribadi dan melindungi hak asasi individu. Hal ini nampak dalam rumusannya yang
berbunyi :”Governments are instituted
among men, deriving just powers from the consent of the governed.” Sedang
Perancis mengutamakan negara dalam penerapan demokrasi, terbukti dalam pernyataannya
: ”The source of all sovereign is
essentially in the nation.” Marilah sekarang kita bandingkan prinsip dari
dua negara tersebut dengan prinsip yang melandasi demokrasi di Indonesia.
Berikut disampaikan beberapa frase yang berisi prinsip bagi penyelenggaraan
demokrasi di Indonesia.
- Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa;
- Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya;
- Untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam
frase-frase yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 tidak terdapat istilah atau
kata-kata individu atau manusia, tetapi yang ditonjolkan adalah kepentingan
bangsa. Kemerdekaan adalah hak bangsa, proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah
untuk dapat berkehidupan kebangsaan yang bebas, bahwa pemerintahan Indonesia
adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan di antaranya adalah untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa, bahwa
Negara Republik Indonesia menerapkan kedaulatan rakyat dalam gerak
pelaksanaannya dengan berprinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/pewakilan.
Dengan
demikian demokrasi yang bersendi pada liberalisme yang individualistik tidak
sesuai dengan demokrasi yang selayaknya diterapkan di Indonesia. Demokrasi di
Indonesia tidak semata-mata untuk membela dan mengakomodasi hak pribadi, tetapi
juga harus menga-komodasi kepentingan bangsa. Bersendi pada prinsip-prinsip
yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, demokrasi yang diterapkan di Indonesia
hendaknya memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
- Segala keputusan demokratis tidak dibenarkan mengarah pada timbulnya perpecahan bangsa.
- Dalam mengambil keputusan hendaknya selalu berpegang pada adagium bahwa negara-bangsa ditempatkan di atas kepentingan pribadi dan golongan.
- Hak-hak pribadi tetap dihormati tetapi selalu ditempatkan dalam kerangka terwujudnya keselarasan hidup serta kelestarian ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
- Keputusan demokratis bukan semata-mata mengakomodasi aspirasi dan keinginan rakyat atau warganegara tetapi harus mengarah pada terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
- Praktek demokrasi yang diselenggarakan di negara lain dapat diterapkan di Indonesia dengan berpegang pada ketentuan di atas. Pengambilan keputusan dengan cara voting dibenarkan sejauh musyawarah untuk mencapai mufakat tidak dapat mencapai hasil.
- Demokrasi yang diterapkan di Indonesia tidak semata-mata mengacu pada proses, tetapi harus memperhatikan juga tujuan yang telah menjadi kesepakatan bangsa.
e. Konsep Sosialitas
Pada
umumnya, orang berbicara tentang demokrasi selalu dikaitkan dengan
penyelenggaraan pemerintahan, sehingga selalu dikaitkan dengan kehidupan
politik negara-bangsa. Dengan penyelenggaraan demokrasi manusia dihormati,
dihargai dan didudukkan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia.,
sehingga timbul kepuasan batin dalam diri manusia. Namun kepuasan hidup manusia
tidak hanya terbatas pada kepuasan mental dan spiritual saja, manusia juga
memerlukan kepuasan dari sisi material. Manusia membutuhkan berbagai keperluan
hidup, baik yang berupa materi pendukung bagi hidupnya, maupun mengenai hal-hal
yang bersifat mental dan spiritual.
Bung
Karno dalam berbagai kesempatan selalu mengutip pendapat Juarez yang mengatakan
bahwa demokrasi parlementer atau demokrasi politik tidak cukup, demokrasi
politik harus disertai dengan demokrasi ekonomi. Dikatakannya : “Dalam
demokrasi parlementer tiap-tiap orang dapat menjadi raja. Tiap orang dapat
memilih, tiap orang dapat dipilih. Tiap-tiap orang dapat memupuk kekuasaan
untuk menjatuhkan menterinya, tetapi di bidang ekonom tidak demikian. Si kaum
buruh yang pada hari ini di dalam parlemen adalah raja, besok pagi di dalam
pabriknya ia dapat dilempar ke luar dari pabriknya, menjadi orang yang tiada
kerja.”
Selanjutnya
dikemukakan bahwa yang ingin diwujudkan dengan berdirinya negara Republik
Indonesia ini adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang
bermakna suatu masyarakat yang adil dan makmur, berbahagia buat semua orang,
tidak ada penghinaan, tidak ada penindasan, tidak ada penghisapan, tidak ada exploitation de l’ homme par l’homme.
Sehingga akan terwujud masyarakat yang berbahagia, cukup sandang, cukup pangan,
gemah ripah loh jinawi, tata tentrem
kerta raharja. Persoalan yang timbul adalah bagaimana untuk dapat
merealisasikan gagasan ini. Pemerintahan Inggris bercita-cita untuk mewujudkan affluent society, masyarakat yang serba
kecukupan, masyarakat yang serba melimpah ruah dengan keperluan hidup,
diterapkan pendekatan security welfare state. Setiap warga negara harus ikut
dalam program asuransi, yang akan menjamin kelangsungan hidupnya. Amerika
Serikat menerapkan yang disebut positive welfare state, yakni dengan cara
memotong pengasilan orang kaya untuk dapat disebarkan kepada yang kurang
beruntung. Bagaimana bangsa Indonesia mewujudkan masyarakat yang adil dan
sejahtera.
Berbagai
pemikiran telah diusahakan bagaimana mewujudkan masyarakat yang adil dan
sejahtera. Pasal-pasal UUD 1945 telah memberikan landasan untuk mencapai hal
tersebut, di antaranya terdapat dalam pasal 33 dan 34 yang rumusannya adalah
sebagai berikut :
Pasal 33
- Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan;
- Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
- Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkan-dung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemak-muran rakyat.
- Perekonomian nasional diselenggarakan berda-sar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelan-jutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Pasal 34
- Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipeli-hara oleh negara.
- Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masya-rakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
- Negara betanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Dengan
telah tersedianya landasan penyelenggaraan demokrasi ekonomi ini, tinggal
bagaimana rakyat Indonesia menjabarkan lebih lanjut menyusun peraturan
perundang-undangan yang merupakan turunan dari pasal-pasal dimaksud, untuk
selanjutnya direalisaikan dalam kenyataan.
3. PRINSIP-PRINSIP YANG TERDAPAT
DALAM PANCASILA
Konsep
dasar religiositas, humanitas, nasionalitas, sovereinitas dan sosialitas
tersebut kemudian terjabar menjadi prinsip berupa lima sila yang diacu oleh
bangsa Indonesia dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh Bung
Karno sila-sila Pancasila itu disebut the
five principles of Pancasila.
Prinsip
adalah gagasan dasar, berupa aksioma atau proposisi awal yang memiliki makna
khusus, mengandung kebenaran berupa doktrin dan asumsi yang dijadikan landasan
dalam menentukan sikap dan tingkah laku manusia. Prinsip dijadikan acuan dan
dijadikan dasar menentukan pola pikir dan pola tindak sehingga mewarnai tingkah
laku pendukung prinsip dimaksud. Sila-sila Pancasila itulah prinsip-prinsip
Pancasila. Berikut disampaikan prinsip-prinsip Pancasila dan penjabarannya.
a. Ketuhanan Yang Maha Esa
Dari
konsep religiositas terjabar menjadi prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa yang
berisi ketentuan sebagai berikut:
- Pengakuan adanya berbagai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
- Setiap individu bebas memeluk agama dan kepercayaannya;
- Tidak memaksakan suatu agama atau kepercayaan kepada pihak lain;
- Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing;
- Saling hormat-menghormati antar pemeluk agama dan kepercayaan;
- Saling menghargai terhadap keyakinan yang dianut oleh pihak lain;
- Beribadat sesuai dengan keyakinan agama yang dipeluknya, tanpa mengganggu kebebasan beribadat bagi pemeluk keyakinan lain;
- Dalam melaksanakan peribadatan tidak mengganggu ketenangan dan ketertiban umum.
b. Kemanusiaan yang adil dan
beradab
Dari
konsep humanitas berkembang menjadi prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab
dengan ketentuan-ketentaun sebagai berikut:
- Hormati disposisi/kemampuan dasar manusia sebagai karunia Tuhan dengan mendudukkan manusia sesuai dengan kodrat, harkat dan martabatnya;
- Hormatilah kebebasan manusia dalam menyampaikan aspirasi dan pendapat;
- Hormatilah sifat pluralistik bangsa dengan cara:
- Kembangkan sikap inklusif, yang bermakna bahwa dalam berhubungan dengan pihak lain tidak bersikap menangnya sendiri, bahwa pendapatnya tidak mesti yang paling benar dan tidak meremehkan pendapat pihak lain.
- Jangan bersifat sektarian dan eksklusif yang terlalu membanggakan kelompoknya sendiri dan tidak memperhitungkan kelompok lain. Sebagai akibat berkembang sikap curiga, cemburu dan berlangsung persaingan yang kurang sehat.
- Hindari sifat formalistik yang hanya menunjukkan perilaku semu. Sikap pluralistik dilandasi oleh sikap saling percaya mempercayai dan saling hormat menghormati. Bahkan harus didasari oleh rasa kasih sayang sehingga dapat mempersatukan keanekaragaman dalam kerukunan.
- Usahakan sikap dan tindakan konvergen bukan divergen. Sikap pluralistik mencari common denominator atau de grootste gemene deeler dan de kleinste gemene veelvoud dari keanekaragaman sebagai common platform dalam bersikap dan bertingkah laku bersama.
- Tidak bersifat ekspansif, sehingga lebih mementingkan kualitas dari pada kuantitas.
- Bersikap toleran, memahami pihak lain serta menghormati dan menghargai pandangan pihak lain.
- Tidak menyentuh hal-hal yang bersifat sensitif pada pihak lain.
- Bersikap akomodatif dilandasi oleh kedewasaan dan pengendalian diri secara prima.
- Hindari sikap ekstremitas dan mengembangkan sikap moderat, berimbang dan proporsional.
c. Persatuan Indonesia
Ketentuan-ketentuan
yang terdapat dalam prinsip Persatuan Indonesia adalah:
- Bangga pada negara-bangsanya atas kondisi yang terdapat pada negara-bangsanya serta prestasi-prestasi yang dihasilkan oleh warganegaranya.
- Cinta pada negara-bangsanya serta rela berkorban demi negara-bangsanya.
d. Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
berisi ketentuan sebagai berikut:
- Dalam mengambil keputusan bersama diutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat. Win win solution dijadikan acuan dalam mencari kesepakatan bersama. Dengan cara ini tidak ada yang merasa dimenangkan dan dikalahkan.
- Dalam mencari kesepakatan bersama tidak semata-mata berdasarkan pada suara terbanyak, tetapi harus berlandasan pada tujuan yang ingin diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Setiap keputusan bersama harus mengandung substansi yang mengarah pada terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia serta terwujud dan kokohnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Tidak menerapkan prinsip tirani minoritas dan hegemoni/dominasi mayoritas. Segala pemangku kepentingan atau stakeholders dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dilibatkan dalam penetapan kebijakan bersama sesuai dengan peran, kedudukan dan fungsi masing-masing.
- Mengacu pada prinsip politiek-economische demokratie (Bung Karno), bahwa demokrasi harus mengantar rakyat Indonesia menuju keadilan dan kemakmuran, sociale rechtvaar-digheid.
e. Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia berisi ketentuan sebagai berikut:
- Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan;
- Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasasi hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara;
- Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
- Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara;
- Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
- Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
- Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan serta wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
- Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
4. NILAI-NILAI YANG TERDAPAT DALAM
PANCASILA
a. Kedamaian. Kedamaian
adalah situasi yang menggambarkan tidak adanya konflik dan kekerasan. Segala
unsur yang terlibat dalam suatu proses sosial
berlangsung secara selaras, serasi dan seimbang, sehingga menimbulkan
keteraturan, ketertiban dan ketenteraman. Segala kebutuhan yang diperlukan oleh
manusia dapat terpenuhi, sehingga tidak terjadi perebutan kepentingan. Hal ini
akan terwujud bila segala unsur yang terlibat dalam kegiatan bersama mampu
mengendalikan diri.
b. Keimanan. Keimanan
adalah suatu sikap yang menggambarkan keyakinan akan adanya kekuatan
transendental yang disebut Tuhan Yang Maha Esa. Dengan keimanan manusia yakin
bahwa Tuhan menciptakan dan mengatur alam semesta. Apapun yang terjadi di dunia
adalah atas kehendak-Nya, dan manusia wajib untuk menerima dengan keikhlasan.
c. Ketaqwaan. Ketaqwaan
adalah suatu sikap berserah diri secara ikhlas dan rela diatur oleh Tuhan Yang
Maha Esa, bersedia tunduk dan mematuhi segala perintah-Nya serta menjauhi
segala larangan-Nya.
d. Keadilan. Keadilan
adalah suatu sikap yang mampu menempatkan makhluk dengan segala permasalahannya
sesuai dengan hak dan kewajiban serta harkat dan martabatnya secara
proporsional diselaraskan dengan peran fungsi dan kedudukkannya.
e. Kesetaraan. Kesetaraan
adalah suatu sikap yang mampu menempatkan kedudukan manusia tanpa membedakan
jender, suku, ras, golongan, agama, adat dan budaya dan lain-lain. Setiap
orang diperlakukan sama di hadapan hukum
dan memperoleh kesempatan yang sama dalam segenap bidang kehidupan sesuai
dengan potensi dan kemampuan yang dimilikinya.
f. Keselarasan. Keselarasan
adalah keadaan yang menggambarkan keteraturan, ketertiban dan ketaatan karena
setiap makhluk melaksanakan peran dan fungsinya secara tepat dan proporsional,
sehingga timbul suasana harmoni, tenteram dan damai. Ibarat suatu orkestra,
setiap pemain berpegang pada partitur yang tersedia, dan setiap pemain
instrumen melaksanakan secara taat dan tepat, sehingga terasa suasana nikmat
dan damai.
g. Keberadaban.
Keberadaban adalah keadaan yang menggambarkan setiap komponen dalam kehidupan
bersama berpegang teguh pada ketentuan yang mencerminkan nilai luhur budaya
bangsa. Beradab menurut bangsa Indonesia adalah apabila nilai yang terkandung
dalam Pancasila direalisasikan sebagai acuan pola fikir dan pola tindak.
h. Persatuan dan Kesatuan. Persatuan
dan kesatuan adalah keadaan yang menggambarkan masyarakat majemuk bangsa
Indonesia yang terdiri atas beranekaragamnya komponen namun mampu membentuk
suatu kesatuan yang utuh. Setiap komponen dihormati dan menjadi bagian integral
dalam satu sistem kesatuan negara-bangsa Indonesia.
i. Mufakat. Mufakat
adalah suatu sikap terbuka untuk menghasilkan kesepakatan bersama secara
musyawarah. Keputusan sebagai hasil mufakat secara musyawarah harus dipegang
teguh dan wajib dipatuhi dalam kehidupan bersama.
j. Kebijaksanaan. Kebijaksanaan
adalah sikap yang menggambarkan hasil olah fikir dan olah rasa yang bersumber
dari hati nurani dan bersendi pada kebenaran, keadilan dan keutamaan. Bagi
bangsa Indonesia hal ini sesuai dengan nilai yang terkandung dalam Pancasila.
k. Kesejahteraan. Kesejahteraan
adalah kondisi yang menggambarkan terpenuhinya tuntutan kebutuhan manusia, baik
kebutuhan lahiriah maupun batiniah sehingga terwujud rasa puas diri, tenteram,
damai dan bahagia. Kondisi ini hanya akan dapat dicapai dengan kerja keras,
jujur dan bertanggungjawab.
Dengan
memahami konsep, prinsip dan nilai yang terkandung dalam Pancasila, yang tentu
masih akan berkembang sesuai dengan dinamika kehidupan bangsa Indonesia,
permasalahan berikutnya adalah bagaimana konsep, prinsip dan nilai tersebut
dapat diimplementasikan secara nyata dalam berbagai bidang kehidupan dalam
berbangsa dan bernegara.
5. PANCASILA IDEOLOGI NASIONAL
BANGSA INDONESIA
Pancasila
memiliki berbagai fungsi bagi bangsa Indonesia, suatu ketika Pancasila
berfungsi sebagai dasar negara, suatu ketika dipandang sebagai ideologi
nasional, suatu ketika sebagai pandangan hidup dan suatu ketika sebagai ligatur
bangsa. Pancasila sebagai dasar negara berfungsi sebagai acuan bagi warganegara
dalam memahami hak dan kewajibannya sebagai warganegara, sehingga berkaitan
dengan pengelolaan dan implementasi peraturan perundang-undangan yang berlaku
di Negara Kesatuan Redpublik Indonesia. Pancasila sebagai ideologi nasional
berfungsi sebagai acuan bagi bangsa Indonesia dalam mengelola berbagai kegiatan
dalam mencapai tujuan yang ingin diwujudkan oleh negara. Kehidupan politik,
ekonomi, sosial budaya dan hankam dikelola sesuai dengan konsep, prinsip dan
nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Sumber : http://lppkb.wordpress.com/2011/06/22/empat-pilar-kehidupan-berbangsa-dan-bernegara/
"Fakir miskin dan anak2 terlantar dipelihara oleh negara" => saya rasa ini pasal yg implementasinya susah banget
ReplyDelete