Blognya Anak Kuliahan

Showing posts with label Sosiologi Politik. Show all posts
Showing posts with label Sosiologi Politik. Show all posts

Friday, June 29, 2018

Rangkuman Tentang Wawasan Kebangsaan Indonesia Dan Pengertiannya

June 29, 2018 1
Wawasan kebangsaan lahir ketika bangsa Indonesia berjuang membebaskan diri dari segala bentuk penjajahan, seperti penjajahan oleh Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang. Perjuangan bangsa Indonesia yang waktu itu masih bersifat lokal ternyata tidak membawa hasil, karena belum adanya persatuan dan kesatuan, sedangkan di sisi lain kaum colonial terus menggunakan politik devide et impera. Kendati demikian, catatan sejarah perlawanan para pahlawan itu telah membuktikan kepada kita tentang semangat perjuangan bangsa Indonesia yang tidak pernah padam dalam usaha mengusir penjajah dari Nusantara.

Dalam perjalanan sejarah, telah timbul sebuah gagasan, sikap, dan tekad yang bersumber dari nilai-nilai budaya bangsa serta disemangati oleh cita-cita moral rakyat yang luhur. Sikap dan tekad itu adalah pengejawantahan dari satu Wawasan Kebangsaan.

Pengertian Wawasan Kebangsaan
Istilah Wawasan Kebangsaan terdiri dari dua suku kata yaitu “wawasan” dan “kebangsaan”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) dinyatakan bahwa secara etimologis istilah “wawasan” berarti: tinjauan atau pandangan, dan dapat juga berarti sebagai konsepsi cara pandang. Sementara itu, “kebangsaan” berasal dari kata “bangsa” yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) berarti kelompok masyarakat yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri. Sedangkan “kebangsaan” mengandung arti (1) ciri-ciri yang menandai golongan bangsa, (2) perihal bangsa; mengenai (yang bertalian dengan) bangsa, (3) kesadaran diri sebagai warga dari suatu negara.

Dengan demikian wawasan kebangsaan dapat diartikan sebagai konsepsi cara pandang yang dilandasi akan kesadaran diri sebagai warga dari suatu negara akan diri dan lingkungannya di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Wawasan kebangsaan menentukan cara bangsa mendayagunakan kondisi geografis negara, sejarah, sosio-budaya, ekonomi dan politik serta pertahanan keamanan dalam mencapai cita-cita dan menjamin kepentingan nasional. Selaian itu, wawasan kebangsaan menentukan bangsa menempatkan diri dalam tata berhubungan dengan sesama bangsa dan dalam pergaulan dengan bangsa lain di dunia internasional. Lebih lanjut, wawasan kebangsaan mengandung komitmen dan semangat persatuan untuk menjamin keberadaan dan peningkatan kualitas kehidupan bangsa dan menghendaki pengetahuan yang memadai tentang tantangan masa kini dan masa mendatang serta berbagai potensi bangsa.

Wawasan Kebangsaan Indonesia
Konsep kebangsaan merupakan hal yang sangat mendasar bagi bangsa Indonesia. Dalam kenyataannya konsep kebangsaan itu telah dijadikan dasar negara dan ideologi nasional yang terumus di dalam Pancasila sebagaimana terdapat dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945. Konsep kebangsaan itulah yang membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain di dunia ini.

Derasnya pengaruh globalisasi, bukan mustahil akan memporak porandakan adat budaya yang menjadi jati diri kita sebagai suatu bangsa dan akan melemahkan paham nasionalisme. Paham nasionalisme adalah suatu paham yang menyatakan bahwa loyalitas tertinggi terhadap masalah duniawi dari setiap warga bangsa ditunjukan kepada negara dan bangsa. Meskipun dalam awal pertumbuhan nasionalisme diwarnai oleh slogan yang sangat terkenal, yaitu: liberty, equality, dan fraternity yang merupakan pangkal tolak nasionalisme yang demokratis, namun dalam perkembangannya nasionalisme pada setiap bangsa sangat diwarnai oleh nilai-nilai dasar yang berkembang dalam masyarakatnya masing-masing, sehingga memberikan ciri khas bagi masing-masing bangsa.

Wawasan kebangsaan Indonesia yang menjadi sumber perumusan kebijakan desentralisasi pemerintahan dan pembangunan dalam rangka pengembangan otonomi daerah harus dapat mencegah disintegrasi/pemecahan negara kesatuan, mencegah merongrong wibawa pemerintah pusat, mencegah timbulnya pertentangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Melalui upaya tersebut diharapkan dapat terwujud pemerintah pusat yang bersih dan akuntabel dan pemerintah daerah yang tumbuh dan berkembang secara mandiri dengan daya saing yang sehat antar daerah dengan terwujudnya kesatuan ekonomi, kokohnya kesatuan politik, berkembangnya kesatuan budaya yang memerlukan warga bangsa yang kompak dan bersatu dengan ciri kebangsaan, netralitas birokrasi pemerintahan yang berwawasan kebangsaan, sistem pendidikan yang menghasilkan kader pembangunan berwawasan kebangsaan.

Akhirnya, bagi bangsa Indonesia, untuk memahami bagaimana wawasan kebangsaan perlu memahami secara mendalam falsafah Pancasila yang mengandung nilai-nilai dasar yang akhirnya dijadikan pedoman dalam bersikap dan bertingkah laku yang bermuara pada terbentuknya karakter bangsa.

Makna Wawasan Kebangsaan
Wawasan kebangsaan bagi bangsa Indonesia memiliki makna:
  1. Wawasan kebangsaan mengamanatkan kepada seluruh bangsa agar menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan;
  2. Wawasan kebangsaan mengembangkan persatuan Indonesia sedemikian rupa sehingga asas Bhinneka Tunggal Ika dipertahankan;
  3. Wawasan kebangsaan tidak memberi tempat pada patriotisme yang licik;
  4. Dengan wawasan kebangsaan yang dilandasi oleh pandangan hidup Pancasila, bangsa Indonesia telah berhasil merintis jalan menjalani misinya di tengah-tengah tata kehidupan dunia.
  5. NKRI yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur bertekad untuk mewujudkan bangsa yang maju dan mandiri serta sejahtera lahir batin, sejajar dengan bangsa lain yang sudah maju.

Nilai Dasar Wawasan Kebangsaan
Nilai Wawasan Kebangsaan yang terwujud dalam persatuan dan kesatuan bangsa memiliki enam dimensi yang bersifat mendasar dan fundamental, yaitu:
  1. Penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa;
  2. Tekad bersama untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas, merkeka, dan besatu;
  3. Cinta akan tanah air dan bangsa;
  4. Demokrasi atau kedaulatan rakyat;
  5. Kesetiakawanan sosial;
  6. Masyarakat adil-makmur.

Asas Wawasan Kebangsaan
Merupakan ketentuan-ketentuan dasar yang harus dipatuhi, dipelihara, ditaati dan diciptakan agar terwujud demi tetap taat dan setianya unsur/komponen pembentuk bangsa Indonesia (golongan/suku) terhadap kesepakatan (commitment) bersama. Asas Wawasan Kebangsaan terdiri dari:
  1. Kepentingan/tujuan yang sama
  2. Solidaritas
  3. Keadilan
  4. Kerjasama
  5. Kejujuran
  6. Kesetiaan terhadap kesepakatan

Hakekat Wawasan Kebangsaan
Hakekat wawasan kebangsaan adalah keutuhan nasional/nusantara, dalam pengertian cara pandang yang selalu utuh menyeluruh dalam lingkup nusantara dan demi kepentingan nasional. Berarti setiap warga negara dan aparatur negara wajib berfikir, bersikap dan bertindak secara utuh menyeluruh dalam lingkup dan demi kepentingan bangsa termasuk produk-produk yang dihasilkan oleh lembaga negara.

Mengapa Wawasan Kebangsaan Harus Ada?
Wawasan kebangsaan merupakan konsep politik bangsa Indonesia yang memandang Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah, meliputi tanah (darat), air (laut) termasuk dasar laut dan tanah di bawahnya dan udara di atasnya secara tidak terpisahkan, yang mempersatukan bangsa dan negara secara menyeluruh mencakup segenap bidang kehidupan nasional yang meliputi aspek ekonomi, politik, sosial budaya, dan hankam.

Wawasan Kebangsaan sebagai konsepsi politik dan kenegaraan yang merupakan manifestasi pemikiran politik bangsa Indonesia. Sebagai satu kesatuan negara kepulauan, secara konseptual, geopolitik Indonesia dituangkan dalam salah satu doktrin nasional yang disebut Wawasan Nusantara dan politik luar negeri bebas aktif. Sedangkan geostrategi Indonesia diwujudkan melalui konsep Ketahanan Nasional yang bertumbuh pada perwujudan kesatuan ideologi, ekonomi, politik, sosial budaya dan pertahanan keamanan.
  • Landasan wawasan kebangsaan, yaitu; Konstitusional (UUD 1945) dan Idiil (Pancasila)
  • Tiga unsur dasar wawasan kebangsaan, yaitu: Wadah (Contour), Isi (Content), dan tata laku (Conduct)
    • Wadah (contour). Wadah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara mencakup seluruh wilayah Indonesia yang memiliki sifat serba nusantara dengan kekayaan alam dan penduduk serta aneka ragam budaya. Bangsa Indonesia mempunyai organisasi kenegaraan yang merupakan wadah beragam kegiatan kenegaraan dalam bentuk supra struktur politik dan wadah dalam kehidupan bermasyarakat pada berbagai kelembagaan dalam bentuk infra struktur politik.
    • Isi (content). Merupakan aspirasi bangsa yang berkembang di masyarakat dan cita-cita serta tujuan nasional.
    • Tata laku (conduct). Hasil interaksi antara wadah dan isi wawasan kebangsaan akan berwujud tata laku, yang terdiri dari; (i) Tata laku lahiriah, yaitu tercermin dalam perbuatan, tindakan dan perilaku dari bangsa Indonesia; dan (ii) Tata laku bathiniah, yaitu mencerminkan jiwa, semangat dan mentalitas yang baik dari bangsa Indonesia. Kedua tata laku tersebut mencerminkan identitas kepribadian/jati diri bangsa berdasarkan kekeluargaan dan kebersamaan yang mempunyai rasa bangga dan cinta terhadap bangsa dan tanah air sehingga menyebabkan rasa nasionalisme yang tinggi dalam segala aspek kehidupan nasional.

Thursday, October 31, 2013

Sekilas Pengetahuan Tentang : Golongan Putih (Golput)

October 31, 2013 1


Pengertian Golput
Golongan Putih atau biasa dikenal dengan istilah Golput adalah suatu tindakan untuk tidak menggunakan hak suaranya untuk memilih pada saat pemilihan umum (pemilu) dengan berbagai faktor dan alasan. Biasanya golput dilakukan dengan tiga cara, yang pertama memberikan suara kosong (tidak mengisi sama sekali), yang kedua memberikan suara yang tidak valid (menusuk lebih dari satu gambar partai/kandidat atau menusuk bagian putih/diluar area gambar), yang ketiga tidak datang ke bilik suara (TPS). Memang benar kalau golput merupakan hak setiap warga negara, akan tetapi golput jelas bukanlah tindakan yang bertanggung jawab, karena golput menunjukkan sikap ketidakpedulian terhadap nasib bangsa sendiri.

Penyebab seseorang melakukan golput dalam pemilu adalah :

  • Merupakan tindakan sadar untuk tidak memilih (golput) karena golput sebagai pilihan politiknya karena kurangnya kepercayaan terhadap calon kandidat.
  • Sebagai bentuk protes masyarakat dan keputus asaan masyarakat dengan janji pemerintah yang tidak pernah direalisasi. Sehingga rakyat terlanjur pesimis.
  • Kurangnya informasi tentang pemilu, yang disebabkan kurangnya sosialisasi tentang pemilu.
  • Adanya upaya dari pihak tertentu, yang sengaja atau tidak sengaja, yang sifatnya menghalangi atau membuat seseorang sulit/tidak dapat menggunakan hak pilihnya.

Sejarah Golput di Indonesia
Istilah golput pertama kali muncul menjelang Pemilu 1971. Istilah ini sengaja dimunculkan oleh Arief Budiman dan kawan-kawannya sebagai bentuk perlawanan terhadap arogansi pemerintah dan ABRI (sekarang TNI) yang sepenuhnya memberikan dukungan politis kepada Golkar. Arogansi ini ditunjukkan dengan memaksakan (dalam bentuk ancaman) seluruh jajaran aparatur pemerintahan termasuk keluarga untuk sepenuhnya memberikan pilihan kepada Golkar. Arogansi seperti ini dianggap menyimpang dari nilai dan kaidah demokrasi di mana kekuasaan sepenuhnya ada di tangan rakyat yang memilih. Ketika itu, Arief Budiman mengajak masyarakat untuk menjadi golput dengan cara tetap mendatangi Tempat Pemungutan Suara (TPS). Ketika melakukan coblosan, bagian yang dicoblos bukan pada tanda gambar partai politik, akan tetapi pada bagian yang berwarna putih. Maksudnya tidak mencoblos tepat pada tanda gambar yang dipilih. Artinya, jika coblosan tidak tepat pada tanda gambar, maka kertas suara tersebut dianggap tidak sah.

Terdapat perbedaan fenomena golput pada masa politik di orde baru dan masa politik di era reformasi. Di masa orde baru, ajakan golput dimaksudkan sebagai bentuk perlawanan politik terhadap arogansi pemerintah/ABRI yang dianggap tidak menjunjung asas demokrasi. Pada era reformasi yang lebih demokratis, pengertian golput merupakan bentuk dari fenomena dalam demokrasi.

Golput Menurut Para ahli
Eep Saefulloh Fatah, mengklasifikasikan golput atas empat golongan.

  • Pertama, golput teknis, yakni mereka yang karena sebab-sebab teknis tertentu (seperti keluarga meninggal, ketiduran, dan lain-lain) berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara, atau mereka yang keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tidak sah.
  • Kedua, golput teknis-politis, seperti mereka yang tidak terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga statistik, penyelenggara pemilu).
  • Ketiga, golput politis, yakni mereka yang merasa tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pemilu legislatif/pemilukada akan membawa perubahan dan perbaikan.
  • Keempat, golput ideologis, yakni mereka yang tak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal) dan tak mau terlibat di dalamnya entah karena alasan fundamentalisme agama atau alasan politik-ideologi lain (dalam Hery M.N. Fathah).

Sedangkan menurut Novel Ali (1999;22) di Indonesia terdapat dua kelompok golput

  • Pertama, adalah kelompok golput awam. Yaitu mereka yang tidak mempergunakan hak pilihnya bukan karena alasan politik, tetapi karena alasan ekonomi, kesibukan dan sebagainya. Kemampuan politik kelompok ini tidak sampai ke tingkat analisis, melainkan hanya sampai tingkat deskriptif saja.
  • Kedua, adalah kelompok golput pilihan. Yaitu mereka yang tidak bersedia menggunakan hak pilihnya dalam pemilu benar-benar karena alasan politik. Misalnya tidak puas dengan kualitas partai politik yang ada. Atau karena mereka menginginkan adanya satu organisasi politik lain yang belum ada. dan berbagai alasan lainnya. Kemampuan analisis politik mereka jauh lebih tinggi dibandingkan golput awam. Golput pilihan ini memiliki kemampuan analisis politik yang tidak cuma berada pada tingkat deskripsi saja, tapi juga pada tingkat evaluasi.


Jadi berdasarkan uraian diatas, secara sederhana golput dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang dilakukan secara sengaja dan sadar untuk menolak memberikan hak suaranya dalam pemilu. Dengan demikian, orang-orang yang berhalangan hadir di Tempat Pemungutan Suara (TPS) hanya karena alasan teknis, seperti jauhnya TPS atau terluput dari pendaftaran, otomatis dikeluarkan dari kategori golput.

Disinyalir bahwasanya dari tahun ke tahun angka masyarakat yang tidak memilih atau golput dari pemilu ke pemilu terus meningkat. Oleh karena itu harus ada upaya nyata yang dilakukan untuk meminimalisir angka masyarakat yang tidak memilih dalam pemilu. Karena kualitas pemilu secara tidak langsung juga dilihat dari legitimasi pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyat.

Sumber :
http://danderpps.blogspot.com/2012/10/pengertian-golput-dalam-pemilu.html
http://id.shvoong.com/law-and-politics/politics/2310207-pengertian-golput/
http://leo4kusuma.blogspot.com/2008/12/tentang-golput-1-pengertian-secara-umum.html

Tuesday, June 25, 2013

Trikotomi Masyarakat Jawa : Abangan, Santri, Priyayi

June 25, 2013 0

Di kalangan ilmuan (sosial-budaya) di Indonesia, Clifford Greetz mempunyai kedudukan yang khusus. Karyanya terbilang monumental, dalam arti menjadi bahan acuan pada berbagai diskusi sosial budaya Indonesia. Diantara buah pikirannya yang paling populer dirujuk, baik diterima maupun untuk dikritik, adalah klasifikasinya terhadap masyarakt Jawa dalam bukunya, “The Religion of Java” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Aswab Mahasin menjadi “Abangan, Santri, Priyayi dalam masyarakat Jawa”.

Arti penting karya Greetz ini adlah sumbangannya mengenai sistem-sitem simbol, yaitu, bagaimana hubungan antara struktur-struktur sosial yang ada dalam suatu masyarakat dengan pengorganisasian dan perwujudan simbol-simbol, dan bagaimana para anggota masyarakat mewujudkan adanya integrasi dan disintegrasi dengan cara mengorganisasi dan mewujudkan simbol-simbol tertentu, sehingga perbedaa-perbedaan yang nampak diantara struktur sosial yang ada dalam masyarakat tersebut bersifat komplementer.

Masyarakat Jawa di Mojokuto dilihatnya sebagai sistem sosial, dengan kebudayaan jawanya yang akulturatif dan agamanya yang sinkretik, yang terdiri atas tiga sub kebudayaan Jawa yang masing-masing merupakan struktur-struktur sosial yang berlainan. Abangan, santri dan priyayi yang walaupun masing-masing merupakan struktur-sturktur sosial yang berlainan, tetapi masing-masing saling melengkapi satu sama lainnya dalam mewujudkan adanya sistem sosial jawa di Mojokuto. Tesis dalam bukunya tersebut, yaitu: agama bukan hanya memainkan peranan bagi terwujudnya integarasi tetapi juga memainkan peranan pemecah belah dalam masyarakat. Jadi perhatian Greetz menurut Harsja W. Bachtiar (1973 : 521) adalah masalah perpecahan dalam sistem sosial orang Jawa di Mojokuto, bukan pada integrasi yang terwujud di dalamnya.

Dalam buku hasil penelitiannya ini Greetz sekalipun tidak mengatakan secara tersurat kerangka teori mana yang dipakainya, tetapi menurut Pardi Suparlan dalam kata pengantar terjemah bahasa Indonesia justru Greetz telah mempunyai suatu kerangka teori yang digunakan untuk menciptakan model untuk analisa, model yang digunakan OLEH Robert Redfield. Redfield melihat bahwa kota dan desa merupakan dua struktur sosial yang ebrbeda, yang masing-masing diwakili oleh warga elti kota dan warga petani di desa, tetapi keduanya mewujudkan adanya suatu hubungan saling tergantung dan melengkapi mewujudkan adanya suatu hubungan saling tergantung dan melengkapi satu sama lainnya, sehingga merupakan suatu sistem sosial sendiri. Greetz secara tersurat menggunakan teori Redfield dalam pembahasan hubungan antara priyayi danpetani dengan penekanan pada dimensi struktur yang berbeda dengan Redfield yang menekankan pada proses komunikasi terus-menerus antara kota dan desa.

Salah satu kelebihan dari buku Greetz sebagaimana diakui oleh HW. Bachtiar adalah begitu melimpahnya bahan-bahan deskriptif yang terperinci tentang sejumlah besar aspek kepercayaan dan praktek keagamaan yang telah diamati Greetz di Mojokuto; data yang mencerminkan seorang pekerja lapangan yang rajin jika diingat terbatasnya waktu yang tersedi baginya (dari bulan mei 1953 sampau bulan september 1954) untuk meneliti suatu masalah yang begitu rumit.

Namun tetap di dalamnya terdapat beberapa kelemahan yang cukup mendasar yang oleh beberapa ahli dianggap sesuatu yang cukup krusial untuk dikritisi. Kritikan dari bebrapa ahli ini akan dibicarakan pada bagian akhir tulisan ini.

Latar Belakang Greetz
Cliffor Greetz dilahirkan di San Fransisco, negara bagian California, Amerika Serikat, pada tanggal 23 Agustus 1926. Ia adalah putra dari Clifford James seorang insinyur dari Lio Brieger. Greetz pendidikan S1-nya dirampungkan di Antioch College, di negara bagian Ohio, AS pada tahun 1950. Semula ia memilih jurusan “English” dan bercita-cita untuk menjadi seorang novelis, setelah beberapa tahun di jurusan itu, ia pindah ke jurusan Filsafat. Kepindahan jurusan itu sebagiannya karena ia terpengaruh oleh kharisma seorang pengajar di jurusan filsafat, di samping juga ia kehilangan selera terhadap mata kuliah yang terbatas variasinya di jurusan “English”.

Semula tak terlintas di benak Greetz untuk memilih jurusan antropologi bagi pendidikan pascasarjananya. Mata kuliah S1-nya memang tidak ada yang berkaitan dengan ilmu antropologi, bahkan nyaris tidak ada juga mata kuliah sosiologi. Kenyataan ini mudah dimengerti karena pada saat ia menempuh S1-nya, jurusan antropologi belum ada di Antioch College.

Greetz akhirnya memilih pendidikan pascasarjananya di bidang antropologi di Harvard University, dan meraih gelar doktor pada tahun 1956. Greetz beruntung dibina oleh para pakar ilmu budaya, diantaranya adalah Clyd Kluckhohn, Talcot Parson, Harry Muray, dan Gordon Allport.

Greetz termasuk cakap berbahasa Belanda, Prancis, Jerman, Indonesia/Melayu, Jawa dan Arab (dialek Maroko), tentu saja disamping bahasa Inggris yang merupakan bahasa ibunya. Tampaknya ia punya bakat yang menonjol di bidang kebahasaan. Perkenalannya dengan bahasa Indonesia dimulai sekitar tahun 1952-an, sebagai bagian dari persiapannya untuk studi lapangan di Indonesia. Pada waktu ia tiba di Indonesia, bekal kemampuan bahasanya cukup memadai. Dengan dibantu oleh beberapa mahasiswa Universitas Gadjah Mada, kemudia belajar bahasa Jawa.

Dari perjalanan karirnya, ia menyimpulkan bahwa sentral aktivitasnya adalah justru “menulis”. Ia bahkan menilai dirinya lebih tepat disebut sebagai “penulis di bidang antropologi” ketimbang disebut sebagai antropologi. Sebagai penulis, ia tergolong cukup produktif. Sejak ia “resmi” bergelar doktor di bidang antropologi (1956) hingga sekitar tahun 1988, tercatat 46 judul publikasinya tentang culture area. Lima belas diantaranya berupa buku dan hampir setengah dari judul publikasinya mengetengahkan kasus Indonesia, termasuk Jawa dan Bali. Empat publikasinya mengenai Maroko, yang itupun masih berkaitan dengna Indonesia sebagai pembanding.

Masyarakat Jawa Clifford Geertz
Greetz mengadakan penelitiannya di sebuah kota kecil di bagian timur Jawa tengah, Mojokuto, sebuah kota samaran untuk kota pare kediri. Tidak diketahui secara jelas alasan kenapa Greetz menyebut nama samaran untuk kota tempat penelitiannya.

Sekalipun buku berjudul agama Jawa (The Religion of Java) tapi di dalamnya tidak dibahas agama di Jawa, akan tetapi justru yang dibahas adalah agama yang dimanifestasikan oleh orang-orang Jawa yang menganggap diri mereka sebagai pemeluk agama Islam yang tidak mesti identik dengan agama Islam sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad. Interpretasi ini nampaknya sesuai dengan pernyataan pendahuluan Greetz, dimana ia mengatakan bahwa ia mencoba untuk menunjukkan betapa banyaknya variasi ritual, kontras dalam kepercayaan dan konflik dalam nilai-nilai yang tersembunyi di belakang pernyataan yang sederhana bahwa lebih dari 90 persen penduduk jawa adalah muslim.

Pada bagian pendahuluan ini juga dideskripsikan secara mendetail kondisi kota Mojokuto sebagai latar belakang pembahasannya yang kemudian memunculkan tiga tipe kebudayaan atau varian keagamaan.

Penggolongan penduduk menurut pandangan mereka –menurut kepercayaan keagamaan, preferensi etnis dan ideologi politik mereka- menghasilkan tiga tipe utama kebudayaan yang mencerminkan organisasi moral kebudayaan Jawa sebagaimana dicerminkan di Mojokuto, ide umum tentang ketertiban yang berkenaan dengan tingkah laku petani, buruh, pekerja tangan, pedagang dan pegawai Jawa dalam semua arena kehidupan. Tiga tipe kebudayaan in adalah abangan, santri, dan priyayi (Greetz, 1973: 7-8)

Selanjutnya Greetz melukiskan ketiga varian agama itu secara singkat sebagai berikut :

Abangan, yang menekankan aspek-aspek animisme sinkretis Jawa secara keseluruhan dan pada umumnya diasosiasikan dengan unsur petani desa penduduk; santri, yang menekankan aspek-aspek Islam sinkretik itu dan pada umumnya diasosiasikan dengan unsur pedagang (dan juga dengan unsur-unsur tertentu kaum tani), dan priyayi yang menekankan aspek-aspek hindu dan diasosiasikan dengan unsur birokrasi… (Greetz, 1973:6)

Varian keagamaan Greetz ini memiliki karakter dan pola-pola tersendiri yang kompleks yaitu:

1. Varian Abangan
Varian abangan secara luas dan umum diasosiasikan dengan desa atau kaum tani. Tradisi agama abangan, pada intinya terdiri dari pesta ritual yang dinamakan slametan, yaitu satu kompleks kepercayaan yang luas dan rumit tentang roh-roh, dan seperangkat teori dan praktek penyembuhan, ilmu tenung dan ilmu ghaib. Meskipun ia juga mengasosiasikan varian abangan ini kepada proletariat kota, yakni kelas-kelas rendahan di daerah perkotaan. Satu ciri orang abangan adalah sikap masa bodoh terhadap ajaran dan hanya terpesona oleh perincian-perincian upacara.

Dalam varian ini slametan, atau kadang disebut juga kenduren, merupakan upacara keagamaan yang paling umum. Slametan ini terbagi kepada empat jenis: (1) yang berkisar sekitar krisis-krisis kehidupan –kelahiran, khitanan, perkawinan, dan kematian: (2) yang ada hubungannya dengan hari-hari raya Islam –maulud Nabi, Idul Fitri, Idul Adha dan sebagainya; (3) yang ada sangkutannya dengan integrasi sosial desa, bersih desa (pembersihan desar dari roh-roh jahat) dan (4) slametan sela yang diselenggarakan dalam waktu yang tidak tetap, tergantung kepada kejadian luar biasa yang dialami seseorang – keberangkatan untuk suatu perjalanan jauh, pindah tempat, ganti nama, sakit, terkena tenung dan sebagainya. Dalam slametan senantiasa ada hidangan khas (yang berbeda-beda menurut maksud slametan itu), dupa, pembacaan do’a Islam dan pidato tuan rumah yang disampaikan dalam bahasa Jawa tinggi yang sangat resmi. Faktor yang mendasari penentuan waktu slametan adalah petungan (hitungan) atau sistem numerologi orang Jawa. Sistem yang cukup berbelit-belit ini terletak konsep metafisis orang Jawa yang fundamental, : cocog (sesuai/cocok).

Tujuan diselenggarakan slametan bagi orang-orang abangan adalah untuk menjaga diri dari roh-roh halus agar tidak diganggu. Bagi orang jawa kepercayaan makhluk halus merupakan bagian dari kehidupan, bahkan dalam slametan makhluk halus itu juga ikut berkumpul dan makan bersama, namun makanan mereka adalah dupa yang disediakan dalam slametan. Bila ditelusuri banyak jenis makhluk halus yang dikenal di Jawa diantaranya adalah memedi yaitu roh yang mengganggu orang atau menakut-nakuti mereka, tetapi biasanya tidak sampai merusak, (genderuwo memedi laki-laki dan wewe memedi perempuan). Lelembut adalah roh yang dapat menyebabkan seseorang jatuh sakit, gila, kesurupan, kampir-kampiran (kemasukan roh yang berasal dari tempat tertentu), setanan (bertingkah aneh), kemomongan (kerasukan dengan sukarela untuk punya kekuatan tertentu). Tuyul (anak-anak makhlus halus) bisa menolong orang yang memilikinya untuk menjadi kaya. Selain itu juga dikenal demit (makhluk halus yang menghuni suatu tempat). Danyang (roh pelindung). Demikian makhluk-makhuk halusitu bisa ditundukkan dengan mengadakan slametan.

Selain slametan dan kepercayaan kepada makhluk halus orang abangan juga mengakui adanya pengobatan, sihir dan magi yang berpusat di sektar peranan seorang dukun (sekalipun dukun juga diakui digolongan santri dan priyayi tapi tidak sebesar di golongan abangan. Dukun memiliki beberapa macam: dukun bayi, dukun pijet, dukun prewangan (medium), dukun calak (tukang sunat), dukun wiwit (ahli upacara panen), dukun temanten (ahli upacara perkawinan), dukun petungan (ahli meramal dengan angka), dukun sihir, dukun susuk (spesialis mengobati dengan memasukkan jarum emas di bawah kulit), dukun jampi, dukun siwer (spesialis mencegah kesialan alami, seperti hujan), dukun tiban (tabih dengan kekuatan hasil dari kerusakan roh).

Varian abangan menurut pengertian orang Jawa mengacu kepada satu kategori sosial yang empiris –mereka yang tidak melibatkan diri secara aktif dalam agama Islam- sekalipun menurut Greetz sendiri ini menyesatkan karena tradisi abangan adalah identik dengan tradisi rakyat (folk tradition).

2. Varian Santri
Santri diidentifikasi dalam pelaksanaan yang cermat dan teratur ritual-ritual pokok agama Islam, seperti shalat lima kali sehari, shalat jum’at, berpuasa selam Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji, juga dimanifestasikan dalam kompleks organisasi-organisasi sosial, amal dan politik seperti Muhammadiyah, Masyumi dan Nahdhatul Ulama. Nilai-nilai bersifat antibirokratik, bebas dan egaliter. Varian santri diasosiasikan dengan pasar. Ini mengandung arti adanya analogi varian agama santri di Jawa dan semangat Protestanisme di Eropa menurut Max Weber. Analogi in seperti yang dirumuskan Greetz berikut ini:

Meskipun secara luas dan umum subvarian santri diasosiasikan dengan unsur pedagang Jawa, ia tidak terbatas kepadanya, demikian pula tidak semua pedagang merupakan penganutnya. Di desa-desa terdapat unsur santri yang kuat, yang seringkali dipimpin oleh petani-petani kaya yang telah naik haji ke Mekkah dan setelah kembali mendirikan pesantren-pesantren. Di kota, kebanyakan santri adalah pedagang dan tukang, terutama tukang jahit (Greetz, 1973:5)

Sekalipun pembahasan tentang varian santri lebih mudah dari varian abangan, ternyata Greetz juga kesulitan untuk mengidentifikasi santri dengan tepat. Para guru agama, para kyai, dan murid-murid mereka –yang merupakan santri sebenarnya- yang biasanya dianggap sebagai inti golongan santri, dikesampingkan demi kaum pedagang, yang apabila mereka santri, tergantung kepada guru-guru agama itu.

Tapi sekalipun demikian diterangkan pula pola pendidikan santri berupa pondok atau pesantren. Dalam sebuah pondok terdapat seorang guru pemimpin, umumnya seorang haji, yang disebut kyai, dan sekelompok murid yang disebut santri. Bangunan pokok, hampir semuanya terletak di luar kota, biasanya terdiri dari sebuah mesjid, rumah kyai dan sederetan asrama untuk santri. Sistem pondok in menurut Greetz berbeda dengan sistem biara yang ada dalam kristen katolik.

Di berbagai pondok juga terdapat sistem mistik rahasia yang dibumbui dengan ujian kekuatan, kekebalan kulit dan puasa yang berkepanjangan atau juga persaudaraan orang tua yang berkerumun di sekitar kyai yang ahli dalam ilmu itu dan mereka melakukan beberapa ritual pembacaan kalimat tertentu beberapa ribu kali dalam sehari. Mistik ini disebut dengan tarekat, yang di Jawa timur didominasi oleh Qadariyah dan Naqsabandiyah.

Selain pondok, sistem pendidikan varian santri juga dikenal madrasah. Madrasah seperti sekolah, memiliki tingkatan kelas, teratur jadwalnya dan menekankan isi, ini berbeda dengan pondok.

Di varian santri selain organisasi keagamaan seperti yang disebutkan di atas juga terdapat lembaga keagamaan resmi pemerintah (departemen agama) yang mengurus pelaksanaan hukum Islam mulai dari perkawinan dan perceraian, pelaksanaan haji, dakwah keagamaan dan juga masalah partai politik.

3. Varian Priyayi
Priyayi adalah kaum elit yang sah memanifestasikan satu tradisi agama yang khas yang disebut sebagai varian agama priyayi dari sistem keagamaan pada umumnya di Jawa. Priyayi tadinya hanya mengacu kepada golongan bangsawan yang turun-temurun, yang oleh Belanda dilepaskan dari ikatan mereka dengan raja-raja kerajaan yang telah ditaklukkan dan kemudian menjadi pegawai negeri yang diangkat dan digaji. Elti pegawai ini terus mempertahankan dan memelihara tata krama keraton yang sangat halus, kesenian yang sangat kompleks serta mistik Hindu-Budha.

Mereka tidak menekankan unsur animisme dalam sinkretisme Jawa secara keseluruhan sebagaimana dilakukan oleh kaum abangan, tidak pula menekankan unsur islam sebagaimana dilakukan oleh kaum santri, melainkan yang mereka tekankan adalah unsur Hinduismenya.. (Greetz, 1973:6)

Namun priyayi dibedakan dari rakyat biasa karena memiliki gelar kehormatan yang terdiri dari pelbagai tingkat menurut hirarki hak dan kewajiban. Gelar-gelar itu berfungsi sebagai identifikasi. Gelar-gelar itu diberikan secara turun-temurun, anak seorang yang bergelar berhak mendapat gelar kehormatan satu tingkat lebih rendah dari sang ayah. Diantara gelar-gelar itu untuk pria adalah : Raden, Raden Mas, Raden Panji, Raden Temenggung, Raden Ngabehi, Raden Mas Panji, dan Raden Mas Aria. Sedangkan untuk wanita adalah Raden Roro, Raden Ajeng dan Raden Ayu. Kelas priyayi merupakan kelas yagn jelas batas-batasnya.

Tradisi lain yang ada dalam varian priyayi selain mistik, dan kesadaran akan pangkat adalah perbedaan antara lahir dan batin antara alus dan kasar. Peraturan etiket, gerak, sikap dan ucapan serta kesenian harus alus disamping penguasaan diri sendiri. Diantara kesenian alus adalah wayang, gamelan, joged, tembang, dan batik. Berbeda dengan kesenian yang kasar, seperti ludrug, kledek, jaranan dan dongeng.

Secara tradisional seorang priyayi dianggap mempunyai pengetahuan yang cukup tentang kesusasteraan dan filsafat priyayi yang tradisional terdiri dari tulisan-tulisan Jawa kuno dan modern serta epik-epik Hindu yang terkenal. Oleh karenanya kaum priyayi cenderung untuk mengungkapkan kepercayaan agama mereka dengan istilah-istilah Hindu.

Demikianlah tiga varian agama yang ada di Mojokuto. Tiga kelompok ini sering mengalami antagonisme. Ketegangan terbesar adalah antara kaum santri dan dua kelompok lainnya, selain juga ada ketegangan antara priyayi dan abangan. Ketegangan in terjadi dalam hal konflik ideologi. Kelompok abangan dan priyayi menuduh kelompok santri sebagai orang munafik yang sok suci, dan kelompok santri menuduh kelompok priyayi sebagai penyembah berhala. Ada juga ketegangan karena konflik kelas, ketegangan priyayi-abangan terlihat jelas dalam hubungannya dengan persoalan status. Priyayi sering menuduh orang desa tak tahu tempat yang layak dan karenanya mengganggu keseimbangan organis masyarakat. Dan ketegangan juga diakibatkan karena konflik politik. Intensifnya perjuangan kekuasaan politik merupakan pemecah ketiga yang mempertajam konflik keagamaan. Biasanya berupa konflik antar partai politik.

Namun, selain kekuatan yang memecah belah, ada juga unsur-unsur yang mempersatukan masyarakat Jawa yaitu rasa satu kebudayaan, perasaan bahwa masa sekarang merosot dilihat dari masa lalu. Selain juga adanya kekuatan nasionalisme yagn makin tumbuh yang mencoba menghimbau sentimen harga diri bangsa, solidaritas dna harapan kepada gaya hidup yang lebih “modern”.

Kritikan
Terdapat banyak kritikan pada penelitian Greetz ini, tokoh yang paling banyak memberikan kritik adalah Harsja W. Bachtiar diantara kritikannya adalah :
  1. Pengertian tentang agama. Menurut Bachtiar Greetz tidak memberikan definisi agama secara jelas. Seperti diungkapkan di atas, agama Jawa yang menjadi judul dalam buku Greetz ternyata tidak menggambarkan agama-agama yang ada di Jawa atau agama Jawa itu sendiri. Menurutnya agama Jawa tidaklah sama dengan agama Islam di Jawa. Agama Jawa pada pokoknya dimanifestasikan sebagai pemujaan kepada nenek moyang atau leluhur.
  2. Tiga varian yang disebutkan oleh Greetz ternyata tidak konsisten sebagai kategori-kategori daris astu tipe klasifikasi. Pembedaan antara abangan dan santri diadakan karena penduduk digolongkan menurut prilaku keagamaan, sedangkan istilah priyayi tidak bisa dianggap sebagai kategori yang sama. Istilah priyayi mengacu kepada kelas sosial tertentu.
  3. Batasan masing-masing varian tidak jelas, diantaranya:
    • Abangan hanyalah istilah derogatif (merendahkan derajat) yang digunakan oleh mereka yang taat menjalankan agama Islam kepada yang tidak atau kurang taat. Selain itu juga abangan diidentifikasi kepada orang-orang desa, atau petani, tetapi Greetz juga menyatakan bahwa para petani kaya di desa adalah santri setelah mereka pulang dari naik haji. Acara slametan dianggap sebagai salah satu bentuk kepercayaan abangan padahal santri dan priyayi juga melakukan hal yang sama.
    • Santri, oleh Greetz diidentifikasi sebagai kaum pedagang di perkotaan, sedangkan santri yang sebenarnya yang ada di pesantren (selain guru agama/kyai) dianggap hanya bagian kecil dari varian santri. Dan penilaian apakah seseorang itu santri tergantung kepada pengertian orang yang menilai dan dinilai tentang makna santri itu sendiri.
    • Priyayi, tradisi keagamaannya menurut Greetz adalah Hindu, padalah terdapat berbagai macam kepercayaan agama dan bukan hanya satu tradisi agama yang merupakan varian dari sistem agama orang Jawa. Ada priyayi yang aktif melibatkan diri dalam agama Islam, mereka adalah priyayi-santri. Ada priyayi yang tidak menghiraukan soal agama, mereka disebut priyayi-abangan. Jadi menurut Bachtiar, kepercayaan-kepercayaan agama, nilai-nilai dan norma-norma priyayi pada dasarnya tidak berbeda dengan yang ada di kalangan bukan priyayi, hanya priyayi lebih mampu mengungkapkan kepercayaan dan nilai-nilai mereka secara lebih nyata dan lebih sophisticated.


Sumber : http://ikadabandung.blogspot.com/2005/03/abangan-santri-priyayiclifford-greetz.html


Saturday, May 4, 2013

Perbedaan Antara Negara Maju dengan Negara Berkembang

May 04, 2013 5

Kamu mungkin sering mendengar istilah negara maju dan negara berkembang. Bagaimana cara kamu membedakan antara negara maju dan negara berkembang? Untuk mengukur kemajuan suatu negara, kamu bisa mengenali dari ciri-cirinya.

Setiap negara menjalankan pembangunan (development) di segala bidang kehidupan dengan sumber daya yang dimilikinya. Selama prosesnya, ada negara yang bisa mengalami kemajuan dan ada pula yang masih dalam tahapan berkembang.

Berikut adalah perbedaan negara maju dan negara berkembang. Atau bisa juga kita katakan adakah ciri-ciri negara maju dan berkembang:

NEGARA MAJU
NEGARA BERKEMBANG
Pendapatan per Kapita yang Tinggi
Negara maju merupakan negara dengan pendapatan per kapita yang tinggi. Pendapatan per kapita yang tinggi menggambarkan standar hidup yang baik pula. Menurut Bank Dunia, kriteria pendapatan per kapita untuk negara maju adalah di atas US$10,726 per tahun.

Pendapatan per Kapita yang Rendah
Ciri utama negara berkembang adalah rendahnya pendapatan per kapita penduduknya. Menurut Bank Dunia, negara berkembang yang berpendapatan menengah ke bawah yaitu antara US$876-3,465. Negara berkembang yang berpendapatan menengah tinggi, yaitu antara US$3,466-10,275.

Rendahnya Tingkat Pengangguran
Ciri di bidang ekonomi lainnya adalah rendahnya tingkat pengangguran. Hal ini karena seluruh sumber ekonomi bisa dimanfaatkan dengan maksimal. Pengangguran yang umum terjadi di negara maju adalah pengangguran friksional, yaitu pengangguran yang terjadi karena peralihan tenaga kerja dari pekerjaan satu ke pekerjaan lain.
           
Masih Tingginya Tingkat Pengangguran
Kondisi perekonomian yang belum berkembang menyebabkan sempitnya lapangan kerja sehingga tingkat pengangguran di negara berkembang cukup tinggi. Jenis pengangguran yang ditemui di negara berkembang adalah setengah pengangguran dan pengangguran terselubung.

Kegiatan Ekonomi Utama di Sektor Industri dan Jasa
Mata pencaharian utama masyarakat di negara maju adalah bidang industri dan jasa. Contoh bidang industri adalah industri mobil, elektronik, alat-alat berat, pesawat terbang, dan makanan jadi. Contoh bidang jasa yaitu jasa keuangan, pendidikan, hiburan, dan konsultan.

Perekonomian Mengandalkan Sektor Primer
Perekonomian di negara berkembang masih mengandalkan sektor-sektor primer seperti pertanian, kehutanan, pertambangan, dan perikanan. Sektor ini masih mengandalkan kekayaan alam. Kegiatan di sektor industri pengolahan dan jasa masih sangat kurang. Hal ini karena teknologi produksi yang dikuasai masih rendah dan hanya mengandalkan caracara tradisional untuk mengolah sumber daya yang ada.

Rendahnya Laju Pertumbuhan Penduduk
Ciri kependudukan di negara maju adalah rendahnya laju pertumbuhan penduduk. Hal ini ditandai oleh rendahnya angka kelahiran dan rendahnya angka kematian bayi. Keadaan ini ditunjang oleh tingginya kesadaran tentang perencanaan keluarga, kemajuan fasilitas kesehatan, penundaan usia nikah, dan tingginya partisipasi wanita dalam dunia kerja.

Tingginya Laju Pertumbuhan Penduduk
Kondisi kependudukan di negara berkembang ditandai dengan tingkat kelahiran dan tingkat kematian bayi yang tinggi. Tingkat kelahiran yang tinggi ini dipengaruhi oleh kurangnya kesadaran tentang perencanaan keluarga, pernikahan usia dini, terbatasnya peran wanita dalam dunia kerja, dan kepercayaan bahwa banyak anak banyak rezeki.

Tingginya Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan masyarakat di negara maju sudah sangat tinggi. Hampir seluruh penduduk bisa membaca dan menulis (melek huruf). Pemerintah mampu memberikan jaminan pendidikan dasar gratis kepada seluruh lapisan masyarakat. Fasilitas pendidikan di negara maju juga tersedia lengkap.

Rendahnya Tingkat Kesehatan dan Pendidikan
Tingkat kesehatan dan pendidikan di negara berkembang masih sangat rendah. Hal ini terlihat dari terbatasnya fasilitas kesehatan dan pendidikan bagi pembangunan sumber daya manusia. Pemerintah belum mampu menyediakan fasilitas pendidikan dan kesehatan secara merata bagi seluruh masyarakat.


Sumber : http://www.drzpost.com/reading-234-Perbedaan-Negara-Maju-dan-Negara-Berkembang.html