Blognya Anak Kuliahan

Wednesday, January 5, 2011

Pengertian : Doktrin

January 05, 2011 0
Pengertian : Doktrin
1.      Pengertian Doktrin
      Doktrin adalah teori-teori yang disampaikan oleh para sarjana hukum yang ternama yang mempunyai kekuasaan dan dijadikan acuan bagi hakim untuk mengambil keputusan. Dalam penetapan apa yang akan menjadi keputusan hakim, ia sering menyebut (mengutip) pendapat seseorang sarjana hukum mengenai kasus yang harus diselesaikannya; apalagi jika sarjana hukum itu menentukan bagaimana seharusnya. Pendapat itu menjadi dasar keputusan hakim tersebut.
      Doktrin atau pendapat para ahli hukum merupakan sumber hukum yang sangat penting bagi ilmu hukum dan perkembangannya, karena kemajuan pemikiran tentang hukum sangat tergantung antara lain kepada pendapat yang dikemukakan para ahli hukum untuk menyingkapi fenomena yang terjadi setiap waktu. Doktrin bisa di kemukakan dalam berbagai forum, seperti penelitian, seminar atau dengan penerbitan buku yang membahas suatu topik, atau fenomena hukum tertentu.
      Doktrin atau ajaran yang terkenal antara lain doktrin yang pernah diciptakan Ir. Djuanda pada tanggal 13 januari 1958 dan disempurnakan sebagai konsep hukum internasional oleh Mochtar Kusumaatmadja tentang “Archipelago Island Vision” atau “Wawasan Nusantara” yang pada prinsipnya menegaskan bahwa Negara kepulauan Indonesia adalah Negara yang batasnya ditarik garis yang imajinal dari suatu pulau kepulau lain yang membentang ke seluruh wilayah dan menjadi garis batas resmi wilayah Indonesia. Doktrin tersebut akhirnya menjadi bahan inspirasi bagi Negara-negara kepulauan lainnya untuk menggunakan konsep kewilayahan Negara mereka berdasarkan prinsip tersebut.
2.  Pendapat Para Ahli Hukum (Doktrin)
a.   Aristoteles
Aristoteles adalah salah satu ahli hukum yang mempunyai kontribusi yang cukup besar dalam perkembangan ilmu hukum. Beberapa kontribusinya adalah sbb :
1)   Ia memberikan definisi hukum yaitu “Particular law is that which each community lays down and applies to its own members. Universal law is that the law of nature”.
2)   Dalam bukunya yang berjudul “Rhetorica” yang merupakan petunjuk utama mengenai cara-cara persidangan, ia menyarankan kepada para pihak yang berkepentingan untuk menggunakan hukum alam jika hukum tertulis tidak menguntungkan mereka tetapi harus memprioritaskan hukum tertulis daripada hukum tidak tertulis, jika hukum positif menguntungkan satu pihak.
3)   Dalam “Politik”, ia mengidentifikasikan keadilan dengan hukum positif, “sebab keadilan adalah kebijakan yang bersifat politis; Negara diatur dalam peraturan-peraturan yang adil dan peraturan-peraturan tersebut merupakan patokan dari apa yang benar”. Dengan kata lain Aristoteles lebih suka memberi tekanan pada keadilan legalitas atau keadilan positif daripada prinsip kebajikan yang kekal.
4)   Aristoteles mengajarkan bahwa ada dua macam hukum, yaitu:
a)   Hukum yang berlaku karena penetapan penguasaan Negara.
b)   Hukum yang tidak tergantung dari pandangan manusia tentang baik buruknya, hukum yang “asli”.
5)   Menurut Aristoteles hukum alam adalah hukum yang oleh orang-orang berpikiran sehat dirasakan sebagai selaras dengan kodrat alam. 
b.  Grotius
1)   Memberi definisi pada hukum yaitu, “law is a rule of moral action obliging to that which is right”
2)   Berpendapat bahwa konstitusi setiap negara didahului oleh suatu kontrak sosial, dimana rakyat memilih bentuk pemerintahan yang menurut mereka paling cocok. 
c.   Immanuel Kant
Dalam buku “Categorical Imperative”,Kant mengatakan “Berbuatlah dengan cara yang serupa sehingga aksioma dari perbuatan anda dapat dijadikan hasil dari perbuatan umum. Imperative ini merupakan dasar filsafat, moral dan filsafat hukum Kant. Seluruh filsafat hukum Kant merupakan teori tentang”Hukum yang seharusnya ada”. Kant menurunkan definisi hukumnya dari “Categorical Imperative” tersebut. “ Hukum adalah keseluruhan kondisi, dengan mana terhindar yang sewenang-wenang dari individu dapat digabungkan dengan kehendak yang lain, dalam lingkup suatu hukum kebebasan”.
      Kant juga berpendapat bahwa hukum hanya benar kalau setidak-tidaknya memungkinkan seluruh penduduk menyetujuinya. Ia mendukung pemisahan kekuasaan dan menentang hak-hak istimewa karena keturunan yang ditetapkan gereja dan otonomi dari badan hukum; Ia juga mendukung kebebasan berbicara.
      Tetapi karena orang tidak mempunyai hak untuk memberontak dalam keadaan apapun, semua prinsip ini hanya merupakan petunjuk bagi pembuat dan pelindung undang-undang. Fungsi negara yang pokok bagi Kant adalah sebagai pelindung dan penjaga hukum.
      Kant mengatakan bahwa bukan tugas negara untuk membuat warganya bahagia sesuai dengan penilaiannya, “Kalau penguasa membatasi diri pada tugasnya sendiri untuk memelihara negara sebagai lembaga pengelola keadilan, serta mencampuri kesejahteraan dan kebahagiaan warganya hanya sepanjang diperlukan untuk menjamin tujuannya, dan di pihak lain, kalau warga diizinkan dan secara bebas mengkritik tindakan-tindakan pemerintah tetapi tak pernah berusaha menentangnya, maka kita memiliki kesatuan semangat kebebasan dengsan kepatuhan kepada hukum dan loyalitas terhadap negara, yang merupakan suatu cita-cita politik dari suatu negara.
      Definisi Kant mengenai hukum tetap menjadi dasar semua konsepsi mengenai hukum dan negara yang dapat disebut atomistik, yang menyangkal setiap ciri organik dari negara dan dengan tegas memandang negara sebagai objek paling penting dalam perkembangan hidup. Namun definisi Kant mengandung kuman-kuman reformasi sosial sepanjang dibutuhkan oleh setiap individu untuk hidup sesuai dengan kebebasan maksimum, dari tiap individu yang lain, yang dapat dan harus ditafsirkan sesuai dengan keadaan sosial, suatu faktor yang oleh Kant diabaikan. Konsepsi Kant mengenai hukum, akan memperoleh kekuasaannya kembali jika gagasan-gagasan individualis dan kosmololitan dinilai lebih tinggi daripada gagasan-gagasan organik dan nasional. 
d.   Jellinek
                        1. Ia memberi tiga tanda-tanda pokok ketentuan hukum sbb:
 (a) Norma-norma untuk perilaku luar dari seseorang terhadap orang lain.
 (b). Norma-norma yang bergerak dari kekuasaan luar yang diketahui.
 (c). Norma-norma yang kekuatan mengikatnya dijamin oleh kekuatan luar.
                        2. Jellinek meninjau negara dari dua segi yaitu, dari segi sosiologis dan yuridis, dalam teorinya yang terkenal dengan nama “Zweiseiten Theorie” atau Teori Dua Segi.
                        3. Jellinek memberikan uraian yang dengan jitu menggambarkan negara itu sebagai “Die mit ursplunglicher Herrschermacht ausgestotte Verbandseinheit sershafter Menschen”, atau negara itu ialah ”sekumpulan” manusia yang berkediaman tertentu dan mempunyai kekuasaan asli untuk memerintah.
e.   John Austin
1)   Mendefinisikan hukum yaitu peraturan yang diadakan untuk memberi bimbingan kepada makhluk yang berakal oleh makhuk yang berakal yang berkuasa atasnya.
2)   Mendefinisikan kedaulatan yaitu jika seseorang yang berkuasa, yang tidak biasa tunduk pada seseorang yang berkuasa yang sama, dipatuhi oleh sebagian besar dari masyarakat tertentu yang menetapkan bahwa yang berkuasa adalah yang berdaulat pada masyarakat itu, dan masyarakat (termasuk yang berkuasa) merupakan masyarakat politik yang bebas. Jadi menurut Austin bahwa penguasa bisa individu, atau badan, atau kumpulan individu.
f.   Prof. Mr. Dr. L. J. van Apeldoorn
1)   Dalam bukunya yang berjudul “Inleiding tot de studie van het Nederlandse Recht” (terjemahan Oetarid Sadino, S.H. dengan nama Pengantar Ilmiah Hukum), bahwa adalah tidak mungkin memberikan suatu definisi tentang apakah yang disebut hukum itu.
2)   Menurut Apeldoorn dalam bukunya yang berjudul “Inleiding tot de studie van het Nederlandse Recht”, negara mengandung berbagai arti yaitu:
a)   Istilah negara dipakai dalam arti “penguasa”, untuk menyatakan orang atau orang-orang yang melakukan kekuasaan tertinggi atas persekutuan rakyat yang bertempat tinggal dalam suatu daerah.
b)   Istilah negara kita dapati juga dalam arti “persekutuan rakyat”, yakni untuk menyatakan sesuatu bangsa yang hidup dalam suatu daerah, dibawah kekuasaan yang tertinggi, menurut kaidah-kaidah hukum yang sama.
c)   Negara mengandung arti “sesuatu wilayah tertentu”, dalam hal ini istilah negara dipakai untuk menyatakan suatu daerah di dalamnya diam suatu bangsa dibawah kekuasaan tertinggi.
d)   Negara terdapat juga dalam arti “kas negara atau fiscus”;jadi untuk menyatakan harta yang dipegang oleh penguasa guna kepentingan umum misalnya dalam istilah “domein negara”.
g.   Stammler
1)   Memberi definisi kepada hukum dengan gayanya yang berat dan tidak menarik, sebagai berikut:
a)      Mengkombinasikan
b)      Kedaulatan
c)      Kemauan yang tidak dapat di ganggu gugat
2)   Tujuan Stammler mengenai cita hukum yang benar adalah untuk mebantu menyusun konsepsi hidup yang fundamental. Dalam bab yang memuat kesimpulan-kesimpulan dari bukunya “Theory of Justice”, Stammler mencantumkan :
a)   Hukum yang benar adalah titik universal tertinggi dalam setiap studi tentang kehidupan sosial manusia.
b)   Hukum yang benar adalah satu-satunya yang memungkinkan pemahaman keberadaan masyarakat sebagai suatu kesatuan melalui suatu metode yang sah secara mutlak.
c)   Hukum yang benar menunjukan jalan menuju persatuan dengan semua usaha dengan ciri fundamental yang bertujuan pada kesadaran yang benar.
3)   Stammler membagi prinsip-prinsip hukum yang benar ini dalam lima bagian:
·        Hak untuk melaksanakan hubungan-hubungan hukum.
·        Batas-batas kebebasan berkontrak.
·        Kewajiban-kewajiban hukum yang benar.
·        Penentuan transaksi yang benar.
·        Pembenaran penghentian hubungan-hubungan hukum. 
h.  Thomas Aquinas
Beberapa pendapatnya adalah:
1)   Hukum adalah ketentuan akal untuk kebaikan umum yang dibuat oleh orang yang mengurus  masyarakat dan menyebarluaskannya.
2)   Negara adalah suatu lembaga alamiah yang dilahirkan karena adanya kebutuhan-kebutuhan sosial pokok dari manusia.
3)   Thomas Aquinas berpendapat bahwa segala kejadian di alam dunia ini diperintah dan dikemudikan oleh suatu “undang-undang abadi” (“lex eterna”) yang menjadi dasar kekuasaan dari semua peraturan-peraturan lainnya.
i.    Thomas Hobbes
1)   Hobbes memberikan definisi tentang hukum, “Where as law, properly is the word of him, that by right had command over others”.
2)   Hukum alam—walaupun masih menduduki tempat terhormat Hobbes menyebut tidak kurang dari 19 prinsip yang telah dicopot kekuatannya. Sebab semua hukum tergantung dari sanksi. “Pemerintah tanpa pedang hanyalah kata-kata, dan sama sekali tidak mempunyai kekuatan untuk membuat orang merasa aman”. Jadi semua hukum yang sebenarnya adalah hukum sipil, hukum yang diperintahkan dan dipaksakan oleh yang berkuasa.
3)   Hobbes berpendapat bahwa, kekuasaan ia lebih suka menyebutnya kerajaan tetapi bentuk pemerintahan tidak begitu penting selama pemerintahan melakukan tugasnya, yakni memerintah sama sekali tidak dilembagakan dan disahkan dengan sanksi yang lebih tinggi, apakah itu hak Tuhan atau hukum alam, atau sesuatu yang lain. Pemerintah itu murni dan semata-mata ciptaan yang bermanfaat oleh individu-individu yang mendirikannya untuk menjaga agar individu-individu itu tidak saling menghancurkan satu sama lain.
j.    Vishinsky
Hukum adalah sebuah wadah peraturan-peraturan mengenai tingkah laku yang mengungkapkan kehendak kelas yang memerintah, yang diletakkan dalam undang-undang, dan juga mengenai adat kebiasaan yang diberi sanksi oleh negara  dan dijamin dengan kekuasaan yang memaksa untuk melindungi, memperkuat dan mengembangkan hubungan-hubungan sosial seperti itu yang disukai oleh kelas penguasa.
Referensi :
Bisri, Ilhami. 2007. Sistem Hukum Indonesia. Jakarta : Rajawali Pers.
http://wijiraharjo.wordpress.com

Tuesday, January 4, 2011

Konsep Pidana, Tujuan dan Hikmah Pemidanaan Dalam Islam

January 04, 2011 0
A.Pendahuluan
Al-Qur’an adalah sumber syari’at Islam. Al-Quar’an pada hikmahnya menepati posisi sentral dalam studi-studi ke-Islaman. Disamping berpungsi sebagai petunjuk (hudha), ia menjadi tolak ukur dan pembeda antara kebenaran dan kebatilan, termasuk dalam penerimaan dan penolakan setiap berita yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW.
Kandungan hukum yang dikandung oleh hukum pidana adalah yang dikandung oleh Al-Qur’an, maka terdalamnya terkandung hukum (syari’at) yang berhubungan dengan hukum Ibadat, hukum keluarga, warisan, hukum tentang harta benda (kekayaan) dan tukar-menukar, hukum pidana (‘aqubat atau jinayat) yang berkaitan dengan problema perdata dan perdana.
Sejauh mana Al-Qur’an mengungkapkan tasyi’nya yang berhubungan dengan masalah pidana pada umumnya. Tulisan ini mencoba menjawab siapakah yang dianggap perbuat tindakan pidana..? tindakan dalam bentuk apakah yang digolongkan tindakan pidana..? bentuk sangsi (‘uqubat) apa sajakah yang dijatuhkan sebagai sangsi hukum bagi si pelaku keriminal itu..? siapakah orang yang berkompeten melaksanakan sangsi pidana itu..? apakah yang dimaksud dengan pidana Qishas itu..?? bagai mana kedudukan Qishos itu. Dan bagai mana pula pelaksanaan pidana Qishas itu, siapa yang berkonpeten melakukan pidana Qishas itu ? apakah bedanya pidana dalam islam dan pidana dalam hukum nasional ?.

B.Pengertian
Pidana adalah segala betuk perbuatan yang dilakukan oleh seorang Mukhallaf, yang melanggar, perintah atau larangan Allah yang di Khitbahkan kepada orang-orang Mukhallaf, yang dikarnakan ancaman hukuman, baik sangsi (hukuman) itu yang harus dilaksanakan sendiri, dilaksanakan penguasa, maupun Allah, baik tempat pelaksanaan hukuman itu didunia maupun diakhirat.
Setiap tindakan pidana (delik, jarimah) itu harus ada sangsi hukum (‘ukubat) yang dikenakan kepada sipelakunya (al-jany), baik berupa azab neraka, qishas, giat, had, kaparat maupun fidiah, dimana pelaksanaan sangsi itu Allah sendiri, penguasa atau peribadi itu sendiri, baik tempat pelaksanaannya itu didunia maupun diakhirat.
Menurut hukum pidana umum , yang dimaksud dengan “tindakan pidana” adalah suatu tindakan (berbuat atau tidak berbuat) yang bertentanngan dengan hukum nasional. Jadi yang bersifat tanpa Hak yang menimbulkan akibat yang oleh hukum dilarang dengan ancaman hukuman. Jadi unsure yang penting sekali untuk peristiwa pidana (ditilik dari sudut objektif) adalah sifat tanpa hak (oncecht matgheid), yakni sifat melanggar hukum. Di tempat mana tak terdapat hukum tanpa hak, maka tidak ada peristiwa pidana.
Bertitik tolak pada prinsip bahwa hak menetapkan legislasi adalah hak Tuhan. Maka fungsi manusia sesungguhnya adalah pelaksanaan hukum yang telah ditetapkan Tuhan. Manusia tidaklah berhak merekayasa sendiri hukum untuk diterapkan dalam kehidupan mereka, kecuali dalam batas-batas yang diperbolehkan, sebab hl ini merupakan pelanggran besar terhadap otoritas Tuhan Yang Maha Mengetahui sebagai legislator.

C.Kegunaan Pidana dalam al-Qur’an
Jika dilihat dari keberadaan hukum pidana dalam al-Qur’an, maka secara universal dapat dinyatakan kegunaanya untuk:
1.Memelihara agama;
2.Memelihara kehormatn manusia;
3.Melindungi akal;
4.Memelihara harta manusia;
5.Memelihara jiwa manusia dan
6.Memelihara ketentraman umum.

D.Bentuk-bentuk Tindakan pidana
Yang dianggap sebagai tindakan pidana dilukiskan al-Qur’an terdapat dalam bentuk-bentuk:
1.Pembunuhan: menghilangkaan jiwa, menghilangakn anggota badan, melukai, pengguguran janin (abortus) dll (al-baqarah: 178);
2.Pencurian (sirqah): termasuk kedalamnya mengambil milik umum (korupsi) makan harta orang lain tampa hak, makan harta anak yatim, makan riba dan lain-lain (an-Maidah:3-4);
3. Perzinahan: termasuk kedalamnya homoseksual (liwath), lebian (sihaq), mendatangi binatang dan lain-lain (an-nur:3-4);
4.Tuduhan perzinahan: tuduhan perzinahan bagi muslimah yang baik-baik dan tuduhan berzina terhadap istri (Ii’an) (an-Nur:4-5);
5.Perusuhan dan pengacawan keamanan: merampok menodong, menggarong dan lain-lain;
6.Pemberontakan: permusuhan sesame muslim dan memusuhi pemerintah;
7.Kemurtadan: meninggalkan Islam sebagai agama yang telah perluknya;
8.Minum Khamar: minum zat cair yang memabukkan, menggunakan zat lainnya yang dapat merusak akal dan kesehatan (al-Maidah:90-91);
9.Keengganan melaksanakan hukum Allah (al-Maidah:44-45);
10.Pelanggaran terhadap aturan Allah: yang menyebabkan seseorang harus membayar kafarah ataupun fidyah, termasuk kedalamnya melanggar sumpah, pelanggaran dalam ihram haji atau ‘umroh, terkepung pada musim haji, menzhihar istri dan lain-lain (al-Maidah:89. 95-96);
Dalam kajian ini diarahkan pada upaya pemahaman pada bentuk-bentuk teradisional mengenai pidana Islam sebagai mana ditentukan dalam Al-Qur’an dan al-sunnah serta dinamika penafsiran inopatif yang dilakukan oleh para ahli hukum, gagasan dasar yang dikandung oleh konsep pidana Islam, serta berbagai kemungkinan inovasi atau pengembangan bentuk-bentuk pidana Islam itu. Dari segi ini, studi yang dilakukan dalam tulisan ini, dapat disimpulkan ada beberapa bentuk antara lain:
Secara tradisional, bentuk-bentuk pidana Islam itu adalah:
a.Pidana qishash atas jiwa;
b.Pidana qishash atas badan;
c.Pidana Diyat (denda ganti rugi);
d.Pidana mati;
e.Pidana penyaliban (salib);
f.Pidana pelemparan batu sampai mati (rajam);
g.Pidana potong tangan atau kaki;
h.Pidana potong tangan dan kaki;
i.Pidana pengusiran atau pembuangan;
j.Pidana penjara seumur hidup;
k.Pidana cambuk atau dera;
l.Pidana denda pengganti diyat (hukuman);
m.Pidana teguran atau peringatan;
n.Pidana penamparan atau pumukulan;
o.Pidana kewajiban religious yang disebut kaffarah;
p.Pidana tambahan lainnya (ta’zier)
q.Bentuk-bentuk pidana lainnya yang dapat dikembangkan sebagai konsekuensi dari pidana ta’zier.

Ketujuh belas betuk pidana itu, dapat dikelompokkan (diklasifikasikan)sebagai berikut:
a.Dari Segi objek ancamannya
1)Pidana atas jiwa, yang terdiri dari:
a.Pidana mati dengan pedang;
b.Pidana mati dengan digantung ditiang salib (disalib);
c.Pidana mati dengan dilempar batu (dirajam).
2)Pidana atas harta kekayaan, yang meliputi;
a.Pidana diyat ganti rugi:
b.Pidana ta’zier sebagai tambahan;
3)Pidana atas anggota badan, berupa:
a.Pidana potong tangan dan kaki;
b.Pidana potong tangan atau kaki;
c.Pidana penamparan atau pemukulan merupakan variasi bentuk pidana sebagai peringatan dan pengajaran.
4)Pidana atas kemerdekaan, berupa:
a.Pidana pengungsiran atau pembuangan;
b.Pidana penjara seumur hidup;
c.Pejara penahanan yang bersifat sementara;
5)Pidana atas rasa kehormatan dan keimanan,berupa;
a.Pidana teguran atau peringatan;
b.Kaffarah sebagai hukuman yang barsifat religious;

Di kalangan fukaha ada yang berpendapat bahwa dikenal tiga macam tindak pidana, bila ditinjau dari segi hukumnya, yaitu jarimah hudud, jarimah qishash atau diyat dan jarimah ta’zir. Namun ada juga yang menggolongkan empat macam yaitu ‘uqabat itu dalam bentuk:
1.Al-Hudud, sanksi hukum yang tertentu dan mutlak yang menjadi hak Allah, yang tidak dapat diubah oleh siapa pun.
2.Al-Qishash dan al-Diyat. Al-Qishash adalah sangsi hukuman pembalasan seimbang, seperti membunuh terhadap si pembunuh. Al-Diyat adalah sanksi hukuman dalam bentuk ganti rugi. Sangsi hukum al-qishash dan al-Diyat adalah merupakan sanksi hukum perpaduan antara hak Allah dan hak manusia.
3.Al-Ta’zir, adalah sanksi hukum yang diserah kepada keputusan hakim atau pihak berwenang yang berkompeten melaksanakan hukuman itu, seperti memenjarakan , mengasingkan dan lain-lain.
4.Kaffarat dan fidyah, adalah sanksi hukum dalam bentuk membayar denda , yang diserahkan pelaksanaannya kepada sipelanggar .

E.Tujuan dan Hikmah Pemidanaan
Pemidanaan atau hukuman merupakan salah satu perangkat dalam hukum pidana sebagai bentuk balasan bagi pelaku tindak kriminal, karena ia merupakan representasi dari perlawanan masyarakat terhadap para kriminil dan terhadap tindak kejahatan yang dilakukannya. Oleh karena itu ketika kita sepakati bahwa para kriminil dan tindak kejahatan yang dilakukannya merupakan objek dari pertanggung jawaban pidana (al-masuliyah al-jina’iyah) maka ketika seseorang terbukti melakukan tindakan pidana, ini mengharuskan dijatuhkannya hukuman bagi pelaku ini. Itu karena tindakan pidana yang berupa pelanggaran terhadap kaidah-kaidah dan norma-norma di masyarakat dan yang telah mengakibatkan adanya keresahan di masyarakat, mengharuskan tunduknya pelaku kejahatan terhadap hukuman. Karena merupakan sesuatu yang tidak dapat kita terima apabila pelaku kejahatan berkeliaran di tengah-tengah masyarakat sembari menebar kerusakan tanpa adanya halangan. Ini di satu sisi, sedangkan disisi lain agar kaidah-kaidah hukum sebagai pedoman hidup masyarakat dapat ditegakkan dan dihormati masyarakat maka harus ada hukuman bagi yang melanggar kaidah-kaidah hukum ini.
Pemidanaan atau hukuman, dalam bahasa Arab disebut ‘uqubat. Lafaz ini diambil dari lafaz (عاقب) yang sinonimnya (جزاه سواء بما فعل), artinya: membalasnya sesuai dengan apa yang dilakukannya.  Allah SWT telah menetapkan hukum-hukum ‘uqubat (pidana, sanksi, dan pelanggaran) dalam peraturan Islam sebagai “pencegah” dan “penebus”. Selain kedua hal tersebut, pemidanaan menurut Islam juga bertujuan sebagai perbaikan dan pendidikan.  Sebagai pencegah, karena ia berfungsi mencegah manusia dari tindakan kriminal, dan sebagai penebus, karena ia berfungsi menebus dosa seorang muslim dari ‘azab Allah di hari kiamat. Sistem pidana Islam sebagai “pencegah”, akan membuat jera manusia sehingga tidak akan melakukan kejahatan serupa. Misalnya dengan menyaksikan hukuman qisas bagi pelaku pembunuhan, akan membuat anggota masyarakat enggan untuk membunuh sehingga nyawa manusia di tengah masyarakat akan dapat terjamin dengan baik. Keberadaan ‘uqubat dalam Islam, yang berfungsi sebagai pencegah, telah diterangkan dalam al-Qur’an yang mengatur tentang hukuman qisas:
Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. (Al-Baqarah (2) : 179)
Pada ayat di atas, dijelaskan bahwa dengan pelaksanaan hukuman yang dalam hal ini hukuman qisas, ada jaminan kelangsungan hidup bagi orang-orang yang berakal. Yang dimaksud dengan “ada jaminan kehidupan” sebagai akibat pelaksanaan qisas adalah melestarikan kehidupan masyarakat, bukan kehidupan sang terpidana. Sedangkan bagi masyarakat yang menyaksikan penerapan hukuman tersebut (bagi orang-orang yang berakal) tentulah menjadi tidak berani membunuh, sebab konsekuensi membunuh adalah dibunuh. Demikian pula halnya dengan hukuman lainnya, sebagai bentuk pencegahan terjadinya kriminalitas yang merajalela.
Sedangkan sebagai “penebus”, artinya sistem pidana Islam akan dapat menggugurkan dosa seorang muslim di akhirat nanti. Sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari dari Ubadah bin Shamit RA menyebutkan: “Dalam peristiwa Bai‘at ‘Aqabah II, Rasulullah SAW menerangkan bahwa barangsiapa yang melakukan suatu kejahatan, seperti berzina, mencuri, dan berdusta, lalu ia dijatuhi hukuman atas perbuatannya itu, maka sanksi itu akan menjadi kaffarah (penebus dosa) baginya.” Maka, dalam sistem pidana Islam, kalau orang mencuri lalu dihukum potong tangan, di akhirat Allah tidak akan menyiksanya lagi akibat pencurian yang dilakukannya di dunia. Hukum potong tangan sudah menebus dosanya itu.
Tujuan pemidanaan sebagai “perbaikan dan pendidikan”, adalah untuk mendidik pelaku jarimah agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya. Setelah mendapatkan hukuman, diharapkan akan timbul dalam diri pelaku suatu kesadaran, sehingga pelaku tidak akan mengulangi perbuatan jarimah bukan karena takut akan hukuman, melainkan karena kesadaran diri dengan harapan mendapat ridha dari Allah SWT untuk kembali lagi kepada masyarakat dengan akhlak yang lebih baik. Tentu saja tujuan ini hanya dapat berlaku pada hukuman selain hukuman mati, sebab pada hukuman mati tidak ada kesempatan lagi untuk kembali kepada masyarakat.
Selain itu, pemidanaan juga bertujuan untuk “mewujudkan keadilan”.
Tidak diragukan lagi bahwa para kriminal ketika melakukan tindak kejahatan berarti telah melakukan sebuah tindakan yang dianggap tidak mengindahkan kaidah hukum, dan juga dengan melakukan tindakan itu ia telah mengebiri rasa keadilan atau membuat resah masyarakat. Hal inilah yang akan mendorong mereka untuk melakukan perlawanan terhadap tindakan ini, begitu juga hal ini akan menumbuhkan rasa dendam dari korban terhadap pelaku kejahatan. Oleh karena itu rasa marah dan dendam yang ada pada korban terhadap pelaku kejahatan tidak akan terobati kecuali setelah melihat pelaku kejahatan itu dijatuhi hukuman sebagai balasan atas apa yang telah dilakukanya. Maka hukuman ini telah mengembalikan rasa keadilan yang sempat hilang karena akibat tindak kejahatan yang dilakukan kriminil, dan hukuman ini juga dapat mengembalikan rasa tentram di masyarakat terlebih pada korban dan keluarganya.
Pada prinsipnya hukum Islam dalam menetapkan hukuman yaitu menekankan pada aspek pendidikan dan pencegahan. Pendidikan dimaksudkan agar seseorang yang akan melakukan kejahatan membatalkan niatnya, sedangkan yang sudah terlanjur melakukannya tidak mengulangi lagi perbuatannya walaupun dalam bentuk yang berbeda. Selain mencegah, syari‘ah tidak lalai dalam memberikan pelajaran demi perbaikan pribadi pelakunya, sehingga apabila pelakunya tidak mengulangi lagi bukan karena takut hukuman, tetapi karena memang kesadaran diri.*

*Ket : Tugas makalah Agama Islam 3, Syakir Jamaluddin, M. Ag

Monday, January 3, 2011

Korupsi dan Strategi Pemberantasanya Dalam Perspektif Islam

January 03, 2011 0
Korupsi dan Strategi Pemberantasanya  Dalam Perspektif Islam
Pengantar
Perilaku Korupsi, menurut Moh. Hatta, hanya bisa dihilangkan oleh komitmen moral dan nurani setiap manusia. Hanya dengan menjaga kualitas moral, seseorang dapat membunuh keinginannnya untuk mengambil sesuatu yang bukan haknya. (Marwan, 2005).

Pendapat ini bisa benar seandainya korupsi itu masih berada pada wilayah yang dapat dikendalikan oleh setiap manusia dan belum bersifat well-organized. Sekarang ini, menjadi ‘bukan koruptor’ di tengah budaya korup tidak cukup dengan membangun moralitas pribadi, tetapi harus bersifat antarpribadi maupun kolektif; karena betapa pun masyarakat kita sudah terlalu banyak kehilangan sensitivitas dan asertivitasnya terhadap prilaku korupsi ini. Melalui program-program pembinaan individual yang intensif dan konsisten, sikap dan perilaku individu-individu yang anti korupsi ini diharapkan dapat dikembangkan lebih lanjut untuk meningkatkan sensitivitas dan asertivitas (kepekaan dan rasa kepedulian) terhadap anti korupsi dalam dinamika masyarakat mulai dari lingkungan terbatas di mana seseorang berada. (Winantyo, dalam Muhammad Azhar et.al., 2004)

Kejengkelan masyarakat terhadap perilaku korupsi memang tidak bisa dipungkiri, tetapi mereka sudah tidak berdaya untuk melakukan tindakan dalam bentuk apa pun untuk melawannya. Hal ini dibuktikan misalnya dari hasil Hot Survey Jobs DB Indonesia yang menghasilkan 1.238 (78 %) dari 1.561 responden menyatakan setuju bila para koruptor yang terbukti bersalah oleh pengadilan “dihukum mati (Republika, 2005). Tetapi, alih-alih memutus perkara korupsi dengan hukuman mati, untuk membuktikan seorang tersangka korupsi di negara kita benar-benar telah melakukan tindak pidana korupsi, di samping memerlukan keberanian juga harus memahami logika kekuasaan. Karena sering kali – dalam setiap persidangan kasus korupsi -- kekuatan logika dikalahkan oleh logika kekuasaan.

Memahami Makna Korupsi

Tanaka (2001) menyebut korupsi – secara sederhana – sebagai penyalahgunaan jabatan untuk sesuatu di luar peruntukannya. Definisi inilah yang juga dipahami oleh banyak kalangan. Namun pengertian tersebut menjadi kurang relevan untuk menyebut “korupsi” dengan berbagai modus-operandinya saat ini. Dalam perspektif historis, korupsi tidak selalu dapat didefinisikan sesederhana itu. Oleh karenanya diperlukan definisi yang lebih komprehensif dan fleksibel.

Definisi korupsi harus dioperasionalisasi menjadi definisi-definisi yang mampu memetakan fenomena yang terjadi, tidak hanya di tingkat birokrasi pemerintahan, tetapi juga sampai ke tingkat lokal. Menurut beberapa pakar sosiologi korupsi (Klitgard et. Al., 2002; Andvig et. al., 2000; Stuckelberger, 2003) korupsi pada dasarnya dimaknai sebagai tindakan penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan-kepentingan pribadi (misuse of public power). Untuk mencapai definisi korupsi yang lebih operasional, beberapa riset telah mencoba mengklasifikasikan bentuk-bentuk korupsi dalam pengertian yang lebih aktual. Salah satu hasil riset yang diungkapkan di sini, yaitu tesis Ph. D yang dilakukan oleh Inge Amundsen tentang fenomena korupsi di Senegal, Afrika. Menurut Amundsen (Andvig, et. al., 2000) bentuk-bentuk korupsi di antaranya adalah tindakan penyuapan (bribery), penipuan atau penggelapan (embezzlement and fraud), dan pemerasan; lintah darat (extortion). Walaupun bentuk-bentuk operasional korupsi ini saling tumpang tindih dan digunakan secara bersamaan, pada dasarnya terdapat beberapa karakteristik berbeda antara bentuk-bentuk tersebut. Berikut ini akan dijelaskan secara ringkas tentang bentuk-bentuk umum perilaku korupsi tersebut:

1.Penyuapan atau bribery mencakup tindakan memberi dan menerima suap. Model pembayaran seperti ini bisa dalam bentuk uang ataupun barang. Seorang politisi, pengusaha, pejabat resmi, ataupun siapa saja biasanya mencoba memberikan sesuatu kepada pihak lain untuk memperoleh kemudahan, keringanan, dan memperlancar proses sesuatu hal yang bersifat menguntungkan bagi dirinya.
2.Embezzlement merupakan suatu tindakan penipuan dan pencurian sumber daya yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang mengelola sumber daya tersebut. Sumber daya yang dicuri dapat berupa dana publik atau sumber daya alam tertentu.
3.Fraud merupakan suatu tindakan kejahatan ekonomi yang melibatkan penipuan (trickery or swindle). Termasuk pula di dalamnya adalah proses manipulasi atau mendistorsi informasi dan fakta dengan tujuan mengambil keuntungan-keuntungan tertentu. Lazimnya, agen-agen yang melakukan tindakan manipulatif ini adalah orang-orang yang memiliki posisi superior dan dominan pada suatu jabatan tertentu. Contoh, agensi pemerintah bekerjasama dengan pihak-pihak swasta membangun jaringan perdagangan ilegal.
4.Extortion adalah tindakan meminta uang atau sumber daya lainnya dengan cara paksa atau disertai dengan intimidasi-intimidasi tertentu oleh pihak-pihak yang memiliki kekuasaan. Contohnya seperti uang proteksi atau keamanan. Cara-cara seperti ini biasanya lazim dilakukan oleh mafia-mafia lokal dan regional.
5.Favouritism adalah mekanisme penyalahgunaan kekuasaan yang berimplikasi pada tindakan privatisasi sumber daya. Pejabat-pejabat yang korup biasanya berusaha untuk mengakumulasi sumber daya-sumber daya tertentu dalam rangka memperkaya diri. Distribusi sumber daya dibuat sebias mungkin agar individu yang bersangkutan dapat membuat klaim kepemilikan pribadi atas sumber daya tersebut. Salah satu terma yang populer adalah klientalisme dan kronisme. Pihak-pihak yang terlibat, yaitu keluarga, klan, suku, kelompok agama tertentu.
6.Nepotism; jenis ini dinilai sebagai bentuk spesifik dari favouritism. Pejabat-pejabat publik di beberapa negara kerapkali berusaha untuk mengamankan kekuasaan dan posisi politiknya dengan cara menempatkan sejumlah anggota keluarganya dalam posisi kunci dalam lembaga politik atau lembaga ekonomi. (Muhammad Azhar et.al., 2004)

Perkembangan definisi korupsi juga ditandai oleh sejumlah interpretasi keagamaan tentang tindak pidana tersebut. Para ulama – misalnya – menganalogikan korupsi dengan al-ghulûl, sebuah terma yang dirujuk dari kitab suci al-Quran dan hadis-hadis Nabi. Mereka – pada umumnya – mengelaborasi makna al-ghulûl dengan sejumlah interpretasi yang semakna dengan pengertian korupsi sebagaimana yang didefinisikan oleh para pakar dari berbagai disiplin ilmu dengan cara pandang masing-masing. Representasi definisi tentang korupsi yang dielaborasi dari terma al-ghulûl dapat dicermati – misalnya – pada Fatwa Majelis Ulama Indonesia (2001) tentang “al-Ghulûl” (Korupsi) dan “ar-Risywah” (Suap-Menyuap). MUI pada 2001 pernah mengeluarkan fatwa khusus berkaitan dengan al-ghulul (korupsi), ar-risywah (suap-menyuap), dan pemberian hadiah bagi pejabat. Dalam fatwa tersebut MUI menegaskan, bahwa korupsi dan praktik suap “sangat keras” larangannya dalam agama. Sementara pemberian hadiah bagi pejabat sebaiknya dihindari karena pejabat telah menerima imbalan dan fasilitas dari negara atas tugas-tugasnya. Fatwa MUI tersebut juga dikuatkan oleh pendapat para ulama NU pada Munas NU. Selain itu, Munas NU (2002) juga merekomendasikan mengharamkan hibah (hadiah) kepada pejabat di luar batas kewajaran. Diharamkannya hibah itu, karena di samping melanggar sumpah jabatan, juga bisa menimbulkan kemungkinan sebagai ar-risywah (suap-menyuap) atau sebagai bentuk al-ghulul (korupsi). Menurut para ulama NU, ar-risywah bisa mengubah yang benar menjadi salah atau sebaliknya, sedangkan al-ghulul (korupsi) tidak sama dengan ar-risywah (suap-menyuap) -- bukan menyogok --tetapi mengambil uang yang seharusnya masuk ke kas negara tetapi masuk ke ‘kantong’ sendiri. Alasan NU menyinggung masalah hibah, karena masalah tersebut menjadi aktual mengingat KPKPN (Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara) banyak menerima pengembalian isian formulir pejabat negara yang hartanya disebut sebagai hibah. "Di sinilah perlu ketegasan NU sebagai organisasi keagamaan terbesar mengenai bagaimana kedudukan hibah kepada para pejabat.”

Berkaitan dengan pemahaman yang beragam dari para ulama tentang korupsi -- berikut kajian komprehensifnya, keragaman perspektif dan pendekatannya – tulisan ini menjadi sangat penting untuk disimak dalam rangka mencari jawaban atas pertanyaan krusial tentang “korupsi dalam perspektif Islam”.

Hakikat Korupsi

Baswir (2002) – mengutip Braz dalam Lubis dan Scott --menengarai bahwa “korupsi” dapat didefinisikan dengan berbagai cara. Namun demikian, bila dikaji secara mendalam, akan segera diketahui bahwa hampir semua definisi korupsi mengandung dua unsur berikut di dalamnya: Pertama, penyalahgunaan kekuasaan yang melampaui batas kewajaran hukum oleh para pejabat atau aparatur negara; dan Kedua, pengutamaan kepentingan pribadi atau klien di atas kepentingan publik oleh para pejabat atau aparatur negara yang bersangkutan.

Dalam khazanah kepustakaan Islam, korupsi dianalogikan dengan al-ghulûl, sebuah istilah yang diambil dari ayat al-Quran (QS Âli ‘Imrân, 3: 161):

وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَغُلَّ وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ

(Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan [pembalasan] setimpal, sedang mereka tidak dianiaya).

Pengertian denotafifnya adalah: “pengkhianatan atau penyelewengan”, namun dalam perkembangan kajian Fikih (Islam) istilah ini didefinisikan setara dengan “korupsi”. Ibnu Katsir (t.t.) – ketika menafsirkan QS Âli ‘Imrân, 3: 161 -- mendefinisikan al-ghulûl dengan rumusan: “menyalahgunakan kewenangan – dalam urusan publik -- untuk mengambil sesuatu yang tidak ada dalam kewenangannya, sehingga mengakibatkan adanya kerugian publik”. Definisi ini juga disepakati oleh para ulama di Indonesia. MUI (1999) – dalam fatwanya – menetapkan bahwa al-ghulûl identik dengan “korupsi”, yang dinyatakan sebagai salah satu bentuk perbuatan haram. Termasuk dalam tindak pidana korupsi – di samping al-ghulûl -- adalah (tindakan) menerima suap (ar-risywah).

Tindak pidana korupsi – yang dirujuk dari istilah al-ghulûl -- tidak saja bisa dipandang dari sudut pandang “normatif”, karena secara tekstual kita dapat memahami secara jelas keharamannya. Tetapi, lebih dari itu kita harus dapat menerjemahkan secara sosiologis bentuk-bentuk pengkhianatan dan penyelewengan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.

Bertolak dari masalah pendefinisian korupsi yang cukup rumit, tanpa sengaja kita sesungguhnya dipaksa untuk memahami korupsi sebagai suatu fenomena dinamis yang sangat erat kaitannya dengan pola relasi antara kekuasaan dan masyarakat yang menjadi konteks berlangsungnya fenomena tersebut. Artinya, fenomena korupsi hanya dapat dipahami secara utuh jika ia dilihat dalam konteks struktural kejadiannya. Pernyataan ini sama sekali bukan untuk menafikan keberadaan korupsi sebagai sebuah fenomena kultural, melainkan sekadar sebuah penegasan bahwa fenomena korupsi juga memiliki dimensi struktural yang sangat penting untuk diselidiki guna memahami fenomena korupsi secara utuh.

Alatas (1999), cenderung menyebut korupsi sebagai suatu tindakan pengkhianatan (pengingkaran amanah). Tetapi justru karena sifat korupsi yang seperti itu, upaya untuk mendefinisikan korupsi cenderung memiliki masalah pada dirinya sendirinya. Disadari atau tidak, upaya untuk mendefinisikan korupsi hampir selalu terjebak ke dalam dua jenis standar penilaian yang belum tentu akur satu sama lain, yaitu norma hukum yang berlaku secara formal, dan norma umum yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Akibatnya, suatu perbuatan yang dikategorikan sebagai korupsi secara hukum, belum tentu dikategorikan sebagai perbuatan tercela bila ditinjau dari segi norma umum yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Sebaliknya, suatu perbuatan yang dikategorikan sebagai korupsi dalam pandangan norma umum, belum tentu mendapat sanksi yang setimpal secara hukum.

Dalam konteks ini kita dapat memetik pelajaran dari sejarah perkembangan korupsi di Indonesia. Pertama, korupsi – di negara kita -- pada dasarnya berkaitan dengan perilaku kekuasaan. Kekuasaan – pada umumnya – cenderung untuk korup. Kekuasaan absolut akan korup secara absolut. Kedua, korupsi sangat erat kaitannya dengan perkembangan sikap kritis masyarakat. Semakin berkembang sikap kritis masyarakat, maka korupsi akan cenderung dipandang sebagai fenomena yang semakin meluas.

Secara normatif, seseorang dianggap sebagai pelaku tindak pidana korupsi bila telah memenuhi dua criteria. Pertama, secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Kedua: dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2 dan 3 UU No. 31 Tahun 1999).

Secara sosiologis, pengertian itu berkembang sesuai dengan persepsi masyarakat. Perilaku korupsi – dewasa ini -- bisa diindikasikan dari berbagai perspektif atau pendekatan. Tindakan korupsi dalam perspektif keadilan atau pendekatan hukum misalnya dikatakan sebagai: tindakan mengambil bagian yang bukan menjadi haknya. Kemudian diderivasikan: (1) korupsi adalah mengambil secara tidak jujur perbendaharaan milik publik atau barang yang diadakan dari pajak yang dibayarkan masyarakat untuk kepentingan memperkaya dirinya sendiri; (2) korupsi adalah tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi suatu jabatan secara sengaja untuk memperoleh keuntungan berupa status, kekayaan atau uang untuk perorangan, keluarga dekat atau kelompok sendiri. Dalam perspektif atau pendekatan relativisme kultural, bisa saja korupsi dikatakan sebagai: tindakan pemaksaan untuk menyeragamkan berbagai pemerintahan lokal, yang menyebabkan budaya asli setempat tidak berkembang, melemahkan keberadaannya untuk diganti dengan budaya yang dominan milik penguasa adalah tindakan korupsi struktural terhadap persoalan kultural. Bahkan orang awam pun -- dengan lugas – dapat menyatakan bahwa korupsi identik dengan tindakan menggelapkan uang kantor, menyalahgunakan wewenangnya untuk menerima suap dan (juga) menikmati gaji buta tanpa bekerja secara serius.

Jika korupsi sudah sedemikian rupa diterjemahkan dengan berbagai perspektif dan pendekatan oleh masyarakat kita, maka dalam pandangan agama pun korupsi akan mengalami perubahan. Karena, betapa pun tafsir atas realitas seringkali harus berhadapan dengan rigiditas “teks”, yang oleh karenanya para ulama dituntut untuk melakukan kontekstualisasi pemahaman atas teks yang semula ditafsirkan menurut kebutuhan zamannya untuk diselaraskan dengan kebutuhan perkembangan zaman. Di sinilah dinamika penafsiran atas teks dapat dipahami sebagai sebuah tuntutan riil perubahan zaman.

Ibnu Katsir (t.t.) – ketika menfasirkan QS Âli ‘Imrân, 3: 161 (Tidak layak seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang), menyatakan bahwa ayat ini memiliki latar belakang historis sebagai berikut: pertama, Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata: “Umat Islam telah kehilangan qathîfah (permadani) dalam perang Badar, lalu mereka berkomentar: “Barangkali Rasulullah saw telah mengambilnya”. Karena peristiwa ini, maka Allah mewahyukan ayat ini dalam rangka menjawab tuduhan umat Islam terhadap Nabi Muhammad saw. Kedua, Ibnu Jarir mengatakan bahwa firman Allah tersebut diturunkan berkenaan dengan qathîfah (permadani) merah yang hilang dalam perang Badar, sehingga menimbulkan kecurigaan sebagian pasukan Badar terhadap Rasulullah saw. Karena itulah Allah menurunkan firman-Nya (QS Âli ‘Imrân,[3]: 161).

Rangkaian kalimat “Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya” -- di dalam ayat tersebut -- mengandung ancaman keras dan peringatan yang tegas, bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan yang terlarang.

Seandainya perbuatan “menggelapkan selembar permadani” saja dianggap sebagai sebuah tindak pidana korupsi, apalagi perbuatan “menggelapkan uang negara dan pengkhianatan atas kepentingan publik”; perbuatan-perbuatan tersebut lebih pantas dianggap sebagai “korupsi” dalam pengertian yang sesungguhnya.

Dalam hal ini Rasulullah saw -- dalam riwayat Ahmad dari Abu Malik al-Asyja’i -- menyatakan:

أَعْظَمُ الْغُلُولِ عِنْدَ اللَّهِ ذِرَاعٌ مِنْ الْأَرْضِ تَجِدُونَ الرَّجُلَيْنِ جَارَيْنِ فِي الْأَرْضِ أَوْ فِي الدَّارِ فَيَقْتَطِعُ أَحَدُهُمَا مِنْ حَظِّ صَاحِبِهِ ذِرَاعًا فَإِذَا اقْتَطَعَهُ طُوِّقَهُ مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

)Korupsi terbesar di sisi Allah ialah sehasta tanah; kalian menjumpai dua orang laki-laki bertetangga tanah miliknya atau rumah miliknya, lalu salah seorang dari keduanya mengambil sehasta milik temannya. Apabila ia mengambilnya niscaya hal itu akan dikalungkan kepadanya dari tujuh lapis bumi di hari kiamat nanti).

Di samping itu Rasulullah saw juga menegaskan dalam hadis riwayat Ahmad – yang lain – dari ‘Abdurrahman bin Jubair:

مَنْ وَلِيَ لَنَا عَمَلًا وَلَيْسَ لَهُ مَنْزِلٌ فَلْيَتَّخِذْ مَنْزِلًا أَوْ لَيْسَتْ لَهُ زَوْجَةٌ فَلْيَتَزَوَّجْ أَوْ لَيْسَ لَهُ خَادِمٌ فَلْيَتَّخِذْ خَادِمًا أَوْ لَيْسَتْ لَهُ دَابَّةٌ فَلْيَتَّخِذْ دَابَّةً وَمَنْ أَصَابَ شَيْئًا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ غَالٌّ

(Barangsiapa memegang kekuasaan bagi kami untuk sesuatu pekerjaan, sedangkan dia belum mempunyai tempat tinggal, maka hendaklah ia mengambil tempat tinggal; atau belum mempunyai pelayan, maka hendaklan ia mengambil pelayan; atau belum mempunyai kendaraan, maka hendaklah ia mengambil kendaraan. Dan barangsiapa memperoleh sesuatu selain dari hal tersebut berarti dia adalah “koruptor”(.

Demikian juga hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari al-Mustaurid bin Syaddad:

مَنْ كَانَ لَنَا عَامِلًا فَلْيَكْتَسِبْ زَوْجَةً فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ خَادِمٌ فَلْيَكْتَسِبْ خَادِمًا فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ مَسْكَنٌ فَلْيَكْتَسِبْ مَسْكَنًا قَالَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ أُخْبِرْتُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ اتَّخَذَ غَيْرَ ذَلِكَ فَهُوَ غَالٌّ أَوْ سَارِقٌ
(Barangsiapa bekerja untuk kepentingan kami, hendaklah ia mencari isteri; jika belum mempunyai pelayan, hendaklah mencari pelayan; dan jika masih belum punya rumah, hendaklah ia mencari rumah. Barangsiapa yang mengambil selain dari itu [yang menjadi haknya], berarti dia adalah koruptor atau pencuri).

Ahmad ibn Hanbal (t.t) —dalam kitab Musnadnya -- juga meriwayatkan hadis lain:

هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ

(Hadiah-hadiah yang diterima oleh para ‘amil [petugas zakat/infaq/shadaqah/pajak] adalah ghulûl [korupsi])

Dalam hadis lain Abu Dawud meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda :

مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ

(Barangsiapa yang saya angkat menjadi pejabat dengan gaji rutin, maka sesuatu yang yang diambilnya selain itu [gaji rutin]adalah ghulûl [korupsi]).

Dari beberapa penjelasan di atas, kita dapat memahami bahwa “korupsi” harus dipahami secara kontekstual sesuai dengan kausa-efisien (‘illat) dan kausa-finalis (maqashid) nya.

Berdasar pada ‘Illat (Kausa-Efisien), korupsi dapat dipahami sebagai: “tindakan penyalahgunaan wewenang oleh pemegang amanat publik”. Sehingga semua penyalahgunaan wewenang oleh siapapun, dalam bentuk apa pun, di mana pun dan kapan pun oleh pemegang amanat publik dapat disebut sebagai tindakan korupsi”. Ketika kita pahami korupsi berdasarkan pada Maqâshid (Kausa-Finalis), maka korupsi dapat dipahami sebagai: “tindakan yang merugikan kepentingan publik”. Sehingga semua tindakan yang dapat merugikan kepentingan publik untuk kepentingan pribadi, keluarga dan kelompok yang dilakukan oleh siapa pun, dalam bentuk apa pun, di mana pun dan kapan pun dapat disebut sebagai tindakan korupsi”.

Nilai-nilai Anti Korupsi

Belajar dari al-Quran dan as-Sunnah, kita mendapatkan empat pilar [nilai] utama, yang dapat kita jadikan sebagai pijakan sebagai pilar strategi pemberantasan korupsi:

a.Amanah

Secara etimologis, “amanah” berarti” “titipan” (Munawwir, 1997). Sedang dalam pengertian istilah, kata amanah – sebagaimana yang yang terdapat dalam al-Quran -- dapat dipahami dalam lima pengertian:

Pertama, kata amanah dikaitkan dengan larangan menyembunyikan kesaksian atau keharusan memberikan kesaksian yang benar. Sebagaimana yang dapat kita pahami dari QS al-Baqarah, [2] 283:

وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ ءَاثِمٌ قَلْبُهُ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

(Jika kamu dalam perjalanan [dan bermu`amalah tidak secara tunai] sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang [oleh yang berpiutang]. Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu [para saksi] menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan).

Kedua, kata amanah diaitkan dengan dengan keadilan atau pelaksanaan hukum secara adil. Sebagaimana yang dapat kita pahami dari QS. An-Nisa’, [4] 58:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا

(Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan [menyuruh kamu] apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat).

Ketiga, dikaitkan dengan sifat khianat sebagai lawan katanya. Sebagaimana yang dapat kita pahami dari QS al-Anfal, [8] 27:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

(Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul [Muhammad] dan [juga] janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui).

Keempat, dikaitkan dengan salah satu sifat manusia yang mampu memelihara kemantapan ruhaninya. Sebagaimana yang dapat kita pahami dari (QS al-Ma’arij, [70] 32:

وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ

(Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat [yang dipikulnya] dan janjinya).

Kelima, dipahami dalam pengertian yang sangat luas, baik sebagai tugas keagamaan maupun sosial-kemanusiaan. Sebagaimana yang dapat kita pahami dari QS al-Ahzab, [33] 72):

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا

(Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh).

Ada kaitan yang erat antara iman dan amanat, sebagaimana yang dijelaskan dalam sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Anas bin Malik:

لَا إِيمَانَ لِمَنْ لَا أَمَانَةَ لَهُ وَلَا دِينَ لِمَنْ لَا عَهْدَ لَهُ

(Tidak (sempurna) iman seseorang yang tidak amanah, dan tidak [sempurna] agama orang yang tidak menunaikan janji).

Amanah dalam pengertian sempit adalah memelihara titipan dan mengembalikannya kepada pemiliknya dalam bentuk semula. Sedangkan dalam pengertian yang luas amanah mencakup banyak hal, seperti: menyimpan rahasia orang, menjaga dirinya sendiri, menunaikan tugas-tugas yang diberikan kepadanya dan lain sebagainya.

Salah satu bentuk amanah adalah tidak menyalahgunakan jabatan. Segala bentuk penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan pribadi, keluarga, famili atau kelompok seperti tampak pada tindakan korupsi termasuk perbuatan tercela yang melanggar amanah. Beberapa bentuk dari penyalahgunaan jabatan, misalnya: menerima komisi, hadiah yang terkait dengan jabatan serta mengangkat orang-orang yang tidak berkemampuan untuk menduduki jabatan tertentu hanya karena (dia) adalah sanak saudara atau kenalannya (nepotisme), sementara ada orang lain yang lebih mampu dan pantas menduduki jabatan tersebut dapat disebut sebagai tindakan melanggar amanah.

b.Shidiq

Kata shidiq, secara etimogis, berarti: benar atau jujur (Munawwir, 1997). Seorang muslim dituntut untuk selalu dalam keadaan benar lahir-batin. Meliputi: benar-hati (shidq al-qalb), benar-perkataan (shidq al-hadits), serta benar-perbuatan (shidq al-‘amal).

Benar dalam ketiga hal tersebut akan menuntun pada perilaku yang sesuai dengan “kebenaran” agama Islam. Oleh karena itu, Rasulullah Saw memerintahkan kepada setiap muslim untuk selalu menjaga diri dala “shidiq” dan melarang umatnya berbohong, karena setiap kebohongan akan membawa kepada kejahatan.

Dalam hadis riwayat al-Bukhari-Muslim, Rasulullah Saw bersabda:

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا

(Hendaklah kamu semua bersikap jujur, karena setiap kejujuran akan membawa kepada kebaikan, dan setiap kebaikan akan membawa ke surga. Seseorang yang selalu jujur dan mencari kejujuran akan ditulis oleh Allah sebagi seorang yang jujur (shidiq). Dan jauhilah sifat bohong, karena setiap kebohongan akan membawa kepada kejahatan, dan setiap kejahatan akan memebawa ke neraka. Orang-orang yang selalu berbohong dan mencari kebohongan akan ditulis oleh Allah sebagai pembohong (kadzdzab).

Ciri-ciri orang yang shidiq adalah: selalu berkata benar, selalu bermu’amalah dengan benar, memutuskan dengan benar, menepati janji serta menampilkan diri seperti keadaan yang sebenarnya. Karena itu orang yang shidiq tidak mungkin melakukan korupsi, karena di dalamnya (korupsi) pasti ada kebohongan.

Salah satu bentuk kebohongan yang sangat dicela adalah khianat, dan khianat adalah sejelek-jelek sifat bohong. Sementara itu, “korupsi” merupakan salah satu bentuk pengkhianatan yang berat. Korupsi merupakan tindakan yang tercela dan dilarang oleh Allah SWT. Hal tersebut dijelaskan dalam firman Allah SWT (QS al-Anfal, [8] 8):

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

)Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul-Nya (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui).

Mengingat sangat tercelanya “khianat”, maka pengkhianatan dalam bentuk apa pun, oleh siapa pun di mana pun dan kapan pun tidak boleh dibalas dengan pengkhianatan. Sebagaimana yang dijelaskan dalam sabda Rasulullah Saw:

أَدِّ الْأَمَانَةَ إِلَى مَنْ ائْتَمَنَكَ وَلَا تَخُنْ مَنْ خَانَك
َ
Tunaikanlah amanat terhadap orang yang mengamanatimu dan janganlah berkhianat terhadap orang yang mengkhianatimu” (HR Ahmad dan Abu Dawud).

c.Adil

Adil – secara etimologis – berarti: “kesepadanan, kelurusan dan ukuran”. (Munawwir, 1997). Sedang dalam pengertian terminologis berarti: “sikap tengah yang berkeseimbangan dan jujur” (Madjid, 2000) yang muncul dari rasa insaf (kesadaran) yang mendalam. Namun sebagai sebuah konsep keagamaan, makna keadilan jauh lebih luas dan kompleks berkaitan dengan konteks masing-masing.

Keadilan dapat dipilah menjadi empat pengertian: (1) keadaan sesuatu yang seimbang; (2) persamaan dan penyangkalan terhadap pembedaan; (3) memelihara hak-hak individu dan memberikan hak kepada setiap orang yang berhak menerimanya; dan (4) kemurahan dalam memberikan kebaikan.

Sedang bentuk-bentuknya ada tiga macam: Pertama, keadilan individual, yaitu kemampuan seseorang dalam mengendalikan dirinya, sehingga tidak melanggar norma agama. Kedua, keadilan sosial, yaitu keserasian dan keseimbangan hubungan antarpribadi dan antara pribadi dengan masyarakat. Di dalam hal ini seseorang dituntut untuk melakukan sejumlah kewajiban yang melekat pada dirinya ketika berhubungan dengan pribadi lain dan masyarakat, sementara itu juga dituntut untuk memperoleh hak yang semestinya dari pribadi lain dan masyarakat untuk dirinya. Sehingga terciptalah keseimbangan antara perolehan hak pribadi dan pemberian hak terhadap pribadi lain dan masyarakat dan lam hubungan interpersonal dan sosialnya. Ketiga, keadilan manusia terhadap makhluk lain, yakni tidak berbuat semena-mena terhadap makhluk lain. Perintah untuk berlaku adil dinyatakan dalam beberapa ayat al-Quran. Antara lain pada QS al-A’raf, 7: 29; QS an-Nahl, 16: 90 dan QS al-Maidah, 5: 8.

Implikasi dari sifat adil ini akan tampak pada perilaku sehari-hari, antara lain: tidak mau mengambil sesuatu melebih haknya; tidak mau merugikan orang lain dan selalu berusaha memberkan keuntungan terhadap orang lain tanpa harus kehilangan hak-haknya. Sikap inilah yang pada akhirnya akan dapat menghindarkan diri orang dari perilaku “korupsi”. Karena korupsi – pada dasarnya – merupakan bentuk tindakan yang tidak adil, karena merugikan orang lain.

Pelajaran tentang disiplin tersebut. Misalnya perintah untuk melaksanakan shalat “tepat pada waktunya”; berpuasa sesuai dengan tuntunanya; berzakat dan bershadaqah pada saat ada kesempatan; berhaji ketika ada kemampuan. Demikian juga pelajaran tentang “kaifiyah” (tata-cara) beribadah yang harus ditepati sebagaimana perintahnya. Semua keterangan itu menunjukkan pelajaran tentang disiplin dari Allah untuk umatnya.

d.Taqwa

Taqwa -- dalam pengertian etimologis – berarti: “takut., berhati-hati dan waspada”. Sedang dalam pengertian terminologis, taqwa berarti: “penjagaan diri dari sesuatu yang tidak baik”. (Raharja, 1996).

Al-Quran menyebut kata taqwa ini sebanyak 242 kali, baik dalam bentuk kata benda maupun kata kerja. Orang yang memiliki sifat dan melaksanakan tindakannya disebut al-Muttaqi (Orang Yang Bertaqwa). Al-Muttaqi – secara umum -- dapat dimaknai dalam tiga kategori: (1) orang yang menjaga diri dari kejahatan; (2) orang yang berhati-hati; dan (3) orang yang menghormati dan menepati kewajiban.

Implikasi sosial-kemanusiaannya antara lain: (1) berkemampuan untuk bersikap adil terhadap sesama manusia (QS al-Maidah, [5] 8); (2) menyelamatkan seseorang dari kekerdilan jiwa (QS al-Mu’min, [40] 45); (3) kesediaan untuk memberikan miliknya kepada orang lain, menepati janji-janjinya kepada siapa pun dan bersikap sabar dalam menghadapi situasi dan kondisi apa pun (QS al-Baqarah, [2] 177).

Dari sikap-sikap yang terbentuk pada orang-orang yang bertaqwa itulah, dapat diharapkan muncul sebuah komunitas yang memberdayakan dan terberdayakan karena tumbuhnya solidaritas antarmanusia dan masyarakat sebagai perwujudan riil – dalam wilayah praksis -- dari kepatuhan penuh hamba-hamba Allah kepada-Nya.


Kewajiban Memberantas Korupsi

Setiap muslim – sebagaimana penjelasan al-Quran dan as-Sunnah – memiliki kewajiban yang sama untuk memberantas korupsi, karena korupsi adalah salah satu dari bentuk kemungkaran yang harus diberantas.

Allah berfirman dalam QS Ali ‘Imran, 3: 104:

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

)Hendaklah ada di antaramu kelompok yang selalu mengajak kepada kebajikan dan memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari kemungkaran. Mereka itulah orang-orang yang akan mencapai kebahagiaan(.

Sementara Rasulullah Saw pernah bersabda dalam hadis riwayat Muslim:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ

)Barangsiapa di antaramu melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya; kalau tidak sanggup, maka ubahlah dengan lisan; dan bila tidak sanggup, ubahlah dengan hati. Yang demikian itu adalah selemah-lemah iman(


Kewajiban untuk “beramar ma’ruf”, artinya perintah kepada semua orang Islam – baik perseorangan maupun kolektif -- untuk melakukan sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai Islam ke dalam semua bentuk aktivitas kepada siapa pun, di mana pun dan kapan pun. Di samping itu juga melakukan upaya pemberdayaan bagi umat manusia agar mereka berkemauan dan – sekaligus – berkemampuan untuk berpihak kepada kebenaran, melaksanakan dan memperjuangkannya. Sedang kewajiban “bernahyi munkar”, artinya perintah kepada semua orang Islam -- baik perseorangan maupun kolektif – untuk tidak berpihak kepada “ketidakbenaran”, menghindarkan diri dan mencegah dirinya dan orang lain untuk tidak berbuat sesuatu yang tidak dibenarkan oleh agama, baik dalam wilayah ibadah (hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan), maupun dalam wilayah mu’amalah (hubungan horisontal antarmanusia), termasuk di dalamnya hubungan antara manusia dengan makhluk-makhluk Tuhan (selain manusia).

Selain itu, beberapa langkah preventif dapat dilakukan agar godaan korupsi tidak menjadi kenyataan, antara lain dengan cara:
a.Membiasakan pola hidup sederhana (Q.S. 17: 26-27). Pola hidup sederhana ini akan mencegah orang dari jebakan gaya hidup materialis, hedonis dan konsumeristis.

b.Selalu berupaya tidak melanggar hak orang lain (Q.S. 7: 33). Kebiasaan hidup teratur, tidak melanggar undang-undang/peraturan yang berlaku serta menghormati adapt kebiasaan masyarakat yang benar sudah barang tentu akan terhindar dari prilaku pelanggaran terhadap hak milik orang lain.

c.Menumbuhkan rasa tanggungjawab (Q.S. 3: 67) pada diri sendiri dan anggota masyarakat.

d.Selalu berupaya menjauhkan diri dari godaan setan, yakni menjaga diri dari segala perbuatan keji dan munkar.

e.Membiasakan diri dalam bekerja secara profesional dan proporsional. Mengetahui wilayah kerja yang diamanahkan pada diri kita sekaligus menyadari mana wilayah tanggungjawab yang sudah diamanahkan pada orang lain yang bukan bagian dari tanggungjawab kita.

f.Selalu memotivasi diri untuk berprestasi, bukan sekadar meraih prestise.

g.Selalu memperkaya diri dengan penataan hati/spiritualitas (manajemen qalbu) dalam bekerja, tidak sekedar mengandalkan aspek knowledge dan skill semata.

Perlunya Kontekstualisasi Ajaran Islam

Masalah lain yang tak kalah pentingnya sebagai upaya pemberantasan korupsi – dalam persepktif agama - adalah soal kontekstualisasi nilai-nilai ajaran Islam itu sendiri. Merebaknya fenomena korupsi khususnya di tengah-tengah komunitas bangsa yang mayoritas Muslim di Indonesia ini sedikit-banyaknya disebabkan oleh pola pemahaman agama yang bersifat parsial. Boleh jadi – akibat rumusan paham keagamaan yang tradisional – dosa korupsi belum terlalu digolongkan pada dosa besar atau dosa/syirik sosial. Pemahaman dosa besar selama ini lebih berperspektif vertical-personal seperti: syirik kepada Allah Swt, durhaka pada dua orangtua, membunuh, berzina dan sejenisnya. Sedangkan pemahaman dosa besar yang berperspektif horizontal-komunal seperti: korupsi, perusakan lingkungan, pelanggaran HAM secara massif (penindasan kaum perempuan, penjualan anak manusia, dll), cultural and structural violence, dan sejenisnya yang tergolong dosa sosial belum begitu terelaborasi dalam khazanah pemikiran Islam. Dalam perspektif epistemologi Islam, wacana dan pemahaman keagamaan Islam selama ini masih bercorak tekstual-normatif (bayani), belum beranjak pada pola pemahaman yang kontekstual-historis (burhani).

Secara fiqh, bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim, sampai saat ini belum memiliki fiqh sosial ala Indonesia, khususnya yang terkait dengan dunia birokrasi. Saat ini, yang masih dominant justeru fiqh ritual/ibadah mahdloh yang serba abstrak, belum menuju pada horizon fiqh yang lebih empiris, misalnya; fiqh kelautan, fiqh lingkungan hidup, fiqh lintas agama, fiqh multicultural, fiqh gender, fiqh tentang wacana kekerasan, iptek, satelit atau lebih umum kita sebut saja fiqh virtual, juga fiqh birokrasi (termasuk di dalamnya soal korupsi). Tidak perlu heran bila lembaga atau organisasi keagamaan terkadang juga disinyalir melakukan tindak pidana korupsi. Fenomena tersebut tidak lain dari bukti adanya kemiskinan wawasan – yang berimplikasi pada ruang kesadaran spiritual umat – tentang fiqh birokrasi.

Massa Islam secara umum, belum begitu memiliki sense tentang apa yang sekarang digaungkan dengan istilah clean government maupun good governance. Karena selama ini belum terakomodasi secara konkrit dalam berbagai silabi pendidikan Islam semacam pesantren, madrasah hingga perguruan tinggi. Demikian pula wawasan dakwah maupun khutbah-khutbah Jum’at, umumnya lebih bernuansa tabligh yang bersifat ritual-eskatologis, belum banyak mengupas soal al-duniya wa maa fiha yang lebih menjawab tantangan sosial-empiris serta bercorak futurologis. Gambaran syurga dan neraka hanya terkait dengan alam “di sana dan nanti” (al-akhirah), bukan “di sini dan saat ini” (al-duniya). Akibat lebih jauh, menjadi lebih jelas bila wawasan para tokoh umat – terutama para politisi dan birokrat Muslim – maupun para santri umumnya belum memiliki kesadaran autentik tentang upaya pemberantasan KKN. Ditambah lagi model dakwah amar ma’ruf lebih dominan dan sangat abstrak – jauh dari problema keseharian warga bangsa – ketimbang nahi munkar secara sistemik yang didukung oleh basic knowledge – fiqh birokrasi, misalnya – secara lebih memadai.





Sumber :diskusi bulanan dosen-dosen FAI UMY (Muhsin Hariyanto)

Sunday, January 2, 2011

Etika Politik dalam Perspektif Al-Quran.

January 02, 2011 0
Etika Politik dalam Perspektif Al-Quran.

Agama Sumber Etika
Dalam pandangan islam, iman merupakan fitrah dan kebutuhan dasar manusia. Iman melahirkan tata nilai berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Satu, yaitu sebuah tata nilaiyang dijiwai oleh kesadaran bahwa hidup ini berasal dari Allah dan kembali kepada Allah. Dengan demikian iman mengkonstruksi kesadaran manusiaakan adanya sebuah pertanggungjawaban kepada Allah, tuhan seru sekalian alam’ bukan pertanggungjawaban kepada manusia atau makhluk-Nya yang lain. Dengan demikian, iman membebaskan manusia dari ketakutan-ketakutan terhadap sesame makhluk Allah. Hal ini dikarenakan ada kesadaran bahwa pertanggungjawaban sepenuhnya diberikan kepada-Nya.
Dalam ajarannya, Islam tidak mengenal system kelas (wihdatul insaniyah)b mengingat kehadirannya didunia adalah pemberi rakhmat dan perlindungan serta berkah bagi manusia (rahmatan li al amin) Disini islam memberi ruang yang luas bagi manusia untuk berpartisipasi dalam setiap bidang kehidupan, baik menyangkut hokum, politik, ekonomi, dan lain sebagainya tanpa dibatasi oleh strata social maupun latar belakang budaya.
Dengan ajarannya, Islam sangat menjunjung tinggi keterbukaan dan toleransi. Tanpa memandang latar belakang yang dimilikinya seperti budaya, agama, bangsa dan lain sebagainya, dapat bekerjasama dengan umat Islam tanpa harus mereduksi identitas yang sudah dimiliki.

Etika Politik Islam
Sebagai system ajaran agama yang terbuka, Islam selalu menekankan fungsi kritisnya dalam memisahkan sisi kritisnya dalam memisahkan sisi positif dan sisi negatif dari berbagai watak ideologi. Beberapa prinsip Etika politik dalam ajaran Islam yaitu meliputi:
1. Kekuasaan sebagai Amanah
Prinsip amanah tercantum dalam Al-Qur’an Surat An-Nissaa 4:58 yg artinya :
Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menyampaikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya dan memerintahkan kamu apabila menetapkan hukum-hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan nya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah Maha mendengar dan Maha Melihat.”
Dalam kontek kenegaraan, amanah dapat berupa kekuasaan ataupun kepemimpinan. Sebab pada prinsipnya kekuasaan atau kepemimpinan adalah suatu bentuk pendelegasian atau pelimpahan kewenangan orang-orang yang dipimpinnya. Islam secara tegas melarang terhadap para pemegang kekuasaan agar tidak melakukan penyalahgunaan kekuasaan yang diamanatkan kepadanya. Sebab apapun yang dilakukan oleh seorang penguasa atau pemimpin kelak akan dimintai pertanggungjawabannya dihadapan Allah.

2. Musyawarah

Prinsip secara musyawarah dalam Al-Qur’an tercantum dengan jelas dalam surat As-Syura/42:38 yang artinya : “…adapun urusan kemasyarakatan diputuskan dengan musyawarah diantara mereka.” Dalam ayat lainnya di surat Ali Imran/3:159’ suruhan untuk bermusyawarah dalam setiap urusan selalu diperintahkan Allah kepada rasulnya: ’’…dan bermusyawarahlah engkau (Muhammad) dengan mereka dalam setiap urusan.”

Dengan musyawarah potensi-potensi hegemoni pihak-pihak kuat atas pihak yang lemah menjadi tereliminir. Sebab dalam musyawarah dibuka pintu partisipasi aktif seluruh umat dengan posisi dan kedudukan yang sama. Musyawarah itu sendiri dapat diartikan sebagai forum tukar menukar pendapat, ide, gagasan, dan pikiran dalam menyelesaikan sebuah masalah sebelum tiba masa pengambilan sebuah keputusan.
Pentingnya musyawarah dalam islam adalah upaya untuk mencari sebuah pandangan obyektif dalam sebuah perkara, sehingga pengambilan keputusannya dapat dilakukan secara bulat atau dengan resiko yang relative kecil.
Dalam tradisi islam, dikenal juga upaya pengambilan keputusan secara bersama-sama dan berdasarkan suara terbanyak, cara ini disebut dengan Ijma’ sebagai bagian dari upaya musyawarah dalam ajaran islam yang dipentingkan adalah adanya jiwa persaudaraan ataupun keputusan yang didasarkan atas pertimbangan nurani dan akal sehatsecara bertanggungjawab terhadap suatu masalah yang menyangkut kemaslahatan bersama dan bukan atas pertimbangan sesaat (kalah-menang). Sifat pengambilan keputusan dalam musyawarah hanya dilakukan untuk hal-hal kebaikan (ma’ruf) dan islam melarang pengambilan keputusan untuk hal-hal yang buruk (mungkar). Sehingga pengambilan suatu keputusan dalam musyawarah didalam ajaran Islam berkaitan dengan prinsip “amar ma’ruf nahi munkar” (menyuruh pada kebaikan dan melarang pada keburukan).

3. Keadilan Sosial
Ajaran Islam mengandung ocial etika bermasyarakat adalah menegakkan keadilan terhadap sesame manusia. Islam tidak menghendaki bahwa dunia beserta isinya hanya dimiliki oleh orang-orang yang kuat sementara mereka yang lemah tidak mendapatkan apa-apa. Diantara seruan Allah tentang keadilan ini tercantum dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah 5:8 yang mengatakan:
hai orang-orang yang beriman, hendaknya kamu menjadi saksi yang adil dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum menyebabkan kamu berlaku tidak adil. Bersikap adillah kamu, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa, dan bertakwalah kepada Allah karena sesungguhnya Allah sangat mengetahui apa yang kamu lakukan.”
Disini dapat ditarik pandangan bahwa etika Islam tentang keadilan adalah perintah untuk menjadi manusia yang lurus, bertanggung jawab, dan berlaku ataupun bertindak sesuai dengan kontrak sosialhingga terwujud keharmonisan dan keadilan hidup. Sebab etika keadilan dalam islam menuntut tanggung jawab baik ocial makhluk Allah maupun Allah sendiri.

4. Persamaan
Dalam Islam prinsip persamaan bermakna mencakup segala bidang yaitu ocia, ekonomi, ocial politik budaya dan lain-lain. Persaman dalam bidang hokum misalnya, Islam memberikan jaminan bagi semua orang tanpa memandang kedudukan dan strata ocial dimasyarakat. Prinsip persamaan dalam Islam salah satunya disebutkan dalam Al-Qur’an Surat Al-hujurat/49:13 :
Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia disisi Allah adalah yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal."

5. Pengakuan dan Perlindungan terhadap HAM
Mengenai pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, Al-Qur’an surat Al-Israa/ 17:70 menjelaslan :
Dan sungguh kami telah memuliakan anak-anak Adam kami tebarkan mereka didarat dan dilaut serta kami anugerahi mereka rezki yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna daripada kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan.”
Ayat tersebut menjelaskan bahwa manusia sebagai anak keturunan Nabi Adam memiliki kemuliaan dengan berbagai kelebihannya bila dibandingkan dengan makluk Allah lainnya. Hasbi As-Shidiqie membagi kemuliaan menjadi 3:
  1. Kemuliaan pribadi (karamah fardiyayaha), yaitu masyarakat dilindungi hak-hak pribadi dan hartanya.
  2. Kemuliaan masyarakat (karamah ijtimaiyyah), yaitu status persamaan manusia dijamin sepenuhnya
  3. Kemuliaan Politik (karamah siyasiyyah), yaitumeletakkan hak-hak politik dan menjamin hak-hak itu sepenuhnya bagi setiap warga Negara tanpa pengecualian.
Islam tentang prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak tersebut meliputi, persamaan manusia, martabat manusia, kebebasan manusia.

6. Peradilan bebas
Prinsip peradilan bebas banyak ditegaskan dalam Al-Qur’an. Salah satunya adalah Q:S An-Nisaa/4:57: “…bila kamu menetapkan hukum diantara manusia maka hendaklah kamu tetapkan dengan adil." Dengan demikian setiap putusan seorang hakim harus mencerminkan rasa keadilan yang bebas dari segala intervensi kekuasaan. Tidak ada pembedaan seorang karena kedudukannya dimasyarakat yang tinggi dengan seorang yang miskin dan papa tetapi keadialan harus ditegakkan atas semua kepentingan golongan, kelompok social tertentu, agama,maupun keluarga.
Dalam upaya mewujudkan peradilan bebas ini, Islam banyak menyeru kepada para pemimpin agar mampu menjalankan dan menanamkan hikmah kepada masyarakat. Sebab pertama, pemimpinlah yang memiliki amanat untuk menjalankan hak-hak orang-orang yang diwakilkannya, baik hak untuk mendapatkan perlindungan hukum, perlindungan ekonomi, dan perlindungan-perlindungan lainnya. Kedua, penindasan biasanya lebih banyak dating dari para pemimpin dari pada orang-orang yang dipimpin.

7. Perdamaian dan keselamatan
Contoh paling sederhana yang membuktikan bahwa islam adalah agama perdamaian adalahanjuran islam untuk mengucapkan salam ketika bertemu dengan seseorang. Kalimat salam “assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatu”. Yang mengandung arti bahwa semoga Allah selalu melimpahkan keselamatan dan kerahmatan sehingga tidak ada bencana menghampirinya. Sehingga dari sini nampak bahwa etika islam adalah menegakkan perdamaian baik sesama manusia, antar etnis budaya, maupun perdamaian di antar bangsa. Dapat dipahami bahwa permusuhan dan peperangan merupakan sesuatu perbuatan yang sangat dilarang dalam islam.
Al-Qur’an hanya mengizinkantindakan kekerasan atau perang apabilapihak lain yang memulai serangan terhadap umat Islam. Namun upaya untuk melakukan serangan balik diatur hukumnya dengan tegas dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah/2:190.
berperanglah demi Allah melawan orang-orang yang memerangi kamu tetapi janganlah kamu memulai permusuhan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang menyukai permusuhan.”
Disamping itu peperangan wajib di hentikan jika pihak musuh ingin berdamai sebagaimana ketentuan yang digariskan dalam Al-Quran “apabila mereka cenderung pada perdamaian maka penuhilah dan taqwalah kepada Allah, karena Ia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. Jika mereka ingin menipu engkau maka Allah menjaga engkau.”
Dengan demikian dapat dimengerti bahwa agama Islam lebih mementingkan perdamaian diantara sesama manusia dan antar bangsa.

8. Prinsip Kesejahteraan
Kesejahteraan dalam Islam adalah kesejahteraan yang tidak hanya mencakup kesejahteraan lahir,tetapi juga batin untuk mencapai ridha Allah. Sebagaimana agama tidak hanya mementingkan sisi spiritual, ajaran islam berusaha untuk memerangi kemiskinan. Sehingga kaitan ibadah spiritual selalu digandengkan dengan persoalan kepedulian terhadap ketimpangan social. Ditegaskan dalam Q:S Al-Ma’un/107:1-7 : “Tahukah engkau yang mendustakan agama? Maka itulah orang-orang yang menelantarkan anak yatim, dan tidak menyuruh (manusia) memberi makan orang miskin. Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat , yaitu orang-orang yang lalai shalatnya, orang-orang yang riya, dan mereka yang enggan memberikan pertolongan."
Al-Quran selalu mengingatkan bahwa ibadah selalu ada kaitannya dengan aspek social, sebaliknya apa yang didapat manusia (rezeki) selalu diingatkan bahwa didalam rezki itu ada hak orang lain yang membutuhkan dan harus ditunaikan. Karena itu islam mengharuskan kepada pemeluknya untuk mengeluarkan zakat, hibah, wakaf, sadakah, infak,dan lain sebagainya.

9. Prinsip Ketaatan Rakyat
Dalam hal ini ketaatan rakyat terhadap pemerintahan bersifat wajib sejauhmana ketaatan itu menuju pada kebenaran. Sebaliknya, jika pemerintah melakukan kesalahan maka rakyat berhak untuk mengkritik setiap kekeliruan yang dilakukan oleh penguasa agar kembali pada jalur kebenaran. Q:S An-Nisaa/4:59 :
Hai orang-orang yang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya serta orang-orang yang berwenang diantara kamu. Apabila kamu berbeda pendapat tentang sesuatu hal, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasulnya (sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itub lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.”
Dari ayat tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya posisi rakyat sangat berkuas. Rakyat adalah pemegang kedaulatan atas sebuah sistem pemerintahan. Pemerintahan yang berjalan diatas sistem yang tidak dikehendaki rakyat boleh ditentang dan dilawan. Membiarkannya berarti telah membiarkan kezaliman hidup dimuka bumi. Dan itu dilarang keras dalam Islam.

Kesimpulan
Etika Politik didalam perspektif Al-Quran dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa bertanggungjawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai pebedaan jujur dalam persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keseimbangan hak dan kewajibandalam kehidupan berbangsa. Etika Politik dalam pandangan Al-Quran ini mengamanatkan agar penyelenggaraan Negara agar memberikan kepeduliantinggi dalam memberikan pelayanan kepada public. Etika Politik ini diharapkan mampu menciptakan suasana harmonis antar pelaku dan antar kekuatan social politik serta antar kepentingan kelompok lainnya untuk mencapai kemajuan bangsa dan Negara.


REFERENSI :

Faisal Baasir, Etika Politik Pandangan Seorang Politisi Muslim, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2003.
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Bandung: Mizan, 2001.
Farid Abdul Khalid, Fiqih Politik Islam, Jakarta: Amzah, 1998.

Saturday, January 1, 2011

Daftar Isi

January 01, 2011
Daftar Isi