Status
darurat narkoba yang disandang Indonesia kini sebenarnya tidak perlu terjadi
jikalau pemerintah Indonesia mau memberi perhatian lebih terhadap permasalahan
ini sejak dini. Kondisi siaga satu ini terjadi tidak lain karena pemerintah
sepertinya “lupa” menerapkan prinsip nan ampuh Mencegah Lebih Baik daripada Mengobati jauh-jauh hari. Jika menelisik jauh ke belakang,
pada mulanya Indonesia bukanlah sasaran utama para pengedar narkoba jaringan
internasional. Indonesia awalnya hanya dijadikan
sebagai wilayah transit oleh para produsen sekaligus distributor kelas wahid
yang bermarkas di wilayah yang dikenal dengan sebutan "the golden triangle” yang terletak di daerah perbatasan
antara Thailand, Laos, dan Kamboja.
Para
bandar tersebut sedianya akan memasok ke negara komoditi besar seperti Amerika
dan Australia. Namun kini menjadi cerita yang berbeda. dikarenakan
wilayahnya yang super luas serta jumlah penduduknya yang luar biasa, Indonesia
bak primadona yang menjadi bulan-bulanan para mafia internasional dalam
melakukan aksi invansi narkobanya. Lihat saja nama-nama terpidana
hukuman mati yang telah dieksekusi pada tahap I (18/1), yaitu: Namaona Denis
(Malawi), Marcho Archer Cardoso Moreira (Brazil), Daniel Enemuo (Nigeria), Ang
Kiem Soei (Belanda), Tran Thi Bich Hanh (Vietnam), dan Rani Andriani (WNI). Dan
juga tahap II (28/4), yaitu: Myuran Sukumaran (Australia), Andrew Chan
(Australia), Martin Anderson (Ghana), Raheem Agbaje (Nigeria), Sylvester
Obiekwe Nwolise (Nigeria), Okwudili Oyatanze (Nigeria), Rodrigo Gularte
(Brazil), Zainal Abidin (WNI). Benar saja,
kebanyakan dari mereka adalah warga negara asing. Dan
belum lagi masih terdapat puluhan terpidana mati narkoba lainnya yang berstatus
non-WNI yang saat ini sedang mengantri jatah eksekusi mati.
Kita
patut memberikan selamat buat pemerintah Indonesia dimana ditengah tekanan dan
penolakan secara berjamaah dari para negara sahabat terhadap hukuman mati,
akhirnya Indonesia secara berani dan tegas mampu menunaikan niat mulianya dalam
memberikan hukuman tanpa ampun bagi para perusak generasi bangsa. Namun yang
menjadi pertanyaan besarnya adalah apakah hukuman mati bagi para pengedar
narkoba tersebut akhirnya mampu memutuskan rantai peredaran narkoba di tengah
masyarakat? Maybe
Yes Maybe No! Malah
bisa saja yang terjadi mati satu tumbuh seribu, dan akhirnya hukuman mati
menjadi sia-sia belaka, habis waktu, tenaga, dan pastinya uang (eksekusi satu
terpidana saja bernilai sampai 200 juta, lihat rincian pada gambar!)
Bukannya
bermaksud pesimis terhadap upaya yang dilakukan oleh pemerintah, namun
disamping adanya hukuman mati (jika ingin terus dipertahankan) perlu adanya
cara yang lebih mujarab untuk mewujudkan Indonesia bebas narkoba di masa depan.
Dan penulis menyadari bahwasanya harapan Indonesia mewujudkan cita-cita aman
dari narkoba bisa untuk segera diwujudkan. Dan adalah
Gerakan Rehabilitasi 100.000 Penyalahguna Narkoba yang sedang digalakkan oleh Badan Narkotika
Nasional (BNN) yang penulis maksudkan. Program ini
sediri sedianya telah mulai diserukan oleh BNN di seantero negeri ini melalui
perpanjangan tangannya di tingkatan daerah
yaitu Badan Nasional Narkotika Provinsi (BNNP) sejak awal tahun 2015 ini.
Penulis melihat program ini bisa menjadi solusi cerdas dan bijak untuk
menyelamatkan bangsa ini dari jeratan narkoba.
Rehabilitasi Adalah Masa Depan
Perlu
dibedakan antara pelaku kejahatan narkoba (produsen dan pengedar) dengan pelaku
penyalahgunaan narkoba (konsumen atau pecandu). Pelaku
kejahatan adalah biang keladi dari permasalahan, sementara pelaku
penyalahgunaan hanyalah korban dari pelaku kejahatan. Berikanlah
hukuman seberat-baratnya untuk pelaku kejahatan agar ada efek jera bagi mereka,
sekaligus hal ini bisa menjadi warning
bagi para pelaku kejahatan lainnya yang belum tertangkap agar menjadi segan
untuk tetap eksis dalam menggeluti bisnis haram ini. Namun
tidaklah adil apabila hukuman berat ikut berlaku juga terhadap pelaku penyalahguna narkoba.
Dan pemerintah menyadari betul hal tersebut, karena sesuai dengan yang
termaktub dalam Undang-Undang No. 35
Tahun 2009 Tentang Narkotika, dijelaskan bahwa hukuman yang dapat dijatuhkan
kepada pecandu narkoba dikategorikan sebagai hukuman ringan yaitu paling lama
empat tahun, dan secara jelas disitu juga ditulis bahwasanya para korban
narkoba itu diwajibkan untuk menjalani proses rehabilitasi. Dan beruntunglah
bagi para pelaku penyalahguna narkoba tersebut karena meraka tidak perlu
dihukum berat, kemudian setelah menjalani hukuman mereka bisa
kembali hidup normal melalui program Rehabilitasi 100.000 Penyalahguna Narkoba.
Rehabilitasi
merupakan tindakan preventif yang bisa mencegah hal-hal yang lebih buruk
terjadi, seperti hilangnya nyawa. Bahkan
lebih dari itu rehabilitasi membuka jalan kepada para pecandu untuk kembali
menata kehidupan baru yang lebih layak dan kembali hidup dalam masyarakat untuk
berkontribusi dalam kehidupan sosialnya.
Uje, from zero to hero!!! |
Yang
terbaru Roger Danuarta, aktor yang sempat sangat tenar di awal tahun 2000-an,
terjerat narkoba, kemudian karirpun akhirnya ikut meredup. Ditangkap pada awal tahun 2014, kemudian
menjalani rehabilitasi selama satu tahun, dan paska rehabilitasi langsung
terjun kembali menghiasi layar kaca, hal yang sudah sangat jarang
didapatkanya ketika bergumul mesra dengan narkoba. Serta
kisah-kisah sukses lainnya yang ada di sekitar kita.
Dari dua contoh
kasus tersebut, dapat dilihat bahwasanya rehabilitasi
merupakan obat ampuh bagi penyalahguna narkoba. Mereka-mereka yang pernah
terjerat sadar betul bahwa tidak ada gunanya lagi menyambung hidup dengan
narkoba, karena narkoba adalah akhir hidup dan rehabilitasi adalah masa depan
Optimalisasi Dan Keseriusan
Angka
prevelensi narkoba di Indonesia dari tahun ke tahun diyakini terus meningkat
tajam. Menurut penelitian yang dilakukan oleh
BNN dengan Puslitkes UI pada tahun 2014 yang lalu, jumlah
pengguna narkotika yang tercatat pada saat itu hampir 4 juta jiwa, dan menurut
perkiraan pada tahun 2015 nanti (saat ini) jumlah pengguna narkoba akan naik
mencapai 5,8 juta jiwa. Kemudian, berbicara mengenai jumlah korban meninggal,
maka tidak sedikit, sekitar 12.044 orang pertahun atau sekitar 33 orang harus
merenggang nyawa akibat penyalahgunaan narkoba. Sementara itu, dalam upaya
rehabilitasi, sedikitnya selama kurun waktu 2010 sampai 2014 BNN telah mampu
merehabilitasi para penyalahguna narkoba sebanyak 34.467 orang,
baik melalui layanan rehabilitasi medis maupun rehabilitasi
sosial
yang dititipkan di tempat
rehabilitasi pemerintah maupun di masyarakat.
Menurut
data diatas, bisa diasumsikan bahwa setiap tahun terjadi peningkatan jumlah
pemakai narkoba sebanyak 1-2 juta jiwa. Disamping
itu, jika mengkomparasikan atara jumlah yang meninggal dengan jumlah yang
berhasil direhabilitasi, maka jumlah yang meninggal dua kali lebih banyak
daripada jumlah yang bisa diselamatkan melalui jalur
rehabilitasi pertahunnya. Berdasarkan
fakta diatas patut dipertanyakan kembali terhadap keseriusan pemerintah dalam
mengupayakan rehabilitasi bagi para penyalahguna narkoba, mengapa jumlah yang
meninggal lebih banyak daripada jumlah yang sembuh? Sementara jumlah pemakai terus saja bertambah.
Padahal
kita telah memiliki produk hukum yang mengatur tentang tindakan yang harus
dilakukan terhadap penyalahguna narkoba sejak 2009, artinya secara de jure hak telah diatur dan ditentukan,
namun secara de facto ternyata banyak
terjadi penyelewengan di lapangan. Salah
satu penyelewengan yang kerap terjadi adalah lebih mengupayakan untuk
memasukkan pelaku penyalahguna narkoba ke penjara dari pada memasukkannya
ke panti rehabilitasi. Padahal jelas bahwa penjara adalah tempat berkumpulnya
para bandar narkoba, mulai dari kelas teri hingga kelas kakap semuanya ada
disitu.
Memasukkan
pecandu narkoba bersama-sama dengan pengedar narkoba ke dalam
penjara merupakan sebuah blunder, bisa diibarakat seperti
memasukkan Kambing ke dalam kandangnya
Harimau. Maka tidak heran apabila dalam
pemberitaan menyebutkan bahwa pengusaha sekaliber Freddy
Budiman tetap mampu menjalankan bisnisnya
walaupun berada di balik jeruji besi, karena di balik ketatnya hotel prodeo
tersebut ternyata malah menjadi tempat transaksi yang lebih aman daripada di
luar.
Bisa
dilihat bahwa para pengedar tidak akan pernah berhenti apabila para konsumen
setianya masih tetap menaruh minat tinggi dengan barang haram tersebut, bahkan
setelah ditahan dan dijatuhkan hukuman mati sekali pun mereka tidak akan pernah
gentar. Sebenarnya, dengan rehabilitasi tidak hanya mampu mengembalikan
kesadaran para pengguna untuk kembali ke jalan yang benar, akan tetapi
sekaligus mampu membuat para "entrepreneur"
narkoba memilih untuk berkarir di bisnis yang lain. Nalar sederhananya begini;
jika semua pengguna narkoba dimasukkan ke dalam panti rehabilitasi,
akhirnya mereka berhenti dan
tidak
akan membeli lagi, kemudian dikarenakan pembeli menjadi
sepi, maka
para pengedar pun akhirnya pailit alias gulung
tikar. Ya kira-kira idealnya seperti itulah. Hehe..
Minimnya
infrastruktur, sumber
daya manusia, serta anggaran, selalu saja menjadi hambatan klasik dalam
memuluskan program rehabilitasi penyalahguna narkoba
selama ini. Disamping itu, sebuah kebijakan tidak akan pernah sukses berjalan jika
tidak didukung oleh masyarakat, oleh karena itu pemerintah sangat
membutuhkan backup dari masyarakat, terutama dalam proses sosialisasi dan juga pengawasan.
Para penyalahguna narkoba janganlah dimusuhi dan dijauhi, akan tetapi anggaplah
mereka sebagai orang sakit yang membutuhkan pertolongan serta bimbingan, terutama dari
keluaga dan orang-orang
terdekat dari korban. Kemudian, tidaklah
harus menunggu ditangkap dan diproses
hukum terlebih dahulu untuk kemudian masuk
ke dalam panti rehabilitasi, namun sesegera mungkin
kesadaran untuk rehabilitasi haruslah ada sebelum berurusan dengan hukum,
karena Mencegah Lebih Baik daripada Mengobati.
Tentunya masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi oleh BNN jika ingin melihat program Gerakan Rehabilitasi 100.000 Penyalahguna Narkoba ini akhirnya mampu menyelamatkan generasi bangsa ini. Dan juga, besar
harapan bagi masyarakat terhadap kesuksesan dari
program Gerakan Rehabilitasi 100.000 Penyalahguna Narkoba ini. Jika dalam satu periode ternyata program ini mampu membuahkan hasil yang positif, maka ke depan bila memungkinkan angka seratus ribu bisa
ditingkatkan menjadi satu juta jiwa. Apalagi
katanya pemberatasan narkoba masuk dalam agenda prioritas rezim Jokowi-JK.
Dengan
Rehabilitasi Generasi Bangsa Berkarya Kembali. Dengan
Rehabilitasi Narkoba Sepi Pembeli. Dan dengan
Rehabilitasi Tak Perlu Lagi Eksekusi Mati.
Stop Narkoba!!!
Pailitkan Pengedar!!! Mari Rehabilitasi!!!
Bacaan:
- JALAN LURUS: Penanganan Penyalahguna Narkotika Dalam Konstruksi Hukum Positif - Dr. Anang Iskadar
- http://www.merdeka.com/peristiwa/pengguna-narkoba-di-indonesia-pada-2015-capai-58-juta-jiwa.html
- http://www.bnn.go.id/portal/index.php/konten/detail/humas/berita/12953/darurat-narkoba-bukan-hanya-di-indonesia
- http://www.voaindonesia.com/content/pemerintah-tetapkan-gerakan-rehabilitasi-100-ribu-pengguna-narkoba/2622737.html
- http://jaringnews.com/keadilan/umum/70029/setelah-gelombang-dan-masih-ada-terpidana-mati-narkotika