Blognya Anak Kuliahan

Showing posts with label Bahan Kuliah. Show all posts
Showing posts with label Bahan Kuliah. Show all posts

Saturday, April 27, 2013

Teori Konsep Kualitas Pelayanan Publik

April 27, 2013 0
Teori Konsep Kualitas Pelayanan Publik

Acuan Pelayanan
Pelayanan publik akan mempunyai akuntabilitas yang tinggi, apabila acuan utama dalam penyelenggaraan pelayanan publik tersebut selalu berorientasi kepada masyarakat pengguna jasa. Kepuasan masyarakat pengguna jasa harus mendapat perhatian yang lebih dalam setiap penyelengaraan pelayanan publik, karena masyarakat pengguna jasalah yang sebenarnya berkuasa di dalam negara ini, yang membiayai pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan ini melalui pajak yang mereka bayar. Makanya mereka berhak memperoleh pelayanan yang terbaik dari pelayannya, yaitu birokrasi. untuk itu acuan penyelenggaraan pelayanan publik yang dibuat oleh birokrasi harus memperhatikan kondisi masyarakat setempat.


Solusi Pelayanan
Berbagai keterbatasan yang ada pada masyarakat saat ini dapat menjadi hambatan bagi mereka dalam mencari pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah. Hambatan tersebut bisa saja dalam bentuk memahami aturan-aturan yang telah ditetapkan atau prosedur pelayanan publik yang akuntabel. Penyelenggaraan pelayanan publik yang akuntabel adalah pelayanan yang memberikan solusi atau jalan keluar bagi masyarakat apabila masyarakat tersebut mengalami kesulitan dalam memahami aturan-aturan atau prosedur pelayanan yang diterapkan.

Solusi atau jalan keluar yang diberikan adalah solusi yang terbaik bagi masyarakat pengguna jasa yang dilakukan secara tulus (tanpa syarat) dan bukan sebaliknya bersyarat sehingga pelayanan menjadi sangat kompleks dan ruwet. birokrasi pada dasarnya adalah pelayan masyarakat, sehingga sudah menjadi kewajiban bagi seorang pelayanan untuk melayani dan membantu tuannya dalam mengatasi kesulitan yang dihadapi tuannya.


Prioritas Terhadap Kepentingan Publik
Pelayanan publik yang akuntabel adalah pelayanan yang menempatkan kepentingan masyarakat pengguna jasa sebagai prioritas utama dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Berbagai sumber daya yang dimiliki oleh organisasi harus digunakan dan diprioritaskan untuk memenuhi kepentingan masyarakat pengguna jasa. Dengan memberikan prioritas pada pemenuhan kepentingan masyarakat pengguna jasa di atas kepentingan yang lain berarti birokrasi telah memberikan penghargaan terhadap eksistensi masyarakat sebagai pengguna jasa.


(http://tentangpelayananpublik.blogspot.com)


Jenis dan Pola Pelayanan Publik

April 27, 2013 1
Jenis dan Pola Pelayanan Publik

Kewajiban Pemerintah adalah memberikan pelayanan publik yang menjadi hak setiap warga negara ataupun memberikan pelayanan kepada warganegara yang memenuhi kewajibannya terhadap negara. Kewajiban pemerintah, maupun hak setiap warga negara pada umumnya disebutkan dalam konstitusi suatu negara. Bentuk pelayanan publik yang diberikan kepada masyarakat dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis pelayanan, yaitu;
  1. Pelayanan Administratif, yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik, misalnya status kewarganegaraan, serrtifikat kompetensi, kepemilikan atau penguasaan terhadap suatu barang dan sebagainya. Dokumen-dokumen ini antara lain kartu Tanda Penduduk (KTP), Akte Pernikahan, Akte kelahiran, Akte Kematian, Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), Surat Ijin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Kendaraan Bermotor (STNK), Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), Paspor, Sertifikat Kepemilikan/Penguasaan Tanah dan sebagainya.
  2. Pelayanan Barang, yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk / jenis barang yang digunakan oleh publik, misalnya jaringan telepon, penyediaan tenaga listrik, air bersih, dan sebagainya.
  3. Pelayanan Jasa, yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk jasa yang dibutuhkan oleh publik, misalnya pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penyelenggaraan transportasi, pos, dan lain sebagainya.

Pola pelayanan publik dapat dibedakan dalam 5 macam pola, yaitu;
  1. Pola Pelayanan Teknis Fungsional. Adalah pola pelayanan masyarakat yang diberikan oleh suatu instansi pemerintah sesuai dengan bidang tugas, fungsi dan kewenangannya.
  2. Pola Pelayanan Satu Pintu. Merupakan pola pelayanan masyarakat yang diberikan secara tunggal oleh suatu unit kerja pemerintah berdasarkan pelimpahan wewenang dari unit kerja pemerintah terkait lainnya yang bersangkutan.
  3. Pola Pelayanan Satu Atap. Pola pelayanan disini dilakukan secara terpadu pada satu instansi pemerintah yang bersangkutan sesuai kewenangan masing-masing.
  4. Pola Pelayanan Terpusat. Adalah pola pelayanan masyarakat yang dilakukan oleh suatu instansi pemerintah yang bertindak selaku koordinator terhadap pelayanan instansi pemerintah lainnya yang terkait dengan bidang pelayanan masyarakat yang bersangkutan.
  5. Pola Pelayanan Elektronik. Adalah pola pelayanan yang menggunakan teknologi informasi dan komunikasi yang merupakan otomasi dan otomatisasi pemberian layanan yang bersifat on-line sehingga dapat menyesuaikan diri dengan keinginan dan kapasitas pelanggan.

Mengacu pada jenis dan pola, pelayanan juga dapat dikategorikan dalam beberapa klasifikasi;
  1. Pelayanan yang berbasis pada orang yang dibedakan menurut kecakapannya
    • Pelayanan Amatir. Pelayanan amatir dilakukan oleh tenaga yang belum memiliki keterampilan tertentu atau belum terlatih (non skill). Contoh; pengetik komputer dan operator telepon tertentu yang belum mengikuti kursus, latihan atau sudah mengikuti latihan tetapi belum terampil.
    • Pelayanan professional. Adalah memampuan menanggapi kebutuhan, menyelesaikan tugas, keluhan masalah dengan kualitas excelence. Pelayanan professional seseorang atau lebih lembaga tertentu, mendapat pengkuan dari pelanggan (masyarakat) dan legalitas atau izin dari intansi tertentu. Contoh; Pelayanan kesehatan manusia dilayani oleh paramedis, dokter (dokter umum, spesialis, ahli rontgen dan ahli gizi).
  2. Pelayanan yang berkaitan dengan kegiatan organisasi
    • Pelayanan bantuan administrastratif. Pelayanan ini berupa pemberian izin atau legalitas, pemberian rekomendasi, fasilitas tertentu. Contoh; izin menanamkan indutri tambang.
    • Pelayanan bantuan operasional. Contoh; pelayanan pengujian kelaikan teknis kendaraan bermotor, laik laut kapal, laik udara pesawat, pelayanan operasional teknologi dan jasa.
    • Pelayanan teknis operasional. Contoh; Pelayanan informasi dan data oleh operator, pelayanan operasional sarana kerja, seperti ahli operator telepon, komputer, alat elektronik dan teknologi modern.
    • Pelayanan bantuan manajemen. Misal, pelayanan bantuan sumber daya manusia berupa proses seleksi pengadaan tenaga yang tepat kualifikasi. Pelayanan bantuan manajemen keuangan dengan ahli perencanaan anggaran, akuntansi atau auditor.
  3. Pelayanan yang berkaitan dengan sarana kerja
    • Pelayanan yang membantu kesiapan operasional dan perpanjangan usia pakai (kelaikan teknis, ekonomis) sarana kerja atau benda, diberikan oleh penguji teknis, mutu, ahli pemeliharaan dan perawatan.
    • Pelayanan pengujian sarana serta pengujian kelaikan teknis kendaraan bermotor, kelaikan kapal laut, pesawat udara dan timbangan
    • Pelayanan operasional sarana oleh tenaga terampil bersertifikat seperti kapten kapal, pilot, sopir
    • Pelayanan instalasi air, lisitrik, pemadam kebakaran, alat-alat kantor yang berteknologi modern, elektronik, komputer dan lain-lain.

Berdasarkan bentuk jasa layanan yang ditawarkan, ditujukan, macam jasa layanan itu dapat diklasifikasi :
  1. Jasa layanan yang ditujukan atau dibutuhkan manusia, secara umum manusia ingin mendapat layanan bantuan dalam memenuhi memuaskan berbagai keperluan, kebutuhannya antara lain;
    • Kebutuhan biologis, contoh : kemudahan mendapatkan makanan, minuman yang layak konsumsi
    • Kebutuhan keamanan, contoh : rasa aman bertempat tinggal pada suatu lingkungan
    • Kebutuhan sosial, contoh : keinginan dapat bersahabat, berinteraksi dengan rekan sekerja
    • Kebutuhan penghargaan, contoh : ingin dihormati
    • Kebutuhan aktualisasi diri, contoh : ingin menunjukkan suatu prestasi gemilang
    • Kebutuhan informasi, contoh keinginan memperoleh pengetahuan yang dapat membuat cepat mandiri.
    • Kebutuhan hiburan, rekreasi, contoh : liburan ke bali
    • Kebutuhan kesehatan, contoh : pelayanan kesehatan
    • Kebutuhan mobilitas, contoh : angkutan yang tepat sampai ke tempat yang dituju
    • Kebutuhan keadilan, contoh : ingin mendapat penilaian objektif atas prestasi kerja atau atas suatu perbuatan
    • Kebutuhan mendapat pekerjaan yang layak, contoh : ingin mendapat tugas, pekerjaan yang tepat dengan keahlian.
  2. Jasa layanan yang ditujukan atau dibutuhkan organisasi atau individu
    • Kebutuhan mendapatkan izin. Contoh : ijin mendirikan bangunan atau ijin membuka praktek.
    • Bantuan manajemen, contoh : bantuan menyeleksi calon pegawai yang tepat kualifikasi.
    • Bantuan sumber daya. Contoh : ingin mendapatkan modal kerja atau bantuan biaya pembangunan yang berbunga rendah
    • Keamanan, contoh : contoh adanya perusahaan yang bersedia menanggung resiko kebakaran.
    • Sarana angkutan, contoh : adanya jasa angkutan umum ke lokasi kantor/perusahaan.
  3. Jasa layanan yang ditujukan, dibutuhkan pada benda, hewan, dan tanaman.
    • Jasa angkutan / distribusi
    • Penyimpanan
    • Penjagaan keamanan
    • Garansi
    • Rancangan / model yang menarik


(http://tentangpelayananpublik.blogspot.com)


Sunday, March 10, 2013

Perjalanan Pemilu Indonesia dari Masa ke Masa

March 10, 2013 0

Halaman sejarah akan menelusuri perjalanan pemilu Indonesia dari waktu ke waktu, dimulai dari Pemilu 2009 lalu bergerak ke belakang sampai Pemilu 1955. Setiap sesi akan dibahas konteks sosial politik penyelenggaraan pemilu, kedudukan pemilih, penyelenggara, partai politik peserta pemilu, calon anggota legislatif  dan calon pejabat eksekutif. Pada setiap pemilu akan dipaparkan hasil singkat pemilu sebagai buah dari penerapan sistem pemilihan, yaitu penggunaan instrumen-instrumen teknis pemilu yang mengolah suara pemilih menjadi kursi buat calon terpilih.

Perjalanan Sejarah Pemilu Tidak Selalu Progresif
Demokrasi bukanlah jalan mudah. Pemilu yang sudah berulang pada pasca-Orde Baru, belum menunjukkan progresivitas kualitas. Selalu ada aktor yang mengambil manfaat di balik sedikitnya pengalaman mengelola demokrasi. Dari Pemilu 1999, ke Pemilu 2004 lalu Pemilu 2009, tampak kualitas proses maupun hasilnya menurun. Pilkada 2005-2008 malah menempatkan pemilih sebagai obyek politik uang. Namun jalan demokrasi sudah dipilih, sehingga lebih realistis untuk terus memperbaiki proses penyelenggaraan pemilu daripada menggantikankan pemilu dengan mekanisme lain.

Pemilu 2009: Buah Rendahnya Profesionalitas                                                             
Penyelenggaraan Pemilu 2009 diwarnai kontroversi atas hilangnya hak pilih jutaan warga negara.  Jelas ini tanggungjawab KPU selaku penyelenggara pemilu. Namun mereka berkilah dan balik menuding pemerintah dan pemerintah daerah sebagai sumber kesalahan. UU No. 10/2008 yang buruk juga menjadi sumber lain keribetan pemilu, sedang keputusan MK di tengah proses pemilu menjadikan hasil pemilu tidak bisa diprediksi akibat perubahan peraturan permainan di tengah pertandingan. Rendahnya profesionalitas penyelenggara di satu pihak, dan buruknya undang-undang pemilu di pihak lain, menjadi sebab banyaknya kekacauan Pemilu 2009.

Pilkada 2005-2008: Politik Uang Meluas
Dasar penyelenggaraan pilkada adalah UU No. 32/2004 dan UU No. 12/2008. Kontribusi putusan MK dalam menata pilkada sangat signifikan karena  dua undang-undang itu sering digugat ke MK. Namun sampai sejauh itu, peraturan perundang-undangan pilkada gagal menyentuh praktek politik uang yang marak setiap kali pilkada digelar. Siapa pelakunya? Banyak: pengurus partai politik melakukan jual beli surat dukungan pencalonan, pasangan calon membeli suara pemilih dan membeli petugas untuk mengubah hasil penghitungan suara, pemilih sendiri merasa tidak bersalah menerima uang dan barang yang disalurkan oleh tim sukses pasangan calon.

Pemilu 2004: Terbesar dan Terkompleks di Dunia
Perubahan Ketiga UUD 1945 oleh SU-MPR 2002 mengharuskan adanya pemilihan langsung presiden dan wakil presiden, serta pemilihan anggota DPR dari setiap provinsi. Pemilu presiden membuat penyelenggaraan pemilu Indonesia semakin besar volumenya; sementara pemilihan anggota DPD di setiap provinsi bersamaan dengan pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, membuat pemilu Pemilu 2004 menjadi sangat kompleks. Pemilu 2004 berjalan sukses, namun berakhir tragis: beberapa anggota KPU harus masuk penjara karena terlibat korupsi.

Pemilu 1999: Antusiasme Menyambut Demokrasi
Tumbangnya Orde Baru membuat rakyat antusias memasuki alam demokrasi. Pemilu 1999 yang dipersiapkan tidak lebih dari satu tahun berjalan aman dan tertib. Kekhawatiran akan terjadinya konflik besar, tidak terbukti. Rakyat sudah memahami apa yang harus dilakukan dalam berdemokrasi. Mereka menghukum penguasa yang dinilai buruk, sekaligus memilih mereka yang dianggap baik dan memberi harapan. Golkar pun terpuruk dan PDIP menang. Tindakan Presiden Habibie yang mengambil alih urusan pemilu – setelah KPU tidak bersedia mengesahkan hasil pemilu – mendapat sokongan rakyat sehingga hasil Pemilu 1999 tetap memiliki legitimasi tinggi.

Pemilu Orde Baru: Represi dan Manipulasi Demi Golkar
Sebagai antitesis Orde Lama, pada awalnya rezim Orde Baru menawarkan ruang demokrasi. Menjelang Pemilu 1971, mereka mau menukar sistem pemilu mayoritarian yang diinginkannya dan mempertahankan sistem pemilu proporsional yang dituntut partai politik, dengan imbalan kursi gratis militer di parlemen. Sejurus kemudian kehidupan politik diredam. Orde Baru mereduksi partai politik hanya jadi dua, yaitu PPP dan PDI, plus Golkar, lalu melarang partai beroperasi sampai desa, dan memaksa PNS memilih Golkar. Pemilu berikutnya hanya bertujuan memenangkan Golkar, karena pada golongan kuning inilah legitimasi semu rezim Orde Baru disandarkan.

Pemilu 1955: Pengalaman Pertama Paling Berharga
Para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak mencantumkan kata “pemilu” dalam naskah asli UUD 1945. Namun itu bukan berarti mereka tidak menghendaki pemilu dalam proses penyelenggaraan negara. BPKNIP yang difungsikan sebagai parlemen pun menetapkan undang-undang pemilu sebagai agenda utama. Tetapi suasana revoluasi dan gonta-ganti kabinet membuat pemilu baru terlaksana 10 tahun setelah kemerdekaan. Inilah pemilu pertama yang syarat nilai: keragaman, kejujuran, kesederhanaan, dan kedamaian. Pemilu 1955 adalah pemilu pertama sekaligus terbaik, yang terus menjadi contoh penyelenggaraan pemilu-pemilu berikutnya.

Mekanisme Penetapan Jumlah Kursi dan Dapil Dalam Pemilu

March 10, 2013 0

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU No. 8/2012) sudah menetapkan alokasi kursi dan daerah pemilihan untuk anggota DPR RI yang tercantum dalam lampiran undang-undang tersebut. Sementara penentuan alokasi kursi dan daerah pemilihan untuk anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dilakukan oleh KPU.

Dalam menentukan alokasi kursi dan daerah pemilihan untuk masing-masing lembaga perwakilan agar dapat proporsional, para ahli merumuskan beberapa prinsip yang perlu diikuti dalam melakukan penghitungan alokasi kursi dan pembentukand daerah pemilihan. Prinsip-prinsip tersebut yaitu: kesetaraan populasi, integralitas wilayah, kesinambungan wilayah, pencakupan wilayah (coterminus), kohesivitas penduduk, dan perlindungan petahana (preserving of incumbent).

Prinsip kesetaraan populasi adalah harga kursi dibanding penduduk kurang lebih sama antara daerah pemilihan yang satu dengan daerah pemilihan yang lain. Ini juga bagian dari pemenuhan prinsip opovov (one person, one vote, one value) dalam pemilu demokratis. Oleh karena itu prinsip ini harus ditempatkan sebagai prinsip nomor 1 sehingga bisa dihindari terjadinya diskriminasi politik, karena nilai suara/penduduk di satu daerah pemilihan lebih murah/mahal daripada nilai suara/penduduk di daerah pemilihan yang lain.

Prinsip integralitas wilayah berarti satu daerah pemilihan harus integral secara geografis, yang sejalan dengan prinsip kesinambungan wilayah, yaitu suatu daerah pemilihan harus utuh dan saling berhubungan secara geografis. Secara umum pembentukan wilayah administrasi juga memperhatikan masalah ini, sehingga penggunaan wilayah administrasi sebagai peta dasar pembentukan daerah pemilihan sebagaimana dikehendaki UU No. 8/2012 tidak mengganggu penerapan prinsip integralitas dan kesinambungan wilayah ini.

Prinsip pencakupan wilayah atau coterminus maksudnya adalah suatu daerah pemilihan lembaga perwakilan tingkat bawah harus menjadi bagian utuh dari daerah pemilihan lembaga perwakilan lebih tinggi, atau satu daerah pemilihan lembaga tingkat bawah tidak boleh berada di dua daerah atau lebih daerah pemilihan lembaga perwakilan lebih tinggi. Prinsip ini untuk memudahkan penyaluran aspirasi secara berjenjang  ke lembaga perwakilan, atau sebaliknya untuk memudahkan penggalian aspirasi ke bawah. Bagi pemilu Indonesia yang penyelenggaraan pemilu DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dilakukan secara serentak penerapan prinsip ini tidak hanya memudahkan partai politik dan calon anggota legislatif dalam berhubungan dengan konstituen di daerah pemilihan, tetapi juga memudahkan petugas pemilu dalam menjalankan tugasnya.

Prinsip kohesivitas penduduk berarti suatu daerah pemilihan hendaknya dapat menjaga kesatuan unsur sosial budaya punduduk dan menjaga keutuhan kelompok minoritas. Kesatuan unsur sosial budaya penting untuk menyatukan kepentingan yang akan diperjuangkan oleh para wakil di parlemen. Keutuhan kelompok minoritas juga perlu dijaga agar mereka mendapatkan kepastian untuk memiliki wakil di parlemen. Prinsip kohesivitas ini tidak begitu masalah diterapkan dalam pembentukan daerah pemilihan DPR, tetapi ketika diterapkan dalam pembentukan daerah pemilihan DPRD Provinsi dan lebih-lebih lagi DPRD Kabupaten/Kota, khususnya di luar Jawa, menimbulkan masalah yang kompleks. Di sinilah diperlukan kehati-hatian dan kebijakan KPU dalam menetapkan daerah pemilihan

Terakhir prinsip perlindungan petahana, maksudnya suatu daerah pemilihan harus memberi jaminan kepada petahana untuk bisa berkompetisi dan meraih kursi perwakilan yang tersedia. Ini penting karena hubungan wakil dengan penduduk yang diwakili perlu dijaga agar memudahkan penyaluran dan perjuangan kepentingan penduduk yang diwakili. Prinsip ini jarang dipraktikkan pada pemilu proporsional yang memiliki banyak kursi di daerah pemilihan, tetapi lazim diterapkan di pemilu mayoritarian yang memiliki hanya 1 kursi di daerah pemilihan.

Tentu tidak semua prinsip-prinsip pembentukan daerah pemilihan pemilu demokratis tersebut bisa diterapkan dalam waktu bersamaan. Kondisi geografis wilayah, jumlah penduduk, dan keragaman penduduk, menyebabkan penerapan satu prinsip bisa menegasikan prinsip yang lain. Oleh karena itu penerapan prinsip tersebut selalu diurutkan berdasarkan prioritas. Prinsip kesetaraan populasi selalu menjadi prioritas pertama guna menghindari terjadinya diskriminasi politik. Prinsip integralitas dan kesinambungan wilayah menjadi prioritas kedua, lalu disusul prinsip pencakupan wilayah, dan baru kohesivitas penduduk. Dalam konteks pemilu Indonesia, prinsip perlindungan petahana, bisa diabaikan.

Demi menegakkan prinsip kesetaraan populasi, maka penghitungan alokasi kursi ke daerah pemilihan, dipergunakan metode penghitungan yang hasilnya proporsional. Dua metode proporsional yang dikenal adalah metode kuota dan metode divisor. Metode divisor, khususnya varian Webster/St Lague dikenal paling proporsional dan tidak menimbulkan paradoks. Namun metode ini belum banyak dikenal di Indonesia sehingga tidak perlu dipaksakan penggunaannya dalam penyusunan daerah pemilihan, terutama untuk DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

Penyusunan daerah pemilihan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 8/2012, tidak semata-mata utuk menghilangkan daerah pemilihan yang berkursi lebih dari 12, tetapi juga untuk menyesuaikan dengan perkembangan jumlah penduduk, perubahan geografi, dan perkembangan wilayah administrasi pemerintahan. Oleh karena itu penyusunan kembali daerah pemilihan tidak bisa dilakukan hanya berpijak pada daerah pemilihan yang ada atau yang digunakan dalam pemilu terakhir. Penyusunan daerah pemilihan harus dimulai dari tahap awal, sedangkan daerah pemilihan yang ada berlaku sebagai pembanding atau kontrol untuk memastikan sesuai-tidaknya pembentukan daerah pemilihan baru itu dengan kehendak undang-undang dan prinsip pemilu pembentukan daerah pemilihan dalam pemilu demokratis.

Dengan demikian langkah-langkah penyusunan daerah pemilihan DPRD Provinsi adalah sebagai berikut:
  1. Menghitung jumlah kursi masing-masing provinsi sesuai ketentuan Pasal 23 UU No. 8/2012. (Khusus untuk jumlah kursi DPRD DKI Jakarta, peraturan KPU perlu membuat ketentuan khusus, bahwa penambahan ¼ kursi tidak boleh melampau batas maksimal 100 kursi setiap provinsi, demi menjaga keadilan dengan provinsi yang mempunyai penduduk lebih banyak)
  2. Menghitung Bilangan Pembagi Penduduk Provinsi atau BPPd Provinsi, dengan membagi jumlah penduduk provinsi dengan jumlah kursi provinsi. BPPd Provinsi berupa bilangan utuh, jika ada bilangan pecahan dibulatkan.
  3. Menghitung alokasi kursi masing-masing kabupaten/kota, dengan cara membagi jumlah penduduk masing-masing kabupaten/kota dengan BPPd Provinsi. Perolehan kursi berupa angka, dengan dua angka di belakang koma. Jika ada banyak bilangan angka di belakang koma, dibulatkan menjadi dua.
  4. Membentuk daerah pemilihan, dengan ketentuan: pertama, apabila ada dua atau lebih kabupaten/kota berbatasan yang mendapat kursi kurang dari 12, bisa digabungkan menjadi satu daerah pemilihan dengan kursi maksimal 12; kedua, apabila ada kabupaten/kota yang memiliki kursi mendekati 12, tetapi jika digabungkan dengan kabupaten/kota yang berbatasan menjadi lebih dari 12, bisa berdiri sendiri menjadi daerah pemilihan; ketiga, apabila ada kabupaten/kota memiliki lebih dari 12 kursi bisa dipecah menjadi dua atau lebih daerah pemilihan.

Untuk daerah pemilihan DPRD Provinsi perlu diantisipasi kemungkinan terdapat kecamatan yang sangat banyak penduduknya, sehingga kecamatan itu memiliki lebih dari 12 kursi. Oleh karena perlu ketentuan kekecualian di mana kecamatan tersebut bisa dipecah dimana satu atau berapa desa/kelurahan disatukan dengan kecamatan lain yang masih dalam satu kabupaten/kota. Pemecahan seperti ini selain tetap menjaga prinsip kesetaraan populasi, juga tidak melanggar undang-undang karena masih masuk dalam pengertian “bagian kabupaten/kota”

Sementara langkah-langkah penyusunan daerah pemilihan DPRD Kabupaten/Kota adalah sebagai berikut:
  1. Menghitung jumlah kursi masing-masing daerah sesuai ketentuan Pasal 26, UU No. 8/2012.
  2. Menghitung Bilangan Pembagi Penduduk Kabupaten/Kota atau BPPd Kabupaten/Kota, dengan membagi jumlah penduduk kabupaten/kota dengan jumlah kursi Kabupaten/Kota. BPPd kabupaten/kota berupa bilangan utuh, jika ada bilangan pecahan dibulatkan.
  3. Menghitung alokasi kursi masing-masing kecamatan, dengan cara membagi jumlah penduduk masing-masing kecamatan dengan BPPd kabupaten/kota. Perolehan kursi berupa angka, dengan dua angka di belakang koma. Jika ada banyak bilangan angka dibelakang koma, dibulatkan menjadi dua.
  4. Membentuk daerah pemilihan, dengan ketentuan: pertama, apabila ada dua atau lebih kacamatan berbatasan yang mendapat kursi kurang dari 12, bisa digabungkan menjadi satu daerah pemilihan dengan kursi maksimal 12; kedua, apabila ada kacamatan yang memiliki kursi mendekati 12, tetapi jika digabungkan dengan kecamatan yang berbatasan menjadi lebih dari 12, bisa berdiri sendiri menjadi daerah pemilihan; ketiga, apabila ada kecamatan memiliki lebih dari 12 kursi bisa dipecah menjadi dua atau lebih daerah pemilihan.

Untuk daerah pemilihan DPRD kabupaten/kota perlu diantisipasi kemungkinan terdapat desa/keluarhan yang sangat banyak penduduknya, sehingga desa/keluarahan itu memiliki lebih dari 12 kursi. Oleh karena perlu kententuan kekecualian di mana desa/kelurahan tersebut bisa dipecah dimana satu atau beberapa RW/RW disatukan dengan desa/keluaran lain yang masih dalam satu kecamatan. Pemecahan seperti ini selain menjaga prinsip kesetaraan populasi, juga tidak melanggar undang-undang karena masih masuk dalam pengertian “bagian kecamatan”. (sumber)

Thursday, March 7, 2013

Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB)

March 07, 2013 0

Asas-asas umum pemerintahan adalah asas yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan dan aturan hukum. Di Indonesian Asas-asas ini tertuang pada UU No.28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Asas-asas ini lebih dikenal dengan nama AUPB (Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik).

AUPB di ndonesia
  1. Asas kepastian hukum
  2. Asas keseimbangan: penjatuhan hukuman yang wajar terhadap pegawai.
  3. Asas kesamaan
  4. Asas bertindak cermat
  5. Asas motivasi
  6. Asas jangan mencampuradukkan kewenangan.
  7. Asas permainan yang layak: pemerintah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar dan adil.
  8. Asas keadilan atau kewajaran.
  9. Asas menanggapi pengharapan yang wajar.
  10. Asas meniadakan suatu akibat keputusan-keputusan yang batal: jika akibat pembatalan keputusan ada kerugian, maka pihak yang dirugikan harus diberi ganti rugi dan rehabilitasi.
  11. Asas perlindungan pandangan hidup pribadi: setiap PNS diberi kebebasan dan hak untuk mengatur hidup pribadinya dengan batas Pancasila
  12. Asas kebijaksanaan: Pemerintah berhak untuk membuat kebijaksanaan demi kepentingan umum.
  13. Asas pelaksanaan kepentingan umum


Menurut Peraturan Perundang-undangan
Dengan diundangkannya UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN, Asas-asas umum pemerintahan yang baik di Indonesia diidentifikasikan dalam Pasal 3 dirumuskan sebagai Asas umum Perpenyelenggaraan negara adalah sebagai berikut;

Asas Kepastian Hukum, adalah asas dalam rangka negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara Negara.

Asas Tertib Penyelenggaraan Negara, adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan Negara.

Asas Kepentingan Umum, adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif.

Asas Keterbukaan, adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia Negara.

Asas Proporsionalitas, adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara Negara.

Asas Profesionalitas, adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Asas Akuntabilitas, adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.