Blognya Anak Kuliahan

Showing posts with label Catatan. Show all posts
Showing posts with label Catatan. Show all posts

Sunday, January 20, 2013

5 Alasan Pindahkan Ibukota Dari Jakarta

January 20, 2013 0

Para Presiden Indonesia terdahulu sudah punya gagasan untuk memindahkan ibukota negara dari Jakarta ke kota lain. Mereka sudah meramalkan Jakarta akan penuh sesak dan tidak ideal untuk menjadi sebuah ibukota negara.

Soekarno punya ide memindahkan ibukota ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah tahun 1957. Sementara Soeharto pernah menggagas pusat pemerintahan digeser ke sekitar Jonggol, Kabupaten Bogor. Tapi niatan kedua Presiden ini tak jadi terlaksana. Sebenarnya memindahkan pusat pemerintahan bukan hal tabu.

Malaysia memindahkan pusat pemerintahan ke Putrajaya karena Kuala Lumpur dianggap sudah tak ideal lagi. Atau Turki yang memindahkan ibukota dari Istambul ke Ankara. Demikian juga Brasil dari Rio de Janeiro ke Brasilia. Di Asia Tenggara ada Burma yang memindahkan ibukota dari Yangoon ke Naypyidaw. Berikut alasan Jakarta sudah tak layak menjadi ibukota negara :
  1. Banjir. Jakarta dikepung banjir awal tahun 2013 ini. Siklus banjir lima tahun kali ini membuat 10.000 orang mengungsi, tak kurang dari 39 kelurahan tergenang, dan jumlah ini masih terus bertambah. Banjir kali ini bahkan merendam istana presiden dan kantor-kantor pemerintahan. Balai Kota DKI Jakarta yang menjadi kantor Jokowi ikut tergenang. Perekonomian terganggu, dan ribuan orang terpaksa bolos kerja karena jalanan dan rel kereta tergenang.
  2. Macet. Berdasarkan data Direktorat Lalu Lintas (Ditlantas) Polda Metro Jaya, jumlah penjualan mobil di Jakarta mengalami peningkatan 11 persen pada 2012. pada Bulan April 2012 lalu, jumlah mobil dan motor di Jakarta mencapai 13.346.802 buah. Angka ini terus bertambah. Secara keseluruhan, Indonesia kini menjadi negara ketiga yang paling banyak menggunakan kendaraan bermotor setelah Amerika dan China. Di tahun 2011, jumlah kendaraan bermotor di Indonesia mencapai 107.226.572 unit. Dengan rincian, mobil sebanyak 20.158.595 unit dan sepeda motor 87.067.796 unit. Setiap jam-jam sibuk, ribuan mobil terjebak macet berjam-jam di Jakarta. Rugi waktu, rugi uang dan bahan bakar minyak terbuang sia-sia.
  3. Padat dan sumpek. Berdasarkan data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil DKI Jakarta bulan November 2011, tercatat ada 10.183.498 penduduk. Dengan tingkat kepadatan 15.427 penduduk per kilometer persegi.  Jumlah ini bertambah saat siang hari dimana orang-orang yang tinggal di luar Jakarta datang untuk bekerja. Tak heran Jakarta padat dan sumpek. Kawasan padat menjamur di belakang gedung-gedung perkantoran mewah.
  4. Kumuh. Tahun 2011, Badan Pusat Statistik melansir masih ada 392 rukun warga kumuh di wilayah DKI Jakarta. Sebelumnya tahun 2004 malah ada 640 RW kumuh dan menurun menjadi 416 RW kumuh tahun 2008. Rumah-rumah kardus berdiri sepanjang rel kereta api. Gang-gang sempit yang bahkan tidak bisa dilalui sepeda motor berderet di tengah-tengah kota hingga pinggiran Jakarta. Kawasan kumuh di Jakarta tak dilengkapi dengan sanitasi maupun listrik yang baik. Seringkali korsleting listrik mengakibatkan kebakaran dan menghabiskan ratusan rumah. Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan wakilnya Basuki Tjahaja Purnama bertekad membenahi kampung kumuh di Jakarta sebagai salah satu program utamanya.
  5. Sarana transportasi buruk. Idealnya sebagai pusat pemerintahan dan sentra bisnis, Jakarta memiliki sarana transportasi massal yang memadai. Tapi transportasi umum di Jakarta adalah mimpi buruk. Tengok saja jejalan penumpang busway dan kereta rel listrik di jam sibuk. Belum lagi ancaman pelecehan seksual di dua moda transportasi itu. Naik angkot, Metromini atau Kopaja jauh lebih mengerikan. Ancaman copet, pemerkosaan hingga pengamen yang kerap memaksa membuat penumpang tak nyaman. Jakarta memang tertinggal jauh dari Kuala Lumpur, Singapura bahkan Bangkok sekalipun. (sumber)

Tuesday, January 8, 2013

Jebakan Popularitas Kandidat Capres (Hasanuddin Ali)

January 08, 2013 0

Baru-baru ini Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis hasil survei terkait konstelasi kandidat capres yang akan bertarung pada pilpres 2014. Secara metodologi dan temuan, survei LSI ini menarik untuk dikaji, selain menggunakan metode yang tidak biasa - menggunakan opinion leader sebagai responden -, temuan itu juga semakin memperjelas siapa-siapa yang punya potensi untuk bertarung di pemilu presiden 2014.

Meski Pilpres masih dua tahun lagi, tapi kehebohan nama-nama yang mempunyai potensi menjadi capres mulai riuh di sana sini. Nama-nama lama seperti Prabowo, Jusuf Kalla, Megawati, dan Aburizal Bakrie masih di urutan atas popularitas hasil survei. Meski demikian, nama-nama baru seperti Dahlan Iskan, Mahfud MD, dan Hatta Rajasa juga sudah mulai merangsek ke posisi tengah.

Nama-nama kandidat tersebut saat ini sedang berebut panggung di berbagai pentas nasional terkait dengan berbagai isu dan problem kebangsaan. Panggung itu timbul dan tenggelam seiring dengan maraknya pemberitaan media. Panggung penting bagi kandidat untuk meningkatkan popularitas mereka sekaligus menjaga agar nama-nama mereka masih dan terus terekam dalam radar benak pemilih.

Ironinya, terminologi popularitas seakan menjadi mantra bagi para kandidat capres. Mereka berebut untuk mencapai tingkat popularitas setinggi mungkin. Pertanyaannya adalah apakah popularitas itu menjamin keterpilihan seorang kandidat dalam pilpres nanti? Jawabnya belum tentu!!

Popularitas memang penting sebagai pintu masuk. Tapi popularitas bukanlah "key winning formula". Popularitas hanya menjamin seorang kandidat dikenal atau tidak oleh pemilih. Seorang kandidat bisa populer karena track recordnya yang baik atau bisa juga track record yang buruk. Sebagai ilustrasi, survei yang kami lakukan menunjukkan popularitas Aburizal Bakrie sangat tinggi di kalangan pemilih. Tapi tingkat keterpilihan Aburizal Bakrie lebih rendah di antara kandidat-kandidat yang lain.

Tingkat keterpilihan seorang kandidat, menurut kami, paling tidak dipengaruhi oleh 4 faktor, Popularitas, Citra, Enggagement, dan Voters Charactersistic. Tiga yang pertama adalah yang utama. Pertama, Popularitas. Langkah pertama kandidat harus dikenal oleh pemilih. Seorang kandidat tidak harus menjadi yang pertama dalam ukuran popularitas, yang penting dia masih dalam peringkat 3 besar masih punya peluang terpilih. Kedua, Citra. Popularitas yang tinggi harus di dukung oleh citra yang baik, citra ini menyangkut karakter dan kapabilitas kandidat.

Ketiga, Enggagement. Bisa diartikan sebagai ikatan batin antara kandidat dan pemilih. Seorang kandidat harus mampu membangun hubungan yang baik dengan pemilih sehingga pemilih tidak merasa ada jarak antara mereka dan kandidat. Seorang kandidat yang berhasil membangun ikatan batin dengan pemilih akan lebih mudah menggerakkan pemilih mengambang (swing voters) untuk memilih dia.

Dengan mengetahui pentingnya tiga faktor tadi, seorang kandidat dapat menyusun program kampanye dan komunikasi yang lebih tepat sasaran ke pemilih. Untuk meningkatkan popularitas dan citra cara yang bisa ditempuh oleh kandidat adalah melalui komunikasi media baik elektronik, cetak, sampai umbul-umbul dan spanduk. Sementara itu, enggagement hanya bisa ditingkatkan melalui "kehadiran" kandidat baik secara fisik maupun virtual di kalangan pemilih. Berdasarkan survei yang kami lakukan, biasanya faktor enggagement lebih menentukan tingkat keterpilihan dibanding dua faktor yang pertama.

Faktor keempat, yang tidak kalah penting, adalah voters characteristics. Faktor ini meliputi karakteristik pemilih dari sisi komposisi demografi dan geografi. Pemilih yang didominasi pemilih muda tentu memiliki aspirasi yang berbeda dengan pemilih tua. Begitu juga perbedaan antara pemilih kota dan desa.

Karena itu, penting bagi seorang kandidat untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan dia dari berbagai sisi popularitas, citra, dan enggagement sebelum melakukan program kampanye dan komunikasi pemilih, agar seorang kandidat tidak terjerumus dalam jebakan popularitas. [sumber]

Friday, December 14, 2012

Menggagas Pilkada via E-Voting

December 14, 2012 0

Kemajuan teknologi dapat berjalan beriringan sekaligus berimbas positif terhadap perkembangan kehidupan demokrasi. Dalam kampanye pemilihan umum presiden (pilpres) di Amerika Serikat, misalnya, Barack Obama menggunakan jejaring Facebook sebagai media untuk menjangkau calon pemilih. Dengan dukungan teknologi juga, alternatif cara menggunakan hak pilih makin bertambah dengan adanya teknologi electronic voting (e-voting).

Berkaitan dengan contoh yang disebutkan terakhir, di Jembrana, Bali, pemilihan kepala desa (pilkades) di sejumlah desa tahun 2009 juga telah berhasil menggunakan metode e-voting. Fenomena pilkades dengan e-voting di Jembrana menarik minat dan keingintahuan banyak kalangan (dari mulai anggota DPR, Mendagri hingga beberapa kepala daerah).

Ketertarikan itu bahkan sampai mendorong banyak pihak-yang disebutkan di atas-untuk mengunjungi salah satu kabupaten di Bali ini dengan tujuan melihat langsung bagaimana proses dan mekanisme e-voting. Meski masih dalam ruang lingkup kecil (level desa), apa yang telah "diujicobakan" di Jembrana sangat layak diacungi jempol.

Kesuksesan di tingkat pilkades menginspirasi pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jembrana untuk menginisiasikan perubahan teknik memilih dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) di Jembrana dari mencoblos menjadi e-voting. Keinginan kuat Pemkab Jembrana terlihat dari usaha mengajukan judicial review terhadap Pasal 88 UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada akhir 2009. Permohonan Pemkab Jembrana itu terdaftar di MK dalam permohonan Nomor 147/PUU-VII/2009.


Plus Minus E-voting
E-voting adalah memilih dalam sebuah proses pemilihan yang didukung dengan alat elektronik. Pemanfaatan media elektronik tersebut dilakukan dalam pendaftaran suara, penghitungan suara, dan belakangan termasuk channel untuk memilih dari jarak jauh, khususnya melalui internet voting (Kersting dan Baldersheim, 2004: 5). Teknik e-voting yang telah dipraktikkan di Jembrana memang belum sampai pada penggunaan metode internet voting, melainkan baru menggunakan teknik mesin penghitung suara.

Dorongan terhadap gagasan untuk mewujudkan e-voting tidak terlepas dari kelebihan-kelebihannya. Secara garis besar, keunggulan e-voting terutama berkaitan erat dengan faktor efisiensi dan akurasi. Efisiensi yang dimaksudkan adalah bahwa dengan menggunakan e-voting, maka dapat relatif menghemat biaya dan waktu.

Secara filosofis, penyelenggaraan pemilu harus mengikuti prinsip efisiensi (Allan Wall, et.al., 2006:24). Terkait hal itu, seperti diberitakan banyak media massa, masalah tidak tersedianya (dan atau belum cairnya) anggaran menjadi salah satu persoalan krusial yang menghinggapi banyak daerah yang akan menggelar pilkada pada tahun 2010 ini. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat pernah melansir data dari 244 daerah (7 provinsi dan 237 kabupaten/kota), 122 di antaranya harus berhadapan dengan masalah anggaran yang belum juga cair.

Padahal, tidak sedikit dari ratusan daerah di Indonesia, pada awal 2010 ini sudah harus masuk tahapan proses pilkada, seperti pendaftaran pemilih, pembentukan pengawas, dan sebagainya. Sejumlah daerah yang anggaran pilkadanya belum cair, juga terkendala kurangnya dana untuk menggelar pilkada.

Berangkat dari konteks itu, tidak tertutup kemungkinan, apabila syarat pendukungnya terpenuhi, e-voting dapat menjadi alternatif solusi untuk mengatasi masalah anggaran dalam pilkada. Apalagi dengan teknik e-voting, menurut Kepala Dinas Perhubungan, Informasi, dan Komunikasi Kabupaten Jembrana, Komang Wyasaeng, bisa dihemat dana hingga 70 persen dibanding biaya pemilu dengan sistem konvensional yang selama ini berlangsung, yaitu mencoblos atau mencontreng.

Selain efisien dari aspek anggaran, nilai efisiensi juga terdapat pada masalah waktu. Berdasarkan pengalaman di sejumlah negara, voting lewat perangkat elektronik akan mempercepat pemilih untuk mengetahui hasil pemilu. Sebab, biasanya jika pagi hari diproses, malam harinya sudah diketahui hasilnya. Jadi, pemilih tidak usah menunggu selama 30 hari untuk mengetahui hasil pemungutan suara.

Kemudian, terkait akurasi, menyitir Willis, kecepatan dan akurasi suatu pemilu adalah hal yang penting dalam demokrasi modern (1966: 26). Selama mendapat dukungan dari daftar pemilih tetap (DPT) yang berbasis sistem administrasi kependudukan (SIAK), e-voting jauh lebih akurat dalam konteks hasil penghitungan dibandingkan dengan cara penghitungan manual.

Selain keunggulan-keunggulan di atas, e-voting juga mengandung beberapa kelemahan. Pertama, jika petugas pemilu tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang e-voting. Moynihan (2004:516), misalnya, mengkhawatirkan apabila teknologi e-voting gagal, maka akan mengurangi legitimasi proses pemilu.  Kedua, bagi sejumlah kelompok pemilih (seperti kelompok pemilih usia lanjut), e-voting berpotensi tidak disukai. Hasil riset Roseman, Jr. dan Stephenson (2005: 39) dalam pemilihan gubernur di Negara Bagian Georgia, Amerika Serikat, tampak bahwa ternyata pemilihan dengan menggunakan teknologi tinggi (e-voting) tidak cukup disukai oleh para calon pemilih, khususnya yang termasuk kategori berusia tua (di atas 65 tahun).


Faktor Pendukung
Pertanyaanya, apakah mungkin pilkada menggunakan e-voting? Pada masa yang akan datang, bukan tidak mungkin, pilkada dengan e-voting dapat diejawantahkan. Untuk memanifestasikannya, terdapat beberapa faktor pendukung yang harus dipenuhi.

Pertama, asas legal formal berupa UU No 32 Tahun 2004, mau tidak mau, harus direvisi. Usaha Pemkab Jembrana mengajukan judicial review merupakan salah satu pintu masuk untuk mendapatkan legitimasi terhadap revisi Pasal 88 UU No 32 Tahun 2004.

Belum lagi, DPR tahun ini juga mengagendakan penyusunan Rancangan Undang-Undang Pilkada (RUU Pilkada). Apabila Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan Bupati Jembrana, maka possibility dimasukkannya klausul tentang e-voting akan makin besar.

Kedua, masalah infrastruktur. Infrastruktur utama dalam pilkada adalah terkait sistem pendataan penduduk dengan menggunakan SIAK. Terakhir, faktor sosialisasi. Ketika nantinya prasyarat pelembagaan formal dan infrastruktur telah terpenuhi, maka sosialisasi yang gencar mengenai e-voting mutlak dilakukan. (sumber)

Tuesday, November 13, 2012

Andai Aku Menjadi Ketua KPK

November 13, 2012 5

Menjadi seorang Ketua KPK merupakan sebuah tanggung jawab yang besar dan sangatlah tidak mudah untuk mengembannya. Ketua KPK bisa kita ibaratkan seperti gambar pada dua sisi mata uang logam dan gambar yin-yang menurut filosofi budaya cina, yang mana keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.

Disatu sisi yang pertama Ketua KPK dianggap sebagai sesosok pahlawan kebajikan yang dicintai, dimana setiap kehadiranya selalu ditunggu ditengah-tengah masyarakat, aksi heroiknya dalam pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh segerombolan penjahat yang bernama koruptor merupakan aksi yang paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat. Kemudian disatu sisi lainnya, Ketua KPK menjadi orang yang paling dibenci dan dianggap sebagai musuh bersama yang wajib diperangi oleh para koruptor untuk menegakkan bendera ‘mari korupsi’, berbagai macam upaya dilakukan oleh para koruptor dan kawan-kawan untuk melemahkan kekuatan dasyat yang dimiliki oleh Ketua KPK, mulai dari teror, fitnah, bahkan ancaman pembunuhan. Jadi, apabila ingin menjadi seorang Ketua KPK maka bersiaplah untuk mendapatkan banyak teman, dan juga banyak musuh tentunya.

Bagi saya tidaklah mengapa apabila banyak mempunyai musuh yang semuanya adalah para koruptor dan antek-anteknya, karena mereka semua memang wajib untuk dimusuhi dan dibumi hanguskan dari negeri tercinta ini. Dan apabila saya diberikan kesempatan untuk mengemban amanah sebagai seorang ketua KPK maka dengan senang hati saya akan menerima jabatan tersebut.

Melihat kondisi KPK pada saat ini, maka terdapat tiga langkah awal yang harus saya lakukan terlebih dulu untuk lebih menguatkan posisi KPK dalam pemberantasan korupsi, berikut tiga langkah tersebut : (1). Memperkuat kerangka hukum, (2). Merombak habis dan memperkuat kembali struktur internal KPK, (3). Membangun kekuatan politik dari pemerintah dan meminta dukungan dari masyarakat.

Setelah tiga hal tersebut telah mampu terlaksana dengan baik, maka terdapat beberapa program kerja yang akan saya lakukan untuk meningkatkan kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi, berikut beberapa program kerja tersebut :
  • Pertama, merealisasikan wacana untuk membentuk KPK di tingkatan daerah, minimal ditingkat provinsi. Lahirnya koruptor di daerah bisa jadi karena tidak adanya suatu lembaga yang secara khusus menangani permasalahan korupsi di daerah, dengan adanya KPK di daerah maka para raja-raja daerah tersebut akan berpikir dua kali untuk melakukan praktek korupsi. Dan juga dengan adanya KPK di daerah, KPK dipusat jadi lebih bisa berkonsentrasi untuk pemberantasan korupsi dipusat.
  • Kedua, mengadakan acara tahunan berupa ajang penganugerahan KPK Award, yaitu memberikan penghargaan bagi institusi pemerintah baik departemen/kementrian, dan juga pemprov hingga pemkab/pemkot yang berhasil memiliki Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tertinggi. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan inspirasi dan contoh yang baik dalam hal pemberantasan korupsi, dan juga ikut memberikan sedikit motivasi bagi setiap departemen atau kementrian, dan juga pemprov hingga pemkab/pemkot untuk berlomba-lomba dalam pemberantasan korupsi.
  • Ketiga, menjalin kerjasama dengan seluruh perguruan tinggi yang ada di Indonesia untuk membangun program Sekolah Anti Korupsi yang dikhususkan bagi mahasiwa. Ketika masih duduk dibangku kuliah mahasiswa dikenal dengan daya kritisnya yang sangat tinggi dalam mengkritisi pemerintah terutama dalam hal pemberantasan korupsi, namun kebanyakan hal tersebut tidak terjadi lagi ketika mereka sudah duduk dikursi kepemerintahan, nikmatnya menjadi pejabat membuat mereka terlena dan lupa akan semangat yang telah dikobarkan ketika masih menjadi mahasiswa. Pada Sekolah Anti Korupsi akan diadakan berbagai macam kegiatan yang harapannya nanti akan mampu membentuk jiwa sadar anti korupsi yang bersifat permanen pada diri mahasiswa dari kuliah hingga dia lulus dan bekerja.

Saya rasa itulah beberapa hal yang akan saya lakukan apabila saya menjadi Ketua KPK, dan cukup tiga program saja, karena tidak usah muluk-muluk takutnya kebanyakan program malah satu pun ngak jalan nanti… hehe… J


Monday, November 5, 2012

Pemotongan Tunjangan : Upaya Reformasi Birokrasi

November 05, 2012 0

Kementerian Keuangan sebagai pelopor Reformasi Birokrasi telah banyak melakukan perubahan di setiap aspek kerjanya. Salah satunya adalah penerapan pemotongan tunjangan secara progresif yang berlaku bagi seluruh pegawai di lingkungan Kementerian Keuangan.      

Hal ini dilakukan demi tercapainya penegakan disiplin, pendorong profesionalitas, dan peningkatan kinerja pegawai. Pemberian dan Pemotongan Tunjangan Khusus Pembinaan Keuangan Negara (TKPKN)di lingkungan Kementerian Keuangan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 41/PMK.01/2011 tentang Penegakan Disiplin dalam Kaitannya dengan Pemberian Tunjangan Khusus Pembinaan Keuangan Negara Kepada Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Kementerian Keuangan.   

Pemotongan TKPKN diberlakukan kepada pegawai yang tidak masuk bekerja, terlambat masuk bekerja, pulang sebelum waktunya, mendapat peringatan tertulis, dijatuhi hukuman disiplin, dan dikenakan pemberhentian sementara dari jabatan negeri. Besaran pemotongan tersebut dimulai dari 0,5% hingga 100%bergantung pada berat-ringannya perbuatan indisipliner yang dilakukan pegawai.    

Dalam penerapan disiplin, setiap pegawai Kementerian Keuangan diharuskan melakukan absen sebanyak dua kali dalam sehari, yaitu sebelum masuk jam kerja dan setelah jam pulang kerja. Bagi pegawai yang terlambat datang (TL) ataupun pulang sebelum waktunya (PSW) akan dikenakan sanksi pemotongan TKPKN. Bagi pegawai yang terlambat atau pulang sebelum waktunya mulai dari 1-31 menit akan dikenakan pemotongan tunjangan sebesar 0,5%. TL atau PSW selama 31-61 menit akan dipotong sebesar 1%. Untuk pegawai yang TL atau PSW selama 61-91 menit dikenakan 1,25% dan lebih dari 91 menit dikenakan sebesar 2,5%.     Jumlah menit terlambat dan pulang sebelum waktunya akan diakumulasikan di akhir tahun dengan perhitungan satu hari kerja sama dengan 7 ½ jam. Jika jumlah akumulasi menit tersebut sebanding dengan tidak masuk bekerja selama empat hari, maka pegawai tersebut akan diberi peringatan tertulis dan dipotong tunjangannya sebesar 10% pada bulan berikutnya setelah diterbitkannya Peringatan Tertulis.     

Apabila setelah diberi peringatan tertulis, pegawai tersebut masih melakukan hal yang sama hingga memenuhi akumulasi lima hari tidak bekerja, maka pegawai tersebut akan dikenakan hukuman disiplin berdasarkan Peraturan Pemerintah tentang disiplin Pegawai Negeri Sipil.   Peraturan ini mulai berlaku sejak 1 Maret 2011. Dengan diberlakukannya peraturan tersebut, PMK Nomor 86/PMK.01/2010 tentangPemberian dan Pemotongan TKPKN kepada Pegawai di Lingkungan Kementerian Keuangan dan PMK Nomor 87/PMK.01/2010 tentang Pemberian Peringatan Tertulis Kepada Pegawai di Lingkungan Kementerian Keuangan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Link peraturan terkait : http://www.depkeu.go.id/ind/Data/Regulation/PMK_41.pdf

Tuesday, October 9, 2012

Isi Pidato SBY Mengenai Kisru KPK vs POLRI

October 09, 2012 0

Sejak semalam (08/10/12) seluruh media online banyak memunculkan pemberitan yang positif terkait pidato presiden SBY dalam menanggapi polemik KPK vs POLRI. Dan sementara itu di sosial media seperti Twitter juga ikut diramaikan oleh twett yang berisi pujian yang setinggi-tingginya kepada presiden kita tersebut. Namun sangat disayangkan saya sendiri tidak sempat menyaksikan adegan yang “sangat jarang” tersebut. Tapi walaupun begitu akhirnya setelah melakukan penelusuran di google akhirnya saya menemukan isi pidato tersebut di situs www.ideceria.com. dan bagi teman-teman yang bernasib sama dengan saya jangan khawatir, karena saya melampirkan isi pidato pak Beye dibagian bawah. Dan berikut isi pidatonya :

Bismillahirrahmanirrahim.
Saudara-saudara, seluruh rakyat Indonesia di manapun saudara berada, pada malam hari ini saya ingin memberikan penjelasan yang hari-hari terakhir ini menjadi perhatian masyarakat luas. Yaitu perbedaan pandangan atau perselisihan antara pihak Polri dengan pihak KPK di dalam menjalankan tugas bersamanya, menegakkan hukum utamanya memberantas korupsi.
 
Kemudian dampaknya telah sama-sama kita rasakan. Oleh karena itu, saya pandang perlu sekali lagi untuk memberikan penjelasan pada malam hari ini. Kita masih ingat bahwa dulu pernah ada perselisihan antara KPK dengan Polri, ketika juga ada perbedaan pendapat antara Pak Susno dan Pak Bibit dan Pak Chandra. Sedangkan hari-hari ini situasnya berkembang ke arah yang tidak sehat.
 
Penjelasan ini juga saya perlukan agar ketika saya harus kembali turun tangan, rakyat bisa mengerti mengapa saya harus melakukan langkah itu. Kita mengetahui bahwa sebenarnya pihak Polri dan KPK berusaha menyelesaikan perbedaan pandangan itu merujuk pada UU dan Mou, atau nota kesepakatan. Tetapi, tidak bisa dicapai kesepakatan yang bulat. Sungguhpun demikian, saya terus terang sangat berhati-hati jika harus memasuki wilayah di mana KPK sedang bekerja. Mengapa saudara-saudara? Isunya pasti akan menjadi sensitif, dikira presiden mempengaruhi KPK.
 
Sekaligus pada kesempatan yang baik ini saya ingin meluruskan karena sejumlah SMS yang saya terima 2 hari lalu sampai hari ini ada yang beranggapan KPK itu di bawah presiden. Tidak. KPK adalah wilyah independen. Lima pimpinan KPK dipilih DPR RI, dan calon-calon kpk itu diseleksi oleh tim independen. Ini saya sampaikan agar tidak ada salah pengertian bahwa KPK-Polri di bawah presiden.
 
Kemarin Mensesneg telah berikan penjelasan. Penjelasan itu diperlukan karena saya mengikuti kegaduhan di sosial media dan SMS yang masuk ke tempat saya yang seolah-olah presiden diam saja, tidak melakukan apa-apa pada dinamika yang berakhir pada minggu ini.
 
Saya ingin jelaskan hari ini, tanggal 5 Oktober saya memanggil Kapolri untuk memberikan arahan untuk mengatasi perselisihan polri kpk itu. Pertemuan itu tentu sebelum terjadi insiden 5 Oktober malam hari di KPK. Setelah terjadinya insiden apa yang dilakukan Polri terhadap anggota polisi sebagai komisaris KPK Kompol Novel Baswedan, esoknya saya juga bekerja.
 
Waktu itu lewat Menko Polhukam saya berikan, ada Kapolri bisa bertemu pada pimpinan KPK pada hari Minggunya. Segera bertemu, agar terjadi solusi yang baik. Tapi tidak bertemu karena pimpinan KPK sedang berada di luar kota. Oleh karena itu saya setujui atas permintaan mereka karena ada sejumlah hal yang akan disampaikan kepada saya.
 
Saya tadi pagi juga setuju atas permintaan KPK agar Mensesneg memfasilitasi pertemuan Kapolri dan KPK. Dan alhamdulilah tadi siang saya sendiri telah bertemu dua pimpinan KPK, Abraham dan Bambang Widjojanto, dengan Kapolri didampingi Mensesneg. Pertemuan harus saya katakan berjalan baik dan konstruktif.
 
Saudara-saudara, penjelasan yang ingin saya sampaikan malah hari ini, saudara-saudara kami rakyat Indonesia bisa memahami duduk persoalan ini dan bisa memahami apa kebijakan, solusi dan tindakan lebih lanjut yang harapan saya bisa dijalankan bersama-sama oleh kepolisian, KPK dan kita semua. Dengan pengantar itu penjelasan ini akan saya sampaikan dalam 4 hal utama.
  1. Saya akan merespons apa yang disuarakan akhir-akhir ini, apa tuntutan masyarakat agar presiden mengambil alih persolan ini.
  2. Saya akan jelaskan dan sekaligus nanti solusi apa yang saya tempuh berkaitan masalah Polri dan KPK.
  3. Ini kesempatan yang baik untuk sampaikan posisi dan pendapat saya terhadap pemikiran untuk melakukan revisi terhadap UU KPK.
  4. Saya tutup penjelasan saya malam hari ini dengan lima kesimpulan utama yang juga merupakan solusi dan langkah ke depan yang harus dilaksanakan.
 
Pertama, kapan presiden harus ambil alih dalam penegakan hukum. Selama ini saya ambil dalam penegakan hukum. Peran presiden yang paling tepat adalah menengahi dan memediasi agar permasalahan itu bisa diatasi.
 
Saya pernah menengahi ketika ada perselisihan antara lain KPK dengan MA, itu sekitar tahun 2006, BPK dengan MA tahun 2007, KPK dan Polri tahun 2009. Tetapi Presiden tidak bisa mengintervensi apa yang dilakukan penegak hukum dalam menangani UU yang bukan kewenangan presiden.
 
Hal yang sama dalam menangani kewenangan penyidik itu juga berlaku bagi Jaksa Agung, KPK, kecuali ada kewenangan yang diatur dalam UU. Saudara tahu bahwa kewenangan yang diberikan presiden ada 4, yaitu pemberian grasi dan amnesti dan abolisi dengan mendengarkan DPR.
 
Permasalahan ini menyangkut permasalah KPK-Polri merupakan yang kedua kalinya. Saya ingat perselisihan KPK dengan lembaga yang lain dan saya ikut memediasinya. Ini yang ketiga kalinya.
 
Saya tidak pernah melakukan pembiaran atau melakukan mediasi. Tetapi harus dihindari presiden terlalu sering untuk ursusan penegakan hukum ini.
 
Lima tahun lalu saya punya inisiatif untuk pemberantasan korupsi, banyak yang kritik saya itu tidak tepat karena itu mencampuri penegakan hukum. Empat tahun lalu saya membuka antara Jaksa Agung, Polri, dan kembali saya disebut memasuki wilyah yang bukan wilayah saya.
 
Jika menyangkut sinergi dan koordinasi antara Polri dan KPK dan bahkan Kejaksaan Agung, sudah ada UU yang mengatur baik dalam KUHP, KUHAP maupun UU KPK. Juga sudah ada MoU antara KPK dan Polri dan juga Kejaksaan Agung. Jika MoU yang ada sekarang ini kurang memadai dan kurang tegas, silakan diperbaharui, utamanya mengenai penyidikan dan KPK mengambil alih dan bagaimana caranya mengambil alih itu. Semuanya harus mengarlir dalam UU KPK yang sekarang ini.
 
Saya ingin masuk dalam inti permasalahan apa yang terjadi KPK dan Polri serta solusi serperti apa yang harus dijalankan. Ada perbedaan pandangan:
  1. Pandangan siapa yang menangani persoalan simulator SIM
  2. Penanganan personel penyidik KPK dari Polri
  3. Insiden tanggal 5 Oktober seputar rencana elemen Polri untuk menegakkan hukum atas seorang perwira polri yang diduga melanggar hukum beberapa tahun lalu.
 
Tiga hal itulah yang akan saya respons dan solusi jalan keluarnya.
 
1. Kasus simulator SIM. Saya ingin jelaskan setlah ada perselisihan KPK-Polri setelah kasus simulator SIM, kepada saya dilaporkan kepada Polri setelah pertemuan Polri-KPK disepakati bahwa Irjen Djoko Susilo ditangani KPK sedangkan sisanya ditangani Polri. Ternyata sikap pada KPK kepada publik tidak seperti itu.
 
Itulah sebabnya saat berpuka puasa bersama di Polri dan saya bertemu pimpinan KPK dan Polri kepada beliau berdua, sesuai UU dan MoU bisa lakuan kerja sama yang konstruktif agar kasus simulator itu bisa dilaksanakan dengan efektif dan tuntas.
 
Pasca pertemuan itu dalam pelaksanaan penuntasan yang melibatkan KPK dan Polri dilibatkan kerja sama sebaik-baiknya termasuk saling membantu satu sama lain. Di luar itu Menko Polhukam juga terus bekerja untuk menengahi perselisihan dalam kasus itu. Dalam menjalankan roda pemerintahan itu ada sistem dan aturannya. Tentu tidak semua ditangani presiden. Ada menteri, ada lembaga kementrian, di daerah ada gubernur dan wali kota dan sebagainya. Mereka juga memiliki tugas dan tanggung jawabnya masing-masing.
 
Kembali pada isu ini, tampaknya koordinasi dan sinkronisasi itu tidak berjalan baik. Oleh karena itu solusi yang kita tempuh adalah penanganan korupsi kepada Djoko Susilo ditangani oleh satu lembaga yaitu KPK, karena kalau ada penuntutan pejabat yang melakukan itu akan dituntut bersama. Ini juga sesuai UU 30/2002 tentang KPK pasal 50.
 
Tetapi kalau ada kasus pengadaan barang di Polri saya dukung diselesaikan di Polri, saya katakan Polri juga akan melakukan penertiban pengadaan barang di Polri. Dalam hal ini saya ucapkan terimakasih kepada Polri yang melakukan penuh dan ini menunjukkan Polri serius menangani kasus ini.
 
2. Menyangkut perbedaan pandangan antara Polri dan KPK berkaitan dengn penugasan perwira Polri di KPK. Aturan yang berlaku adalah peraturan pemerintah pasal 5 ayat 3 bahwa masa penugasan pegawai negeri paling lama 4 tahun dan dapat diperpanjang 1 kali, saya ketahui penyidik itu harus mengikuti alih penugasan, tour of duty, ini berlaku bagi setiap perwira polri apalagi mereka yang di KPK personel yang baik sehingga tumbuh menjadi pejabat-pejabat di teras Polri.
 
Di sisi lain, hal itu tidak baik karena hal itu terlau cepat sehingga menghambat tugas-tugas penyidikan. Misalnya akan melakukan alih status menjadi penyidik KPK dalam arti harus berhenti dari Polri itu ada aturannya. Peraturan alih status ini juga berlaku bagi TNI dan penugasan lain. Bahkan alih status untuk perwira tinggi perizinannya hinga tingkat presiden.
 
Solusi yang ditempuh adalah kita akan keluarkan peraturan baru, bahwa penyidik Polri ke KPK selama 4 tahun dan bisa diperpanjang asal ada persetujuan Kapolri, misalnya. Tetapi jika hal demikian tetap dianggap tetap memutus efektivitas KPK, maka anggota tersebut diberikan kesempatan untuk alih status. Tidak dibenarkan secara sepihak KPK memberhentikan penyidik itu karena mereka terikat UU dan etika kepolisian. Sebaliknya pula Polri tidak menarik penyidik tersebut tanpa persetujuan dari KPK. Oleh karena itu, dalam hal ini saya akan keluarkan peraturan pemerintah yang tepat baik untuk KPK dan baik untuk Polri berkenaan kebijakan tugas personel Polri untuk mengemban tugas bagi penyidik. Itu isu kedua bagi KPK.
 
3. Solusi penegakan hukum Polri Kombes Novel yang sekarang menjadi penyidik KPK. Insiden itu terjadi pada tanggal 5 Oktober 2012 dan hal itu sangat saya sesalkan. Saya juga menyesalkan berkembangnya berita yang simpang siur demikian sehingga muncul masalah politik yang baru.
 
Jika KPK dan Polri bisa jelaskan penjelasan yang jujur dan jelas, maka masalahnya tidak menjadi luas seperti ini. Terhadap hal ini saya telah berikan pendapat terhadap pertemuan tadi siang yang saya pimpin. Tapi saya akan sampaikan kepada seluruh rakyat Indonesia, agar seluruh situasi diletakkan secara menyeluruh diletakkan dalam konteks yang benar.
 
Kalau kita merujuk pada UUD 45 semua warga negara sama kedudukannya di dalam hukum. Sehingga bila terbukti ada kejahatan yang terbukti oleh WNI mestilah hukum itu ditegakkan, apakah itu dia presiden, anggota Polri, anggota DPR, anggota KPK, wartawan, TNI dan siapa pun. Kesamaan kedudukannya dalam hukum dengan pemahaman konstitusi maka jika ada anggota KPK melakukan pelanggaran hukum, tidak boleh dikatakan kriminilisasi KPK.
 
Laporan yang saya terima dugaan pelanggaran hukum terhadap anggota Polri di KPK tidak terkait tugasnya sebagai penyidik KPK, tetapi terjadi 8 tahun yang lalu. Di dalam hukum semuanya harus merujuk secara baik dalam hukum dan UU yang berlaku. Jangan misalnya ada anggota Polri yang melaksanakan tugas untuk melakukan penyidikan kasus SIM tersebut, tidak boleh. Sebaliknya, ada anggota yang divonis dilihat sebagai upaya kriminilisasi KPK.
 
Menurut pandangan saya sangat tidak tepat kalau ada proses Komisari Polisi Novel Baswedan sekarang ini, timingnya tidak tepat dan pendekatan dan caranya juga tidak tepat. Itu pandangan saya, dan kira-kira solusi menyangkut tiga hal yang juga merupakan perselisihan KPK-Polri.
 
Berikut ini saya akan sampaikan pendapat saya dan pandangan saya mengenai revisi UU KPK. Saya berpendapat peraturan untuk merevisi UU harus dilandasi niat baik. Jika DPR memiliki pemikiran revisi ini, mesti dijelaskan apa dan mengapa itu harus direvisi.
 
Terhadap masyarakat dan aktivis, sebaiknya juga bersedia mendengarkan itu jangan itu divonis seolah-olah memperlemah KPK. Setelah mendengarkan DPR, masyarakat luas, dan aktivis bisa menyampaikan pandanganya bisa setuju atau tidak setuju. Namun perlu diketahui bahwa konstitusi diperlukan untuk menyusun UU jika setelah UU itu diterbitkan masih terbuka masyarakat luas menyatakan ketidaksetujuannya, terhadap MK untuk apakah UU itu bertentangan UUD. MK juga tunduk pada aturan lain, bahwa UU itu diuji apakah bertentangan dengan UUD.
 
Sehubungan dengan itu semua, pandangan saya terhadap DPR untuk revisi UU KPK sebagai berikut, prinsip dasar saya tetap sama pada tahun 2009, saat waktu itu ada wacana peranan KPK. Saya tidak setuju dan menolak setiap upaya untuk memperlemah KPK. Sampai saat ini saya tidak tahu konsep seperti apa DPR mau merevisi UU KPK itu.
 
Jika revisi itu untuk memperkuat KPK tentu saya sesuai ketentuan UU dalam posisi yang siap untuk membahasnya. Di tengah realitas sulitnya memberantas korupsi saat ini, adalah kita harus tingkatkan intensitas pemberantasan korupsi dan bukan mengendorkannya.
 
Di satu sisi kita berharap pada KPK untuk menjadi motor KPK dalam pemeberantasan korupsi. Di sisi lain kita juga berharap pada Polri dan kejaksaan. Terhadap rakyat menyangkut pengadilan pemberantasan korupsi ini saya berharap untuk dijadikan cambuk dan semangat untuk penyelesaian pemberantasan korupsi di lembaga masing-masing. Saya mendukung seluruh upaya KPK dan menolak untuk melemahkan KPK. Harus dikatakan bahwa penyelesaian KPK saat ini kurang tepat ketimbang bekerja sama di dalam. Menurut saya kritik itu perlu didengar, dan jika didengar itu akan meningkatkan kerja KPK yang sudah baik saat ini.
 
Sebagaimana saya sampaikan pada pidato saya 16 agustus lalu saya sampaikan lagi terima kasih pada KPK dan harapan saya agar seluruh penegak hukum untuk bekerja baik dan tidak bekerja tidak sehat untuk selesaikan kasus korupsi, bukan menghambat dan menutupinya. Banyak yang telah kita capai selama ini, marilah momentum sejarah ini tidak kita sia-siakan. Dan aset negara jangan sampai bocor. Kembali kepada revisi UU KPK atas situasi yang terjadi di Tanah Air, menurut pendapat saya lebih baik kita menggiatkan pemberantasan korupsi dan meningkatkan sinergi lagi agar lebih berhasil lagi upaya kita memberantas korupsi daripada perhatian energi kita terkuras untuk melakukan untuk revisi UU KPK.
 
Saudara-saudara, dengan penjelasan yang telah saya sampaikan tadi, saya akan akhiri dengan kesimpulan utama yang tentunya juga berupa solusi dan langkah-langkah yang mesti kita laksanakan ke depan.
  1. Penanganan hukum dugaan korupsi simulator SIM yang melibatkan Irjen Djoko Susilo agar ditangani KPK dan tidak pecah. Polri menangani kasus-kasus lain yang tidak terkait langsung.
  2. Keingingan Polri untuk melakukan proses hukum terhadap Kombes Novel Baswedan saya pandang tidak tepat baik dari segi timing maupun caranya.
  3. Perselisihan yang menyangkut waktu penugasan penyidik Polri yang bertugas di KPK perlu diatur kembali dan akan saya tuangkan dalam peraturan pemerintah, saya berharap nantinya teknis pelaksanaan juga diatur dalam MoU antara KPK dan Polri.
  4. Rencana revisi UU KPK sepanjang untuk memperkuat dan tidak untuk memperlemah KPK sebenarnya dimungkinkan. Tetapi saya pandang kurang tepat untuk dilakukan sekarang ini. Lebih baik kita tingkatkan sinergi dan intensitas semua upaya pemberantasan korupsi.
  5. Saya berharap agar KPK dan Polri dapat memperbarui MoU-nya dan kemudian dipatuhi dan dijalankan serta dilakukan sinergi sehingga peristiwa seperti ini tidak terus berulang di masa depan. Saya mencatat banyak peristiwa di mas lalu yang baik antara Polri dan KPK. Contohnya kerja sama mencari dan menemukan tersangka korupsi yang kabur ke luar negeri berhasil dengan baik sinerginya dan dan kerja samanya.
 
Sementara Polri juga mencatat prestasi di sejumlah bidang misalnya pemberantasan terorisme, kejatan narkotika dan kejahatan jalanan. Juga prestasi pengamanan dan pengaturan kegiatan nasional mudik Lebaran dan peringatan hari-hari besar yang lain. Semangat, energi dan kinerja seperti ini saya yakini dapat dijadikan modal untuk bersinergi dengan KPK untuk melaksanakan tugas memberantas korupsi.
 
Ini akan menjadi keputsusan saya dan akan menjadi solusi dalam pertemuan siang tadi. Demikian

Itulah isi Pidato SBY mengenai kisruh KPK VS Polri, semoga bermanfaat… J

Monday, October 8, 2012

Politik Dinasti Figur Perempuan

October 08, 2012 0

Figur perempuan diperkirakan masih sulit untuk muncul sebagai calon presiden (capres) pada 2014. Pasalnya, figur perempuan yang terjun ke dunia politik masih didominasi kerabat politisi atau politik dinasti.

Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengatakan, sejauh ini nama-nama figur perempuan yang mengisi dunia politik berasal dari keluarga elite. Sebut saja Puan Maharani yang merupakan anak kandung Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri,Ani Yudhoyono yang merupakan istri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan masih banyak lagi.

Sementara itu, figur perempuan di luar peta politik keluarga tersebut cenderung tidak memunculkan diri ke permukaan. Padahal, menurut Siti banyak figur perempuan yang sangat potensial untuk dijadikan pemimpin.“ Figur yang sungguh-sungguh mumpuni dan dikehendaki rakyat justru tidak muncul,” ungkap Siti di Jakarta kemarin. Siti mengatakan, sistem politik yang ada saat ini juga tidak memberikan ruang bagi kemunculan figur perempuan.

Mayoritas partai politik (parpol) hanya melirik figur perempuan yang memiliki latar belakang politik kuat.Salah satunya adalah memandang latar belakang politik kekeluargaan, sedangkan figur yang tidak memiliki latar belakang politik kekeluargaan itu akan sangat susah masuk dalam lingkungan parpol. “ Ini sistem yang diskriminatif, masuk ke dalam parpol sangat sulit, parlemen juga susah, apalagi untuk maju sebagai pemimpin,” paparnya.

Padahal,menurut Siti, sukses atau tidaknya pemimpin terpilih dalam Pemilu 2014 nanti tidak ditentukan dari politik kekeluargaan, tetapi dari tingkat elektabilitas dan penerimaan figur kepada masyarakat. Lebih lanjut Siti mengungkapkan, saat ini baru ada dua figur perempuan yang menonjol untuk diusulkan sebagai pemimpin bangsa,yakni Puan Maharani dan Ani Yudhono.

Sementara dari luar lingkaran politik kekeluargaan ada nama Sri Mulyani, mantan menteri keuangan. Untuk Puan Maharani, Siti menilai bisa jadi PDIP akan mengusungnya pada pemilu presiden (pilpres) mendatang.“Bisa jadi Puan,apalagi Taufiq Kiemas sejak awal sudah secara eksplisit mengusung regenerasi kepemimpinan. Apa yang dinyatakan Taufiq itu secara tidak langsung menegaskan bahwa Megawati sudah pasti tidak mencalonkan kembali,”ujarnya.

Meski demikian, menurut Siti, kapasitas Puan untuk diusung sebagai capres masih belum maksimal.Performanya juga masih belum terlihat kuat pada berbagai aktivitas di PDIP. “Seharusnya Puan sudah mulai agresif membangun kompetensi, sebab itulah yang akan menentukan kredibilitas Puan ke depan,” paparnya.

Untuk Ani Yudhoyono, kemunculannya sebagai capres justru terganjal oleh pernyataan suaminya,sebelumnya.SBY yang menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat pernah menyatakan tidak akan mengusung keluarganya sebagai capres. Kemudian untuk kemunculan Sri Mulyani, juga sulit terjadi. Meski saat ini ada sejumlah kalangan yang menyatakan mendukung Sri dengan mendirikan Partai SRI, elektabilitas partai ini belum teruji.

Padahal,untuk bisa maju sebagai capres harus melalui kendaraan politik parpol. Pengamat politik Universitas Nasional Alvan Alvian mengatakan,sulitnya figur perempuan di luar lingkaran politik kekeluargaan untuk muncul salah satunya disebabkan posisi tawar yang sangat lemah. Menurut dia, untuk bisa diakui sebagai figur potensial maka perempuan harus mendapatkan dukungan parpol.

“ Saya melihat partai-partai sangat kecil mengusung capres perempuan, kecuali PDIP,” ujarnya.Karena itu, ungkap Alvan, jika figur perempuan ingin diakui dan dimunculkan maka tidak ada jalan harus mendekati parpol.