Blognya Anak Kuliahan

Showing posts with label Ilmu Komunikasi. Show all posts
Showing posts with label Ilmu Komunikasi. Show all posts

Wednesday, April 3, 2013

Sosial Media; Sebagai Salah Satu Alat Politik di Era Teknologi Informasi

April 03, 2013 0

Barack Hussein Obama adalah orang pertama yang memanfaatkan situs jejaring social Facebook sebagai media kampanye yang membuatnya memenangi pilpres 2007 di Amerika. Di mana pada tahun itu, Facebook belum mendominasi di Indonesia, dan penggemar Obama di Facebook hanya 5 juta orang. Kini, lagi-lagi Obama memanfaatkan social media sebagai corong terdepan dalam menaikkan elektabilitasnya di mata publik. Meski lawan tunggalnya, Mitt Romney, juga melakukan hal yang sama, Obama bisa lebih mendominasi dengan total jaringan yang lebih besar di Facebook ketimbang lawannya tersebut. Kemenangan Obama menjadi inspirasi bagi para calon pemimpin di negara-negara lain. Tak terkecuali di Indonesia.

Jika dilihat dari peta pengguna social media di Indonesia, kita bisa melihat bahwa potensi kekuatan yang ada bisa sangat maksimal, baik untuk transaksi jual beli, maupun menaikkan citra seorang figur, termasuk tokoh politik.

52 juta, angka pengguna Facebook di Indonesia, menjadikan negara ini menempati posisi 4 negara dengan jumlah pengguna Facebook terbesar di dunia, di bawah India (60jt), Brazil (61jt), dan Amerika Serikat (168jt).

Tokoh politik di Indonesia yang bermain di social media cukup banyak, tapi yang benar-benar fokus sebagai media kampanye, bisa dihitung dengan jari. Contoh kesuksesan penggunaan Social media sebagai salah satu alat politik dapat kita lihat pada masa Pilgub DKI tahun 2012 yang lalu. Jokowi-Ahok mampu mematahkan lawan-lawannya di dua putaran sekaligus, hal tersebut tidak bisa dihindarkan lagi bahwasanya duet ini memang benar-benar memaksimalkan YouTube, Twitter, dan Facebook sebagai media untuk berkampanye. Kampanye massif ala Jokowi ini pun akhirnya mampu mengantarkannya untuk menjadi orang nomor satu di ibukota.

Menjelang Pemilu 2014, akankah social media menjadi senjata ampuh bagi partai politik untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya? Hal tersebut bisa saja terjadi, namun dengan catatan social media tersebut harus benar-benar dimanfaatkan dengan serius dan maksimal.

Wednesday, October 17, 2012

Beberapa Teori dan Pendekatan Dalam Kepemimpinan

October 17, 2012 0

Pada dasarnya untuk mengetahui teori-teori kepemimpinan dapat dilihat dari berbagai literatur yang menyatakan pemimpin itu dilahirkan, bukan dibuat. Ada yang mengatakan bahwa pemimpin itu terjadi karena adanya kelompok-kelompok orang. Teori lain mengemukakan bahwa pemimpin timbul karena situasi yang memungkinkan ia ada. Teori yang paling mutakhir melihat kepemimpinan lewat perilaku organisasi.

Orientasi prilaku mencoba mengetengahkan pendekatan yang bersifat Social Learning pada kepemimpinan. Teori ini menekankan bahwa terdapat faktor penentu yang timbal balik dalam kepemimpinan ini. Selanjutnya Thoha (1996:250-264) mengemukakan teori dan pendekatan kepemimpinan sebagai berikut :

Teori Sifat
Dalam teori sifat (Trait Theory), menurut Malayu Hasibuan (2007:203) analisis ilmiah tentang kepemimpinan dimulai dengan memusatkan perhatiannya pada pemimpin itu sendiri. Seorang pemimpin menurut teori sifat ditandai dengan dipunyainya tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dibandingkan bawahannya. Namun demikian tingkat kecerdasan yang jauh lebih tinggi dari bawahannya juga tidak efektif, sebab para bawahan menjadi tidak dapat memahami apa yang diinginkan pemimpin atau tidak memahami gagasan dan kebijakan yang telah digariskan. Oleh karena itu, idealnya seorang pemimpin sebaiknya memiliki kecerdasan yang tidak terlalu tinggi dari bawahannya.

Teori Kelompok
 “Dalam teori kelompok beranggapan bahwa, supaya kelompok bisa mencapai tujuan-tujuannya, maka harus terdapat suatu pertukaran yang positif di antara pemimpin dan pengikut-pengikutnya, terutama dimensi pemberian perhatian kepada para pengikut, dapat dikatakan pemberian perhatian kepada para pengikut dikatakan memberikan dukungan yang positif terhadap perspektif teori kelompok ini” (Thoha, 1996:252).

Teori Situasional dan Model Kontijensi
Kepemimpinan model Fiedler (Fiedler’s Centigency Model), menyatakan ada dua hal yang dijadikan sasaran yaitu mengadakan identifikasi faktor-faktor yang sangat penting di dalam situasi, dan kedua memperkirakan gaya atau prilaku kepemimpinan yang paling efektif di dalam situasi tersebut.

Teori Jalan Kecil – Tujuan (Path – Goal Theory)
 “Dalam pendekatan teori path-goal mempergunakan kerangka teori motivasi. Hal ini merupakan pengembangan yang sehat karena kepemimpinan di satu pihak sangat dekat, berhubungan dengan motivasi kerja dan pihak lain berhubungan dengan kekuasaan”. (Thoha,1996:252)

Pendekatan Social Learning dalam Kepemimpinan
Pendekatan Social Learning merupakan suatu teori yang dapat memberikan suatu model yang menjamin kelangsungan, interaksi timbal balik antar pemimpin, lingkungan dan perilakunya sendiri. Pendekatan Social Learning ini antara pemimpin dan bawahan mempunyai kesempatan untuk bisa memusyawarahkan semua perkara yang timbul. Keduanya, pimpinan dan bawahan mempunyai hubungan interaksi yang hidup dan mempunyai kesadaran untuk menemukan bagaiman caranya menyempurnakan prilaku masing-masing dengan memberikan penghargaan-penghargaan yang diinginkan.

Wednesday, March 7, 2012

Opini Publik Dan Bentuk Komunikasi

March 07, 2012 0
Opini publik dan bentuk komunikasi yang digunakan sesungguhnya bersifat kontekstual sesuai dengan kondisi masyarakat sebagai komunikan (khalayak/audience). Adakalanya komunikasi massa dengan media massa sebagai salurannya, dianggap lebih berpengaruh karena kemampuannya menjangkau khalayak yang relatif sangat luas, serempak, dan kelebihan-kelebihan lain yang dimilikinya. Sedangkan pada konteks masyarakat tertentu dimana daya jangkaunya terhadap media massa masih terbatas dan kepercayaannya terhadap pemimpin masyarakat masih sangat tinggi, maka komunikasi yang sifatnya individual atau komunikasi interpersonal lebih efektif dalam mempengaruhi opini publik. Pada kondisi yang lain, komunikasi kelompok dengan komunikan yang jumlahnya agak banyak namun bisa dijangkau keseluruhan oleh komunikator dan diharapkan intensitasnya tinggi, maka komunikasi kelompok menjadi lebih efektif.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lazarsfeld terhadap perilaku memilih masyarakat Amerika dalam pemilihan presiden tahun 1940 menunjukkan bahwa tidak secara langsung pemilih terpengaruh oleh media massa dalam menentukan pilihannya, tapi justru setelah mendapat “pengaruh” dari pemimpin opini. Pemimpin opini adalah orang-orang yang penting pengaruhnya dalam membentuk opini publik. Menurut Roger dan Shoemaker pemimpin opini adalah pribadi-pribadi tertentu yang memiliki kemampuan mempengaruhi orang lain dalam perilaku opini (opinion behavior) melalui cara yang disukai oleh orang-orang yang dipengaruhi tersebut. Sedangkan pengaruh itu bisa berbentuk informasi, pertimbangan, maupun interpretasi mengenai suatu masalah.
Beberapa ahli memberikan pendapatnya tentang karakteristik pemimpin opini (opinion leaders):
  1. Lazarsfeld : Pemimpin opini memiliki karakteristik: mempunyai posisi yang memiliki kewenangan, mempunyai hubungan dengan sumber-sumber informasi dari luar, mampu menjangkau masyarakat yang menjadi pengikutnya dan berkemauan untuk hidup di tengah orang banyak.
  2. Rogers dan Shoemaker : Pemimpin opini adalah seseorang yang mampu berkomunikasi dengan dunia luar, mampu menjangkau masyarakat yang menjadi pengikutnya, pada umumnya pemimpin opini menempati kedudukan sosial yang lebih tinggi daripada pengikutnya dan dihargai serta diikuti pendapatnya oleh para pengikutnya, biasanya seorang pemimpin opini lebih dulu dari pengikutnya dalam hal menerima gagasan atau hal-hal baru.
  3. Katz : Pemimpin opini terdapat dalam setiap masyarakat, pemimpin opini memiliki banyak kesamaan dengan para pengikutnya, terutama karena tergabung dalam sebuah primary group, sewaktu-waktu pemimpin opini dengan pengikutnya dapat saja bertukar peran.
Menurut Katz, komunikasi interpersonal lebih kuat mempengaruhi opini seseorang daripada komunikasi massa, faktor yang menyebabkan adalah sifat-sifat dari komunikasi massa itu sendiri :
  • Sifat saluran komunikasi massa yang lebih sulit untuk mendapatkan umpan balik (feed back).
  • Dalam komunikasi massa tidak terjadi kontak secara langsung antara komunikator (sumber) dengan komunikan (penerima).
  • Kurang saling mengamati antara sumber dengan penerima, karena tidak mengawasi secara langsung satu sama lain.
Disamping itu, di negara berkembang peran media massa masih relatif terbatas dibandingkan dengan negara maju :
  • Anggota masyarakat yang terjangkau media massa masih relatif sedikit dibandingkan jumlah penduduknya.
  • Isi media massa belum sepenuhnya sesuai dengan apa yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat.
  • Masih relatif rendahnya kepercayaan masyarakat pada media massa, mereka cenderung lebih percaya pada sumber-sumber informasi tatap muka. Tingkat kepercayaan atau kredibilitas penerima informasi (khalayak) terhadap sumber informasi (komunikator) adalah suatu derajat dimana sumber informasi (komunikator) dan saluran komunikasi (media) tertentu diterima sebagai sesuatu yang terpercaya dan berwenang mengenai suatu hal.
Bagi mereka yang meyakini bahwa dalam pembentukan opini publik antara media massa dan masyarakat masih terdapat perantara, didasari pada argumentasi adanya tahapan yang mengantarai saluran komunikasi massa dengan pribadi-pribadi penerima informasi, yaitu jaringan antar pribadi, karena:
  • Pengaruh orang lain dalam suatu keputusan yang dibuat oleh seorang individu cenderung lebih sering terjadi, bahkan lebih efektif daripada pengaruh yang datang dari media massa.
  • Pihak yang mempengaruhi seseorang dalam pengambilan keputusan yang dibuatnya adalah kalangan dekat dari orang yang bersangkutan.
  • Kalangan dekat tersebut cenderung untuk mengendalikan opini dan sikap bersama yang kemudian akan menjadi konsensus pada kelompok yang bersangkutan, meskipun ada himbauan adri media massa.
  • Pengaruh yang datang dari orang yang lebih berperhatian mengenai suatu hal terhadap orang yang perhatiannya kepada hal dimaksud lebih kecil, maka yang disebut belakangan akan membuatnya lebih mudah dipengaruhi.
Sumber : Diktat Pemasaran Politik, Dian Eka Rahmawati, S. IP, M. Si

Monday, March 5, 2012

Pengertian Pemasaran Politik Beserta Cakupannya

March 05, 2012 0
Pemasaran politik sebagai cabang kajian akademis sebenarnya sudah mulai menjadi perhatian ilmuwan komunikasi dan politik pada tahun 1950-an. Namun implementasi konsep pemasaran politik baru berkembang tahun 1980-an ketika media televisi memiliki peran yang sangat penting dalam penyampaian pesan.
Kajian pemasaran politik secara akademis dari waktu ke waktu mengalami pergeseran penekanan (Adman Nursal):
  1. Shama (1975) dan Kotler (1982): menekankan pada proses transaksi yang terjadi antara pemilih dan kandidat.
  2. O’Leary dan Iradela (1976): menekankan pada penggunaan marketing mix untuk mempromosikan partai politik.
  3. Lock dan Harris (1996): menekankan pada proses positioning.
  4. Wring (1997): menekankan pada penggunaan riset opini dan analisa lingkungan.
Dengan demikian, hal yang tampak baru dalam perkembangan pemasaran politik adalah pada penerapan riset pemasaran atau riset opini.
Konsep pemasaran mengalami pergeseran perspektif dari orientasi internal perusahaan (internal oriented) ke orientasi pasar (market oriented). Perusahaan atau produsen saat ini tidak cukup hanya sekedar berorientasi pada produk, tapi juga harus mempehitungkan kondisi pasar yang dihadapi. Dalam orientasi pasar terdapat dua hal yang harus diperhatikan, yaitu: orientasi pada konsumen (customer oriented) dan orientasi pada pesaing (competitor oriented).
Konsep market oriented  yang digunakan dalam pemasaran politik bukan berarti bahwa partai politik atau kandidat harus sepenuhnya memenuhi apa keinginan pasar. Karena masing-masing partai politik juga memiliki ideologi dan aliran pemikiran yang menjadi ciri khasnya.
Konvergensi yang ditawarkan dari pandangan pro dan kontra pemasaran politik adalah bahwa pemasaran politik berbeda dengan pemasaran komersial yang menjual partai atau kandidat kepada pemilih sebagai proses transaksional. Pemasaran politik memerlukan berbagai pendekatan keilmuan dan bersifat khas dibandingkan konsep pemasaran dalam ilmu ekonomi manajemen, karena produk politik sangat berbeda dengan produk komersial baik ditinjau dari karakteristik produk maupun karakteristik konsumen. Pemasaran politik memiliki dimensi yang lebih luas dan menjadi lebih kompleks.
Firmanzah dalam bukunya,  Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas, mengatakan bahwa hal penting yang ingin disampaikan dalam konsep pemasaran politik adalah:
  1. Pemasaran politik menempatkan pemilih sebagai subyek, bukan obyek dari partai politik atau kandidat.
  2. Pemasaran politik menjadikan permasalahan yang dihadapi pemilih sebagai langkah awal dalam menyusun program kerja yang ditawarkan dengan bingkai ideologi masing-masing partai atau kandidat.
  3. Pemasaran politik tidak menjamin sebuah kemenangan, tapi menyediakan tools untuk menjaga hubungan dengan pemilih, sehingga dari sini akan terbangun kepercayaan untuk selanjutnya memperoleh dukungan suara mereka.
Pada dasarnya pemasaran politik adalah strategi kampanye politik untuk membentuk serangkaian makna politis tertentu dalam pikiran para pemilih. Serangkaian makna politis yang terbentuk dalam pikiran para pemilih menjadi orientasi perilaku yang akan mengarahkan pemilih untuk memilih kontestan tertentu. Makna politis inilah yang menjadi output penting dari pemasaran politik.
Pemasaran politik disini merupakan konsep  yang menawarkan bagaimana sebuah partai politik atau kontestan bisa membuat program yang berhubungan dengan permasalahan aktual. Pemasaran politik merupakan konsep yang permanen yang harus dilakukan secara terus menerus oleh partai politik atau kandidat dalam membangun kepercayaan dan image politik. Membangun kepercayaan politik dan image ini hanya bisa dilakukan melalui hubungan jangka panjang antara partai politik atau kandidat dengan pemilih, tidak sekedar pada masa kampanye pemilu saja.
Dengan demikian, pemasaran politik memiliki beberapa fungsi bagi partai politik, yaitu:
  1. Menganalisa posisi pasar, yakni untuk memetakan persepsi dan preferensi pemilih, baik konstituen maupun non-konstituen, terhadap kontestan pemilu.
  2. Menetapkan tujuan obyektif kampanye, marketing effort, dan pengalokasian sumber daya.
  3. Mengidentifikasi dan mengevaluasi alternatif-alternatif strategi.
  4. Mengimplementasikan strategi untuk membidik segmen-segmen tertentu yang disasar berdasarkan sumberdaya yang ada.
  5. Memantau dan mengendalikan penerapan strategi untuk mencapai sasaran obyektif yang telah ditetapkan.
Menurut Lees Marshmant, pemasaran politik harus dilakukan secara kompehensif, karena cakupan pemasaran politik yang luas dan bersifat jangka panjang:
  1. Pemasaran politik lebih dari sekedar komunikasi politik.
  2. Pemasaran politik diaplikasikan dalam keseluruhan proses organisasi partai. Tidak hanya tentang kampanye, tapi juga sampai pada tahap memformulasikan produk politik mulai dari symbol, image, platform partai, dan program yang ditawarkan.
  3. Pemasaran politik menggunakan konsep pemasaran secara luas. Tidak hanya pada teknik pemasaran, namun juga sampai pada strategi pemasaran, mulai dari teknik publikasi, penawaran ide dan program, desain produk, market intelligent, dan pemrosesan informasi.
  4. Pemasaran politik melibatkan banyak cabang ilmu dalam pembahasan dan peneapannya, seperti ilmu ekonomi, ilmu politik, sosiologi, dan psikologi.
  5. Konsep pemasaran politik bisa diterapkan dalam berbagai situasi politik, mulai dari pemilu sampai proses lobi di parlemen.
Nursal menawarkan sebuah framework pemasaran politik yang relatif lebih praktis untuk diaplikasikan. Framework tersebut terdiri dari empat komponen, yaitu:
  1. Lingkungan Pemasaran. Terdiri lingkungan internal dan lingkungan eksternal dari kontestan pemilu. Faktor-faktor internal dan eksternal merupakan input yang diperlukan bagi proses pemasaran. Lingkungan internal terdiri dari: strategi inti, sumberdaya strategis, link dengan pemilih, dan jaringan nilai. Lingkungan eksternal terdiri dari: sistem pemilu, model kompetisi, regulasi pemerintah, sistem media, kultur politik, tingkat modernisasi masyarakat, dan lingkungan demografis.
  2. Proses pemasaran. Meliputi serangkaian aktivitas yang terdiri dari strategic marketing (segmentating, targeting, dan positioningi), penyusunan produk politik (policy, person, party), dan penyampaian produk politik kepada para pemilih (push marketing, pull marketing, pass marketing).
  3. Pasar sasaran. Terdiri dari pasar perantara (influencer, media massa, dan pemilih). Para influencer dan media massa pada akhirnya juga akan berperan menyampaikan produk politik.
  4. Output pemasaran. Terdiri dari makna politis yang diterima oleh masyarakat yag akan mempengaruhi perilaku pemilih (orientasi perilaku pemilih).

Sumber : Diktat Pemasaran Politik, Dian Eka Rahmawati, S. IP, M. Si

Saturday, March 3, 2012

Sekilas Pengetahuan Tentang Kampanye

March 03, 2012 5
Menurut Pfau dan Parrot kampanye merupakan suatu proses yang dirancang secara sadar, bertahap, dan berkelanjutan yang dilaksanakan pada rentang waktu tertentu dengan tujuan mempengaruhi khalayak sasaran yang telah ditetapkan. Leslie B Snyder mendefinisikan kampanye komunikasi sebagai tindakan komunikasi yang terorganisasi yang diarahkan pada khalayak tertentu, pada periode waktu tertentu, guna mencapai tujuan tertentu. Definisi lain yang populer adalah yang disampaikan oleh Rogers dan Storey, dimana mereka mendefinisikan kampanye sebagai serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan untuk menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka aktivitas kampanye bisa diidentifikasikan dalam empat unsur, yaitu: tindakan kampanye ditujukan untuk menciptakan efek atau dampak tertentu, jumlah khalayak sasaran yang besar, dipusatkan dalam kurun waktu tertentu, dan melalui serangkaian tindakan komunikasi yang terorganisir.
Kampanye secara umum dapat dibedakan ke dalam tiga kategori berdasarkan motivasi kampanye, seperti diungkapkan oleh Charles U. Larson. Ketiga jenis kampanye itu adalah:
  • product oriented campaigns atau kampanye yang berorientasi produk, pada umumnya terkait dengan bisnis. Dalam istilah yang lain kampanye ini juga disebut sebagai commercial campaigns. Motivasi yang mendasarinya adalah untuk memperoleh keuntungan finansial.
  • candidates oriented campaigns atau kampanye yang berorientasi pada kandidat dan umumnya dimotivasi untuk mendapatkan kekuasaan politik. Oleh karena itu, kampanye jenis ini juga sering disebut sebagai political campaigns atau kampanye politik. Tujuannya antara lain untuk memenangkan pemilu atau menduduki jabatan politik.
  • ideologically or cause oriented campaigns, yaitu jenis kampanye yang berorientasi pada tujuan-tujuan yang bersifat khusus atau seringkali berdimensi perubahan sosial. Oleh karena itu, kampanye jenis ini sering juga disebut sebagai social change campaigns yang bertujuan untuk menangani masalah-masalah sosial melalui perubahan sikap dan perilaku publik yang terkait. Pada dasarnya, berbagai jenis kampanye yang tidak termasuk dalam kampanye produk dan kampanye politik bisa dimasukkan dalam jenis kampenye perubahan sosial.
Tahap awal dari kegiatan kampanye biasanya diarahkan untuk menciptakan perubahan pada tataran pengetahuan atau kognitif. Pada tahap ini pengaruh yang diharapkan adalah munculnya awareness (kepedulian) tentang isu tertentu. Tahap berikutnya diarahkan untuk menciptakan perubahan attitude (sikap) Sasarannya adalah untuk memunculkan rasa simpati dan keberpihakan khalayak pada isu-isu yang menjadi tema kampanye. Kemudian tahap terakhir adalah menciptakan perubahan perilaku.


Sumber : Diktat Pemasaran Politik, Dian Eka Rahmawati, S. IP, M. Si

Saturday, February 4, 2012

Hubungan Antara Media Massa, Politik, Dan Demokrasi

February 04, 2012 2
Dalam ilmu politik dikenal dua macam pemahaman tentang demokrasi. Pertama, pemahaman demokrasi secara normatif. Kedua, pemaham demokrasi secara empirik. Dalam pemahaman normatif, demokrasi merupakan suatu kondisi yang secara ideal ingin diselenggarakan oleh suatu negara. Sedangkan dalam pemahaman empirik, demokrasi dikaitkan dengan kenyataan penerapan demokrasi dalam tataran kehidupan politik praktis.
Untuk melihat apakah demokrasi yang normatif diterapkan dengan baik dalam kehidupan politik secara empirik, para ahli politik membuat berbagai indikator untuk mengukurnya. Antara lain Huntington yang mendefinisikan demokrasi sebagai suatu sistem politik dimana para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat di dalam sistem politik, para calon secara bebas bersaing untuk mendapatkan suara, dan hampir semua penduduk dewasa berhak untuk memberikan suaranya. Selain itu, demokrasi juga mensyaratkan adanya kebebasan sipil dan politik, yaitu adanya kebebasan untuk berbicara, berpendapat, berkumpul, berorganisasi, yang dibutuhkan untuk perdebatan politik, dan pelaksanaan kampanye pemilihan umum. Suatu sistem dikatakan tidak demokratis bila oposisi dikontrol dan dihalangi dalam mencapai apa yang dapat dilakukannya, seperti koran-koran oposisi dibredel, hasil pemungutan suara dimanipulasi atau perhitungan suara tidak benar.
Sedangkan Dahl mendefinisikan demokrasi sebagai sebuah sistem politik dimana para anggotanya saling memandang antara yang satu dengan yang lainnya sebagai orang-orang yang sama dalam segi politik, secara bersama-sama berdaulat, memiliki kemampuan, sumber daya, dan lembaga-lembaga yang mereka perlukan untuk memerintah diri mereka sendiri. Indikator demokrasi yang diajukan Dahl adalah sebagai berikut:
  • Adanya kontrol terhadap kebijakan pemerintah.
  • Adanya pemilihan umum yang diadakan secara damai dalam jangka waktu tertentu, terbuka, dan bebas.
  • Semua orang dewasa mempunyai hak untuk memberikan suaranya dalam pemilihan umum.
  • Hampir semua orang dewasa mempunyai hak untuk mencalonkan diri sebagai kandidat dalam pemilihan umum.
  • Setiap warga negara memiliki hak politik, seperti kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat, termasuk didalamnya mengkritik pemerintah.
  • Setiap warga negara berhak untuk mendapatkan akses informasi alternatif yang tidak dimonopoli oleh pemerintah atau kelompok tunggal lain.
  • Setiap warga negara berhak untuk membentuk dan bergabung dengan lembaga-lembaga otonom, termasuk partai politik dan kelompok kepentingan yang berusaha untuk mempengaruhi pemerintah dengan mengikuti pemilihan umum dan dengan perangkat-perangkat lainnya.
Berdasarkan pada pendapat Huntington dan Dahl di atas jelaslah bahwa kehadiran media massa menempati ruang penting dalam proses demokrasi, bahkan banyak ahli yang menyatakan bahwa pers sesungguhnya merupakan salah satu pilar demokrasi. Keberadaan media massa dilihat sebagai salah satu indikator demokratis tidaknya sebuah sistem politik karena terkait dengan kebebasan untuk menyatakan pendapat dan mendapatkan akses informasi. Negara yang demokratis akan menjamin kebebasan media massa dan negara yang otoriter akan mengekang kehidupan media massa. Disinilah letak hubungan media massa dan politik.
Gurevitch dan JG Blumler, sebagaimana dikutip dalam buku Cangara, berpendapat bahwa dalam hal penegakkan demokasi media massa memiliki peran:
  • Mengawasi lingkungan sosial politik dengan melaporkan perkembangan hal-hal yang menimpa masyarakat.
  • Melakukan agenda setting dengan mengangkat isu-isu kunci yang perlu dipikirkan dan dicarikan jalan keluarnya oleh pemerintah atau masyarakat.
  • Menjadi platform dalam rangka menciptakan forum diskusi antara politisi dan juru bicara negara dengan kelompok kepentingan dan kasus-kasus lainnya.
  • Membangun jembatan dialog antara pemegang kekuasaan atau pemerintah dengan masyarakat luas.
  • Membangun mekanisme supaya masyarakat memiliki keterlibatan dalam hal kebijakan publik.
  • Merangsang masyarakat untuk belajar memilih dan melibatkan diri  dalam proses politik.
  • Menolak upaya dalam bentuk campur tangan pihak-pihak tertentu yang membawa pers keluar dari kemerdekaan, integritas, dan dedikasinya untuk melayani kepentingan masyarakat.
  • Mengembangkan potensi masyarakat untuk peduli terhadap lingkungan politiknya.
Pendapat yang melihat hubungan sejajar antara sistem politik dengan media massa dapat ditelusuri dalam teori pers yang dimunculkan oleh Siebert pada tahun 1956 dalam bukunya Four Theories of the Press (dalam Hari Wiryawan) yang dapat dirangkum sebagai berikut:
  1. Teori Pers Otoriter. Pers berkembang dalam sistem politik yang otoriter dimana kekuasaan negara sangat besar. Pers dikendalikan oleh negara dan mengabdi untuk kepesntingan negara, kerajaan, atau bangsawan. Teori pers ini muncul terutama pada saat negara-negara Eropa menganut syitem monarkhi absolute pada abad ke-17 sebelum meluasnya demokrasi. Teori Pers Otoriter di Eropa berakhir sejalan dengan berkembangnya ide-ide liberalisme dan demokrasi.
  2. Teori Pers Liberal. Teori ini muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap Teori Pers Otoriter. Prinsip pers liberal sejalan dengan ide-ide liberalisme yang mengedepankan rasionalisme, kebebasan individu, kebenaran, kemajuan, dan kedaulatan rakyat. Negara memberikan kebebasan kepada mesia, namun media juga tidak lepas dari peraturan perundangan yang mengatur konsekuensi atas pelanggaran hak-hak orang lain dan tuntutan dari masyarakat. Kesulitan yang muncul dalam teori pers liberal ini adalah adanya hak kepemilikan media secara individual (hak privat) yang memunculkan kepentingan pemilik, sehingga pertanyaan yang kemudian timbul adalah: siapakah yang berhak menikmati kebebasan pers? Pemilik media, wartawan, reporter, atau editor?
  3. Teori Pers Tanggung Jawab Sosial. Teori ini muncul sebagai bentuk respon terhadap permasalahan yang muncul dari Teori Pers Liberal, dengan menggabungkan unsur kemandirian atau kebebasan pers dengan kewajiban pers kepada masyarakat. Kepemilikan media dipandang sebagai tugas pengelolaan, bukan semata-mata sebagai hak privat. Media harus menjalankan fungsi yang lebih esensial terhadap masyarakat dan diperlukan pedoman substansial untuk pengaturan media.
  4. Teori Media Soviet. Teori ini dibangun berdasarkan faham Marxisme, Neo Marxisme, dan Leninisme. Pers ditempatkan pada posisi di bawah penguasaan kelas pekerja, dalam hal ini Partai Komunis yang berkuasa. Pers tidak boleh memicu konflik dalam masyarakat. Pers memegang peran penting dalam pembentukan masyarakat dan gerakan ke arah komunisme. Pers harus mencerminkan realitas obyektif dan harus menghilangkan penafsiran pribadi dalam pembuatan berita, oleh karena itu pers harus dikendalikan oleh negara dan bukan oleh perusahaan bisnis.
Keempat Teori Pers di atas lahir dari eksistensi pers di negara-negara Eropa dan Amerika. Selanjutnya Denis McQuail menambahkan dua teori pers lain, yaitu Teori Pers Pembangunan dan Teori Pers Demokratis Partisipan yang benyak bermunculan di negara-negara berkembang:
  1. Teori Pers Pembangunan. Teori pers ini menyatakan bahwa pers harus ikut berperan aktif dalam pembangunan negara, sejalan dengan kebijakan-kebijakan pembangunan nasional. Kebebasan pers juga disesuaikan dengan tujuan utama pembangunan bangsa dan memprioritaskan kebudayaan dan bahasa nasional.
  2. Teori Pers Demokratis Partisipan. Teori ini menggabungkan beberapa unsur dalam pers liberal dan pers pembangunan dimana memberikan penekanan pada pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap akses informasi, hak menjawab kembali, dan hak untuk menggunakan sarana informasi. Teori ini muncul sebagai bentuk reaksi terhadap komersialisasi pers, pemonopolian pers secara pribadi, dan sentralisasi atau birokratisasi lembaga siaran publik.
 Sumber : Diktat Komunikasi Politik, Dian Eka Rahmawati, S. IP, M. Si

Friday, February 3, 2012

Pengertian Komunikasi Politik Dan Sistem Politik

February 03, 2012 3
Komunikasi politik merupakan penyampaian pesan-pesan politik dari komunikator kepada komunikan dalam arti luas. Berdasarkan pembatasan konsep komunikasi politik tersebut, terdapat dua hal yang perlu mendapatkan penekanan dalam proses komunikasi politik. Pertama, bahwa yang membedakan komunikasi politik dengan komunikasi yang lain terletak pada pesan yang disampaikan berupa pesan-pesan politik. Kedua, pengertian “dalam arti luas” menunjuk pada saluran yang digunakan dalam komunikasi politik dan level masyarakat. Artinya, komunikasi politik dapt menggunakan saluran atau media apapun yang ada dalam masyarakat dan dapat terjadi pada level manapun dalam masyarakat. Sedangkan sistem politik didefinisikan oleh beberapa ahli sebagai berikut:

  1. David Easton: Sistem politik merupakan alokasi nilai-nilai, dimana pengalokasian nilai-nilai itu bersifat paksaan atau dengan kewenangan, dan mengikat masyarakat secara keseluruhan.
  2. Robert A. Dahl: Sistem politik adalah pola yang tetap dari hubungan-hubungan antar manusia yang melibatkan, sampai pada tingkat yang berarti, kontrol, pengaruh, kekuasaan, atau wewenang.
  3. Gabriel A. Almond:  Sistem politik merupakan sistem interaksi yang terjadi di dalam masyarakat merdeka yang menjalankan fungsi integrasi untuk mencapai kesatuan dalam masyarakat dan fungsi adaptasi terhadap lingkungan, baik lingkungan dalam sistem sendiri maupun lingkungan diluar sistem.
Dengan demikian secara umum sistem politik dapat diartikan sebagai sistem interaksi yang terjadi dalam masyarakat melalui mana dialokasikan nilai-nilai, dengan menggunakan paksaan yang bersifat sah (otoritatif). Sistem interaksi berarti adanya interaksi antar aktor politik, baik individu dengan individu, individu dengan institusi, atau institusi dengan institusi. Alokasi nilai berarti adanya transfer nilai yang dianggap berharga dalam suatu masyarakat yang bisa jadi berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Sedangkan kekuasaan otoritatif berarti pengalokasian nilai dilakukan oleh pihak-pihak  yang memiliki kewenangan atau otoritas yang diakui dalam masyarakat tersebut.
Istilah Komunikasi Politik mulai banyak disebut sejak tahun 1960an ketika Gabriel Almond menerbitkan bukunya “The Politics of Development Area”, dimana dia menyebutkan bahwa komunikasi politik merupakan salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik. Menurut Almond, fungsi yang dijalankan oleh sistem politik adalah:

  • Fungsi Input
  1. Sosialisasi Politik dan Rekruitmen
  2. Sosialisasi politik merupakan proses internalisasi nilai-nilai politik yang ada dalam masyarakat, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sedangkan rekrutmen merupakan seleksi individu-individu yang berkualitas untuk duduk dalam jabatan politik maupun jabatan publik.
  3. Artikulasi Kepentingan. Merupakan proses penyampaian kepentingan atau kebutuhan masyarakat, baik oleh individu, kelompok, atau lembaga,  kepada lembaga-lembaga politik atau pemerintah yang berwenang untuk membuat kebijakan.
  4. Agregasi Kepentingan. Merupakan proses untuk mengubah atau mengkonversikan berbagai kepentingan atau kebutuhan masyarakat yang telah diartikulasikan menjadi alternative-alternatif kebijakan.
  5. Komunikasi Politik. Merupakan proses penyampaian pesan-pesan politik dari komunikator kepada komunikan dengan menggunakan berbagai media dan menghasilkan efek tertentu.

  • Fungsi Output
  1. Pembuatan Peraturan. Merupakan proses pembuatan kebijakan yang dilakukan oleh lembaga pembuat kebijakan (lembaga eksekutif dan lembaga legislatif).
  2. Penerapan Peraturan. Merupakan proses implementasi atau penerapan kebijakan yang telah dibuat sebelumnya oleh lembaga pembuat kebijakan, penerapan peraturan dilaksanakan oleh lembaga eksekutif (pemerintah).
  3. Ajudikasi Peraturan. Merupakan proses pencegahan terjadinya pelanggaran hukum dalam penerapan peraturan ataupun pengawasan terhadap penerapan peraturan yang dinyatakan dengan keputudan hokum. Ajudikasi peraturan dilaksanakan oleh lembaga yudikatif.
Semua fungsi yang dijalankan oleh sistem politik tersebut pada dasarnya dilaksanakan melalui sarana komunikasi. Proses komunikasi terjadi pada saat fungsi-fungsi yang lain dijalankan. Komunikasi politik menyambungkan antar semua bagian dari sistem politik, sehingga sistem politik itu bisa berjalan dengan baik.
Menurut Almond, pemisahan fungsi komunikasi politik adalah untuk menjelaskan fungsi komunikasi politik sebagai sebuah fungsi tersendiri dalam sebuah sistem politik, sekalipun memang arus komunikasi politik melintasi semua fungsi yang terdapat dalam sistem politik. Disamping itu, bila komunikasi politik tidak disendirikan dalam bahasan mengenai fungsi yang dijalankan oleh suatu sistem politik, maka kita akan kehilangan satu alat yang esensial dalam membandingkan antar sistem politik dan untuk mencirikan penampilan dari sistem-sistem tersebut.


Sumber : Diktat Komunikasi Politik, Dian Eka Rahmawati, S. IP, M. Si

Sunday, January 29, 2012

Komunikasi Politik Sebagai Kajian Dalam Ilmu Politik

January 29, 2012 0
Komunikasi politik merupakan studi multidisipliner yang melibatkan beberapa cabang ilmu terutama cabang ilmu komunikasi dan ilmu politik. Hal ini bisa dilihat dari kajian komunikasi politik yang secara umum membahas keterkaitan antara proses komunikasi dan proses politik yang berlangsung dalam sebuah sistem politik. Kesulitan yang dialami oleh kebanyakan studi multidisipliner seperti studi komunikasi politik adalah sulitnya menemukan keberimbangan penekanan ataupun perspektif dan penguasaan metodologi lintas ilmu.
Selama ini studi komunikasi politik masih lebih banyak menjadi perhatian ilmuwan komunikasi ketimbang ilmuwan politik, sehingga bisa dipahami ketika ada perspektif yang berbeda dalam melihat proses komunikasi politik yang terjadi dalam sebuah sistem politik. Perbedaan penekanan dan perspektif antara ilmuwan komunikasi dan ilmuwan politik dalam melihat komunikasi politik terletak pada:
  1. Ilmuwan komunikasi lebih cenderung melihat peran media massa dalam komunikasi politik, sedangkan ilmuwan politik (khususnya penganut mazhab behavioralisme) cenderung melihat proses komunikasi politik dari segi pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik dalam kegiatan kemasyarakatan.
  2. Ilmuwan komunikasi cenderung melihat saluran komunikasi politik dalam bentuk media massa sebagai saluran terpenting. Sedangkan ilmuwan politik melihat saluran media massa dan saluran tatap muka yang melibatkan pemimpin opini (opinion leader) memainkan peran yang sama pentingnya.
Penelusuran yang dilakukan dengan cara memperlihatkan bahwa kajian komunikasi politik berawal dari kajian tentang propaganda dan opini publik pada tahun 1922 dimana Ferdinand Tonnies dan Walter Lippmann melakukan penelitian tentang opini publik, disusul oleh peneliti-peneliti berikutnya. Pada tahun 1027 Harold Lasswell dalam disertasinya melakukan penelitian tentang propaganda berjudul “Propaganda Technique in the World War”. Berdasar pada disertasi Lasswell, Amerika Serikat yang semula memandang propaganda memiliki arti yang negatif, justru kemudian memanfaatkannya dalam Perang Dunia II dengan melibatkan sejumlah ilmuwan dan praktisi. Berkat rintisan Lasswell dalam disertasinya yang dipandang sangat penting, Wilbur Schramm ahli di bidang content analysis menempatkan Lasswell sebagai tokoh utama dalam studi komunikasi politik.  
Istilah komunikasi politik dalam ilmu politik memang terbilang masih relatif baru, sekalipun obyek kajiannya sudah lama mendapatkan perhatian dalam ilmu politik  seperti partisipasi politik, perilaku pemilih, sosialisasi politik, lembaga politik, dan lain-lain. Istilah Komunikasi Politik dalam ilmu politik mulai banyak disebut sejak tahun 1960an ketika Gabriel Almond menerbitkan bukunya “The Politics of Development Area”, dimana dia menyebutkan bahwa komunikasi politik merupakan salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik. Adapun fungsi yang dijalankan oleh sebuah sistem politik tersebut menurut Almond adalah:
  1. Sosialisasi Politik, internalisasi nilai-nilai politik dari satu generasi ke generasi berikutnya.
  2. Rekrutmen Politik, penyeleksian individu-individu yang berkompeten untuk duduk dalam jabatan politik maupun jabatan publik.
  3. Artikulasi Kepentingan, proses penyerapan kepentingan publik atau masyarakat.
  4. Agregasi Kepentingan, proses pengolahan kepentingan publik menjadi alternatif kebijakan untuk dimasukkan dan diproses dalam sistem politik.
  5. Komunikasi Politik, proses penyampaian pesan-pesan politik dalam infra struktur politik, supra struktur politik, maupun dalam masyarakat.
  6. Pembuatan Peraturan, proses pembuatan kebijakan.
  7. Penerapan Peraturan, proses implementasi kebijakan.
  8. Ajudikasi Peraturan, proses pengawasan dan evaluasi kebijakan.
Dari penjabaran fungsi system politik tersebut terlihat bahwa komunikasi politik bukanlah fungsi yang berdiri sendiri, tapi inhern dalam setiap sistem politik dan dapat ditemukan dalam tiap-tiap fungsi sistem politik yang lain. Proses komunikasi politik merupakan proses penyampaian pesan politik yang terjadi pada saat fungsi-fungsi yang lain dijalankan. Dengan kata lain, komunikasi politik melekat pada fungsi-fungsi yang lain dan merupakan prasyarat yang diperlukan bagi berlangsungnya fungsi-fungsi yang lain. Ketika fungsi sosialisasi politik, rekrutmen politik, artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, pembuatan peraturan, penerapan aturan, dan ajudikasi peraturan berjalan, sesungguhnya didalamnya sedang berlangsung pula proses komunikasi politik. 
Sumbangan pemikiran yang diberikan Almond tersebut adalah bahwa semua sistem politik, dimanapun dan kapanpun, memiliki persamaan yang mendasar, yaitu ditinjau dari fungsi yang dijalankan. Sekalipun bentuk atau sifat dari fungsi tersebut bisa berbeda-beda karena dipengaruhi oleh banyak faktor seperti, lingkungan, budaya, dan lain-lain, namun menurut Almond perbedaan itu tidak bersifat mendasar. Dengan demikian, kajian komunikasi politik dalam ilmu politik yang perlu dicermati adalah:
  • Adanya perhatian yang sama besar terhadap arus komunikasi dari atas ke bawah (dari pemerintah/penguasa politik pada masyarakat) dan dari bawah ke atas (dari masyarakat pada pemerintah/penguasa politik).
  • Indikator arus komunikasi politik dari bawah ke atas atau dari masyarakat ke penguasa politik (bottom up) paling tidak bisa dilihat dari agregasi kepentingan dan partisipasi politik.
  • Komunikasi politik yang ideal dalam sebuah sistem politik adalah ketika dikaitkan dengan demokratisasi. Frekuensi penggunaan komunikasi politik oleh masyarakat merupakan salah satu indikator peningkatan demokratisasi politik, yang menunjukkan arus komunikasi politik tidak sekedar datang dari atas ke bawah, melainkan juga dari bawah ke atas. Hal yang penting di sini adalah keterbukaan saluran komunikasi politik dan keterbukaan penguasa politik.
  • Peran sebagai komunikator yang dijalankan masyarakat dalam komunikasi politik memerlukan beberapa kualifikasi, yaitu:
  1. Masyarakat harus mengerti dengan baik masalah yang akan dikomunikasikan. Masyarakat dituntut untuk bisa menjelaskan masalah secara argumentatif dan rasional.
  2. Masyarakat harus mampu merumuskan masalah atau tuntutan dengan jelas supaya bisa diterima dan dipahami dengan baik.
  3. Masyarakat harus mampu untuk tidak menyinggung soal diri pribadi pejabat tertentu. Masalah politik adalah masalah rakyat keseluruhan, karena itu tuntutan yang diwarnai oleh sentimen pribadi bisa mengurangi kualitas tuntutan itu sendiri.
  4. Kualifikasi tersebut berpangkal pada adanya sosialisasi dan pendidikan politik yang baik dalam sebuah masyarakat.
  • Adanya ketidakjelasan dan ketumpangtindihan (overlap) konsep komunikasi politik dengan fungsi-fungsi sistem politik lainnya ataupun dengan konsep-konsep lain dalam ilmu politik. Hal ini menyebabkan studi komunikasi politik dalam ilmu politik tidak terlihat nyata, meskipun sebenarnya obyeknya telah banyak dikaji dalam ilmu politik.
  • Masih kurangnya penggunaan metode dan pendekatan yang biasa digunakan ilmu komunikasi dalam mengkaji proses komunikasi. Oleh karena itu, untuk memperjelas eksistensi studi komunikasi politik, ilmuwan politik perlu menggunakan bantuan dari ilmu komunikasi yang telah berhasil menciptakan berbagai pendekatan, metode, dan konsep yang bermanfaat bagi para ilmuwan politik.

Sumber : Diktat Komunikasi Politik, Dian Eka Rahmawati, S.IP, M.Si

Monday, November 7, 2011

Enam Prinsip Dasar Public Relations

November 07, 2011 0
Terdapat 6 (Enam) prinsip dasar dalam public relations (PR), yaitu :
1. Sampaikan kebenaran, biarkan publik tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi serta berikanlah gambaran yang akurat  tentang karakter, idealisme, dan praktik perusahaan.
2. Buktikan dengan tindakan. 90% persepsi publik terhadap organisasi ditentukan oleh perbuatan dan 10% lainnya oleh pembicaraan.
3. Dengarkan pelanggan. Agar perusahaan berjalan dengan baik pahamilah apa kebutuhan dan keinginan publik. Pastikan para pembuat keputusan dan pekerja lainnya di perusahaan tahu tentang produk.
4. Persiapkan untuk hari esok. Buatlah antisipasi PR dan hapuslah kegiatan yang membuat sulit, ciptakan itikad baik.
5. Berlakukan PR seakan semua bagian perusahaan bergantung padanya. Hubungan korporasi merupakan fungsi manajemen. Tidak ada satupun perusahaan yang dilakukan tanpa mempertimbangkan pengaruhnya pada publik.
6. Bersikap tenang, sabar, dan memiliki rasa humor. Buatlah bingkai dasar kerja PR bagai sebuah mukjizat dengan sikap konsisten, tenang, serta perhatian pada informasi dan kontak.

Friday, November 4, 2011

Peran Bahasa dalam Komunikasi

November 04, 2011 0
Berkomunikasi dengan orang lain adalah rutinitas kita sehari- hari. Dalam berkomunikasi tentunya kita menggunakan bahasa dalam penyampaiannya. Bahasa dibentuk oleh kaidah aturan serta pola yang tidak boleh dilanggar agar tidak menyebabkan gangguan pada komunikasi yang terjadi. Kaidah, aturan dan pola-pola yang dibentuk mencakup tata bunyi, tata bentuk dan tata kalimat. Agar komunikasi yang dilakukan berjalan lancar dengan baik, penerima dan pengirim bahasa harus harus menguasai bahasanya. Bahasa adalah suatu sistem dari lambang bunyi arbitrer yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dan dipakai oleh masyarakat komunikasi, kerja sama dan identifikasi diri. Arbitrer yaitu tidak adanya hubungan antara lambang bunyi dengan bendanya. Bahasa memiliki beberapa fungsi, diantaranya sebagai alat untuk berkomunikasi dengan sesama manusia, alat untuk bekerja sama dengan sesama manusia, alat untuk mengidentifikasi diri. Pada dasarnya, bahasa sebagai alat komunikasi tidak hanya secara lisan, tetapi juga menggunakan bahasa isyarat tangan atau anggota tubuh lainnya.
Perkembangan bahasa dipengaruhi oleh faktor biologis dan faktor lingkungan. Faktor biologis diantaranya evolusi biologis, ikatan biologis, bahasa binatang, dan masa kritis belajar bahasa. Evolusi biologis, perubahan biologis membentuk manusia linguistik, karena berkenaan dengan evolusi biologis, otak, sistem saraf, dan sistrem vokal berubah selama beratus-ratus juta tahun dan akhirnya bahasa adalah pemerolehan yang selalu baru terjadi. Ikatan biologis, bahasa adalah suatu kemampuan gramatikal yang dibawa sejak lahir yang memungkinkan anak mendeteksi kategori bahasa tertentu. Peranan otak, otak yang paling berperan dalam perkembangan bahasa adalah otak kiri, tetapi dalam melakukan kegiatan ada keterkaitan antara dua belahan otak yaitu kana dan kiri. Bahasa binatang, binatang dapat berkomunikasi dengan sesamanya dan dapat dilatih untuk dimanipulasi simbul-simbul bahasa. Periode kritis belajar, bahasa harus digerakan melalui belajar dan waktu yang efektif untuk pengembangan bahasa adalah selama usia dini. Faktor lingkungan, mencakup perubahan kultural dan konteks sosiokultural bahasa, dukungan sosial untuk perkembangan bahasa yang meliputi simplikasi pengasuhan dan pemetaan melalui motherese, recasting, echoing, expanding, labeling, modeling, dan correctiver feedback., dan pandangan behavioral. Dalam berbahasa seseorang melalui beberapa tahap, diantaranya perkembangan bahasa usia bayi, perkembangan bahasa usia dini, perkembangan bahasa usia sekolah, dan perkembangan membaca dan menulis.
Bila kegiatan belajar mengajar yang diciptakan efektif, maka perkembangan bahasa anak dapat berjalan secara optimal. Sebaliknya bahwa jika kurang efektif, maka perkembangan bahasa anak mengalami hambatan. Bahasa merupakan alat komunikasi yang paling efektif dalam pergaulan sosial, maka sangat diperlukan bahasa yang komunikatif yang memungkinkan semua pihak yang terlibat interaksi belajar mengajar dapat berperan aktif dan produktif. Sehingga guru SD diharapkan lebih banyak menggunakan bahasa anak daripada bahasa orang dewasa.  Lingkungan yang kondusif dapat tercipta sesuai dengan kebutuhan anak untuk perkembangan bahasa pada saatnya, akan berdampak sangat positif terhadap perkembangan bahasa anak, tidak hanya sebagai pengguna bahasa yang pasif, melainkan juga dapat menjadi pengguna bahasa yang aktif.
http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/19/peran-bahasa-dalam-komunikasi/

Wednesday, November 2, 2011

Pengertian Public Relations Serta Fungsinya

November 02, 2011 0
APA ITU PUBLIC RELATIONS ?
Adalah sebuah fungsi kepemimpinan dan manajemen yang membantu pencapaian tujuan sebuah organisasi, membantu mendefenisikan filosofi, serta memfasilitasi perubahan organisasi. Para praktisi public relations berkomunikasi dengan semua masyarakat internal dan eksternal yang relevan untuk mengembangkan hubungan yang positif serta menciptakan konsistensi antara tujuan organisasi dengan harapan masyarakat. Mereka juga mengembangkan, melaksanakan, dan mengevaluasi program organisasi yang mempromosikan pertukaran pengaruh serta pemahaman diantara konstituen organisasi antara masyarakat.

FUNGSI PUBLIC RELATIONS
Keberagaman yang luas dari tugas praktisi PR ini sangat jelas, dan terlihat dalam daftar fungsi PR yang dipublikasikan dalam buklet PRSA careers in PR sebagai berikut :
1. Pemprograman (Programming), menganalisis masalah dan peluang, mendefenisikan tujuan dan publik, serta merekomendasikan dan merencanakan kegiatan.
2. Hubungan (Relationship), seorang PR yang sukses adalah mereka yang mengembangkan kemampuan dalam mengumpulkan informasi dari manajemen, kolega, didalam organisasi mereka dan sumber sumber eksternal untuk memperkuat ikatan organisasi mereka dengan kelompok eksternal seperti dengan media, pimpinan komunitas, investor dan lain-lain.
3. Penulisan dan pengeditan (Writing & Editing), bahasa tulis sering menjadi alat yang penting dalam membuat laporan, merilis berita, buklet, pidato, artikel, newsletter baik kepada personel organisasi maupun ke pihak luar organisasi. Oleh karna itu gaya penulisan yang jelas adalah sebuah keharusan dalam PR agar pesan terkomunikasikan secara efektif.
4. Informasi (Information), tugas penting dari PR adalah berbagi informasi dengan surat kabar yang sesuai, siaran radio, editor penerbitan untuk memasukkan kepentingan mereka dalam sebuah publikasi berita atau fitur dari sebuah organisasi.
5. Produksi (Production), beragam publikasi laporan khusus film dan progam multimedia merupakan cara-cara yang penting dalam berkomunikasi. Praktisi PR tidak perlu ahli dalam hal seni, tata letak, tipografi, dan fotografi, tetapi dia harus memiliki latar belakang yang cukup dalam hal pengetahuan teknis agar mereka dapat merencanakan dengan cerdas menyupervisi kegunaan berbagai bentuk media komunikasi tersebut.
6. Acara Spesial (Special Event), konferensi berita, pameran konvensi, dan pertunjukkan khusus, program lomba dan pemberian penghargaan adalah beberapa event spesial yang dapat digunakan untuk memperoleh perhatian dan penerimaan publik dimana membutuhkan perencanaan, koordinasi yang matang
7. Berbicara (Speaking), semua pekerjaan PR sering membutuhkan komunikasi tatap muka mencari platform yang cocok menyampaikan pidato, dan mempersiapkan pidato untuk orang lain.
8. Riset dan Evaluasi (Research and Evaluation), semua pekerjaan PR didukung dan didasari oleh riset tentang isu, organisasi, masyarakat, kompetisi, dan akan menghabiskan banyak waktu dalam memasukkan hasil riset mereka sebagai pertimbangan dalam pernyataan resmi organisasi, kampanye komunikasi.

Monday, October 3, 2011

Komunikasi Politik Dan Demokratisasi Di Indonesia

October 03, 2011 0
Komunikasi Politik Dan Demokratisasi Di Indonesia

1.      Komunikasi Politik dalam Pembangunan Pemerintahan
Dengan selesainya amandemen UUD 1945 pada bulan Agustus 2002 yang lalu, maka Negara Kesatuan Republik Indonesia sungguh-sungguh bertekad untuk melakukan reformasi pemerintahan secara mendasar dan komprehensif Amandemen Undang-Undang Dasar yang dilakukan oleh Bangsa Indonesia merupakan catatan tersendiri dalam sejarah bangsa-bangsa di dunia sebab merupakan hal yang pertama kali terjadi amandemen undang-undang dasar secara komprehensif yaitu meninjau seluruh pasal-pasalnya yang walaupun terdapat pasal-pasal yang redaksi atau materinya tetap dipertahankan. Amerika Serikat misalnya, sebagai negara yang paling mengagungkan demokrasi, dalam mengamandemen kosntitusinya hanya melakukannya secara bertahap yaitu pasal per pasal sehingga amandemen konstitusi telah mereka lakukan lebih dari 20 kali.
2.      Mewujudkan Komunikasi Politik yang Etis, Demokratis dan Profesional
Saat ini, komunikasi menjadi satu hal penting dalam pembangunan negara. Salah satu contoh hambatan dalam komunikasi di bidang politik terjadi saat SI MPR 2001 yang lalu, dimana bisa kita lihat adanya kemacetan komunikasi. Kemacetan itu Nampak pada adanya kelompok yang tidak suka atau kontra terhadap pemerintah, dan sebaliknya pemerintah tidak mau berkomunikasi dengan kelompok tersebut yang ujung-ujungnya melahirkan bentuk ekspresi kekerasan.
Menilik contoh-contoh yang ada maka timbul petanyaan, bagaimanakah model komunikasi yang patut dihadirkan di Indonesia? Karena komunikasi yang berjalan nampaknya belum berbentuk dua arah, yang terlihat dari kebijakan-kebijakan publik, yang ternyata tidak mencerminkan suara rakyat.
Pertama – tama, berangkat dari kerangka teoritik terlebih dahulu dalam membahas bagimana komunikasi yang demokratis, efktif dan etis. Kerangka teori yang paling dasar dalam komunikasi adalah prinsip dasar yang dikemukakan Laswell dengan who, says, what, to whom, in which channel, with what effect. Dalam persepsi politik, hal ini dikaitkan dengan sistem politik yang berlaku.
Sumber : Diktat Public Relations, Ane Permatasari, S. IP, MA