Blognya Anak Kuliahan

Showing posts with label Ilmu Komunikasi. Show all posts
Showing posts with label Ilmu Komunikasi. Show all posts

Wednesday, April 3, 2013

Sosial Media; Sebagai Salah Satu Alat Politik di Era Teknologi Informasi

April 03, 2013 0

Barack Hussein Obama adalah orang pertama yang memanfaatkan situs jejaring social Facebook sebagai media kampanye yang membuatnya memenangi pilpres 2007 di Amerika. Di mana pada tahun itu, Facebook belum mendominasi di Indonesia, dan penggemar Obama di Facebook hanya 5 juta orang. Kini, lagi-lagi Obama memanfaatkan social media sebagai corong terdepan dalam menaikkan elektabilitasnya di mata publik. Meski lawan tunggalnya, Mitt Romney, juga melakukan hal yang sama, Obama bisa lebih mendominasi dengan total jaringan yang lebih besar di Facebook ketimbang lawannya tersebut. Kemenangan Obama menjadi inspirasi bagi para calon pemimpin di negara-negara lain. Tak terkecuali di Indonesia.

Jika dilihat dari peta pengguna social media di Indonesia, kita bisa melihat bahwa potensi kekuatan yang ada bisa sangat maksimal, baik untuk transaksi jual beli, maupun menaikkan citra seorang figur, termasuk tokoh politik.

52 juta, angka pengguna Facebook di Indonesia, menjadikan negara ini menempati posisi 4 negara dengan jumlah pengguna Facebook terbesar di dunia, di bawah India (60jt), Brazil (61jt), dan Amerika Serikat (168jt).

Tokoh politik di Indonesia yang bermain di social media cukup banyak, tapi yang benar-benar fokus sebagai media kampanye, bisa dihitung dengan jari. Contoh kesuksesan penggunaan Social media sebagai salah satu alat politik dapat kita lihat pada masa Pilgub DKI tahun 2012 yang lalu. Jokowi-Ahok mampu mematahkan lawan-lawannya di dua putaran sekaligus, hal tersebut tidak bisa dihindarkan lagi bahwasanya duet ini memang benar-benar memaksimalkan YouTube, Twitter, dan Facebook sebagai media untuk berkampanye. Kampanye massif ala Jokowi ini pun akhirnya mampu mengantarkannya untuk menjadi orang nomor satu di ibukota.

Menjelang Pemilu 2014, akankah social media menjadi senjata ampuh bagi partai politik untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya? Hal tersebut bisa saja terjadi, namun dengan catatan social media tersebut harus benar-benar dimanfaatkan dengan serius dan maksimal.

Wednesday, October 17, 2012

Beberapa Teori dan Pendekatan Dalam Kepemimpinan

October 17, 2012 0

Pada dasarnya untuk mengetahui teori-teori kepemimpinan dapat dilihat dari berbagai literatur yang menyatakan pemimpin itu dilahirkan, bukan dibuat. Ada yang mengatakan bahwa pemimpin itu terjadi karena adanya kelompok-kelompok orang. Teori lain mengemukakan bahwa pemimpin timbul karena situasi yang memungkinkan ia ada. Teori yang paling mutakhir melihat kepemimpinan lewat perilaku organisasi.

Orientasi prilaku mencoba mengetengahkan pendekatan yang bersifat Social Learning pada kepemimpinan. Teori ini menekankan bahwa terdapat faktor penentu yang timbal balik dalam kepemimpinan ini. Selanjutnya Thoha (1996:250-264) mengemukakan teori dan pendekatan kepemimpinan sebagai berikut :

Teori Sifat
Dalam teori sifat (Trait Theory), menurut Malayu Hasibuan (2007:203) analisis ilmiah tentang kepemimpinan dimulai dengan memusatkan perhatiannya pada pemimpin itu sendiri. Seorang pemimpin menurut teori sifat ditandai dengan dipunyainya tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dibandingkan bawahannya. Namun demikian tingkat kecerdasan yang jauh lebih tinggi dari bawahannya juga tidak efektif, sebab para bawahan menjadi tidak dapat memahami apa yang diinginkan pemimpin atau tidak memahami gagasan dan kebijakan yang telah digariskan. Oleh karena itu, idealnya seorang pemimpin sebaiknya memiliki kecerdasan yang tidak terlalu tinggi dari bawahannya.

Teori Kelompok
 “Dalam teori kelompok beranggapan bahwa, supaya kelompok bisa mencapai tujuan-tujuannya, maka harus terdapat suatu pertukaran yang positif di antara pemimpin dan pengikut-pengikutnya, terutama dimensi pemberian perhatian kepada para pengikut, dapat dikatakan pemberian perhatian kepada para pengikut dikatakan memberikan dukungan yang positif terhadap perspektif teori kelompok ini” (Thoha, 1996:252).

Teori Situasional dan Model Kontijensi
Kepemimpinan model Fiedler (Fiedler’s Centigency Model), menyatakan ada dua hal yang dijadikan sasaran yaitu mengadakan identifikasi faktor-faktor yang sangat penting di dalam situasi, dan kedua memperkirakan gaya atau prilaku kepemimpinan yang paling efektif di dalam situasi tersebut.

Teori Jalan Kecil – Tujuan (Path – Goal Theory)
 “Dalam pendekatan teori path-goal mempergunakan kerangka teori motivasi. Hal ini merupakan pengembangan yang sehat karena kepemimpinan di satu pihak sangat dekat, berhubungan dengan motivasi kerja dan pihak lain berhubungan dengan kekuasaan”. (Thoha,1996:252)

Pendekatan Social Learning dalam Kepemimpinan
Pendekatan Social Learning merupakan suatu teori yang dapat memberikan suatu model yang menjamin kelangsungan, interaksi timbal balik antar pemimpin, lingkungan dan perilakunya sendiri. Pendekatan Social Learning ini antara pemimpin dan bawahan mempunyai kesempatan untuk bisa memusyawarahkan semua perkara yang timbul. Keduanya, pimpinan dan bawahan mempunyai hubungan interaksi yang hidup dan mempunyai kesadaran untuk menemukan bagaiman caranya menyempurnakan prilaku masing-masing dengan memberikan penghargaan-penghargaan yang diinginkan.

Wednesday, March 7, 2012

Opini Publik Dan Bentuk Komunikasi

March 07, 2012 0
Opini publik dan bentuk komunikasi yang digunakan sesungguhnya bersifat kontekstual sesuai dengan kondisi masyarakat sebagai komunikan (khalayak/audience). Adakalanya komunikasi massa dengan media massa sebagai salurannya, dianggap lebih berpengaruh karena kemampuannya menjangkau khalayak yang relatif sangat luas, serempak, dan kelebihan-kelebihan lain yang dimilikinya. Sedangkan pada konteks masyarakat tertentu dimana daya jangkaunya terhadap media massa masih terbatas dan kepercayaannya terhadap pemimpin masyarakat masih sangat tinggi, maka komunikasi yang sifatnya individual atau komunikasi interpersonal lebih efektif dalam mempengaruhi opini publik. Pada kondisi yang lain, komunikasi kelompok dengan komunikan yang jumlahnya agak banyak namun bisa dijangkau keseluruhan oleh komunikator dan diharapkan intensitasnya tinggi, maka komunikasi kelompok menjadi lebih efektif.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lazarsfeld terhadap perilaku memilih masyarakat Amerika dalam pemilihan presiden tahun 1940 menunjukkan bahwa tidak secara langsung pemilih terpengaruh oleh media massa dalam menentukan pilihannya, tapi justru setelah mendapat “pengaruh” dari pemimpin opini. Pemimpin opini adalah orang-orang yang penting pengaruhnya dalam membentuk opini publik. Menurut Roger dan Shoemaker pemimpin opini adalah pribadi-pribadi tertentu yang memiliki kemampuan mempengaruhi orang lain dalam perilaku opini (opinion behavior) melalui cara yang disukai oleh orang-orang yang dipengaruhi tersebut. Sedangkan pengaruh itu bisa berbentuk informasi, pertimbangan, maupun interpretasi mengenai suatu masalah.
Beberapa ahli memberikan pendapatnya tentang karakteristik pemimpin opini (opinion leaders):
  1. Lazarsfeld : Pemimpin opini memiliki karakteristik: mempunyai posisi yang memiliki kewenangan, mempunyai hubungan dengan sumber-sumber informasi dari luar, mampu menjangkau masyarakat yang menjadi pengikutnya dan berkemauan untuk hidup di tengah orang banyak.
  2. Rogers dan Shoemaker : Pemimpin opini adalah seseorang yang mampu berkomunikasi dengan dunia luar, mampu menjangkau masyarakat yang menjadi pengikutnya, pada umumnya pemimpin opini menempati kedudukan sosial yang lebih tinggi daripada pengikutnya dan dihargai serta diikuti pendapatnya oleh para pengikutnya, biasanya seorang pemimpin opini lebih dulu dari pengikutnya dalam hal menerima gagasan atau hal-hal baru.
  3. Katz : Pemimpin opini terdapat dalam setiap masyarakat, pemimpin opini memiliki banyak kesamaan dengan para pengikutnya, terutama karena tergabung dalam sebuah primary group, sewaktu-waktu pemimpin opini dengan pengikutnya dapat saja bertukar peran.
Menurut Katz, komunikasi interpersonal lebih kuat mempengaruhi opini seseorang daripada komunikasi massa, faktor yang menyebabkan adalah sifat-sifat dari komunikasi massa itu sendiri :
  • Sifat saluran komunikasi massa yang lebih sulit untuk mendapatkan umpan balik (feed back).
  • Dalam komunikasi massa tidak terjadi kontak secara langsung antara komunikator (sumber) dengan komunikan (penerima).
  • Kurang saling mengamati antara sumber dengan penerima, karena tidak mengawasi secara langsung satu sama lain.
Disamping itu, di negara berkembang peran media massa masih relatif terbatas dibandingkan dengan negara maju :
  • Anggota masyarakat yang terjangkau media massa masih relatif sedikit dibandingkan jumlah penduduknya.
  • Isi media massa belum sepenuhnya sesuai dengan apa yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat.
  • Masih relatif rendahnya kepercayaan masyarakat pada media massa, mereka cenderung lebih percaya pada sumber-sumber informasi tatap muka. Tingkat kepercayaan atau kredibilitas penerima informasi (khalayak) terhadap sumber informasi (komunikator) adalah suatu derajat dimana sumber informasi (komunikator) dan saluran komunikasi (media) tertentu diterima sebagai sesuatu yang terpercaya dan berwenang mengenai suatu hal.
Bagi mereka yang meyakini bahwa dalam pembentukan opini publik antara media massa dan masyarakat masih terdapat perantara, didasari pada argumentasi adanya tahapan yang mengantarai saluran komunikasi massa dengan pribadi-pribadi penerima informasi, yaitu jaringan antar pribadi, karena:
  • Pengaruh orang lain dalam suatu keputusan yang dibuat oleh seorang individu cenderung lebih sering terjadi, bahkan lebih efektif daripada pengaruh yang datang dari media massa.
  • Pihak yang mempengaruhi seseorang dalam pengambilan keputusan yang dibuatnya adalah kalangan dekat dari orang yang bersangkutan.
  • Kalangan dekat tersebut cenderung untuk mengendalikan opini dan sikap bersama yang kemudian akan menjadi konsensus pada kelompok yang bersangkutan, meskipun ada himbauan adri media massa.
  • Pengaruh yang datang dari orang yang lebih berperhatian mengenai suatu hal terhadap orang yang perhatiannya kepada hal dimaksud lebih kecil, maka yang disebut belakangan akan membuatnya lebih mudah dipengaruhi.
Sumber : Diktat Pemasaran Politik, Dian Eka Rahmawati, S. IP, M. Si

Monday, March 5, 2012

Pengertian Pemasaran Politik Beserta Cakupannya

March 05, 2012 0
Pemasaran politik sebagai cabang kajian akademis sebenarnya sudah mulai menjadi perhatian ilmuwan komunikasi dan politik pada tahun 1950-an. Namun implementasi konsep pemasaran politik baru berkembang tahun 1980-an ketika media televisi memiliki peran yang sangat penting dalam penyampaian pesan.
Kajian pemasaran politik secara akademis dari waktu ke waktu mengalami pergeseran penekanan (Adman Nursal):
  1. Shama (1975) dan Kotler (1982): menekankan pada proses transaksi yang terjadi antara pemilih dan kandidat.
  2. O’Leary dan Iradela (1976): menekankan pada penggunaan marketing mix untuk mempromosikan partai politik.
  3. Lock dan Harris (1996): menekankan pada proses positioning.
  4. Wring (1997): menekankan pada penggunaan riset opini dan analisa lingkungan.
Dengan demikian, hal yang tampak baru dalam perkembangan pemasaran politik adalah pada penerapan riset pemasaran atau riset opini.
Konsep pemasaran mengalami pergeseran perspektif dari orientasi internal perusahaan (internal oriented) ke orientasi pasar (market oriented). Perusahaan atau produsen saat ini tidak cukup hanya sekedar berorientasi pada produk, tapi juga harus mempehitungkan kondisi pasar yang dihadapi. Dalam orientasi pasar terdapat dua hal yang harus diperhatikan, yaitu: orientasi pada konsumen (customer oriented) dan orientasi pada pesaing (competitor oriented).
Konsep market oriented  yang digunakan dalam pemasaran politik bukan berarti bahwa partai politik atau kandidat harus sepenuhnya memenuhi apa keinginan pasar. Karena masing-masing partai politik juga memiliki ideologi dan aliran pemikiran yang menjadi ciri khasnya.
Konvergensi yang ditawarkan dari pandangan pro dan kontra pemasaran politik adalah bahwa pemasaran politik berbeda dengan pemasaran komersial yang menjual partai atau kandidat kepada pemilih sebagai proses transaksional. Pemasaran politik memerlukan berbagai pendekatan keilmuan dan bersifat khas dibandingkan konsep pemasaran dalam ilmu ekonomi manajemen, karena produk politik sangat berbeda dengan produk komersial baik ditinjau dari karakteristik produk maupun karakteristik konsumen. Pemasaran politik memiliki dimensi yang lebih luas dan menjadi lebih kompleks.
Firmanzah dalam bukunya,  Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas, mengatakan bahwa hal penting yang ingin disampaikan dalam konsep pemasaran politik adalah:
  1. Pemasaran politik menempatkan pemilih sebagai subyek, bukan obyek dari partai politik atau kandidat.
  2. Pemasaran politik menjadikan permasalahan yang dihadapi pemilih sebagai langkah awal dalam menyusun program kerja yang ditawarkan dengan bingkai ideologi masing-masing partai atau kandidat.
  3. Pemasaran politik tidak menjamin sebuah kemenangan, tapi menyediakan tools untuk menjaga hubungan dengan pemilih, sehingga dari sini akan terbangun kepercayaan untuk selanjutnya memperoleh dukungan suara mereka.
Pada dasarnya pemasaran politik adalah strategi kampanye politik untuk membentuk serangkaian makna politis tertentu dalam pikiran para pemilih. Serangkaian makna politis yang terbentuk dalam pikiran para pemilih menjadi orientasi perilaku yang akan mengarahkan pemilih untuk memilih kontestan tertentu. Makna politis inilah yang menjadi output penting dari pemasaran politik.
Pemasaran politik disini merupakan konsep  yang menawarkan bagaimana sebuah partai politik atau kontestan bisa membuat program yang berhubungan dengan permasalahan aktual. Pemasaran politik merupakan konsep yang permanen yang harus dilakukan secara terus menerus oleh partai politik atau kandidat dalam membangun kepercayaan dan image politik. Membangun kepercayaan politik dan image ini hanya bisa dilakukan melalui hubungan jangka panjang antara partai politik atau kandidat dengan pemilih, tidak sekedar pada masa kampanye pemilu saja.
Dengan demikian, pemasaran politik memiliki beberapa fungsi bagi partai politik, yaitu:
  1. Menganalisa posisi pasar, yakni untuk memetakan persepsi dan preferensi pemilih, baik konstituen maupun non-konstituen, terhadap kontestan pemilu.
  2. Menetapkan tujuan obyektif kampanye, marketing effort, dan pengalokasian sumber daya.
  3. Mengidentifikasi dan mengevaluasi alternatif-alternatif strategi.
  4. Mengimplementasikan strategi untuk membidik segmen-segmen tertentu yang disasar berdasarkan sumberdaya yang ada.
  5. Memantau dan mengendalikan penerapan strategi untuk mencapai sasaran obyektif yang telah ditetapkan.
Menurut Lees Marshmant, pemasaran politik harus dilakukan secara kompehensif, karena cakupan pemasaran politik yang luas dan bersifat jangka panjang:
  1. Pemasaran politik lebih dari sekedar komunikasi politik.
  2. Pemasaran politik diaplikasikan dalam keseluruhan proses organisasi partai. Tidak hanya tentang kampanye, tapi juga sampai pada tahap memformulasikan produk politik mulai dari symbol, image, platform partai, dan program yang ditawarkan.
  3. Pemasaran politik menggunakan konsep pemasaran secara luas. Tidak hanya pada teknik pemasaran, namun juga sampai pada strategi pemasaran, mulai dari teknik publikasi, penawaran ide dan program, desain produk, market intelligent, dan pemrosesan informasi.
  4. Pemasaran politik melibatkan banyak cabang ilmu dalam pembahasan dan peneapannya, seperti ilmu ekonomi, ilmu politik, sosiologi, dan psikologi.
  5. Konsep pemasaran politik bisa diterapkan dalam berbagai situasi politik, mulai dari pemilu sampai proses lobi di parlemen.
Nursal menawarkan sebuah framework pemasaran politik yang relatif lebih praktis untuk diaplikasikan. Framework tersebut terdiri dari empat komponen, yaitu:
  1. Lingkungan Pemasaran. Terdiri lingkungan internal dan lingkungan eksternal dari kontestan pemilu. Faktor-faktor internal dan eksternal merupakan input yang diperlukan bagi proses pemasaran. Lingkungan internal terdiri dari: strategi inti, sumberdaya strategis, link dengan pemilih, dan jaringan nilai. Lingkungan eksternal terdiri dari: sistem pemilu, model kompetisi, regulasi pemerintah, sistem media, kultur politik, tingkat modernisasi masyarakat, dan lingkungan demografis.
  2. Proses pemasaran. Meliputi serangkaian aktivitas yang terdiri dari strategic marketing (segmentating, targeting, dan positioningi), penyusunan produk politik (policy, person, party), dan penyampaian produk politik kepada para pemilih (push marketing, pull marketing, pass marketing).
  3. Pasar sasaran. Terdiri dari pasar perantara (influencer, media massa, dan pemilih). Para influencer dan media massa pada akhirnya juga akan berperan menyampaikan produk politik.
  4. Output pemasaran. Terdiri dari makna politis yang diterima oleh masyarakat yag akan mempengaruhi perilaku pemilih (orientasi perilaku pemilih).

Sumber : Diktat Pemasaran Politik, Dian Eka Rahmawati, S. IP, M. Si

Saturday, March 3, 2012

Sekilas Pengetahuan Tentang Kampanye

March 03, 2012 5
Menurut Pfau dan Parrot kampanye merupakan suatu proses yang dirancang secara sadar, bertahap, dan berkelanjutan yang dilaksanakan pada rentang waktu tertentu dengan tujuan mempengaruhi khalayak sasaran yang telah ditetapkan. Leslie B Snyder mendefinisikan kampanye komunikasi sebagai tindakan komunikasi yang terorganisasi yang diarahkan pada khalayak tertentu, pada periode waktu tertentu, guna mencapai tujuan tertentu. Definisi lain yang populer adalah yang disampaikan oleh Rogers dan Storey, dimana mereka mendefinisikan kampanye sebagai serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan untuk menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka aktivitas kampanye bisa diidentifikasikan dalam empat unsur, yaitu: tindakan kampanye ditujukan untuk menciptakan efek atau dampak tertentu, jumlah khalayak sasaran yang besar, dipusatkan dalam kurun waktu tertentu, dan melalui serangkaian tindakan komunikasi yang terorganisir.
Kampanye secara umum dapat dibedakan ke dalam tiga kategori berdasarkan motivasi kampanye, seperti diungkapkan oleh Charles U. Larson. Ketiga jenis kampanye itu adalah:
  • product oriented campaigns atau kampanye yang berorientasi produk, pada umumnya terkait dengan bisnis. Dalam istilah yang lain kampanye ini juga disebut sebagai commercial campaigns. Motivasi yang mendasarinya adalah untuk memperoleh keuntungan finansial.
  • candidates oriented campaigns atau kampanye yang berorientasi pada kandidat dan umumnya dimotivasi untuk mendapatkan kekuasaan politik. Oleh karena itu, kampanye jenis ini juga sering disebut sebagai political campaigns atau kampanye politik. Tujuannya antara lain untuk memenangkan pemilu atau menduduki jabatan politik.
  • ideologically or cause oriented campaigns, yaitu jenis kampanye yang berorientasi pada tujuan-tujuan yang bersifat khusus atau seringkali berdimensi perubahan sosial. Oleh karena itu, kampanye jenis ini sering juga disebut sebagai social change campaigns yang bertujuan untuk menangani masalah-masalah sosial melalui perubahan sikap dan perilaku publik yang terkait. Pada dasarnya, berbagai jenis kampanye yang tidak termasuk dalam kampanye produk dan kampanye politik bisa dimasukkan dalam jenis kampenye perubahan sosial.
Tahap awal dari kegiatan kampanye biasanya diarahkan untuk menciptakan perubahan pada tataran pengetahuan atau kognitif. Pada tahap ini pengaruh yang diharapkan adalah munculnya awareness (kepedulian) tentang isu tertentu. Tahap berikutnya diarahkan untuk menciptakan perubahan attitude (sikap) Sasarannya adalah untuk memunculkan rasa simpati dan keberpihakan khalayak pada isu-isu yang menjadi tema kampanye. Kemudian tahap terakhir adalah menciptakan perubahan perilaku.


Sumber : Diktat Pemasaran Politik, Dian Eka Rahmawati, S. IP, M. Si