Blognya Anak Kuliahan

Showing posts with label Kebijakan Publik. Show all posts
Showing posts with label Kebijakan Publik. Show all posts

Thursday, August 21, 2014

Cara Menghitung Nilai Kelulusan Passing Grade Tes Kompetensi Dasar (TKD) Pada CPNS 2014

August 21, 2014 0
Menurut Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negaran dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Nomor 35 Tahun 2013, nilai ambang batas (passing grade) Tes Kompetensi Dasar (TKD) adalah nilai minimal yang harus dipenuhi oleh setiap peserta seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil.

Sepertinya tidak ada perubahan mengenai patokan passing grade pada seleksi CPNS tahun 2014 dengan tahun 2013 lalu. Di tahun 2013 kemarin pemerintah juga menetapkan angka kelulusan tes cpns bagi ujian CAT dan juga LJK karena di tahun yang lalu masih memakai sistem Lembar Jawab Komputer.

Pada tahun 2013 kemarin terdapat perbedaan antara jumlah soal dan pemberian bobot nilai untuk masing-masing metode CAT dan LJK.

Jumlah soal dalam Tes CAT sebanyak 100 soal, terdiri dari 35 soal Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), 30 soal Tes Intelegensia Umum (TIU), dan 35 soal Tes Karakteristik Pribadi (TKP). Bobot nilai setiap soal untuk TWK dan TIU adalah 5 untuk jawaban yang benar dan 0 untuk jawaban yang salah salah. Khusus untuk soal TKP tidak ada jawaban yang salah, akan tetapi setiap jawaban akan diberikan nilai 1 s/d 5. Sehingga nilai maksimal yang akan didapatkan oleh peserta CPNS melalui mekanisme CAT adalah 500.

Sedangkan untuk jumlah soal LJK sedikit lebih banyak yaitu sebanyak 120 soal, terdiri dari 40 soal Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), 35 soal Tes Intelegensia Umum (TIU), dan 45 soal Tes Karakteristik Pribadi (TKP). Bobot pemberian nilai untuk setiap soal LJK juga berbeda dengan model CAT. Untuk TWK dan TIU adalah 4 untuk jawaban yang benar dan 0 untuk jawaban yang salah salah. Khusus untuk soal TKP tidak ada jawaban yang salah, akan tetapi setiap jawaban akan diberikan nilai 1 s/d 4. Sehingga nilai maksimal yang akan didapatkan oleh peserta CPNS melalui mekanisme LJK adalah 480.

Berikut cara menghitung nilai ambang batas (passing grade) Tes Kompetensi Dasar seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil dari pelamar umum tahun 2014, bagi instansi yang seleksinya menggunakan Computer Assisted Test (CAT) ditetapkan berdasarkan kriteria: (Permen PAN-RB No. 35 Tahun 2013)
  • 60 % dari nilai maksimal (175) Tes Karakteristik Pribadi dengan jumlah soal 35,
  • 50 % dari nilai maksimal (150) Tes Intelegensia Umum dengan jumlah soal 30,
  • 40 % dari nilai maksimal (175) Tes Wawasan Kebangsaan dengan jumlah soal 35.

Berikut cara menghitung nilai ambang batas (passing gradenilai ambang batas Tes Kompetensi Dasar seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil dari pelamar umum tahun 2014, bagi instansi yang seleksinya menggunakan Lembar Jawaban Komputer (LJK) ditetapkan berdasarkan kriteria: (Permen PAN-RB No. 35 Tahun 2013)
  • 60 % dari nilai maksimal nilai (180) Tes Karakteristik Pribadi dengan jumlah soal 45,
  • 50 % dari nilai maksimal (140) Tes Intelegensia Umum dengan jumlah soal 35,
  • 40 % dari nilai maksimal (160) Tes Wawasan Kebangsaan dengan jumlah soal 40.


Lulus Passing Grade Belum Tentu Lolos Menjadi CPNS

Ada kejadian menarik pada pelaksanaan seleksi CPNS tahun 2013 lalu, yaitu ketika pengumuman kelulusan tes CPNS Pemerintah Daerah (kebetulan tahun lalu hanya menggunakan TKD sebagai kelulusan, tanpa ada TKB). Banyak yang terheran-heran karena merasa telah memenuhi passing grade tapi dinyatakan tidak lulus CPNS. Akhirnya banyak yang melakukan pengaduan bahwa merasa dicurangi. Padahal sebenarnya tidak begitu. Lulus passing grade tidak menjadi jaminan untuk otomatis diterima sebagai PNS. Faktor jumlah formasi yang disediakan juga ikut berpengaruh dalam menentukan lulus atau tidaknya.

Sebagai contoh:
Pemerintah Propinsi Aceh membuka lowongan formasi untuk jurusan Manajemen sebanyak 4 formasi. Peserta yang mendaftar untuk formasi tersebut sebanyak 100 orang, yang lulus passing grade sebanyak 30 orang. Karena kebutuhan pegawai pada Pemerintah Propinsi Aceh cuma 4 orang, sebanyak 26 dari 30 peserta yang lulus passing grade harus disisihkan, metode yang digunakan adalah dengan hanya mengambil 4 peserta yang nilainya tertinggi.

Pelajaran yang dapat diambil pada seleksi tahun 2013 yang lalu adalah pentingnya strategi dalam memilih instansi dan formasi. Para peserta harus pandai-pandai memperhitungkan peluang kelulusannya pada instansi yang dilamar dengan melihat jumlah alokasi formasi. Selain itu juga perlu persiapan yang matang, dan juga butuh sedikit lucky factor, karena orang pintar kalah sama orang bejo (bukan iklan lho.. hehe).







Wednesday, July 23, 2014

Daftar Rincian Gaji PNS Tahun 2014 Menurut PP No 34 Tahun 2014

July 23, 2014 0
Bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS), pertengahan tahun 2014 ini mungkin bisa tersenyum lebar. Pasalnya beberapa hari yang lalu, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 2014 tentang Perubahan Keenambelas Atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 mengenai gaji pegawai negeri sipil.

Berdasarkan PP No. 22/2013, gaji pokok PNS terendah tahun lalu adalah Rp 1.323.000/bulan yaitu untuk Golongan I a dengan masa kerja 0 tahun. Sementara yang tertinggi adalah Rp 5.002.000/bulan yaitu untuk Golongan IV e dengan masa bakti 32 tahun.

Dalam PP 34 2014, perhitungan kenaikannya sebesar 7% dibanding gaji PNS tahun 2013 lalu. Dikutip dari aturan tersebut, gaji terendah PNS adalah Rp 1.402.400/bulan. Gaji pokok tersebut untuk PNS Golongan I a dengan masa kerja 0 tahun.

Sementara gaji pokok tertinggi PNS adalah Rp 5.302.100/bulan. Seorang PNS bisa mencapai gaji ini setelah mencapai Golongan IVe dengan masa kerja 32 tahun. Dibandingkan dengan tahun lalu, gaji PNS rata-rata naik di kisaran 7%.

Selain gaji, PNS juga mendapatkan tunjangan dan fasilitas. Tunjangan yang didapat adalah tunjangan kinerja dan kemahalan. Untuk tunjangan kinerja dibayarkan sesuai pencapaian kinerja.

Sementara tunjangan kemahalan dibayarkan sesuai dengan tingkat kemahalan berdasarkan indeks harga yang berlaku di daerah masing-masing.

Untuk PNS di pemerintah pusat, tunjangan dibebankan pada APBN sedangkan yang di daerah dibebankan ke APBD. Selain itu pemerintah wajib memberikan perlindungan kepada PNS berupa jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian dan bantuan hukum.

Berikut ini tabel kenaikan gaji pokok PNS 2014 menurut PP No 34 Tahun 2014 selengkapnya: (Sumber: http://diklikbro.blogspot.com/2014/06/kenaikan-gaji-pns-2014.html)





Mau e-Book dan Software CPNS 2014???

Friday, December 20, 2013

Ini dia Daftar Upah Minimum Provinsi (UMP) di Indonesia Tahun 2014

December 20, 2013 1

Pemerintah dan buruh selalu bersitegang terkait penetapan upah minimum provinsi (UMP) setiap tahunnya. Tak pernah ada sepakat yang sama antara pemerintah, buruh dan pengusaha dalam setiap pengambilan keputusan soal UMP yang dilakukan melalui rapat Dewan Pengupahan Nasional.

Bahkan pada penetapan UMP 2014, diwarnai aksi demo yang digelar buruh secara marathon dan besar-besaran. Buruh meminta pemerintah menetapkan kenaikan upah tahun depan hingga 50%. Meski pada akhirnya, buruh harus gigit jari karena kenaikan upah tak sebesar yang mereka impikan. 

Tercatat para kepala daerah hanya menaikkan upah sama dengan besaran Komponen Hidup Layak (KHL). Kalaupun naik, hanya sedikit alias tak signifikan dari angka KHL.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans), ini dia daftar penetapan UMP di 28 dari 33 provinsi di Indonesia, Kamis (12/12/2013) :
SUMATERA
1
Nangroe Aceh Darussalam
1.550.000
1.750.000
12,90
2
Sumatera Utara
1.375.000
1.505.850
9,52
3
Sumatera Barat
1.350.000
1.490.000
10,37
4
Riau
1.400.000
1.700.000
21,43
5
Kepri
1.365.087
1.665.000
21,97
6
Jambi
1.300.000
1.502.230
15,56
7
Sumatera Selatan
1.630.000
1.825.600
12
8
Bangka Belitung
1.265.000
1.640.000
29,64
9
Bengkulu
1.200.000
1.350.000
12,50
JAWA, BALI, NTB & NTT




10
Banten
1.170.000
1.325.000
13,25
11
DKI Jakarta
2.200.000
2.441.000
10,95
12
Bali
1.181.000
1.542.600
30,62
13
NTB
1.100.000
1.210.000
10
14
NTT
1.010.000
1.150.000
13,86










KALIMANTAN
15
Kalimantan Barat
1.060.000
1.380.000
30,19
16
Kalimantan Selatan
1.337.500
1.620.000
21,12
17
Kalimantan Tengah
1.553.127
1.723.970
11
18
Kalimantan Timur
1.752.073
1.886.315
7,66
SULAWESI
19
Gorontalo
1.175.000
1.325.000
12,77
20
Sulawesi Utara
1.550.000
1.900.000
22,58
21
Sulawesi Tenggara
1.125.207
1.400.000
24,42
22
Sulawesi Tengah
995.000
1.250.000
25,63
23
Sulawesi Selatan
1.440.000
1.800.000
25
24
Sulawesi Barat
1.165.000
1.400.000
20,17
MALUKU & PAPUA
25
Maluku
1.275.000
1.415.000
10,98
26
Maluku Utara
1.200.622
1,440,746
20
27
Papua
1.710.000
1,900,000
11,11
28
Papua Barat
1.720.000
1.870.000
8,72

Sumber : liputan6.com


Sunday, May 12, 2013

Persyaratan Menjadi Caleg (Menurut Undang-undang Nomor 8 tahun 2012)

May 12, 2013 1

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, BAB VII, Bagian Kesatu tentang Persyaratan Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Pasal 51 menulis syarat bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota adalah Warga Negara Indonesia (WNI) yang memenuhi persyaratan, sebagai berikut:
  1. Telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih.
  2. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
  3. Bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  4. Cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia.
  5. Berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau pendidikan lain yang sederajat.
  6. Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.
  7. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
  8. Sehat jasmani dan rohani.
  9. Terdaftar sebagai pemilih.
  10. Bersedia bekerja penuh waktu.
  11. Mengundurkan diri sebagai kepala daerah, wakil kepala daerah, pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah atau badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali.
  12. Bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), atau tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  13. Bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara.
  14. Menjadi anggota Partai Politik Peserta Pemilu.
  15. Dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan; dan
  16. Dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan.

Friday, April 5, 2013

Ini Persyaratan Ikut Lelang Camat dan Lurah di Provinsi DKI Jakarta

April 05, 2013 3

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membuka pendaftaran peserta lelang jabatan lurah dan camat. Bagi yang berminat dipersilakan mendaftar secara online di situs resmi Pemprov DKI, www.jakarta.go.id. Berikut syarat peserta lelang jabatan yang ada di situs tersebut:

Persyaratan Seleksi Terbuka Camat
  1. Usia paling tinggi 52 (lima puluh dua) tahun;
  2. Pangkat paling rendah III/d;
  3. Telah mengikuti Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat IV, kecuali yang menduduki Jabatan Fungsional;
  4. Menduduki jabatan Eselon IV a atau Eselon III b, kecuali yang menduduki Jabatan Fungsional;
  5. Pendidikan paling rendah Strata 1 (S1);
  6. Semua unsur penilaian prestasi kerja paling kurang bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir;
  7. Tidak sedang menjalani hukuman disiplin;
  8. Tidak berstatus sebagai tersangka;
  9. Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan sehat dan bebas narkoba dari Rumah Sakit pemerintah yang ditunjuk; dan
  10. Bukan merupakan Pejabat Fungsional yang berasal dari Rumpun Pendidikan dan Rumpun Kesehatan


Persyaratan Seleksi Terbuka Lurah
  1. Usia paling tinggi 52 (lima puluh dua) tahun;
  2. Pangkat paling rendah III/c dan paling tinggi III/d;
  3. Pendidikan paling rendah Strata 1 (S1);
  4. Semua unsur penilaian prestasi kerja paling kurang bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir;
  5. Tidak sedang menjalani hukuman disiplin;
  6. Tidak berstatus sebagai tersangka;
  7. Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan sehat dan bebas narkoba dari Rumah Sakit Pemerintah yang ditunjuk; dan
  8. Bukan merupakan Pejabat Fungsional yang berasal dari rumpun pendidikan dan rumpun kesehatan.


Pendaftaran lelang jabatan lurah dan camat ini berlangsung mulai 8 April 2013 hingga 22 April 2013. Pendaftaran dilakukan melalui situs resmi Pemprov DKI. Pemerintah DKI menjamin proses seleksi tidak kenakan biaya sepserpun dan tidak dikenakan pungutan.

Sementara itu, wakil camat dan wakil lurah yang sedang menjabat tidak dikenakan syarat usia minimal 52 tahun. Lelang jabatan itu sendiri harus diikuti oleh seluruh pejabat lurah dan camat yang masih menjabat hingga saat ini. Mereka dianggap mengundurkan diri jika tidak mengikuti proses seleksi lelang tersebut.

Para peserta lelang harus mengikuti sejumlah tahap seleksi yang sudah disiapkan oleh Badan Kepegawaian Daerah DKI Jakarta. Tahapan itu di antaranya seleksi administrasi, kesehatan, pengetahuan, pemaparan diri serta visi-misi, tes psikologi, uji kepemimpinan, serta wawancara.

Kepala BKD I Made Karmayoga memastikan, lelang dibuka untuk 267 jabatan lurah dan 44 camat. Pemaparan para kandidat akan dipampang secara terbuka agar masyarakat bisa menilai kemampuan dari tiap calonnya. (sumber)

Friday, March 29, 2013

Jumlah Alokasi Kursi DPRD Provinsi dan DPRD Kota/Kabupaten Pada Pemilu 2014

March 29, 2013 0

Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan alokasi kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi dan kota/kabupaten se-Indonesia untuk Pemilu tahun 2014 meningkat. Jumlah kursi DPRD provinsi bertambah dari 2.008 kursi pada Pemilu 2009 menjadi 2.137 kursi pada Pemilu 2014. Artinya, ada penambahan 134 kursi DPRD provinsi secara nasional. Penambahan kursi DPRD provinsi terjadi di 12 provinsi. Rinciannya sebagai berikut ;
  1. Aceh 81 kursi
  2. Sumatera Barat 65 kursi
  3. Riau 65 kursi
  4. Jambi 55 kursi
  5. Lampung 85 kursi
  6. DKI Jakarta 106 kursi
  7. NTB 65 kursi
  8. NTT 65 kursi
  9. Kalimantan Barat 65 kursi
  10. Sulawesi Selatan 85 kursi
  11. Papua Barat 56 kursi; dan
  12. Papua 69 kursi.


Pertambahan jumlah kursi yang signifikan terjadi DKI Jakarta karena DKI memiliki Undang-Undang khusus yang memungkinkan penambahan 25 persen. Jika hanya merujuk ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu, jatah kursi DPRD DKI Jakarta hanya 94 kursi. Namun, karena kewajiban penambahan 25 persen atau sebanyak 21 kursi, total kursi DPRD DKI menjadi 106 kursi.

Sedangkan dalam hal kursi DPRD kota/kabupaten, ada yang bertambah, berkurang dan tetap. Dari 497 kota/kabupaten se-Indonesia, sebanyak 179 kota/kabupaten bertambah, 17 kota/kabupaten justru berkurang, dan 301 kota/kabupaten tetap seperti pada Pemilu 2009. Untuk jumlah kursi DPRD kota/kabupaten yang bertambah adalah menjadi 17.560 kursi dari 16.345 kursi pada Pemilu 2009. Dengan demikian ada pertambahan 1.215 kursi DPRD kota/kabupaten se-Indonesia.

Perubahan jumlah kursi terjadi karena adanya perubahan jumlah penduduk yang mengacu pada DAK2 (Data Agregat Kependudukan per Kecamatan) dari Kementerian Dalam Negeri. Dibanding data kependudukan pada Pemilu 2009, terjadi perubahan jumlah penduduk yang cukup signifikan di beberapa kabupaten/kota. Jumlah penduduk yang berkurang, bisa terjadi karena pemekaran wilayah. Sumber untuk menghitung jumlah kursi untuk tiap-tiap daerah pemilihan didasarkan pada DAK2 yang diterima KPU dari Kementerian Dalam Negeri pada Desember tahun lalu.

Undang-Undang mengatur, untuk provinsi berpenduduk 1 juta jiwa dialokasikan 35 kursi, provinsi berpenduduk 1-3 juta jiwa penduduk dialokasikan 45 kursi, provinsi berpenduduk 3-5 juta jiwa dialokasikan 55 kursi, dan seterusnya. Untuk DPRD kabupaten/kota, jika berpenduduk 100 ribu jiwa dialokasikan 20 kursi, 100 ribu-200 ribu jiwa dialokasikan 25 kursi, 200 ribu-300 ribu dialokasikan 30 kursi, dan seterusnya.

Sunday, March 10, 2013

Mekanisme Penetapan Jumlah Kursi dan Dapil Dalam Pemilu

March 10, 2013 0

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU No. 8/2012) sudah menetapkan alokasi kursi dan daerah pemilihan untuk anggota DPR RI yang tercantum dalam lampiran undang-undang tersebut. Sementara penentuan alokasi kursi dan daerah pemilihan untuk anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dilakukan oleh KPU.

Dalam menentukan alokasi kursi dan daerah pemilihan untuk masing-masing lembaga perwakilan agar dapat proporsional, para ahli merumuskan beberapa prinsip yang perlu diikuti dalam melakukan penghitungan alokasi kursi dan pembentukand daerah pemilihan. Prinsip-prinsip tersebut yaitu: kesetaraan populasi, integralitas wilayah, kesinambungan wilayah, pencakupan wilayah (coterminus), kohesivitas penduduk, dan perlindungan petahana (preserving of incumbent).

Prinsip kesetaraan populasi adalah harga kursi dibanding penduduk kurang lebih sama antara daerah pemilihan yang satu dengan daerah pemilihan yang lain. Ini juga bagian dari pemenuhan prinsip opovov (one person, one vote, one value) dalam pemilu demokratis. Oleh karena itu prinsip ini harus ditempatkan sebagai prinsip nomor 1 sehingga bisa dihindari terjadinya diskriminasi politik, karena nilai suara/penduduk di satu daerah pemilihan lebih murah/mahal daripada nilai suara/penduduk di daerah pemilihan yang lain.

Prinsip integralitas wilayah berarti satu daerah pemilihan harus integral secara geografis, yang sejalan dengan prinsip kesinambungan wilayah, yaitu suatu daerah pemilihan harus utuh dan saling berhubungan secara geografis. Secara umum pembentukan wilayah administrasi juga memperhatikan masalah ini, sehingga penggunaan wilayah administrasi sebagai peta dasar pembentukan daerah pemilihan sebagaimana dikehendaki UU No. 8/2012 tidak mengganggu penerapan prinsip integralitas dan kesinambungan wilayah ini.

Prinsip pencakupan wilayah atau coterminus maksudnya adalah suatu daerah pemilihan lembaga perwakilan tingkat bawah harus menjadi bagian utuh dari daerah pemilihan lembaga perwakilan lebih tinggi, atau satu daerah pemilihan lembaga tingkat bawah tidak boleh berada di dua daerah atau lebih daerah pemilihan lembaga perwakilan lebih tinggi. Prinsip ini untuk memudahkan penyaluran aspirasi secara berjenjang  ke lembaga perwakilan, atau sebaliknya untuk memudahkan penggalian aspirasi ke bawah. Bagi pemilu Indonesia yang penyelenggaraan pemilu DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dilakukan secara serentak penerapan prinsip ini tidak hanya memudahkan partai politik dan calon anggota legislatif dalam berhubungan dengan konstituen di daerah pemilihan, tetapi juga memudahkan petugas pemilu dalam menjalankan tugasnya.

Prinsip kohesivitas penduduk berarti suatu daerah pemilihan hendaknya dapat menjaga kesatuan unsur sosial budaya punduduk dan menjaga keutuhan kelompok minoritas. Kesatuan unsur sosial budaya penting untuk menyatukan kepentingan yang akan diperjuangkan oleh para wakil di parlemen. Keutuhan kelompok minoritas juga perlu dijaga agar mereka mendapatkan kepastian untuk memiliki wakil di parlemen. Prinsip kohesivitas ini tidak begitu masalah diterapkan dalam pembentukan daerah pemilihan DPR, tetapi ketika diterapkan dalam pembentukan daerah pemilihan DPRD Provinsi dan lebih-lebih lagi DPRD Kabupaten/Kota, khususnya di luar Jawa, menimbulkan masalah yang kompleks. Di sinilah diperlukan kehati-hatian dan kebijakan KPU dalam menetapkan daerah pemilihan

Terakhir prinsip perlindungan petahana, maksudnya suatu daerah pemilihan harus memberi jaminan kepada petahana untuk bisa berkompetisi dan meraih kursi perwakilan yang tersedia. Ini penting karena hubungan wakil dengan penduduk yang diwakili perlu dijaga agar memudahkan penyaluran dan perjuangan kepentingan penduduk yang diwakili. Prinsip ini jarang dipraktikkan pada pemilu proporsional yang memiliki banyak kursi di daerah pemilihan, tetapi lazim diterapkan di pemilu mayoritarian yang memiliki hanya 1 kursi di daerah pemilihan.

Tentu tidak semua prinsip-prinsip pembentukan daerah pemilihan pemilu demokratis tersebut bisa diterapkan dalam waktu bersamaan. Kondisi geografis wilayah, jumlah penduduk, dan keragaman penduduk, menyebabkan penerapan satu prinsip bisa menegasikan prinsip yang lain. Oleh karena itu penerapan prinsip tersebut selalu diurutkan berdasarkan prioritas. Prinsip kesetaraan populasi selalu menjadi prioritas pertama guna menghindari terjadinya diskriminasi politik. Prinsip integralitas dan kesinambungan wilayah menjadi prioritas kedua, lalu disusul prinsip pencakupan wilayah, dan baru kohesivitas penduduk. Dalam konteks pemilu Indonesia, prinsip perlindungan petahana, bisa diabaikan.

Demi menegakkan prinsip kesetaraan populasi, maka penghitungan alokasi kursi ke daerah pemilihan, dipergunakan metode penghitungan yang hasilnya proporsional. Dua metode proporsional yang dikenal adalah metode kuota dan metode divisor. Metode divisor, khususnya varian Webster/St Lague dikenal paling proporsional dan tidak menimbulkan paradoks. Namun metode ini belum banyak dikenal di Indonesia sehingga tidak perlu dipaksakan penggunaannya dalam penyusunan daerah pemilihan, terutama untuk DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

Penyusunan daerah pemilihan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 8/2012, tidak semata-mata utuk menghilangkan daerah pemilihan yang berkursi lebih dari 12, tetapi juga untuk menyesuaikan dengan perkembangan jumlah penduduk, perubahan geografi, dan perkembangan wilayah administrasi pemerintahan. Oleh karena itu penyusunan kembali daerah pemilihan tidak bisa dilakukan hanya berpijak pada daerah pemilihan yang ada atau yang digunakan dalam pemilu terakhir. Penyusunan daerah pemilihan harus dimulai dari tahap awal, sedangkan daerah pemilihan yang ada berlaku sebagai pembanding atau kontrol untuk memastikan sesuai-tidaknya pembentukan daerah pemilihan baru itu dengan kehendak undang-undang dan prinsip pemilu pembentukan daerah pemilihan dalam pemilu demokratis.

Dengan demikian langkah-langkah penyusunan daerah pemilihan DPRD Provinsi adalah sebagai berikut:
  1. Menghitung jumlah kursi masing-masing provinsi sesuai ketentuan Pasal 23 UU No. 8/2012. (Khusus untuk jumlah kursi DPRD DKI Jakarta, peraturan KPU perlu membuat ketentuan khusus, bahwa penambahan ¼ kursi tidak boleh melampau batas maksimal 100 kursi setiap provinsi, demi menjaga keadilan dengan provinsi yang mempunyai penduduk lebih banyak)
  2. Menghitung Bilangan Pembagi Penduduk Provinsi atau BPPd Provinsi, dengan membagi jumlah penduduk provinsi dengan jumlah kursi provinsi. BPPd Provinsi berupa bilangan utuh, jika ada bilangan pecahan dibulatkan.
  3. Menghitung alokasi kursi masing-masing kabupaten/kota, dengan cara membagi jumlah penduduk masing-masing kabupaten/kota dengan BPPd Provinsi. Perolehan kursi berupa angka, dengan dua angka di belakang koma. Jika ada banyak bilangan angka di belakang koma, dibulatkan menjadi dua.
  4. Membentuk daerah pemilihan, dengan ketentuan: pertama, apabila ada dua atau lebih kabupaten/kota berbatasan yang mendapat kursi kurang dari 12, bisa digabungkan menjadi satu daerah pemilihan dengan kursi maksimal 12; kedua, apabila ada kabupaten/kota yang memiliki kursi mendekati 12, tetapi jika digabungkan dengan kabupaten/kota yang berbatasan menjadi lebih dari 12, bisa berdiri sendiri menjadi daerah pemilihan; ketiga, apabila ada kabupaten/kota memiliki lebih dari 12 kursi bisa dipecah menjadi dua atau lebih daerah pemilihan.

Untuk daerah pemilihan DPRD Provinsi perlu diantisipasi kemungkinan terdapat kecamatan yang sangat banyak penduduknya, sehingga kecamatan itu memiliki lebih dari 12 kursi. Oleh karena perlu ketentuan kekecualian di mana kecamatan tersebut bisa dipecah dimana satu atau berapa desa/kelurahan disatukan dengan kecamatan lain yang masih dalam satu kabupaten/kota. Pemecahan seperti ini selain tetap menjaga prinsip kesetaraan populasi, juga tidak melanggar undang-undang karena masih masuk dalam pengertian “bagian kabupaten/kota”

Sementara langkah-langkah penyusunan daerah pemilihan DPRD Kabupaten/Kota adalah sebagai berikut:
  1. Menghitung jumlah kursi masing-masing daerah sesuai ketentuan Pasal 26, UU No. 8/2012.
  2. Menghitung Bilangan Pembagi Penduduk Kabupaten/Kota atau BPPd Kabupaten/Kota, dengan membagi jumlah penduduk kabupaten/kota dengan jumlah kursi Kabupaten/Kota. BPPd kabupaten/kota berupa bilangan utuh, jika ada bilangan pecahan dibulatkan.
  3. Menghitung alokasi kursi masing-masing kecamatan, dengan cara membagi jumlah penduduk masing-masing kecamatan dengan BPPd kabupaten/kota. Perolehan kursi berupa angka, dengan dua angka di belakang koma. Jika ada banyak bilangan angka dibelakang koma, dibulatkan menjadi dua.
  4. Membentuk daerah pemilihan, dengan ketentuan: pertama, apabila ada dua atau lebih kacamatan berbatasan yang mendapat kursi kurang dari 12, bisa digabungkan menjadi satu daerah pemilihan dengan kursi maksimal 12; kedua, apabila ada kacamatan yang memiliki kursi mendekati 12, tetapi jika digabungkan dengan kecamatan yang berbatasan menjadi lebih dari 12, bisa berdiri sendiri menjadi daerah pemilihan; ketiga, apabila ada kecamatan memiliki lebih dari 12 kursi bisa dipecah menjadi dua atau lebih daerah pemilihan.

Untuk daerah pemilihan DPRD kabupaten/kota perlu diantisipasi kemungkinan terdapat desa/keluarhan yang sangat banyak penduduknya, sehingga desa/keluarahan itu memiliki lebih dari 12 kursi. Oleh karena perlu kententuan kekecualian di mana desa/kelurahan tersebut bisa dipecah dimana satu atau beberapa RW/RW disatukan dengan desa/keluaran lain yang masih dalam satu kecamatan. Pemecahan seperti ini selain menjaga prinsip kesetaraan populasi, juga tidak melanggar undang-undang karena masih masuk dalam pengertian “bagian kecamatan”. (sumber)

Saturday, March 9, 2013

10 Lembaga Nonstruktural Diusulkan Bubar

March 09, 2013 0

Kementerian Pendayagunaan dan Aparatur Negara (PAN) dan Reformasi Birokrasi (RB) merekomendasikan pembubaran atau penggabungan terhadap 10 lembaga nonstruktural. Rencana tersebut diusulkan Kementerian PAN atas hasil pengkajian terhadap keberadaan 90 lembaga nonstruktural. Juga disebabkan beberapa hal, seperti adanya tumpang tindihnya tugas, ketidakaktifan lembaga, dan tidak tercatatnya nama lembaga.

Sepuluh lembaga tersebut yakni;

  1. Komisi Hukum Nasional (KHN)
  2. Dewan Gula Indonesia (DGI)
  3. Dewan Buku Nasional
  4. Lembaga Kordinasi dan Pengendalian Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat (LKP2PACA)
  5. Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional (DEPANRI)
  6. Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia
  7. Badan Pengembangan Kawasan Ekonomi Terpadu (KAPET)
  8. Badan Kebijakan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Permukiman Nasional (BKP4N)
  9. Direktorat Pengawasan Norma Kerja Perempuan dan Anak Kemenakertrans di Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (KANBPTUA)
  10. Komite Antardepartemen bidang Kehutanan.



Thursday, March 7, 2013

Menyongsong Penerapan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP): Menuju Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik

March 07, 2013 0

PENDAHULUAN
Sudah hampir dua tahun Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) terbit. Perancangan PP tersebut diprakarsai oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagai pelaksanaan dari pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. SPIP bertujuan untuk memberikan keyakinan yang memadai bagi tercapainya efektivitas dan efisiensi dalam pencapaian tujuan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Dengan adanya PP-SPIP maka setiap menteri/pimpinan lembaga, gubernur, bupati/walikota wajib melakukan pengendalian atas penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dengan berpedoman pada SPIP sebagaimana disebutkan dalam  pasal 2 ayat (1), dan sekaligus bertanggung jawab atas efektivitas penyelenggaraan sistem pengendalian intern di lingkungan masing-masing. Ketua BPK ketika itu, Anwar Nasution, menanggapi positif terbitnya PP-SPIP dengan mengatakan bahwa PP tersebut telah lama ditunggu-tunggu BPK. Salah satu alasan mengapa BPK berkali-kali memberikan opini disclaimer atau tidak memberikan opini terhadap laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) antara lain karena belum memadainya SPIP serta belum adanya SPIP yang melembaga. Setelah dua tahun terbit, bagaimanakah progress implementasi dari PP-SPIP tersebut?.


UNSUR-UNSUR SPIP
Keberadaan SPIP merupakan suatu langkah maju mengingat selama ini belum ada panduan minimal bagi instansi pemerintah pada saat akan merancang pengendalian intern. Sistem pengendalian intern (SPI) dalam PP-SPIP diartikan sebagai proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan mamadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui empat pilar yaitu:
  1. efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan;
  2. keandalan pelaporan keuangan;
  3. pengamanan aset negara; dan
  4. ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.

Sedangkan SPIP adalah sistem pengendalian intern yang diselenggarakan secara menyeluruh di lingkungan pemerintah pusat dan daerah. Unsur Sistem Pengendalian Intern (SPI) dalam PP-SPIP mengacu pada unsur SPI yang telah dipraktikkan di lingkungan pemerintahan di berbagai negara, yaitu meliputi 5 unsur:
  1. lingkungan pengendalian (8 sub unsur);
  2. penilaian risiko (2 sub unsur);
  3. kegiatan pengendalian (11 sub unsur);
  4. informasi dan komunikasi (2 sub unsur); dan
  5. pemantauan pengendalian intern (3 sub unsur).

Untuk terwujudnya SPIP yang kuat dan efektif, maka kelima unsur SPIP tersebut harus diterapkan secara terintegrasi dan menjadi bagian integral dari kegiatan instansi pemerintah. Penerapan secara terintegrasi dimaksudkan agar seluruh unsur tersebut diterapkan, dimulai dari pengembangan unsur lingkungan pengendalian (8 sub unsur), sampai pada unsur pemantauan pengendalian intern (3 sub unsur).

PP-SPIP menegaskan bahwa pimpinan instansi pemerintah wajib menciptakan dan memelihara lingkungan pengendalian yang menimbulkan perilaku positif dan kondusif untuk penerapan SPI dalam lingkungan kerjanya (pasal 4), melakukan penilaian resiko (pasal 13), menyelenggarakan kegiatan pengendalian sesuai dengan ukuran, kompleksitas, dan sifat dari tugas dan fungsi instansi pemerintah yang bersangkutan (pasal 18), mengidenditifikasi, mencatat, dan mengkomunikasikan informasi dalam bentuk dan waktu yang tepat (pasal 41), dan melakukan pemantauan terhadap penerapan SPI (pasal 43). Menciptakan dan memelihara lingkungan pengendalian merupakan unsur yang paling penting dalam penerapan SPIP dan menjadi dasar untuk terselenggaranya unsur-unsur SPI lainnya. Lingkungan pengendalian yang baik dapat diciptakan oleh adanya kepemimpinan yang kondusif, yaitu pemimpin yang mengambil keputusan berdasarkan pada data hasil penilaian resiko. Lingkungan pengendalian ini terdiri dari 8 sub unsur meliputi:
  1. penegakan integritas dan nilai etika;
  2. komitmen terhadap kompetensi;
  3. kepemimpinan yang kondusif;
  4. pembentukan struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan;
  5. pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang tepat;
  6. penyusunan dan penerapan kebijakan yang sehat tentang pembinaan SDM;
  7. perwujudan peran aparat pengawasan intern pemerintah yang efektif; dan
  8. hubungan kerja yang baik dengan instansi pemerintah terkait.

Penjelasan terinci dari 26 sub unsur SPI dapat dilihat selengkapnya pada PP-SPIP.


PEMBINAAN PENYELENGGARAAN SPIP
Untuk memperkuat dan menunjang efektivitas penyelenggaraan SPIP, dilakukan pengawasan intern dan pembinaan penyelenggaraan SPIP. Pengawasan intern dilakukan oleh aparat pengawasan intern pemerintah (BPKP/Inspektorat K/L/pemda) melalui kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lainnya. Sedangkan pembinaan penyelenggaraan SPIP dilakukan oleh BPKP. Pembinaan penyelenggaraan SPIP oleh BPKP bukan berarti BPKP mengambil alih tanggung jawab untuk menyelenggarakan SPI yang dilaksanakan oleh menteri/pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/walikota, namun BPKP membantu agar SPI yang dilakukan oleh instansi pemerintah dapat menjadi kuat dan efektif. Mengacu pada PP 60 Tahun 2008 pasal 59  ayat (2), pembinaan penyelenggaraan SPIP oleh BPKP meliputi:
  1. penyusunan pedoman teknis penyelenggaraan SPIP;
  2. sosialisasi SPIP;
  3. pendidikan dan pelatihan SPIP;
  4. pembimbingan dan konsultasi SPIP; dan
  5. peningkatan kompetensi auditor aparat pengawasan intern pemerintah.

Amanat dan tugas yang dibebankan kepada BPKP dalam PP-SPIP telah mendorong jajaran pimpinan BPKP untuk segera bertindak merumuskan langkah-langkah strategis untuk mengimplementasikan PP-SPIP.  Kantor BPKP Perwakilan juga turut aktif menyongsong tugas baru BPKP, khususnya untuk pembinaan penyelenggaraan SPIP pada pemerintahan daerah.

Saat ini BPKP sedang menyelesaikan petunjuk teknis (juknis) dan pedoman-pedoman yang diperlukan untuk menindaklanjuti PP-SPIP. BPKP  menekankan bahwa PP-SPIP  bukan hanya milik BPKP, melainkan milik seluruh K/L yang bertekad untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik. Tupoksi BPKP sudah mulai bergeser dari mengaudit ke pemberian asistensi dan konsultantif. Sosialisasi SPIP yang dilakukan oleh BPKP di lingkungan pemerintah daerah mendapat sambutan yang baik. Beberapa Peraturan Gubernur tentang SPIP dibuat dengan bantuan BPKP. Namun semangat dan keinginan pemda untuk mendapatkan sosialisasi dan pembimbingan penerapan SPIP terkendala oleh ketersediaan SDM BPKP untuk segera menindaklanjuti. Di samping itu, terdapat kendala anggaran karena selama tahun 2009 belum terdapat alokasi anggaran khusus untuk kegiatan pembinaan penyelenggaraan SPIP oleh BPKP maupun anggaran bagi penyelenggaraan SPIP di masing-masing instansi pemerintah.

Dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki BPKP, pembinaan penyelenggaraan SPIP kepada instansi pemerintah diselenggarakan atas dasar permintaan secara terseleksi. Sosialisasi serta pembimbingan dan konsultasi penerapan SPIP merupakan kegiatan berdasarkan permintaan oleh instansi pemerintah terhadap BPKP maupun berdasarkan penetapan sebagai target pembinaan. Penetapan sebagai target pembinaan didasarkan pada instansi pemerintah yang memiliki resiko kegagalan penyelenggaraan SPIP terbesar dan dalam kondisi pengendalian intern yang tidak baik sesuai opini tahun terakhir yang dikeluarkan oleh BPK. Pasal 59 ayat (2) PP-SPIP menyebutkan bahwa instansi pemerintah dapat melaksanakan sosialisasi, pendidikan dan pelatihan, serta pembimbingan dan konsultasi SPIP dengan inisiatif sendiri setelah berkoordinasi dengan BPKP.

Meskipun selama tahun 2009 belum terdapat alokasi anggaran khusus untuk kegiatan pembinaan penyelenggaraan SPIP oleh BPKP, namun BPKP sudah melakukan beberapa kegiatan persiapan untuk menyongsong penerapan SPIP yaitu:
  1. Pembentukan Tim Koordinasi Pembinaan Penyelenggaraan SPIP dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 175/KMK.01/2009 tanggal 8 Mei 2009 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pembinaan Penyelenggaraan SPIP (anggota tim dari Kemenkeu, Kemendagri, KemenPan, Setkab, dan BPKP).
  2. Penyusunan Draft Pedoman Teknis Penyelenggaraan SPIP (26 buah sesuai dengan jumlah sub unsur) dan beberapa pedoman pendukung lainnya. Pedoman  Umum SPIP telah ditetapkan dengan Peraturan Kepala BPKP No. Per-1326/K/Lb/2009 tanggal 7 Desember 2009.
  3. Sosialisasi SPIP dengan tujuan untuk memberikan gambaran umum mengenai  substansi PP 60, termasuk di dalamnya mengenai adanya kewajiban bagi setiap instansi pemerintah pusat dan daerah untuk menyelenggarakan SPIP. Sampai dengan September 2009 telah dilaksanakan sosialisasi pada 22 K/L dan 9 pemda.
  4. Pendidikan dan Pelatihan SPIP bagi 1547 pegawai BPKP dan 60 pegawai instansi pemerintah di luar BPKP.
  5. Bimbingan teknis pengimplementasian SPIP telah dimulai pada Komisi Yudisial (sebagai piloting project).


SPIP DALAM RENCANA PEMBANGUNAN NASIONAL
Dukungan pemerintah dalam penerapan SPIP adalah dengan mengalokasikan anggaran dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2010 untuk kegiatan pembinaan penyelenggaraan SPIP pada instansi pemerintah (IP) pusat dan pemda yang merupakan kegiatan prioritas nasional yang dilaksanakan oleh BPKP, dengan keluaran:
  1. Tersusunnya SOP pembinaan SPIP dan pedoman teknis penyelenggaraan SPIP;
  2. Terselenggaranya sosialisasi SPIP pada 690 entitas/IP pusat dan pemda.

Disamping itu, pada tahun 2010 juga akan diselenggarakan pendidikan dan pelatihan SPIP untuk 9000 orang (termasuk diklat untuk aparatur pengawasan).

Menyadari pentingnya penerapan pengendalian intern pada  instansi pemerintah, di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 disebutkan bahwa kebijakan penyelenggaraan SPIP dijadikan sebagai salah satu indikator pengarus-utamaan tata kelola pemerintahan yang baik, yang harus dilaksanakan oleh setiap instansi dan menjadi landasan operasional bagi seluruh pelaksanaan pembangunan, dengan target pada tahun 2014 telah terlaksana 100% sistem pengendalian internal yang efektif  pada setiap instansi pemerintah. Selain itu, kegiatan pembinaan penyelenggaraan SPIP dijadikan sebagai salah satu kegiatan prioritas bidang aparatur negara (dalam RPJMN 2010-2014) yang dilaksanakan oleh BPKP, dengan target keluaran tahun 2010-2014 adalah sebagi berikut:
  1. Tersusunnya  46 keputusan kepala BPKP tentang pedoman teknis penyelenggaraan SPIP;
  2. Terselenggaranya diklat SPIP bagi 5700 pegawai IP pusat dan pemda;
  3. Terselenggaranya sosialisasi SPIP bagi 1035 IP pusat dan pemda;
  4. Terselenggaranya konsultasi dan bimbingan teknis penyelenggaraan SPIP bagi 655 IP pusat dan pemda.

Target lain RPJMN 2010-2014 adalah tercapainya opini WTP (wajar tanpa pengecualian) pada seluruh laporan keuangan kementerian dan lembaga (LKKL, target 100%) dan pada laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD, target 60%), serta meningkatnya indeks persepsi korupsi menjadi 5 pada tahun 2014.


TAHAPAN PENERAPAN SPIP PADA INSTANSI PEMERINTAH
Sebagai langkah awal, pimpinan instansi pemerintah (pusat/daerah) perlu menetapkan ketentuan/keputusan untuk penerapan SPIP di lingkungannya masing-masing dengan mengacu pada PP-SPIP serta membentuk satgas penyelenggaraan SPIP yang bertugas untuk mengawal tahap-tahap penerapan SPIP serta melakukan pengujian terhadap efektivitas penyelenggaraan SPIP. Tahap persiapan ini merupakan tahap awal penyelenggaraan yang ditujukan untuk memberikan pemahaman atau kesadaran yang lebih baik, serta melakukan pemetaan kebutuhan penerapan lebih lanjut. Tahap ini terdiri atas :
  1. Pemahaman (knowing) melalui sosialisasi dan diklat;
  2. Pemetaan/diagnostic assessment (mapping), yang dimaksudkan untuk menentukan area of improvement. Pemetaan dilakukan oleh BPKP, dimulai dengan melihat kondisi SPIP yang telah ada secara umum (survei) dan dilanjutkan dengan diagnostic assessment.

Dalam tahap pelaksanaan, pembangunan SPIP  meliputi pembangunan infrastruktur dan internalisasi. Pada tahap ini, BPKP dapat memberikan pembimbingan dan konsultasi jika diperlukan. Lebih rinci, tahap ini terdiri atas :
  1. Membangun dan menyempurnakan infrastruktur (norming);
  2. Internalisasi (forming), yaitu proses implementasi infrastruktur yang sudah dibangun;
  3. Pengembangan berkelanjutan (performing).

Tahap pelaporan merupakan bentuk pertanggungjawaban atas pelaksanaan SPIP.


REKOMENDASI
PP 60 Tahun 2008 tentang SPIP secara tegas telah mewajibkan setiap instansi pemerintah untuk membangun SPIP guna mencegah timbulnya kegagalan dan ketidakefisienan dalam pencapaian tujuan organisasi. Sudah saatnya setiap instansi pemerintah segera menerapkan PP-SPIP ke dalam manajemen pemerintahan. Hal ini berlaku baik bagi instansi pemerintah pusat maupun daerah. Ketentuan mengenai penerapan SPIP di lingkungan pemerintah daerah diatur lebih lanjut dengan peraturan gubernur atau peraturan bupati/walikota dengan berpedoman pada PP 60.

Saat ini telah ada sekitar 20 pemda yang telah memiliki peraturan untuk penerapan SPIP yang diinisiasi oleh Pemerintah Provinsi Sumbar dan Pemerintah Kabupaten Tanah Datar (30 September 2009). Penerapan SPIP di lingkungan pemerintah daerah didukung pula oleh Surat edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 900/918/SJ tanggal 8 Maret 2010 yang menyebutkan pentingnya penerapan SPIP pada pemerintahan daerah untuk peningkatan kapasitas pengelolaan keuangan dan kinerja. Pada saat tulisan ini disusun, dilangsungkan sosialisasi SPIP kepada para pejabat pemerintah yang terdiri dari para Sesjen/Sesmen/Sestama, Irjen/Irtama dan Inspektur  kementerian/lembaga, Sekprov, Irprov, pejabat eselon I Kementerian Keuangan, pejabat Bappenas, Seskab, BPK, UKP4, serta pejabat BPKP.

Pada kesempatan itu, di hadapan sekitar 300 pejabat tersebut, Wakil Presiden meminta kepada seluruh instansi pemerintah baik pusat dan daerah untuk segera menerapkan SPIP secara sungguh-sungguh sebagai pondasi dari pelaksanaan reformasi birokrasi nasional. Wakil Presiden juga meminta kepada BPKP untuk meningkatkan kerjasama dengan seluruh jajaran instansi pemerintah dalam menerapkan SPIP secara optimal sesuai dengan time frame yang ditetapkan. Bagi aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) diharapkan perannya secara aktif dalam mengawal penyelenggaraan SPIP dan pencapaian target-target pembangunan nasional, serta berperan juga sebagai quality assurance atas kegiatan pelaksanaan pembangunan sehingga pimpinan instansi pemerintah memperoleh keyakinan yang memadai terhadap tercapainya tujuan pembangunan secara efektif dan efisien.

Bagi instansi pemerintah yang belum mendapatkan sosialisasi dari pembina penyelenggaraan SPIP (BPKP), juga dapat segera mulai melakukan persiapan-persiapan yang diperlukan dengan berpedoman pada PP-SPIP dan berkoordinasi dengan BPKP. Instansi pemerintah yang sudah memperoleh opini WTP pun berkewajiban untuk menerapkan SPIP agar dapat berkinerja lebih baik lagi dan sebagai upaya pencegahan terhadap praktik yang menyimpang. Dengan penerapan SPIP secara konsisten dan berkesinambungan, maka akan terwujud budaya internal control culture dalam instansi pemerintah untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik.

Disadari bahwa penerapan SPIP bukanlah suatu pekerjaan yang mudah dan masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Namun, jangan sampai penerapan SPIP hanya sebatas kewajiban rutin yang tidak berdampak pada peningkatan kinerja pengelolaan keuangan negara maupun pada efektivitas dan efisiensi dalam pencapaian tujuan pemerintahan. Oleh karena itu, peran BPKP sebagai pembina penyelenggaraan SPIP hendaknya tidak terbatas pada pemberian sosialisasi SPIP, bimbingan teknis SPIP, dan penyelenggaraan diklat SPIP. BPKP bersama-sama dengan aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) pada masing-masing instansi perlu secara objektif melakukan pengawasan terhadap penerapan SPIP di instansi pemerintah sekaligus menyusun instrumen untuk menilai kualitas penerapan SPIP secara terukur. Ke depan, diharapkan hasil penilaian BPKP terhadap penerapan SPIP pada masing-masing instansi pemerintah dapat dipublikasikan dan dapat disejajarkan dengan opini yang diberikan oleh BPK terhadap LKKL dan LKPD.
–o0o–


DAFTAR PUSTAKA
  1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
  2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah
  3. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014
  4. Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2010
  5. BPKP, Road Map Pembinaan Penyelenggaraan SPIP