Blognya Anak Kuliahan

Showing posts with label Catatan. Show all posts
Showing posts with label Catatan. Show all posts

Tuesday, October 9, 2012

Isi Pidato SBY Mengenai Kisru KPK vs POLRI

October 09, 2012 0

Sejak semalam (08/10/12) seluruh media online banyak memunculkan pemberitan yang positif terkait pidato presiden SBY dalam menanggapi polemik KPK vs POLRI. Dan sementara itu di sosial media seperti Twitter juga ikut diramaikan oleh twett yang berisi pujian yang setinggi-tingginya kepada presiden kita tersebut. Namun sangat disayangkan saya sendiri tidak sempat menyaksikan adegan yang “sangat jarang” tersebut. Tapi walaupun begitu akhirnya setelah melakukan penelusuran di google akhirnya saya menemukan isi pidato tersebut di situs www.ideceria.com. dan bagi teman-teman yang bernasib sama dengan saya jangan khawatir, karena saya melampirkan isi pidato pak Beye dibagian bawah. Dan berikut isi pidatonya :

Bismillahirrahmanirrahim.
Saudara-saudara, seluruh rakyat Indonesia di manapun saudara berada, pada malam hari ini saya ingin memberikan penjelasan yang hari-hari terakhir ini menjadi perhatian masyarakat luas. Yaitu perbedaan pandangan atau perselisihan antara pihak Polri dengan pihak KPK di dalam menjalankan tugas bersamanya, menegakkan hukum utamanya memberantas korupsi.
 
Kemudian dampaknya telah sama-sama kita rasakan. Oleh karena itu, saya pandang perlu sekali lagi untuk memberikan penjelasan pada malam hari ini. Kita masih ingat bahwa dulu pernah ada perselisihan antara KPK dengan Polri, ketika juga ada perbedaan pendapat antara Pak Susno dan Pak Bibit dan Pak Chandra. Sedangkan hari-hari ini situasnya berkembang ke arah yang tidak sehat.
 
Penjelasan ini juga saya perlukan agar ketika saya harus kembali turun tangan, rakyat bisa mengerti mengapa saya harus melakukan langkah itu. Kita mengetahui bahwa sebenarnya pihak Polri dan KPK berusaha menyelesaikan perbedaan pandangan itu merujuk pada UU dan Mou, atau nota kesepakatan. Tetapi, tidak bisa dicapai kesepakatan yang bulat. Sungguhpun demikian, saya terus terang sangat berhati-hati jika harus memasuki wilayah di mana KPK sedang bekerja. Mengapa saudara-saudara? Isunya pasti akan menjadi sensitif, dikira presiden mempengaruhi KPK.
 
Sekaligus pada kesempatan yang baik ini saya ingin meluruskan karena sejumlah SMS yang saya terima 2 hari lalu sampai hari ini ada yang beranggapan KPK itu di bawah presiden. Tidak. KPK adalah wilyah independen. Lima pimpinan KPK dipilih DPR RI, dan calon-calon kpk itu diseleksi oleh tim independen. Ini saya sampaikan agar tidak ada salah pengertian bahwa KPK-Polri di bawah presiden.
 
Kemarin Mensesneg telah berikan penjelasan. Penjelasan itu diperlukan karena saya mengikuti kegaduhan di sosial media dan SMS yang masuk ke tempat saya yang seolah-olah presiden diam saja, tidak melakukan apa-apa pada dinamika yang berakhir pada minggu ini.
 
Saya ingin jelaskan hari ini, tanggal 5 Oktober saya memanggil Kapolri untuk memberikan arahan untuk mengatasi perselisihan polri kpk itu. Pertemuan itu tentu sebelum terjadi insiden 5 Oktober malam hari di KPK. Setelah terjadinya insiden apa yang dilakukan Polri terhadap anggota polisi sebagai komisaris KPK Kompol Novel Baswedan, esoknya saya juga bekerja.
 
Waktu itu lewat Menko Polhukam saya berikan, ada Kapolri bisa bertemu pada pimpinan KPK pada hari Minggunya. Segera bertemu, agar terjadi solusi yang baik. Tapi tidak bertemu karena pimpinan KPK sedang berada di luar kota. Oleh karena itu saya setujui atas permintaan mereka karena ada sejumlah hal yang akan disampaikan kepada saya.
 
Saya tadi pagi juga setuju atas permintaan KPK agar Mensesneg memfasilitasi pertemuan Kapolri dan KPK. Dan alhamdulilah tadi siang saya sendiri telah bertemu dua pimpinan KPK, Abraham dan Bambang Widjojanto, dengan Kapolri didampingi Mensesneg. Pertemuan harus saya katakan berjalan baik dan konstruktif.
 
Saudara-saudara, penjelasan yang ingin saya sampaikan malah hari ini, saudara-saudara kami rakyat Indonesia bisa memahami duduk persoalan ini dan bisa memahami apa kebijakan, solusi dan tindakan lebih lanjut yang harapan saya bisa dijalankan bersama-sama oleh kepolisian, KPK dan kita semua. Dengan pengantar itu penjelasan ini akan saya sampaikan dalam 4 hal utama.
  1. Saya akan merespons apa yang disuarakan akhir-akhir ini, apa tuntutan masyarakat agar presiden mengambil alih persolan ini.
  2. Saya akan jelaskan dan sekaligus nanti solusi apa yang saya tempuh berkaitan masalah Polri dan KPK.
  3. Ini kesempatan yang baik untuk sampaikan posisi dan pendapat saya terhadap pemikiran untuk melakukan revisi terhadap UU KPK.
  4. Saya tutup penjelasan saya malam hari ini dengan lima kesimpulan utama yang juga merupakan solusi dan langkah ke depan yang harus dilaksanakan.
 
Pertama, kapan presiden harus ambil alih dalam penegakan hukum. Selama ini saya ambil dalam penegakan hukum. Peran presiden yang paling tepat adalah menengahi dan memediasi agar permasalahan itu bisa diatasi.
 
Saya pernah menengahi ketika ada perselisihan antara lain KPK dengan MA, itu sekitar tahun 2006, BPK dengan MA tahun 2007, KPK dan Polri tahun 2009. Tetapi Presiden tidak bisa mengintervensi apa yang dilakukan penegak hukum dalam menangani UU yang bukan kewenangan presiden.
 
Hal yang sama dalam menangani kewenangan penyidik itu juga berlaku bagi Jaksa Agung, KPK, kecuali ada kewenangan yang diatur dalam UU. Saudara tahu bahwa kewenangan yang diberikan presiden ada 4, yaitu pemberian grasi dan amnesti dan abolisi dengan mendengarkan DPR.
 
Permasalahan ini menyangkut permasalah KPK-Polri merupakan yang kedua kalinya. Saya ingat perselisihan KPK dengan lembaga yang lain dan saya ikut memediasinya. Ini yang ketiga kalinya.
 
Saya tidak pernah melakukan pembiaran atau melakukan mediasi. Tetapi harus dihindari presiden terlalu sering untuk ursusan penegakan hukum ini.
 
Lima tahun lalu saya punya inisiatif untuk pemberantasan korupsi, banyak yang kritik saya itu tidak tepat karena itu mencampuri penegakan hukum. Empat tahun lalu saya membuka antara Jaksa Agung, Polri, dan kembali saya disebut memasuki wilyah yang bukan wilayah saya.
 
Jika menyangkut sinergi dan koordinasi antara Polri dan KPK dan bahkan Kejaksaan Agung, sudah ada UU yang mengatur baik dalam KUHP, KUHAP maupun UU KPK. Juga sudah ada MoU antara KPK dan Polri dan juga Kejaksaan Agung. Jika MoU yang ada sekarang ini kurang memadai dan kurang tegas, silakan diperbaharui, utamanya mengenai penyidikan dan KPK mengambil alih dan bagaimana caranya mengambil alih itu. Semuanya harus mengarlir dalam UU KPK yang sekarang ini.
 
Saya ingin masuk dalam inti permasalahan apa yang terjadi KPK dan Polri serta solusi serperti apa yang harus dijalankan. Ada perbedaan pandangan:
  1. Pandangan siapa yang menangani persoalan simulator SIM
  2. Penanganan personel penyidik KPK dari Polri
  3. Insiden tanggal 5 Oktober seputar rencana elemen Polri untuk menegakkan hukum atas seorang perwira polri yang diduga melanggar hukum beberapa tahun lalu.
 
Tiga hal itulah yang akan saya respons dan solusi jalan keluarnya.
 
1. Kasus simulator SIM. Saya ingin jelaskan setlah ada perselisihan KPK-Polri setelah kasus simulator SIM, kepada saya dilaporkan kepada Polri setelah pertemuan Polri-KPK disepakati bahwa Irjen Djoko Susilo ditangani KPK sedangkan sisanya ditangani Polri. Ternyata sikap pada KPK kepada publik tidak seperti itu.
 
Itulah sebabnya saat berpuka puasa bersama di Polri dan saya bertemu pimpinan KPK dan Polri kepada beliau berdua, sesuai UU dan MoU bisa lakuan kerja sama yang konstruktif agar kasus simulator itu bisa dilaksanakan dengan efektif dan tuntas.
 
Pasca pertemuan itu dalam pelaksanaan penuntasan yang melibatkan KPK dan Polri dilibatkan kerja sama sebaik-baiknya termasuk saling membantu satu sama lain. Di luar itu Menko Polhukam juga terus bekerja untuk menengahi perselisihan dalam kasus itu. Dalam menjalankan roda pemerintahan itu ada sistem dan aturannya. Tentu tidak semua ditangani presiden. Ada menteri, ada lembaga kementrian, di daerah ada gubernur dan wali kota dan sebagainya. Mereka juga memiliki tugas dan tanggung jawabnya masing-masing.
 
Kembali pada isu ini, tampaknya koordinasi dan sinkronisasi itu tidak berjalan baik. Oleh karena itu solusi yang kita tempuh adalah penanganan korupsi kepada Djoko Susilo ditangani oleh satu lembaga yaitu KPK, karena kalau ada penuntutan pejabat yang melakukan itu akan dituntut bersama. Ini juga sesuai UU 30/2002 tentang KPK pasal 50.
 
Tetapi kalau ada kasus pengadaan barang di Polri saya dukung diselesaikan di Polri, saya katakan Polri juga akan melakukan penertiban pengadaan barang di Polri. Dalam hal ini saya ucapkan terimakasih kepada Polri yang melakukan penuh dan ini menunjukkan Polri serius menangani kasus ini.
 
2. Menyangkut perbedaan pandangan antara Polri dan KPK berkaitan dengn penugasan perwira Polri di KPK. Aturan yang berlaku adalah peraturan pemerintah pasal 5 ayat 3 bahwa masa penugasan pegawai negeri paling lama 4 tahun dan dapat diperpanjang 1 kali, saya ketahui penyidik itu harus mengikuti alih penugasan, tour of duty, ini berlaku bagi setiap perwira polri apalagi mereka yang di KPK personel yang baik sehingga tumbuh menjadi pejabat-pejabat di teras Polri.
 
Di sisi lain, hal itu tidak baik karena hal itu terlau cepat sehingga menghambat tugas-tugas penyidikan. Misalnya akan melakukan alih status menjadi penyidik KPK dalam arti harus berhenti dari Polri itu ada aturannya. Peraturan alih status ini juga berlaku bagi TNI dan penugasan lain. Bahkan alih status untuk perwira tinggi perizinannya hinga tingkat presiden.
 
Solusi yang ditempuh adalah kita akan keluarkan peraturan baru, bahwa penyidik Polri ke KPK selama 4 tahun dan bisa diperpanjang asal ada persetujuan Kapolri, misalnya. Tetapi jika hal demikian tetap dianggap tetap memutus efektivitas KPK, maka anggota tersebut diberikan kesempatan untuk alih status. Tidak dibenarkan secara sepihak KPK memberhentikan penyidik itu karena mereka terikat UU dan etika kepolisian. Sebaliknya pula Polri tidak menarik penyidik tersebut tanpa persetujuan dari KPK. Oleh karena itu, dalam hal ini saya akan keluarkan peraturan pemerintah yang tepat baik untuk KPK dan baik untuk Polri berkenaan kebijakan tugas personel Polri untuk mengemban tugas bagi penyidik. Itu isu kedua bagi KPK.
 
3. Solusi penegakan hukum Polri Kombes Novel yang sekarang menjadi penyidik KPK. Insiden itu terjadi pada tanggal 5 Oktober 2012 dan hal itu sangat saya sesalkan. Saya juga menyesalkan berkembangnya berita yang simpang siur demikian sehingga muncul masalah politik yang baru.
 
Jika KPK dan Polri bisa jelaskan penjelasan yang jujur dan jelas, maka masalahnya tidak menjadi luas seperti ini. Terhadap hal ini saya telah berikan pendapat terhadap pertemuan tadi siang yang saya pimpin. Tapi saya akan sampaikan kepada seluruh rakyat Indonesia, agar seluruh situasi diletakkan secara menyeluruh diletakkan dalam konteks yang benar.
 
Kalau kita merujuk pada UUD 45 semua warga negara sama kedudukannya di dalam hukum. Sehingga bila terbukti ada kejahatan yang terbukti oleh WNI mestilah hukum itu ditegakkan, apakah itu dia presiden, anggota Polri, anggota DPR, anggota KPK, wartawan, TNI dan siapa pun. Kesamaan kedudukannya dalam hukum dengan pemahaman konstitusi maka jika ada anggota KPK melakukan pelanggaran hukum, tidak boleh dikatakan kriminilisasi KPK.
 
Laporan yang saya terima dugaan pelanggaran hukum terhadap anggota Polri di KPK tidak terkait tugasnya sebagai penyidik KPK, tetapi terjadi 8 tahun yang lalu. Di dalam hukum semuanya harus merujuk secara baik dalam hukum dan UU yang berlaku. Jangan misalnya ada anggota Polri yang melaksanakan tugas untuk melakukan penyidikan kasus SIM tersebut, tidak boleh. Sebaliknya, ada anggota yang divonis dilihat sebagai upaya kriminilisasi KPK.
 
Menurut pandangan saya sangat tidak tepat kalau ada proses Komisari Polisi Novel Baswedan sekarang ini, timingnya tidak tepat dan pendekatan dan caranya juga tidak tepat. Itu pandangan saya, dan kira-kira solusi menyangkut tiga hal yang juga merupakan perselisihan KPK-Polri.
 
Berikut ini saya akan sampaikan pendapat saya dan pandangan saya mengenai revisi UU KPK. Saya berpendapat peraturan untuk merevisi UU harus dilandasi niat baik. Jika DPR memiliki pemikiran revisi ini, mesti dijelaskan apa dan mengapa itu harus direvisi.
 
Terhadap masyarakat dan aktivis, sebaiknya juga bersedia mendengarkan itu jangan itu divonis seolah-olah memperlemah KPK. Setelah mendengarkan DPR, masyarakat luas, dan aktivis bisa menyampaikan pandanganya bisa setuju atau tidak setuju. Namun perlu diketahui bahwa konstitusi diperlukan untuk menyusun UU jika setelah UU itu diterbitkan masih terbuka masyarakat luas menyatakan ketidaksetujuannya, terhadap MK untuk apakah UU itu bertentangan UUD. MK juga tunduk pada aturan lain, bahwa UU itu diuji apakah bertentangan dengan UUD.
 
Sehubungan dengan itu semua, pandangan saya terhadap DPR untuk revisi UU KPK sebagai berikut, prinsip dasar saya tetap sama pada tahun 2009, saat waktu itu ada wacana peranan KPK. Saya tidak setuju dan menolak setiap upaya untuk memperlemah KPK. Sampai saat ini saya tidak tahu konsep seperti apa DPR mau merevisi UU KPK itu.
 
Jika revisi itu untuk memperkuat KPK tentu saya sesuai ketentuan UU dalam posisi yang siap untuk membahasnya. Di tengah realitas sulitnya memberantas korupsi saat ini, adalah kita harus tingkatkan intensitas pemberantasan korupsi dan bukan mengendorkannya.
 
Di satu sisi kita berharap pada KPK untuk menjadi motor KPK dalam pemeberantasan korupsi. Di sisi lain kita juga berharap pada Polri dan kejaksaan. Terhadap rakyat menyangkut pengadilan pemberantasan korupsi ini saya berharap untuk dijadikan cambuk dan semangat untuk penyelesaian pemberantasan korupsi di lembaga masing-masing. Saya mendukung seluruh upaya KPK dan menolak untuk melemahkan KPK. Harus dikatakan bahwa penyelesaian KPK saat ini kurang tepat ketimbang bekerja sama di dalam. Menurut saya kritik itu perlu didengar, dan jika didengar itu akan meningkatkan kerja KPK yang sudah baik saat ini.
 
Sebagaimana saya sampaikan pada pidato saya 16 agustus lalu saya sampaikan lagi terima kasih pada KPK dan harapan saya agar seluruh penegak hukum untuk bekerja baik dan tidak bekerja tidak sehat untuk selesaikan kasus korupsi, bukan menghambat dan menutupinya. Banyak yang telah kita capai selama ini, marilah momentum sejarah ini tidak kita sia-siakan. Dan aset negara jangan sampai bocor. Kembali kepada revisi UU KPK atas situasi yang terjadi di Tanah Air, menurut pendapat saya lebih baik kita menggiatkan pemberantasan korupsi dan meningkatkan sinergi lagi agar lebih berhasil lagi upaya kita memberantas korupsi daripada perhatian energi kita terkuras untuk melakukan untuk revisi UU KPK.
 
Saudara-saudara, dengan penjelasan yang telah saya sampaikan tadi, saya akan akhiri dengan kesimpulan utama yang tentunya juga berupa solusi dan langkah-langkah yang mesti kita laksanakan ke depan.
  1. Penanganan hukum dugaan korupsi simulator SIM yang melibatkan Irjen Djoko Susilo agar ditangani KPK dan tidak pecah. Polri menangani kasus-kasus lain yang tidak terkait langsung.
  2. Keingingan Polri untuk melakukan proses hukum terhadap Kombes Novel Baswedan saya pandang tidak tepat baik dari segi timing maupun caranya.
  3. Perselisihan yang menyangkut waktu penugasan penyidik Polri yang bertugas di KPK perlu diatur kembali dan akan saya tuangkan dalam peraturan pemerintah, saya berharap nantinya teknis pelaksanaan juga diatur dalam MoU antara KPK dan Polri.
  4. Rencana revisi UU KPK sepanjang untuk memperkuat dan tidak untuk memperlemah KPK sebenarnya dimungkinkan. Tetapi saya pandang kurang tepat untuk dilakukan sekarang ini. Lebih baik kita tingkatkan sinergi dan intensitas semua upaya pemberantasan korupsi.
  5. Saya berharap agar KPK dan Polri dapat memperbarui MoU-nya dan kemudian dipatuhi dan dijalankan serta dilakukan sinergi sehingga peristiwa seperti ini tidak terus berulang di masa depan. Saya mencatat banyak peristiwa di mas lalu yang baik antara Polri dan KPK. Contohnya kerja sama mencari dan menemukan tersangka korupsi yang kabur ke luar negeri berhasil dengan baik sinerginya dan dan kerja samanya.
 
Sementara Polri juga mencatat prestasi di sejumlah bidang misalnya pemberantasan terorisme, kejatan narkotika dan kejahatan jalanan. Juga prestasi pengamanan dan pengaturan kegiatan nasional mudik Lebaran dan peringatan hari-hari besar yang lain. Semangat, energi dan kinerja seperti ini saya yakini dapat dijadikan modal untuk bersinergi dengan KPK untuk melaksanakan tugas memberantas korupsi.
 
Ini akan menjadi keputsusan saya dan akan menjadi solusi dalam pertemuan siang tadi. Demikian

Itulah isi Pidato SBY mengenai kisruh KPK VS Polri, semoga bermanfaat… J

Monday, October 8, 2012

Politik Dinasti Figur Perempuan

October 08, 2012 0

Figur perempuan diperkirakan masih sulit untuk muncul sebagai calon presiden (capres) pada 2014. Pasalnya, figur perempuan yang terjun ke dunia politik masih didominasi kerabat politisi atau politik dinasti.

Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengatakan, sejauh ini nama-nama figur perempuan yang mengisi dunia politik berasal dari keluarga elite. Sebut saja Puan Maharani yang merupakan anak kandung Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri,Ani Yudhoyono yang merupakan istri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan masih banyak lagi.

Sementara itu, figur perempuan di luar peta politik keluarga tersebut cenderung tidak memunculkan diri ke permukaan. Padahal, menurut Siti banyak figur perempuan yang sangat potensial untuk dijadikan pemimpin.“ Figur yang sungguh-sungguh mumpuni dan dikehendaki rakyat justru tidak muncul,” ungkap Siti di Jakarta kemarin. Siti mengatakan, sistem politik yang ada saat ini juga tidak memberikan ruang bagi kemunculan figur perempuan.

Mayoritas partai politik (parpol) hanya melirik figur perempuan yang memiliki latar belakang politik kuat.Salah satunya adalah memandang latar belakang politik kekeluargaan, sedangkan figur yang tidak memiliki latar belakang politik kekeluargaan itu akan sangat susah masuk dalam lingkungan parpol. “ Ini sistem yang diskriminatif, masuk ke dalam parpol sangat sulit, parlemen juga susah, apalagi untuk maju sebagai pemimpin,” paparnya.

Padahal,menurut Siti, sukses atau tidaknya pemimpin terpilih dalam Pemilu 2014 nanti tidak ditentukan dari politik kekeluargaan, tetapi dari tingkat elektabilitas dan penerimaan figur kepada masyarakat. Lebih lanjut Siti mengungkapkan, saat ini baru ada dua figur perempuan yang menonjol untuk diusulkan sebagai pemimpin bangsa,yakni Puan Maharani dan Ani Yudhono.

Sementara dari luar lingkaran politik kekeluargaan ada nama Sri Mulyani, mantan menteri keuangan. Untuk Puan Maharani, Siti menilai bisa jadi PDIP akan mengusungnya pada pemilu presiden (pilpres) mendatang.“Bisa jadi Puan,apalagi Taufiq Kiemas sejak awal sudah secara eksplisit mengusung regenerasi kepemimpinan. Apa yang dinyatakan Taufiq itu secara tidak langsung menegaskan bahwa Megawati sudah pasti tidak mencalonkan kembali,”ujarnya.

Meski demikian, menurut Siti, kapasitas Puan untuk diusung sebagai capres masih belum maksimal.Performanya juga masih belum terlihat kuat pada berbagai aktivitas di PDIP. “Seharusnya Puan sudah mulai agresif membangun kompetensi, sebab itulah yang akan menentukan kredibilitas Puan ke depan,” paparnya.

Untuk Ani Yudhoyono, kemunculannya sebagai capres justru terganjal oleh pernyataan suaminya,sebelumnya.SBY yang menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat pernah menyatakan tidak akan mengusung keluarganya sebagai capres. Kemudian untuk kemunculan Sri Mulyani, juga sulit terjadi. Meski saat ini ada sejumlah kalangan yang menyatakan mendukung Sri dengan mendirikan Partai SRI, elektabilitas partai ini belum teruji.

Padahal,untuk bisa maju sebagai capres harus melalui kendaraan politik parpol. Pengamat politik Universitas Nasional Alvan Alvian mengatakan,sulitnya figur perempuan di luar lingkaran politik kekeluargaan untuk muncul salah satunya disebabkan posisi tawar yang sangat lemah. Menurut dia, untuk bisa diakui sebagai figur potensial maka perempuan harus mendapatkan dukungan parpol.

“ Saya melihat partai-partai sangat kecil mengusung capres perempuan, kecuali PDIP,” ujarnya.Karena itu, ungkap Alvan, jika figur perempuan ingin diakui dan dimunculkan maka tidak ada jalan harus mendekati parpol.

Thursday, September 20, 2012

Mengapa Foke-Nara Kalah?

September 20, 2012 0

Kekalahan yang diterima Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli atau Foke-Nara menurut penghitungan cepat disebabkan karena salah strategi sikap politik Foke-Nara. Sikap politik tersebut sudah melekat pada karakteristik Foke sejak putaran pertama.

"Stigma kegagalan periode pertama yang sudah lama melekat pada Foke membuatnya sulit bergerak di pilkada putaran kedua," kata Gun Gun Heryanto, pengamat dari The Political Literacy Institute kepada Kompas.com, Kamis (20/9/2012).

Gun memaparkan, stigma tersebut memalingkan pilihan warga kepada wajah penantang yang dianggap mampu memberi harapan baru. Foke menjadi sulit mengimplementasikan program-program di fase akhir jabatannya karena waktu yang terlalu pendek untuk bersosialisasi dan mengubah stigma. Karena kesulitannya itulah Foke terkesan kerja sebatas pencitraan saja.

Selain itu, kata Gun-Gun, Foke memiliki kesenjangan hubungan komunikasi politik antara dirinya dengan warga dan media massa. Foke juga cenderung kurang terbuka dengan media saat dia menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta.

Menurut Gun, kelemahan Foke adalah kurang bisa membangun semangat komunitarian dengan warga. Akibatnya, ia kerap terbangun pada pola hubungan antagonistik antara dirinya dengan media dan sense of belonging warga terhadap Foke juga memudar.

Walaupun begitu, kata Gun, kemenangan Foke di 2007 didasari pada konsep penguasaan koalisi partai dan minimnya figur alternatif yang memiliki karakter transformatif pada pemilihan lalu. Sedangkan pada Pilkada DKI kali ini, penantang baru sudah lama memiliki karakter low profile, asketis dan dekat dengan warga.

Gun mengungkapkan, Jokowi telah sukses memosisikan brand-nya sebagai media ikon ditengah masyarakat. Ia juga mampu mentransformasikan kekuatannya dengan tetap mengusung kesederhanaan. "Identifikasi politik warga, jauh lebih berhasil masuk ke Jokowi daripada Foke yang lama berada dalam stigma elitis-birokratis," ungkap Gun.

Seperti diberitakan sebelumnya, berdasarkan hasil penghitungan cepat Litbang Kompas menyatakan Jokowi-Basuki unggul dengan 53,26 persen sedangkan Foke-Nara mengumpulkan suara 46,74 persen.

Sunday, September 9, 2012

Konflik dan Kekerasan Negara

September 09, 2012 0

Dinamika kehidupan bernegara terkadang tidak selalu berjalan sesuai dengan apa yang dicita-citakan. Hal ini  karena perbedaan pendapat dan kepentingan berbagai pihak bertemu dalam satu wadah dan saling berebut pengaruhnya. Negara haruslah menjadi penengah jika terjadi konflik antar warga negaranya. Tapi pertanyaannya bagaimana jika terjadi konflik antara rakyat dan Negara? Kekerasan Negara terhadap rakyatnya.

Menurut Profesor Henk Schulte Nordholt, dalam sejarah Indonesia, intensitas kekerasan meningkat pada masa peralihan kekuasaan, ketika negara memperkuat kekuasaan, juga pada masa ekonomi yang suram. Hal itulah yang terjadi dari awal sampai akhir orde baru. Bahkan era pasca reformasipun masih ada kejadian-kejadian  serupa, peristiwa terakhir yaitu kejadian Mesuji dan Bima dan ini karena tipe dan gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh pemimpin negaranya yang lemah.

Kasus Mesuji yang dilatarbelakangi sengketa lahan dan pihak pemodal perkebunan dan masyarakat. Masalahnya sudah jelas terlihat pengelolaan bisnis sawit yang tidak jujur dan merugikan masyarakat. Bisnis yang dilakukan adalah kerja sama Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang dilakukan sejak 1997 dengan PT Treekreasi Margamulya (TM/Sumber Wangi Alam). Masalah semakin meruncing karena keterlibatan polisi Brimob yang melakukan pengamanan dengan cara-cara kekerasan kepada warga sekitar

Peristiwa Bima pun tidak berbeda jauh keterlibatan aparat negara yang memicu konflik, laporan warga kabupaten Bima yang mengeluhkan berdirinya tambang awal 2011 di daerah mereka yang mengganggu pertanian, air bersih dan ternak warga sekitar tambang. Perijinan pendirian tambangpun bermasalah karena tidak mengantongi analisa dampak lingkungan (AMDAL). Penolakan dari wargapun tak digubris dan terus dibiarkan berlarut-larut. Padahal warga telah melaporkan dan sudah ada pengaduan aparat terkait. Tapi aktifitas PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) masih tetap berjalan.

Kedekatan Pemerintah dengan Pemilik Modal

Ada apa dengan kebijakan penempatan Polisi Brimob dilokasi perusahaan-perusahaan yang rawan konflik agrarian, ini menjadi pertanyaan besar. Terlihat jelas dekatnya hubungan antara POLRI atau pemerintah dengan pihak pemodal. POLRI yang seharusnnya mengamankan dan membela hak rakyat berbalik fungsinya, rasa aman yang diharap tembakan peluru, tendangan dan pukulan yang didapat.

Ada beberapa hal yang bisa kita lihat dalam beberapa konflik terakhir, pertama bahwa konflik itu bukanlah konflik baru akan tetapi sudah cukup dan baru mencuat kepermukaan sekarang, ibarat fenomena gunung es. Lambannya birokrasi dan keberpihakan terhadap pemodal, selain itu pembangunan infrastruktur yang tidak merata, korupsi yang sudah menjalar disemua instansi dan penegakan hukum yang masih carut marut.

Presiden sebagai pemimpin negara dalam berbagai pidatonya yang menekankan pro rakyat, penegakkan hukum, pemberantasan korupsi ternyata hanya retorika semata. Gaya kepemimpinan yang dimunculkan SBY cenderung pada laizes feier atau permisif, ini terlihat dari belum adanya tindakan tegas atau pernyataan tegas dari Sby menyikapi semua kejadi konflik dimana rakyat dan aparat saling berhadapan.

Bentuk ketidaktegasan dan pembiaran terhadap kekerasan yang terjadi merupakan bentuk kejahatan negara. Ini termaktub dalam amanah pembukaan UUD 1945 alenia 4 melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, sekarang jika negara melalui pemerintah ternyata belum mampu memberikan rasa aman bagi rakyatnya sendiri dan salah satu tujuan utama dari berdirinya Negara republik Indonesia masih menjadi angan setelah 66 tahun merdeka.

Lebih dari 70 Persen Masyarakat Tidak Dekat dengan Parpol

September 09, 2012 0

Lembaga survei Charta Politica hari ini merilis hasil survei dengan tema 'Stagnasi Perilaku Pemilih, dan Fenomena Partai Politik Mati Suri. Secara umum, tidak terlalu banyak terjadi perubahan terkait elektabilitas partai politik yang ada di Indonesia.

Partai Golkar, Partai Demokrat dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menempati posisi teratas dengan perolehan masing-masing Golkar 18 persen, Demokrat 12,5 persen, dan PDIP 10,8 persen.

Yang cukup mengejutkan ialah terjadinya perubahan besar pada komposisi kekuatan partai di lapis tengah, dimana Partai Gerindra memperoleh 4,7 persen, serta Partai Nasional Demokrat (NasDem) mendapatkan 4,3 persen.

Posisi selanjutnya ditempati oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan 3,9 persen, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 2,7 persen, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 2,6 persen, Partai Amanat Naional (PAN) 1,9 persen, dan Partai Hanura 1,6 persen. Sisanya 34,4 persen mengaku belum menentukan pilihan.

Berdasarkan hasil survei tersebut, Direktur Riset Charta Politica Yunarto Wijaya menuturkan, ada beberapa hal yang menjadi bukti menguatnya stagnasi para pemilih. Misalnya tidak adanya perubahan pada posisi tiga teratas yang masih dihuni oleh partai-partai besar.

"Tidak munculnya captive market dan jaringan baru pemilih, undecided voters masih menjadi pemenang, 34 persen responden masih belum menentukan pilihan menjelang pemilu," ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Kamis (30/08/2012).

Selain itu, Yunarto juga menggaris bawahi poin yang mengatakan bahwa hanya sekitar 14 persen masyarakat yang mengaku dekat dengan partai politik yang didukungnya. Sedangkan 76 persen mengaku tidak memiliki hubungan dekat dengan parpol, dan 10 persen tidak memberikan jawaban.

"Tingkat kedekatan masyarakat dengan partai politik, atau istilahnya party id, hanya 14 persen responden yang mengaku dekat dengan partai politik," ungkapnya.

Survei ini dilakukan pada tanggal 8-22 Juli 2012 dengan melakukan wawancara secara tatap muka dengan menggunakan kuisioner terstruktur. Quality control dilakukan terhadap hasil wawancara, yang dipilih secara random sebesar 30 persen dari total sampel.

Sampel tersebut dipilih secara acak (probability sampling) menggunakan metode penarikan sampel acak bertingkat (multistage random sampling). Unit sampling primer survei (PSU) ini adalah desa/kelurahan dengan jumlah sampel masing-masing 10 orang pada setiap PSU yang berjumlah 200 desa/kelurahan yang tersebar secara proporsional.

Survei ini dilakukan dengan menggunakan sampel sebesar 2.000 responden, dengan margin of error sebesar 2,19 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.