Seorang
bijak berucap “Hal tersulit setelah mendapatkan sesuatu adalah
mempertahankannya”, frasa ini nampaknya mewakili gambaran perdamaian di Aceh. Memorandum
of Understanding (MoU) Helsinki belasan tahun silam bisa dikatakan bukanlah merupakan
akhir segalanya bagi jalan panjang penyelesaian konflik vertikal yang terjadi
di Aceh, melainkan sebagai tahapan awal dari proses pembangunan perdamaian yang
berkelanjutan (sustainable peace) di Aceh. Harus diakui bahwa pihak-pihak
yang berseteru saat itu baik dari Pemerintah Indonesia maupun Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) telah mengambil langkah yang tepat dengan menurunkan egonya
masing-masing dan memulai lembaran baru kehidupan melalui instalasi ulang
hubungan pusat-daerah dalam kerangka kerja yang diharapkan bisa lebih aspiratif
dan demokratis.
Menelisik
sejarah panjang konflik Aceh tidak cukup dengan hanya melihat satu sudut
pandang saja, dibutuhkan telaah panjang dengan menganalisis berbagai macam
faktor utama meletusnya konflik tersebut. Salah satu latar belakang yang paling
menonjol adalah berkaitan dengan isu pengakuan identitas dan ketidakadilan
dalam pembagian sumberdaya alam, maka tidak mengherankan melihat alotnya proses
negosiasi perdamaian pada 2005 silam di Helsinki banyak berkutat pada persoalan
institusionalisasi identitas masyarakat Aceh yang ingin menerapkan pelaksanaan
syariat islam, keistimewaan kebijakan perpolitikan yang akhirnya memunculkan
partai politik lokal, dan pengaturan ulang keuangan daerah dimana lahirnya dana
otsus.
Perlu
dipahami bahwa dewasa ini ruang lingkup kajian pembangunan perdamaian tidak
terbatas hanya pada penghentian pertikaian militer semata, namun bisa lebih
luas seperti memperkuat penegakan hukum, perbaikan ekonomi, penyediaan kebutuhan
dasar pelayanan publik bagi masyarakat, dan lain sebagainya. Kegiatan-kegiatan tersebut
utamanya diaplikasikan pada situasi pasca-konflik dimana kondisi kelembagaan di
sebuah daerah bekas konflik masih sangat rentan terhadap berbagai macam potensi
gejolak baru yang siap menghantam, sehingga situasi damai dapat dengan sangat mudah
pecah menjadi konflik terbuka lainnya.
Lembaga
PBB pada tahun 2005 lalu mencatat bahwa sekitar setengah dari negara-negara
yang berhasil keluar dari peperangan ternyata kembali ke situasi konflik
kekerasan dalam periode kurang dari lima tahun sejak genjatan senjata di
deklarasikan. Penyebabnya disinyalir akibat ketidaksigapan pemerintah dalam
membangun perencanaan paska perdamaian. Kegiatan pembangunan perdamaian tidak
menyasar asal-musabab utama konflik bersenjata, sehingga seiring waktu kondisi
tidak ideal ini dapat saja mengendap dan lanjut bertransformasi kedalam bentuk
kekerasan lainnya. Oleh karena itu, tahapan pembangunan perdamaian sangat penting
untuk direncanakan jika tidak ingin kembali lagi terjerumus dalam era
kegelapan.
Perdamaian
Berkelanjutan
Pembangunan
perdamaian di dunia perlu diwujudkan melalui usaha-usaha yang berkelanjutan (sustainability).
Perhatian khusus terhadap usaha menjaga perdamaian dunia telah dilakukan oleh
negara di dunia dengan memperingati hari Perdamaian Internasional pada tanggal
21 September setiap tahunnya, tidak hanya seremonial belaka, usaha-usaha
lainnya juga terus digencarkan. Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit)
di Rio de Janeiro - Brazil pada tahun 2012 lalu berhasil mengilhami lahirnya agenda
pembangunan global yang bernama Sustainable Development Goals (SDGs)/Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan, sebuah model pembangunan berkelanjutan yang dapat
membantu menyelesaikan masalah dunia. Adalah September 2015 yang kemudian menjadi
pertemuan puncak bersejarah para pemimpin dunia di New York, dimana sebanyak
193 negara anggota PBB secara bulat menyepakati SDGs sebagai sebuah panggilan
mendesak agar memulai upaya-upaya baru untuk mengakhiri kemiskinan absolut,
melindungi planet dari kerusakan, dan termasuk menjaga perdamaian dan
ketertiban dunia.
Komitmen
internasional yang ingin dicapai bersama pada tahun 2030 ini memiliki tiga
pilar utama yaitu, pembangunan sosial (social development), pembangunan ekonomi
(economic development), dan pembangunan lingkungan (environmental
development). Secara keseluruhan, SDGs memiliki 17 agenda utama, dengan 169
target dan 232 indikator. Masalah perdamaian secara khusus diatur dalam Goal
16 Peace, Justice and Strong Institutions/Tujuan ke 16 yaitu Perdamaian,
Keadilan dan Kelembagaan yang Kuat (12 target dan 23 indikator).
Perdamaian
dalam bingkai pembangunan berkelanjutan tengah menjadi tren masa kini. Paradigma
pembangunan milenial ini menuntun manusia untuk tidak hanya memikirkan keadaan
di masa sekarang saja, namun juga kepentingan generasi mendatang yang harus
diperhitungkan secara seksama. Meskipun demikian, seiring dengan laju perubahan
mode dunia yang berlangsung cepat dan dinamis, skala tantangan yang dihadapi
juga tidak kalah besar. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi, sosial, dan
lingkungan yang seimbang harus ditopang oleh keberhasilan dalam menurunkan
jumlah konflik baik kecil maupun besar. Maka para pemangku kepentingan dituntut
untuk bisa merumuskan strategi pembangunan yang lebih baik dan terarah.
Beberapa
tantangan mendasar yang sedang dihadapi saat ini adalah masalah kemiskinan,
kelaparan, kesenjangan sosial, tergerusnya sumber daya alam, kelangkaan air,
degradasi lingkungan, korupsi, rasisme, intoleransi, dan lain sebagainya.
Permasalahan tersebut kerapkali menjadi penyebab utama yang mengancam
perdamaian dunia dan berpotensi menciptakan lahan baru yang lebih subur bagi
konflik berkepanjangan. Dengan demikian, perdamaian mutlak diperlukan untuk
memperkuat landasan menuju pembangunan berkelanjutan.
Acèh
Damê
Pembangunan
berkelanjutan bukan menjadi tanggung jawab satu pihak saja, namun seluruh
stakeholders termasuk pemerintah daerah harus ikut mengambil tanggung jawab
ini. Pemerintah daerah sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat
diharapkan mampu menjadi ujung tombak keberhasilan pelaksanaan SDGs di ranah
lokal melalui serangkain praktik kebijakan yang inovatif. Beruntungnya,
pemangku kebijakan di Aceh saat ini sadar betul akan pentingnya kebijakan yang
berkelanjutan, seperti halnya 15 program Aceh Hebat yang menjadi program
unggulan Pemerintah Aceh periode 2017-2022 yang ternyata sarat akan 17 goals
dari SDGs.
Dari
15 program unggulan tersebut, hanya tiga diantaranya, yaitu; Aceh SIAT, Acèh
Meuadab, dan Acèh Teuga yang memiliki ciri khas tersendiri, sedangkan 12
program lainnya bisa dikatakan sangat identik dengan SDGs. Sebagai contoh Acèh
Damê yang merupakan program yang terinspirasi dengan Goal 16 Peace,
Justice and Strong Institutions dimana berfokus pada aspek yang sedang
dibahas dalam tulisan ini yaitu perdamaian.
Di
dalam website resmi Pemerintah Aceh (www.acehprov.go.id) dijelaskan
bahwa Acèh Damê adalah situasi aman dan damai yang berkelanjutan (sustainable
peace) melalui penuntasan proses reintegrasi dan membangun nilai-nilai
perdamaian bagi semua lapisan masyarakat. Lebih lanjut di laman online tersebut
juga disebutkan bahwasanya fokus utama dari Acèh Damê adalah melakukan penguatan
pelaksanaan UUPA sesuai prinsip-prinsip MoU Helsinki secara konsisten dan
komprehensif. Terdapat empat sasaran utama dari Acèh Damê yaitu (i) Menjadikan
seluruh program pembangunan Aceh berbasis pengarusutamaan damai; (ii) Penuntasan
aturan turunan UUPA sehingga dapat diimplementasikan dalam pembangunan dan
kehidupan masyarakat; (iii) Penguatan kapasitas Komite Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR) Aceh; dan (iv) Memasukkan pendidikan damai (peace
education) dalam kurikulum sekolah.
Baik,
secara ide dan konsep Aceh sudah punya, lalu bagaimana dengan realisasinya? Lisa
Kleypas, penulis novel top berkebangsaan Amerika, dalam pandangannya menyatakan
“there is no peace in poverty” yang bisa dimaknai bahwasanya akan sulit
untuk menciptakan kedamaian dalam kondisi kemiskinan. Beberapa pekan lalu ramai
spanduk “Selamat Datang di Propinsi Termiskin Se-Sumatera”. Lalu tak lama
berselang kritik tersebut dijawab oleh pemerintah lewat baliho yang berisi
pembelaan bahwasanya Pemerintah Aceh berhasil turunkan angka kemiskinan 0,67
persen. Terlepas dari kesahihan klaim tersebut, dengan dibekali dana otsus yang
melimpah ruah dan tetap mendapatkan predikat termiskin di Sumatera, maka
sepertinya progres nol koma tersebut belum bisa dibilang sebuah prestasi.
Perlu
digaris bawahi bahwasanya peace (perdamaian) tidak melulu diartikan
sebagai the absence of war (tidak adanya perang), melainkan contoh
sederhananya yaitu terciptanya suatu kondisi yang menjamin sebuah kemakmuran
holistik dan berkelanjutan juga merupakan pengertian lain dari perdamaian. Selain
prestasi termiskin, Aceh juga menempatkan diri sebagai propinsi dengan tingkat
toleransi yang rendah. Apa yang tengah dihadapi saat ini adalah masih sering
terjadinya ketegangan antar kelompok lintas pemahaman agama yang tak terkendali.
Ketidaksiapan masyarakat atas munculnya keberagaman di sekitar mereka menjadi
tantangan besar untuk diselesaikan. Pemahaman lintas budaya dan rekonsiliasi
sangat diperlukan untuk menumbuh kembangkan sikap toleransi dan cinta damai di
masyarakat. Dengan demikian, toleransi merupakan bagian integral dan penting
untuk merealisasikan perdamaian, toleransi adalah menghormati setiap hak individu
atas identitas yang menyertainya. Pemerintah secara khusus lewat Acèh Damê perlu
hadir untuk memediasi konflik tiada akhir antara kelompok yang saling menghujah
tersebut, karena sesuai dengan sasaran utama dari program ini yaitu menjadikan
seluruh program pembangunan Aceh berbasis pengarusutamaan damai.
Perdamaian
wajib dipertahankan secara terus-menerus dan berkesinambungan, karena perdamaian
bukanlah sesuatu yang mudah untuk dicapai, maka sangat penting bagi pemerintah
untuk menciptakan lingkungan global yang aman dan nyaman bagi masyarakat. Tidak
hanya konflik bersenjata maupun terorisme, sikap intoleransi pun dapat membawa
dampak merusak bagi pembangunan, mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan
menghambat pencapaian pembangunan berkelanjutan. Sebaliknya, pembangunan
berkelanjutan akan lebih mudah untuk dicapai ketika keamanan dan perdamaian
terjaga dengan baik. (*)
*
Telah dimuat di Koran Rakyat Aceh (12/02/20) Halaman 11