Blognya Anak Kuliahan

Showing posts with label Sosiologi Politik. Show all posts
Showing posts with label Sosiologi Politik. Show all posts

Saturday, May 4, 2013

Pengertian dan Perbedaan Negara dengan Bangsa

May 04, 2013 0

Negara, bangsa, bangsa, negara. Dua kata tersebut seringkali kita dengar disebut secara bersamaan, sebagai dua kata yang tak terpisahkan. Bahkan kita sendiripun mungkin tidak sadar bahwa sering pula kita mengucap dan menulis kata-kata tersebut. Misalnya negara dan bangsa Indonesia.

Negara atau dalam Bahasa Inggrisnya biasa disebut state dan bangsa atau nation. Telah menjadi salah satu dari jenis ilmu yang telah dipelajari berabad-abad lamanya. Mungkin banyak orang yang menganggap dan bahkan mengakui kebenarannya, bahwa ilmu tentang negara berasal dari negeri Yunani, dan tertutama sekali dengan adanya tokoh-tokoh besar dalam bidang tersebut seperti Aristoteles.

Selanjutnya yang menjadi pertanyaan yaitu, apakah pengertian dari negara dan bangsa itu sendiri? Apakah antara negara dan bangsa memiliki persamaan atau bahkan perbedaan? Dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, maka pengertian dari negara dan bangsapun semakin berkembang. Banyak teori-teori yang telah merumuskan beberapa definisi dari negara dan bangsa itu sendiri.


Negara
Negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik, negara adalah organisasi pokok dari kekuasaan politik. Negara adalah alat (agency) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat (Budiardjo 2008).

Sementera menurut Jutmini dkk (2007), negara adalah organisasi pokok dari kekuasaan politik. Negara merupakan bentuk organisasi dari masyarakat atau kelompok orang yang mempunyai kekuasaan mengatur hubungan, menyelenggarakan ketertiban dan menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama. Selain itu Jutmini dkk (2007) membagi lagi definisi negara menjadi empat, yaitu:
  1. Suatu organisasi di mana sekelompok atau beberapa kelompok manusia yang bersama-sama mendiami wilayah tertentu dengan mengakui adanya suatu pemerintahan yang mengurus tata tertib dan keselamatan sekelompok atau beberapa kelompok manusia.
  2. Suatu perserikatan yang melaksanakan suatu pemerintahan melalui hukum yang mengikat masyarakat dengan kekuasaan untuk memaksa yang berada dalam satu wilayah masyarakat tertentu dan membedakannya dengan kondisi masyarakat dunia luar untuk ketertiban sosial.
  3. Suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat yang berhasil menuntut warganya dalam ketaatan pada perundingan melalui penguasaan kontrol dari kekuasaan yang sah.
  4. Suatu asosiasi yang menyelenggarakan penertiban dalam suatu masyarakat atau wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah.

Dalam bukunya Dasar-Dasar Ilmu Politik, Budiardjo menambahkan bahwa negara adalah organisasi yang dalam sesuatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya yang dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama itu. Negara menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai di mana kekuasaan dapat digunakan dalam kehidupan bersama, baik oleh individu, golongan, atau asosiasi, maupun oleh negara sendiri. Dalam rangka ini boleh dikatakan bahwa negara mempunyai dua tugas:
  1. Mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang asosial, yakni yang bertentangan satu sama lain, supaya tidak menajadi antagonis yang membahayakan;
  2. Mengorganisir dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan-golongan ke arah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat seluruhnya. Negara menentukan bagaimana kegiatan-kegiatan asosiasi-asosiasi kemasyarakatan disesuaikan satu sama lain dan diarahkan kepada tujuan nasional.

Pengendalian ini dilakukan berdasarkan sistem hukum dan dengan perantaraan pemerintah beserta segala alat kelengkapannya. Kekuasaan negara mempunyai organisasi yang paling kuat dan teratur, maka dari itu semua golongan atau asosiasi yang memperjuangkan kekuasaan harus dapat menempatkan diri dalam rangka ini.

Di bawah ini beberapa definisi mengenai negara oleh beberapa tokoh yang dikutip oleh Budiardjo (2008):
  1. Roger H. Soultau : “The state is an agency or authority managing or controlling these (common) affairs on behalf of and in the name of the community”. Bahwa negara adalah agen atau kewewenangan yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat.
  2. Harold J. Laski : Negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih berkuasa daripada individu atau kelompok yang meruapakn bagian dari masyarakat. Masyarakat merupakan negara kalau cara hidup yang harus ditaati baik oleh individu maupun oleh asosiasi-asosiasi ditentukan oleh suatu wewenang yang bersifat memaksa dan mengikat.
  3. Max Weber : Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam sesuatu wilayah. “The State is human society that (successfully) claims the monopoli of the legitimate use of physical force within a given territory”.
  4. Robert M. Maclever : Negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa.

Jadi, sebagai definisi umum dapat dikatakan bahwa negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan perundang-undangannya melalui penguasaan (kontrol) monopolistis terhadap kekuasaan yang sah (Budiardjo 2008).

Sementara itu, menurut Rodee dkk (2011) bahwa dalam banyak hal negara adalah suatu perluasan dari keluarga: keluarga, dan juga klen dan suku, yang dibangun untuk menjamin kesejahteraan minimal dan kehidupan yang baik bagi para anggotanya, dan demikian juga negara. Negara dengan mengutip Burke, adalah suatu gagasan yang ada sepanjang masa, begitupun ciri-cirinya diambil dari sejarah pemerintahan yang telah berlangsung lama, masing-masing ditandai oleh rangkaian krisis dan keberhasilannya.


Bangsa
Menurut Jutmini dkk (2007), kelompok manusia yang besar adalah bangsa. Istilah bangsa merupakan terjemahan dari kata nation (bahasa Inggris). Kata nation berasal dari bahasa Latin, natio, yang artinya sesuatu telah lahir. Kata itu bermakna keturunan, yaitu kelompok orang yang berada dalam satu garis keturunan.

Menurutnya, bangsa dalam arti sosiologis antropologis adalah persekutuan hidup yang berdiri sendiri dan tiap-tiap anggota persekutuan hidup tersebut terikat oleh satu kesatuan ras, bahasa, agama, dan adat istiadat. Bangsa dalam arti sosiologis antropologis diikat oleh ikatan-ikatan, seperti kesatuan ras, tradisi, sejarah, adat istiadat, bahasa, agama atau kepercayaan, dan daerah.

Sementara dalam arti politis, bangsa adalah suatu masyarakat dalam suatu daerah yang sama dan mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu ke-kuasaan tertinggi ke luar dan ke dalam. Bangsa dalam arti politik diikat oleh sebuah organisasi kekuasaan/politik, yaitu negara beserta pemrintahnya. Mereka diikat oleh satu kesatuan wilayah nasional, hukum, dan perundang-undangan yang berlaku.

Sementara bangsa menurut 10 ahli yang dikutip oleh Abidin (2011), yaitu:
  1. Rawink, bangsa adalah sekumpulan manusia yang bersatu pada satu wilayah dan memunyai keterikatan dengan wilayah tersebut. Dengan batas teritori tertentu dan terletak dalam geografis tertentu.
  2. Otto Bauer bangsa adalah kelompok manusia yang mempunyai kesamaan karakteristik (nasib).
  3. Ki Bagoes Hadikoesoemo atau Tuan Munandar lebih menekankan pengertian bangsa pada persatuan antara orang dan tempat.
  4. Jalobsen dan Libman, bangsa adalah suatu kesatuan budaya (cultural unity) dan kesatuan (Politic unity).
  5. Hans Kohn, pengertian bangsa adalah buah hasil tenaga hidup manusia dalam sejarah.
  6. F. Ratzel, bangsa terbentuk karena adanya hasrat bersatu. Hasrat itu timbul karena adanya rasa kesatuan antara manusia dan tempat tinggal (geolitik).
  7. Ernest Renan, bangsa terbentuk karena adanya keinginan untuk hidup bersama (Sejarah & cita-cita).
  8. Guibernau, bangsa adalah negara kebangsaan memiliki unsur-unsur penting pengikat, yaitu: psikologi (sekelompok manusia yang memiliki kesadaran bersama untuk membentuk satu kesatuan masyarakat (adanya kehendak untuk hidup bersama), kebudayaan (merasa menjadi satu bagian dari suatu kebudayaan bersama), teritorial (batas wilayah atau tanah air), sejarah dan masa depan (merasa memiliki sejarah dan perjuangan masa depan yang sama), dan politik (memiliki hak untuk menjalankan pemerintahan sendiri).
  9. Rudolf Kjellen membuat suatu analogi/membandingkan bangsa dengan suatu organisme biotis dan menyamakan jiwa bangsa dengan nafsu hidup dari organisme termaksud. Suatu bangsa mempunyai dorongan kehendak untuk hidup, mempertahankan dirinya dan kehendak untuk berkuasa.
  10. Benedict Anderson mengatakan bahwa bangsa lebih mengacu kepada pemahaman atas suatu masyarakat yang mempunyai akar sejarah yang sama dimana praxis pengalaman atas penjajahan begitu kental dirasakan oleh masyarakat terjajah dan semakin lama akan semakin mengkristalkan pengalaman atas rasa solidaritas kebersamaan yang tinggi diantara mereka.

Sementera dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bangsa adalah kumpulan manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan wilayah tertentu di muka bumi. Terakhir bangsa menurut Nandang (2011), adalah sekelompok manusia yang mempunyai kepentingan yang sama dan menyatakan dirinya sebagai satu bangsa serta berproses di dalam satu wilayah, atau sekum-pulan manusia yang membentuk kesatuan berlandaskan kesamaan identitas dan cita-cita serta persamaan nasib dalam sejarah.


Perbedaan Negara dan Bangsa
Dari hasil uraian di atas dapat disimpulkan secara sederhana mengenai perbedaan antara bangsa dan negara, di bawah ini:
  1. Negara merupakan suatu organisasi besar yang teratur, sementara bangsa hanya sekumpulan masyarakat.
  2. Negara memiliki legitimasi dalam mengatur dan memaksa masyarakat secara abash, sementara bangsa tidak.
  3. Negara tidak terikat pada satu ras, bahasa, adat istiadat, atau identitas tertentu. Sementara bangsa terikat dalam satu identitas tertentu.
  4. Negara pasti memiliki suatu bangsa, sementera suatu bangsa belum tentu memilki negara.


Sumber : http://edukasi.kompasiana.com/2011/12/15/perbedaan-negara-dan-bangsa-419008.html

Saturday, March 16, 2013

Perbedaan Antara Negara Dengan Masyarakat

March 16, 2013 0

Masyarakat adalah jumlah individu yang berkumpul dalam satu wilayah, tumbuh berkembang dalam segala aspek secara bersama. Sedangkan Negara adalah asosiasi yang berdiri dari persatuan masyarakat tersebut.

Perbedaan-perbedaan:
  1. Lazimnya masyarakat adalah kepala didalam Negara. Manusia adalah makhluk hidup yang bermasyarakat dan ini merupakan sifat dasarnya, sangat mustahil Negara berdiri tampa perkumpulan tersebut. Karena melalui perkumpulan inilah Negara berdiri, misalnya: Asosiasi famili. Maka dapat disimpulkan asosiasi masyarakat adalah ujung tombaknya Negara.
  2. Jangkauan masyarakat lebih luas dari pada Negara. Masyarakat meliputi seluruh asosiasi kehidupan dan menyusun hubungan sesama secara universal. Sedangkan Negara tergantung pada hubungan mereka yang jelasnya kita ketahui bersama, bahwa pemerintahan adalah kuncinya Negara. Jadi jika pemerintahan berakhir maka tamatlah Negara ersebut, sedangkan hubungan masyarakat tetap berlanjut semasa dunia masih bernafas.
  3. Masyarakat hidup untuk menyelesaikan tujuan didalam kehidupannya, yang termasuk Keagamaan, spiritual, sastra, keseniaan dan pengetahuan, dimana masyarakat meiliki kelebihan luas dan kelebihan tersendiri didalamnya. Sedangkan tujuan Negara memiliki keterbatasan dimana pokok utamanya adalah sistem yang terorganisir, memerintah dan mengontrol wilayah tertentu. Jadi jelaslah tujun hidup masyarakat cenderung luas dari pada Negara.
  4. Dalam hal suka relawan dan kerja sama yang bersangkutan dengan keagamaan, adat,tradisi masyarakat cenderung akrab dan merupakan suatu wibawa yang besar jika mengerjakannya. Sedangkan didalam Negara hal sukarelawan dan kerja sama terkesan pemaksaan.

Wednesday, October 17, 2012

Beberapa Jenis Gaya Kepemimpinan

October 17, 2012 2

Gaya Kepemimpinan Otoriter
Adalah gaya pemimpin yang memusatkan segala keputusan dan kebijakan yang diambil dari dirinya sendiri secara penuh. Pada gaya kepemimpinan otokrasi ini, pemimpin mengendalikan semua aspek kegiatan. Pemimpin memberitahukan sasaran apa saja yang ingin dicapai dan cara untuk mencapai sasaran tersebut, baik itu sasaran utama maupun sasaran minornya. Pemimpin juga berperan sebagai pengawas terhadap semua aktivitas anggotanya dan pemberi jalan keluar bila anggota mengalami masalah. Dengan kata lain, anggota tidak perlu pusing memikirkan apappun. Anggota cukup melaksanakan apa yang diputuskan pemimpin.Kepemimpinan otokrasi cocok untuk anggota yang memiliki kompetensi rendah tapi komitmennya tinggi.

Gaya Kepemimpinan Demokratis
Gaya kepemimpinan demokratis adalah gaya pemimpin yang memberikan wewenang secara luas kepada para bawahan. Setiap ada permasalahan selalu mengikutsertakan bawahan sebagai suatu tim yang utuh. Dalam gaya kepemimpinan demokratis pemimpin memberikan banyak informasi tentang tugas serta tanggung jawab para bawahannya. Pada kepemimpinandemokrasi, anggota memiliki peranan yang lebih besar. Pada kepemimpinan ini seorang pemimpin hanya menunjukkan sasaran yang ingin dicapai saja, tentang cara untuk mencapai sasaran tersebut, anggota yang menentukan. Selain itu, anggota juga diberi keleluasaan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Kepemimpinan demokrasi cocok untuk anggota yang memiliki kompetensi tinggi dengan komitmen yang bervariasi

Gaya Kepemimpinan Laissez Faire ( Kendali Bebas )
Pemimpin jenis ini hanya terlibat delam kuantitas yang kecil di mana para bawahannya yang secara aktif menentukan tujuan dan penyelesaian masalah yang dihadapi. Gaya kepemimpinan demokratis kendali bebas merupakan model kepemimpinan yang paling dinamis. Pada gaya kepemimpinan ini seorang pemimpin hanya menunjukkan sasaran utama yang ingin dicapai saja. Tiap divisi atau seksi diberi kepercayaan penuh untuk menentukan sasaran minor, cara untuk mencapai sasaran, dan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya sendiri-sendiri. Dengan demikian, pemimpin hanya berperan sebagai pemantau saja.
Sementara itu, kepemimpinan kendali bebas cocok untuk angggota yang memiliki kompetensi dan komitmen tinggi. Namun dewasa ini, banyak para ahli yang menawarkan gaya kepemimpinan yang dapat meningkatkan produktivitas kerja karyawan, dimulai dari yang paling klasik yaitu teori sifat sampai kepada teori situasional.

Gaya Kepemimpinan Dalam Organisasi

October 17, 2012 0

Menurut Thoha (1996:265), gaya kepemimpinan banyak mempengaruhi keberhasilan seorang pemimpin dalam mempengaruhi prilaku pengikut-pengikutnya. Istilah gaya secara kasar adalah sama dengan cara yang dipergunakan pemimpin di dalam mepengaruhi para pengikutnya. Pada saat bagaimanapun jika seorang berusaha untuk mempengaruhi prilaku orang lain, sebagaimana sudah dipaparkan sebelumnya kegiatan semacam itu telah melibatkan seseorang kedalam aktivitas kepemimpinan. Jika kepemimpinan tersebut terjadi dalam suatu organisasi tertentu, dan ia merasa perlu mengembangkan staf dan membangun iklim motivasi yang mampu meningkatkan produktivitasnya, maka ia perlu memikirkan gaya kepemimpinan. Studi kepemimpinan Universitas Michigan yang dipelopori oleh Gibson dan Ivancevich (2004:413) mengidentifikasikan dua bentuk perilaku pemimpin yaitu :
  1. Gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas (The Job Centered). Dalam gaya kepemimpinan ini, seorang manajer akan mengarahkan dan mengawasi bawahannya agar sesuai dengan yang diharapkan manajer. Manajer yang mempunyai gaya kepemimpinan ini lebih mengutamakan keberhasilan dari pekerjaan yang hendak dicapai daripada perkembangan kemampuan bawahannya.
  2. Gaya kepemimpinan yang berorientasi pada bawahan (The Employee Centered). Manajer yang mempunyai gaya kepemimpinan ini berusaha mendorong dan memotivasi pekerjaannya untuk bekerja dengan baik. Mereka mengikutsertakan pekerjaannya dalam mengambil suatu keputusan.


Beberapa Teori dan Pendekatan Dalam Kepemimpinan

October 17, 2012 0

Pada dasarnya untuk mengetahui teori-teori kepemimpinan dapat dilihat dari berbagai literatur yang menyatakan pemimpin itu dilahirkan, bukan dibuat. Ada yang mengatakan bahwa pemimpin itu terjadi karena adanya kelompok-kelompok orang. Teori lain mengemukakan bahwa pemimpin timbul karena situasi yang memungkinkan ia ada. Teori yang paling mutakhir melihat kepemimpinan lewat perilaku organisasi.

Orientasi prilaku mencoba mengetengahkan pendekatan yang bersifat Social Learning pada kepemimpinan. Teori ini menekankan bahwa terdapat faktor penentu yang timbal balik dalam kepemimpinan ini. Selanjutnya Thoha (1996:250-264) mengemukakan teori dan pendekatan kepemimpinan sebagai berikut :

Teori Sifat
Dalam teori sifat (Trait Theory), menurut Malayu Hasibuan (2007:203) analisis ilmiah tentang kepemimpinan dimulai dengan memusatkan perhatiannya pada pemimpin itu sendiri. Seorang pemimpin menurut teori sifat ditandai dengan dipunyainya tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dibandingkan bawahannya. Namun demikian tingkat kecerdasan yang jauh lebih tinggi dari bawahannya juga tidak efektif, sebab para bawahan menjadi tidak dapat memahami apa yang diinginkan pemimpin atau tidak memahami gagasan dan kebijakan yang telah digariskan. Oleh karena itu, idealnya seorang pemimpin sebaiknya memiliki kecerdasan yang tidak terlalu tinggi dari bawahannya.

Teori Kelompok
 “Dalam teori kelompok beranggapan bahwa, supaya kelompok bisa mencapai tujuan-tujuannya, maka harus terdapat suatu pertukaran yang positif di antara pemimpin dan pengikut-pengikutnya, terutama dimensi pemberian perhatian kepada para pengikut, dapat dikatakan pemberian perhatian kepada para pengikut dikatakan memberikan dukungan yang positif terhadap perspektif teori kelompok ini” (Thoha, 1996:252).

Teori Situasional dan Model Kontijensi
Kepemimpinan model Fiedler (Fiedler’s Centigency Model), menyatakan ada dua hal yang dijadikan sasaran yaitu mengadakan identifikasi faktor-faktor yang sangat penting di dalam situasi, dan kedua memperkirakan gaya atau prilaku kepemimpinan yang paling efektif di dalam situasi tersebut.

Teori Jalan Kecil – Tujuan (Path – Goal Theory)
 “Dalam pendekatan teori path-goal mempergunakan kerangka teori motivasi. Hal ini merupakan pengembangan yang sehat karena kepemimpinan di satu pihak sangat dekat, berhubungan dengan motivasi kerja dan pihak lain berhubungan dengan kekuasaan”. (Thoha,1996:252)

Pendekatan Social Learning dalam Kepemimpinan
Pendekatan Social Learning merupakan suatu teori yang dapat memberikan suatu model yang menjamin kelangsungan, interaksi timbal balik antar pemimpin, lingkungan dan perilakunya sendiri. Pendekatan Social Learning ini antara pemimpin dan bawahan mempunyai kesempatan untuk bisa memusyawarahkan semua perkara yang timbul. Keduanya, pimpinan dan bawahan mempunyai hubungan interaksi yang hidup dan mempunyai kesadaran untuk menemukan bagaiman caranya menyempurnakan prilaku masing-masing dengan memberikan penghargaan-penghargaan yang diinginkan.

Monday, October 8, 2012

RUU KKG; Penghancuran Kiprah Politik Wanita yang Sesungguhnya

October 08, 2012 0

Tak dapat dipungkiri, salah satu kekuatan besar suatu Negara terletak pada kaum perempuannya. Kaum perempuan di seluruh dunia merupakan representasi kelahiran generasi-generasi yang menjadi ekspektasi yang luar biasa bagi suatu bangsa, kiprah politiknya telah memberikan andil bagi kemajuan dan kecemerlangan berpikir wanita-wanita lainnya di seluruh dunia.

Namun tak dapat dipungkiri pula bahwa selama ini terdapat kesalahpahaman terhadap aktivitas politik perempuan. Sebagian memandang bahwa keterlibatan perempuan dalam dunia politik dianggap tidak layak dan melanggar fitrah, seakan-akan politik bukan milik dan bagian perempuan. Pasalnya, dalam kacamata mereka politik identik dengan kekerasan, kekuasaan, kelicikan atau tipudaya yang hanya pantas menjadi milik laki-laki saja atau bahkan dianggap tidak ada hubungannya dengan Islam. Pandangan seperti inilah yang akhirnya membuat muslimah tidak mau berpolitik. Alih-alih melakukan aktivitas politik, memikirkan pun mereka tidak mau. Akhirnya, kaum perempuan hanya mencukupkan diri untuk memikirkan dan beraktivitas dalam urusan dirinya, anak-anaknya dan keluarganya. Pada saat yang sama, mereka tidak mau peduli dengan apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya.

Sebaliknya, di sisi lain sebagian berpendapat bahwa justru perempuan harus berkiprah dan berperan aktif di segala bidang, sama dengan laki-laki tanpa pengecualian, termasuk dalam bidang politik. Hanya saja, politik yang mereka maksud terbatas pada aspek kekuasaan dan legislasi saja. Artinya, aktivitas politik mereka senantiasa diarahkan pada upaya untuk meraih peluang sebesar-besarnya untuk duduk di jabatan kekuasaan atau legislasi. Hal ini didukung oleh asumsi, bahwa jika kekuasaan ataupun penentu kebijakan bukan perempuan atau minoritas perempuan. Akibatnya, menurut mereka persoalan perempuan tidak pernah terselesaikan. Asumsi ini seakan-akan menjadi keyakinan bagi mereka. Seolah-olah persoalan perempuan hanya bisa diselesaikan oleh perempuan. Wajar jika akhirnya kelompok ini berjuang mati-matian agar perempuan menguasai suara di legisatif ataupun langsung menduduki jabatan sebagai penentu kebijakan.

Koalisi Kesetaraan Gender Menggerus Arah Politik Perempuan
Kapitalisme telah membawa keterpurukan di segala bidang. Perempuan telah menjadi korban eksploitasi kebengisan dan kerakusan Demokrasi-kapitalis, para TKW yang di kirim ke luar negeri tak kunjung kembali ke tanah air karena mengalami penyiksaan yang bertubi-tubi dan berujung pada kematian. Wanita yang identik dengan kecantikan dan kelembutannya telah menjadi komoditas seksual bagi iklan-iklan produk dalam maupun luar negeri. Tak sedikit komersialitas yang tak berhubungan dengan dunia wanita pun menggunakan sisi sensualitas wanita sebagai daya tarik produk mereka, seperti sepeda motor, parfum pria, hingga oli kendaraan. Belum lagi eksploitasi komoditas seksual yang dilegalkan dalam bentuk prostitusi yang menjadikan kaum wanita tak ada harganya di mata publik dan tidak berbeda dengan barang dagangan yang dijajakan di ruang publik.

Ini semua tak lain karena Negara tak mampu menyejahterakan kehidupan masyarakat dengan menyediakan lapangan kerja dan penghasilan untuk membiayai penghidupan secara layak dan halal. Dalam situasi yang sedemikian carut marutnya, didukung dengan pemahaman yang minim akan penting dan urgennya aturan-aturan Islam dalam kehidupan sosial kemasyarakatan termasuk pengaturan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, pemerintah dengan ringannya merancang RUU KKG yang sarat bertentangan dengan aqidah Islam.

Tengok saja Pasal 1 ayat 1 dalam RUU tersebut yang berbunyi, “Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan laki-laki untk mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan.” Ditinjau dari kacamata Islam, hal ini sangat bertentangan dengan Aqidah Islam. Islam memandang bahwa kedudukan dan posisi laki-laki dan perempuan disandarkan kepada wahyu Allah, bukan kepada sosial budaya yang mengacu kepada hukum kufur kapitalisme yang dapat di otak-atik sesuai keinginan pembuatnya. RUU ini pun secara implisit mendiskreditkan Islam yang berlaku diskriminatif terhadap perempuan.

Kondisi tersebut diperparah oleh ide-ide Feminisme yang disuntikkan secara paksa oleh kaum Feminis ke seluruh negeri berpenduduk mayoritas Muslim. Awal kemunculan kaum feminis ini pun berwal dari ketertindasan kaum perempuan di Eropa pada masa kegelapannya atas kekecewaan mereka terhadap nasib perempuan. Dalam mindset mereka telah terhujam secara kuat bahwa setiap ide-ide Barat, termasuk RUU KKG yang merujuk kepada CEDAW (Convention on the Eliminaton of All Forms of Discrimination Against Woman) ini sebagai sesuatu yang mutlak harus diikuti. Mereka cenderung kurang kritis dan terjebak fakta sejarah, semangat mereka yang membara dimanfaatkan untuk menggugat fitrah, posisi, kedudukan serta kemuliaan yang Allah berikan. Akibatnya, feminisme telah mampu membentuk mindset masyarakat bahwa kiprah kaum wanita yang sesungguhnya ialah di sektor publik, dan mengesampingkan peran yang sesungguhnya di sector domestic.

Karena target aktivis KKG adalah kesetaraan secara kuantitatif atara laki-laki dan perempuan, terutama di ruang publik, maka pada pasal 4, perempuan Indonesia dipaksa untuk aktif di lapangan politik dan pemerintahan, dengan mendapatkan porsi minimal 30 persen: “…perempuan berhak memperoleh tindakan khusus sementara paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) dalam hal keterwakilan di legislatif, eksekutif, yudikatif, dan berbagai lembaga pemerintahan non-kementerian, lembaga politik, dan lembaga non-pemerintah, lembaga masyarakat di tingkat daerah, nasional, regional dan internasional.” (pasal 4, ayat 2).

Itulah contoh kesalahpahaman yang luar biasa dari cara berpikir perumus naskah RUU KKG ini. Bahwa, makna menikmati dan berpartisipasi dalam pembangunan haruslah dilakukan oleh perempuan dalam bentuk aktif di luar rumah. Aktivitas perempuan sebagai istri pendamping suami dan pendidik anak-anaknya di rumah, tidak dinilai sebagai bentuk partisipasi dalam pembangunan. Rumusan definisi Gender, Kesetaraan dan Keadilan Gender, serta pemaksaan peran perempuan dalam porsi tertentu di ruang publik, dalam RUU KKG ini, sejalan dengan gagasan kaum Marxian yang memandang keluarga – dimana laki-laki sebagai pemimpinnya -- sebagai bentuk penindasan terhadap kaum perempuan. Tidak ada di benak kaum Marxis ini, bahwa ketaatan seorang istri terhadap suami adalah suatu bentuk ibadah kepada Allah SWT. Tidak terlintas di benak mereka, betapa bahagianya seorang Muslimah saat mentaati suami, sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT.

Khilafah Menjamin Hak-hak Perempuan
Islam menjamin kebutuhan pokok perempuan dengan mekanisme kewajiban nafkah ada pada suami/ayah, kerabat laki-laki bila tidak ada suami/ayah atau mereka ada tapi tidak mampu, serta jaminan Negara secara langsung bagi para perempuan yang tidak mampu dan tidak memiliki siapapun yang akan menafkahinya seperti para janda miskin. Dalam Khilafah Islam tidak akan ada perempuan yang terpaksa bekerja mencari nafkah dan mengabaikan kewajibannya sebagai isteri dan ibu. Sekalipun Islam tidak melarang perempuan bekerja, tapi mereka bekerja semata mengamalkan ilmu untuk kemaslahatan umat, sementara tanggung jawab sebagai isteri dan ibu juga tetap terlaksana.

Khilafah Islam akan menjamin hak perempuan mendapatkan Ilmu, karena menuntut ilmu adalah kewajiban semua: “Thalabul ‘ilmi faridhatin ‘ala kulli muslimin walmuslimatin”. Khilafah tidak akan membedakan kesempatan untuk menuntut ilmu antara laki-laki dan perempuan. Baginda Rasul bahkan menyediakan waktu khusus untuk perempuan Anshar berlajar. Khilafah memberikan hak politik kepada perempuan. Islam memberikan hak menyampaikan pendapat dan hak menjadi wakil untuk memberikan pendapat. Islam membolehkan perempuan mememilih dan dipilih menjadi anggota Majelis umat. Kehadiran Ummu’Ammarah binti Kalb dan Asma’ binti ‘Amr ibn ‘Adi dalam Baiat Aqabah merupakan bukti bahwa Rasulullah SAW mengakui hak politik perempuan dalam menyampaikan aspirasi.

Bagaimana dengan kehormatan dan keselamatan perempuan? Jelas, Islam akan menjaganya. Berbeda dengan sistem sekarang dimana kehormatan perempuan seolah tiada arti. Perempuan dalam sistem kapitalis harganya sama dengan barang, akan dianggap berarti jika mendatangkan keuntungan materi. Faktanya bisa kita lihat dam eksploitasi kecantikan dan kemolekan tubuh perempuan dalam sejumlah iklan atau tayangan film dan sinetron demi mendongkrak jumlah penjualan dan meningkatkan ratting tontonan. Di sisi lain, perempuan juga jadi korban pelecehan dan pemerkosaan yang terjadi di ranah publik, baik di jalan, angkot, kantor, bahkan di sekolah. Begitu mahalkah harga kenyamanan, kehormatan, dan keselamatan bagi perempuan di zaman sekarang? Ya, hanya Islam yang akan menyelamatkan perempuan. Dalam Islam perempuan dijaga kehormatannya dengan penerapan aturan pakaian yang menutup aurat dan larangan tabarruj; aturan pergaulan yang jauh dari khalwat; kewajiban disertai mahram bagi perempuan yang bepergian menempuh jarak safar termasuk ketika menunaikan ibadah haji. Catatan sejarah menunjukkan bukti bahwa Islam sangat melindungi perempuan, salah satu contohnya adalah Rasulullah SAW pernah melarang seorang laki-laki pergi berjihad dan menyuruh dia menemani isterinya pergi haji; atau bagaimana perhatian penuh yang diberikan seorang Khalifah ketika mendengar kabar bahwa ada seorang muslimah dilecehkan oleh seorang yahudi, beliau segera mengerahkan sejumlah pasukan untuk menyelesaikannya.

Sunday, September 9, 2012

Konflik dan Kekerasan Negara

September 09, 2012 0

Dinamika kehidupan bernegara terkadang tidak selalu berjalan sesuai dengan apa yang dicita-citakan. Hal ini  karena perbedaan pendapat dan kepentingan berbagai pihak bertemu dalam satu wadah dan saling berebut pengaruhnya. Negara haruslah menjadi penengah jika terjadi konflik antar warga negaranya. Tapi pertanyaannya bagaimana jika terjadi konflik antara rakyat dan Negara? Kekerasan Negara terhadap rakyatnya.

Menurut Profesor Henk Schulte Nordholt, dalam sejarah Indonesia, intensitas kekerasan meningkat pada masa peralihan kekuasaan, ketika negara memperkuat kekuasaan, juga pada masa ekonomi yang suram. Hal itulah yang terjadi dari awal sampai akhir orde baru. Bahkan era pasca reformasipun masih ada kejadian-kejadian  serupa, peristiwa terakhir yaitu kejadian Mesuji dan Bima dan ini karena tipe dan gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh pemimpin negaranya yang lemah.

Kasus Mesuji yang dilatarbelakangi sengketa lahan dan pihak pemodal perkebunan dan masyarakat. Masalahnya sudah jelas terlihat pengelolaan bisnis sawit yang tidak jujur dan merugikan masyarakat. Bisnis yang dilakukan adalah kerja sama Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang dilakukan sejak 1997 dengan PT Treekreasi Margamulya (TM/Sumber Wangi Alam). Masalah semakin meruncing karena keterlibatan polisi Brimob yang melakukan pengamanan dengan cara-cara kekerasan kepada warga sekitar

Peristiwa Bima pun tidak berbeda jauh keterlibatan aparat negara yang memicu konflik, laporan warga kabupaten Bima yang mengeluhkan berdirinya tambang awal 2011 di daerah mereka yang mengganggu pertanian, air bersih dan ternak warga sekitar tambang. Perijinan pendirian tambangpun bermasalah karena tidak mengantongi analisa dampak lingkungan (AMDAL). Penolakan dari wargapun tak digubris dan terus dibiarkan berlarut-larut. Padahal warga telah melaporkan dan sudah ada pengaduan aparat terkait. Tapi aktifitas PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) masih tetap berjalan.

Kedekatan Pemerintah dengan Pemilik Modal

Ada apa dengan kebijakan penempatan Polisi Brimob dilokasi perusahaan-perusahaan yang rawan konflik agrarian, ini menjadi pertanyaan besar. Terlihat jelas dekatnya hubungan antara POLRI atau pemerintah dengan pihak pemodal. POLRI yang seharusnnya mengamankan dan membela hak rakyat berbalik fungsinya, rasa aman yang diharap tembakan peluru, tendangan dan pukulan yang didapat.

Ada beberapa hal yang bisa kita lihat dalam beberapa konflik terakhir, pertama bahwa konflik itu bukanlah konflik baru akan tetapi sudah cukup dan baru mencuat kepermukaan sekarang, ibarat fenomena gunung es. Lambannya birokrasi dan keberpihakan terhadap pemodal, selain itu pembangunan infrastruktur yang tidak merata, korupsi yang sudah menjalar disemua instansi dan penegakan hukum yang masih carut marut.

Presiden sebagai pemimpin negara dalam berbagai pidatonya yang menekankan pro rakyat, penegakkan hukum, pemberantasan korupsi ternyata hanya retorika semata. Gaya kepemimpinan yang dimunculkan SBY cenderung pada laizes feier atau permisif, ini terlihat dari belum adanya tindakan tegas atau pernyataan tegas dari Sby menyikapi semua kejadi konflik dimana rakyat dan aparat saling berhadapan.

Bentuk ketidaktegasan dan pembiaran terhadap kekerasan yang terjadi merupakan bentuk kejahatan negara. Ini termaktub dalam amanah pembukaan UUD 1945 alenia 4 melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, sekarang jika negara melalui pemerintah ternyata belum mampu memberikan rasa aman bagi rakyatnya sendiri dan salah satu tujuan utama dari berdirinya Negara republik Indonesia masih menjadi angan setelah 66 tahun merdeka.

Lebih dari 70 Persen Masyarakat Tidak Dekat dengan Parpol

September 09, 2012 0

Lembaga survei Charta Politica hari ini merilis hasil survei dengan tema 'Stagnasi Perilaku Pemilih, dan Fenomena Partai Politik Mati Suri. Secara umum, tidak terlalu banyak terjadi perubahan terkait elektabilitas partai politik yang ada di Indonesia.

Partai Golkar, Partai Demokrat dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menempati posisi teratas dengan perolehan masing-masing Golkar 18 persen, Demokrat 12,5 persen, dan PDIP 10,8 persen.

Yang cukup mengejutkan ialah terjadinya perubahan besar pada komposisi kekuatan partai di lapis tengah, dimana Partai Gerindra memperoleh 4,7 persen, serta Partai Nasional Demokrat (NasDem) mendapatkan 4,3 persen.

Posisi selanjutnya ditempati oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan 3,9 persen, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 2,7 persen, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 2,6 persen, Partai Amanat Naional (PAN) 1,9 persen, dan Partai Hanura 1,6 persen. Sisanya 34,4 persen mengaku belum menentukan pilihan.

Berdasarkan hasil survei tersebut, Direktur Riset Charta Politica Yunarto Wijaya menuturkan, ada beberapa hal yang menjadi bukti menguatnya stagnasi para pemilih. Misalnya tidak adanya perubahan pada posisi tiga teratas yang masih dihuni oleh partai-partai besar.

"Tidak munculnya captive market dan jaringan baru pemilih, undecided voters masih menjadi pemenang, 34 persen responden masih belum menentukan pilihan menjelang pemilu," ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Kamis (30/08/2012).

Selain itu, Yunarto juga menggaris bawahi poin yang mengatakan bahwa hanya sekitar 14 persen masyarakat yang mengaku dekat dengan partai politik yang didukungnya. Sedangkan 76 persen mengaku tidak memiliki hubungan dekat dengan parpol, dan 10 persen tidak memberikan jawaban.

"Tingkat kedekatan masyarakat dengan partai politik, atau istilahnya party id, hanya 14 persen responden yang mengaku dekat dengan partai politik," ungkapnya.

Survei ini dilakukan pada tanggal 8-22 Juli 2012 dengan melakukan wawancara secara tatap muka dengan menggunakan kuisioner terstruktur. Quality control dilakukan terhadap hasil wawancara, yang dipilih secara random sebesar 30 persen dari total sampel.

Sampel tersebut dipilih secara acak (probability sampling) menggunakan metode penarikan sampel acak bertingkat (multistage random sampling). Unit sampling primer survei (PSU) ini adalah desa/kelurahan dengan jumlah sampel masing-masing 10 orang pada setiap PSU yang berjumlah 200 desa/kelurahan yang tersebar secara proporsional.

Survei ini dilakukan dengan menggunakan sampel sebesar 2.000 responden, dengan margin of error sebesar 2,19 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.


Wednesday, August 29, 2012

Politik Etis (Politik Balas Budi) dan Pelaksanannya

August 29, 2012 0

Politik Etis (Politik Balas Budi) dan Pelaksanannya) – Semenjak pemerintah kolonial Belanda memberlakukan sistem Tanam Paksa di Indonesia, banyak menimbulkan penderitaan bagi rakyat pribumi seperti kemiskinan, kelaparan bahkan kematian. Selain itu banyak juga penduduk yang meninggalkan tanah kelahirannya hanya sekedar untuk menghindari diri dari sistem Tanam Paksa yang dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Berbagai penderitaan pada saat itu banyak dialami oleh masyarakat Indonesia, misalnya kejadian-kejadian diberbagai wilayah di Indonesia, seperti di Cirebon pada tahun 1843 banyak penduduk yang meninggalkan daerahnya dengan tujuan untuk menghindari dari kekejaman belanda. Di daerah lain juga telah mengalami beberapa kejadian kelaparan yang sangat memprihatinkan, seperti di daerah Demak dan Grobogan yang mengakibatkan kematian secara besar-besaran.
Sementara itu pada umumnya rakyat di negeri Belanda banyak yang tidak tahu atas kekejaman di daerah tanah jajahannya yang diakibatkan oleh Tanam Paksa, sebaliknya Tanam Paksa telah meningkatkan kemakmuran rakyat di negeri Belanda, sebab banyak mendapat keuntungan yang sangat melimpah dari penyelenggaraan politik Tanam Paksa, sementara akibat dari pelaksanaan politik tersebut masyarakat pribumi (Masyarakat Indonesia) menjadi semakin menderita.
Keadaan seperti ini mulai berubah setelah tahun 1850, dimana rakyat Belanda memperoleh berita mengenai kejadian yang sebenarnya di Indonesia yang ditimbulkan oleh Tanam Paksa. Kesewenang-wenangan dari para pegawai pemerintah kolonial Belanda, kejadian di daerah Cirebon, Demak, dan Grobogan, lambat laun sampai beritanya di negeri Belanda, sehingga antara tahun 1850-1860 timbul terjadi perdebatan diantara para tokoh di negeri Belanda yang peduli terhadap nasib bangsa Indonesia akibat dari kebijakan Tanam Paksa.
Reaksi yang timbul akibat dari adanya berbagai tulisan kaum humaniter mulai mencapai tarap yang menentukan, seperti diadakannya peninjauan kembali mengenai aturan-aturan dalam sistem Tanam Paksa. Adapun yang tergolong kepada kelompok kaum humaniter diantaranya seperti : Walter Baron Van Hoevel, Fransen Van De Futte, juga seorang Perdana Menteri Torbeck tampil ke depan untuk membela kepentingan bangsa Indonesia. Pada saat itu tokoh yang dianggap paling berhasil merubah opini rakyat Belanda dengan sebuah karya tulisannya adalah “Douwes Dekker” dengan nama samarannya “Multatuli”. Yang berhasil menulis sebuah karya buku yang berjudul “Max Havelaar”
Dalam situasi seperti itu , muncul pula tulisan “Van Deventer” yang berjudul “Een Eereschuld” (Hutang Kehormatan) pada majalah “de Gids” tahun 1899. Ia mengecam pemerintah kolonial Belanda yang tidak memperhatikan nasib penduduk tanah jajahannya. Ia mengungkapkan, bahwa pemerintah Belanda telah berhutang budi kepada rakyat tanah jajahan (Indonesia) serta harus ditebus dengan cara memberikan kesejahteraan. Usul Van Deventer tersebut mendapat dukungan dari rekan-rekan kaum liberal, seperti Van Kol, Van Dedem, dan Brooschooft.
Ratu Belanda menanggapi positif terhadap usulan yang disampaikan kaum liberal. Dalam pidatonya tahun 1901, Ratu Belanda mengesahkan politik yang sangat terkenal dengan sebutan “Politik Etis“. Politik ini merupakan upaya balas budi pemerintah Belanda untuk memperhatikan nasib bangsa Indonesia. Menurut Van Deventer, politik Etis yang ditujukan untuk memajukan kesejahteraan rakyat Indonesia dapat dilakukan melalui tiga hal, sehingga disebut Trilogi Van Deventer, yang isinya sebagai berikut : Irigasi, Transmigrasi, dan Edukasi.
Dalam pelaksanaannya bidang “edukasi” memberi pengaruh yang positif bagi bangsa Indonesia yaitu dengan lahirnya golongan terpelajar (golongan intelektual). Pemerintah kolonial Hindia-Belanda semula berharap dari penyelenggaraan edukasi (pendidikan) dapat menyediakan tenaga kerja terdidik yang terampil dan bisa dibayar murah.
Akan tetapi dalam perkembangannya sasaran itu meleset, karena ternyata dari “STOVIA” justru muncul kalangan terpelajar Indonesia yang mengobarkan semangat api kebangsaan serta peduli terhadap nasib bangsa Indonesia, sehingga mereka menjadi pelopor dalam perjuangan pergerakan bangsa Indonesia yang menentang pemerintah kolonial Belanda dengan tujuan utama untuk meraih kemerdekaan Indonesia.

sumber

Monday, July 16, 2012

Demokrasi ala Chomsky

July 16, 2012 0
Demokrasi (democracy) dan pendidikan (education), mau tidak mau, suka atau tidak suka seperti ditegaskan oleh Chomsky, kita akan berjumpa dengan pemikiran salah satu filsuf besar Amerika Serikat di abad 20, yakni John Dewey. Chomsky sendiri mengakui, bahwa pemikiran Dewey tentang pendidikan juga mempengaruhi pemikirannya. Salah satu argumen yang cukup menarik, yang diajukan oleh Dewey adalah reformasi pendidikan (reform in education) berupa perubahan paradigma pendidikan, perlu dilakukan sejak orang masih berusia muda.
Dalam konteks ini, tetaplah perlu diperhatikan, bahwa menurut Dewey, tujuan pendidikan bukanlah menghasilkan barang-barang bagus yang bisa dijual dan menambah kas Negara, melainkan menghasilkan manusia-manusia bebas (produces free men) yang mampu berhubungan satu sama lain dalam situasi yang setara (equal relation). Itulah tujuan pendidikan sejati, yang sekarang ini banyak terlupakan.
Mengapa demikian, pada prinsipnya masa sekarang ini, pendidikan sedang diancam oleh dua kekuatan besar. Yang pertama adalah kekuatan dari rezim-rezim otoriter (authoritarian regimes) yang ingin menciptakan manusia-manusia yang tunduk dan patuh (docile human) pada ideologi yang ada. Sementara yang kedua adalah kekuatan dari sistem kapitalisme yang hendak mengubah konsep warga negara (citizenship) yang bebas menjadi konsep konsumen (consumer) yang bebas, yang pikirannya hanya terfokus pada konsumsi tanpa batas semata.
Dua macam power ini masih dapat kita temukan sekarang ini. Bisa dikatakan Rezim otoriter sekarang ini banyak mengatasnamakan agama dan tradisi untuk melenyapkan kebebasan manusia. Sementara sistem kapitalisme, dengan daya pikat konsumtivismenya, masih mencengkram pikiran banyak orang, sehingga mereka kehilangan kesadarannya sebagai warga negara, dan hanya semata sibuk mengumpulkan uang tanpa memikirkan sesuatu yang penting yaitu tujuan pendidikan.

Tujuan Pendidikan
Chomsky mengajak kita kembali mengingat tujuan utama pendidikan, yakni menghasilkan manusia-manusia yang bebas dan mampu berhubungan satu sama lain dalam situasi, kondisi yang setara. Maka dapatlah dikatakan, bahwa pendidikan adalah suatu proses produksi, namun bukanlah produksi barang-barang dengan cetakan ketat yang telah ditentukan sebelumnya, melainkan produksi manusia-manusia bebas.
Di sisi lain, Chomsky juga mengutip pendapat Bertrand Russell, seorang filsuf besar asal Inggris di awal abad ke-20 lalu, tentang pendidikan. Baginya, pendidikan adalah suatu proses untuk memberi makna dari segala sesuatu, dan bukan untuk menguasainya (manusia dan alam). Pendidikan juga adalah proses untuk menciptakan warga negara yang bijak dan masyarakat yang bebas (wise citizens and free society). Menurut Russell, kebijaksanaan publik seorang warga negara mencakup dua hal, yakni kepatuhan pada hukum seorang warga negara pada hukum di satu sisi, dan kreativitas individual dalam berkarya serta mencipta ulang hidupnya di sisi lain. Kedua aspek ini harus berjalan seimbang dan dinamis.
Nilai-nilai individualistik yang mengabaikan solidaritas sosial berkembang pesat di berbagai masyarakat dunia sekarang ini. Di satu sisi, orang hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri untuk mencapai keberhasilan dalam hidup. Di sisi lain, tingkat kecemasan menjadi amat tinggi, karena tidak ada jaring pengaman yang menangkap mereka, ketika jatuh atau gagal dalam kehidupan, Pada titik ini, menurut kami, proses globalisasi yang terjadi sekarang ini sebenarnya adalah proses penyebaran nilai-nilai individualisme khas Amerika Serikat ke seluruh dunia.
Di dalam penyebaran nilai-nilai tersebut, solidaritas sosial yang menjadi fondasi dari banyak komunitas, dan juga merupakan fondasi bagi proses-proses demokrasi yang sehat, secara perlahan namun pasti terkikis. Yang juga perlu diperhatikan, terutama dengan melihat situasi dewasa ini, nilai-nilai invidiualisme justru membawa kehancuran pada komunitas, ketidakadilan akibat kesenjangan sosial yang begitu tajam antara si kaya dan si miskin, serta krisis ekonomi raksasa yang merugikan begitu banyak pihak yang tak bersalah.
Proses globalisasi (baca: Amerikanisasi) masa kini, bisa dibayangkan sebagai proses penyebaran “racun” politis ke seluruh dunia. Di dalam semua proses tersebut, dan ini menyebabkan dunia pendidikan di Indonesia pada umumnya dan Aceh pada khususnya tidak menjalankan fungsinya sebagai institusi kritis, tetapi justru mengabdi pada pengembangan sekaligus penyebaran nilai-nilai individualistik yang egois dan rakus tersebut.
Untuk menjelaskan argumen ini, Chomsky mengutip tulisan David Montgomery, seorang sejarahwan dari Inggris. Menurut Montgomery, Amerika Serikat modern adalah negara yang dibangun dari pemberontakan kelas pekerja terhadap kelas penguasa, mulai dari kelas penguasa dari Inggris, maupun kelas penguasa modal yang rakus dan enggan berbagi. Pemberontakan itu berbentuk protes keras dan berkelanjutan dari awal abad ke-19 sampai dengan 1950-an.
Chomsky sepakat dengan argumen ini. Yang melakukan protes ini adalah orang-orang biasa, kaum pekerja, terutama kaum perempuan. Mereka bangkit dan bekerja sama untuk menolak nilai-nilai kelas penguasa borjuis yang individualistik, kompetitif, dan penuh dengan nuansa kerakusan. Mereka memperjuangkan perbaikan untuk nasib mereka yang direndahkan, dan situasi kerja maupun hidup mereka yang tidak manusiawi. Perbudakan memang dihapus. Namun, jenis perbudakan baru lahir, yakni apa yang disebut Chomsky sebagai perbudakan yang bergaji (wage slavery).
Pada saat yang sama, minat pada karya-karya sastra klasik dan filsafat menurun drastis, terutama di kalangan para pekerja kasar yang hidupnya bagaikan “budak yang bergaji”. Para pejuang kelas pekerja, sebagian dari mereka adalah kaum perempuan, menolak tata kelola politis semacam ini, dan mengorganisir gerakan perubahan (change movement). Gerakan perubahan tersebut berhasil, dan terciptalah Amerika Serikat modern.

Politik Masa Kini
Seiring berjalannya waktu, demokratisasi yang terjadi pada hari ini sangat tidak stabil, barometernya adalah uang (money) artinya kekuasaan tersebut tidak datang dari rakyat maupun prosedur-prosedur demokrasi, melainkan dari pendekatan personal dan finansial pada penguasa-penguasa politis. Orang tidak lagi diukur dari kualitas dirinya, tetapi dari berapa uang dan kuasa yang ia punya, tak peduli uang dan kuasa itu didapat dari mana. Proses-proses politik demokratisasi pun ditunggangi oleh kekuatan uang yang hanya menguntungkan sebagian kelompok masyarakat, sambil mengorbankan kelompok masyarakat lainnya.
Pertanyaanya adalah apa dampak dari semua ini? Yakni dari otoritas kekuasaan yang menerkam kebebasan, dan menciptakan kesenjangan yang semakin besar dalam masyarakat. Yang tercipta kemudian adalah suatu masyarakat yang diwarnai ketidakadilan dan ketidakpedulian. Di Indonesia sekarang ini, banyak orang curiga dan pesimis pada dunia politik. Sedikit sekali yang berpendapat, bahwa para pemimpin politik kita mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik.
Menurut Chomsky, pola semacam ini adalah hasil dari pola pendidikan yang menindas cara berpikir kritis, dan mencegah manusia untuk menjadi manusia-manusia yang setara sehingga dapat menjadikan insan yang malas, karena terlalu berharap untuk mendapatkan yang lebih mudah didapatkan, ini merupakan fakta yang terjadi hari ini. Apakah hanya dengan politik/kekuasaan semuanya bisa diubah? Dan, apakah dengan uang semuanya bisa didapatkan? Kedua pertanyaan ini dapat dijawab oleh diri sendiri.


Wednesday, June 6, 2012

Sejarah Perkembangan Ilmu Politik

June 06, 2012 0
Sejarah Perkembangan Ilmu Politik

Untuk mengetahui perkembangan ilmu politik, kita harus meninjau ilmu politik dalam kerangka yang luas. Sebagaimana telah diterangkan pada bagian pendahuluan ilmu politik ditinjau dari kerangka yang luas telah ada sekitar tahun 427 S.M. terbukti dari hasil karya filosof seperti Plato dan Aristoteles. Bahkan Plato yang telah meletakan dasar-dasar pemikiran ilmu politik dikenal sebagai Bapak  filsafat   politik,  sedangkan Aristoteles yang  telah meletakan dasar-dasar keilmuan dalam kajian politik dikenal sebagai Bapak ilmu politik.
Baik Plato maupun Aristoteles pada dasarnya menjadikan negara sebagai persefektif filosofis, dan pandangan mereka tentang  pengetahuan  merupakan  sesuatu yang utuh. Perbedaan keduanya terletak pada tekanan dan obyek pengamatan yang dilakukan, kalau Plato bersifat normatif-deskriptif, sedangkan Aristoteles sudah mendekati empiris dengan memberikan dukungan dan preferensi nilai melalui fakta yang dapat diamati dengan nyata. Jaman ini yang terkenal dengan zaman  Romawi  Kuno memberikan sumbangan yang berharga  bagi  ilmu politik, antara lain: bidang hukum, yurisprudensi dan administrasi negara. Bidang-bidang tersebut didasarkan atas persefektif mengenai  kesamaan manusia,   persaudaraan setiap orang, ke-Tuhan-an dan keunikan nilai-nilai individu.
Para filosof pada zaman ini berusaha mencari esensi ide-ide seperti keadilan dan kebaikan, juga mempertimbangkan masalah-masalah esensial lainnya seperti pemerintahan yang baik, kedaulatan,  kewajiban negara terhadap warga negara atau sebaliknya. Analisis-analisis yang digunakan bersifat analisis normatif  dan  deduktif. Analisis normatif adalah membicarakan asumsi-asumsi bahwa ciri khas tertentu adalah baik atau diinginkan, sedangkan analisis deduktif adalah didasarakan pada penalaran  dari premis umum menuju kesimpulan khusus.
Memasuki abad pertengahan eksistensi ilmu politik justru mengalami kemandekkan. Hal ini disebabkan  karena telah terjadi pergeseran institusi kekuasaan dari negara kepada gereja. Pada masa ini negara menjadi  kurang penting, sehingga pemikiran politik didominasi oleh intelektual dan politik gereja Kristen. Dalam  keadaan seperti pemikiran politik lebih cenderung berurusan untuk menjawab apa yang seharusnya, apa yang baik/buruk,  bukan pernyataan  tentang  apa  yang  ada/nyata.  Jadi  kajian politik pada masa ini mengalami  kemunduran seperti era Plato (filosofis) bukan bersifat keilmuan. Namun, abad ini tetap memberikan sumbangan konsepsial bagi ilmu politik, seperti konsepsi mengenai penyatauan dunia, upah yang jujur, dan  hukum  tertinggiyang  perlu ditaati manusia.
Setelah memasuki abad kelima belas ilmu politik mengalami kemajuan yang berarti terutama dalam obyek dan metode yang digunakan dalam pengkajian maupun pengamatan/penelitian dibidang   politik dibandingkan masa-masa sebelumnnya. Analisa normatif dan deduktif walau tetap masih dipergunakan tetapi telah terpengaruhi oleh penemuan-penemuan baru dan teori  diberbagai  bidang pengetahuan kemanusiaan lainnya.
Sedangkan perkembangan politik  di  negara  Eropa. Anda  tentu  mengenal  beberapa  negara  di  Eropa   yang memberikan kontribusi yang cukup besar bagi  perkembangan ilmu-ilmu sosial  pada umumnya dan  ilmu politik pada khusunya. Di negara-negara seperti  Jerman, Prancis dan Austria perkembangan ilmu politik memasuki abad kedelapan belas sangat dipengaruhi oleh ilmu hukum. Itulah sebabnya fokus perhatian perhatiannya hanya terpusat pada negara.
Lain halnya perkembangan ilmu politik di Inggris dan Amerika serikat. Pada abad kedelapan belas, di Inggris permasalahan politik lebih banyak merupakan kajian filsafat serta pembahasannya tidak terlepas dari sejarah. Sedangkan di Amerika Serikat yang telah menempatkan pangajaran politik di  universitas semenjak tahun 1858, mula-mula studinya lebih bersifat yuridis, akan tetapi semenjak abad ini telah melepaskan diri dari kajian yang bersifat yuridis dengan lebih memfokuskan diri atas pengumpulan data empiris.
Baru memasuki awal abad kedua puluh kajian ilmu politik telah menjauhi studi yang semata-mata  legalistis normatif maupun yang murni normatif dan deduktif. Hal ini dipengaruhi oleh perkembangan teori ilmu  pengetahuan sosial lainnya, terutama konsepsi yang berubah tentang hakekat manusia, pragmatisme dan pluralisme.
Faktor pertama tentang hakekat manusia, telah diakui bahwa sifat manusia sangat beragam dan  kompleks. Pengakuan akan sifat manusia tersebut menimbulkan implikasi-implikasi yaitu: pertama, digugatnya pernyataan mengenai hukum menentukan pemerintahan yang baik, hal ini disebabkan sifat manusia yang berbeda-beda. Kedua, tidak semua manusia akan berperilaku sama dalam  suatu  lembaga tertentu. Ketiga, sifat itu diyakini sebagai obyek  resmi penelitian.
Faktor yang kedua yang mempengaruhi ilmu politik adalah fragmatisme. Ini berarti bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan manusia tidak dapat dinilai dari logika, melainkan dari hasil tindakan atau  perilaku tersebut. Misanya, sesorang dicap sebagai nasionalis, karena hasil dari tindakan dan perilakunya selalu menunjukkan sikap antipati terhadap bangsa sendiri, terhadap produksi dalam negeri, menjelek-jelekan bangsa sendiri di hadapan bangsa lain, dan sebagainya.
Sedangkan faktor yang ketiga, yakni pluralisme, mengandung pengertian bahwa kekuasaan dalam politik dibagi-bagi antara berbagai kelompok, partai dan lembaga-lembaga pemerintahan. Misalnya, organisasi kemasyarakatan, golongan, partai politik, dan yang lebih ekstrim seperti partai oposisi memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi  berbagai  kebijakan pemerintah. Hal ini disebabkan karena organisasi kemasyarakatan dan partai politik tersebut memiliki kekuasaan untuk melakukan itu walaupun kekuasaan tersebut  belum tentu mampu mempengarui kekuasaan yang lainnya.

Friday, January 6, 2012

Sekilas Pengetahuan Tentang Sosialisasi

January 06, 2012 0
Pengertian Sosialisasi
Peter L. Berger mencatat adanya perbedaan penting antara manusia dengan makhluk lain. Berbeda dengan makhluk lain yang seluruh perilakunya dikendalikan oleh naluri yang diperoleh sejak awal hidupnya. Sementara hewan tidak perlu menentukan misalnya apa yang harus dimakannya karena hal itu sudah diatur naluri; manusia harus memutuskan apa yang harus dimakannya dan kebiasannya yang harus selalu ditegakkannya. (Sunarto, 1993:27).
Karena keputusan yang diambil suatu kelompok dapat berbeda dengan kelompok lain, maka kemudian dijumpai keanekaragaman kebiasaan dalam soal makanan. Ada kelompok yang makanan pokoknya nasi, roti, sagu, jagung. Kalau hewan berjenis kelamin berlainan dapat saling berhubungan karena naluri, sementara manusia mengembangkan kebiasaan mengenai hubungan laki-laki dan perempuan. Kebiasaan yang berkembang dalam tiap kelompok tersebut kemudian menghasilkan berbagai macam sistem pernikahan yang berbeda satu sama lain. Kemudian keseluruhan kebiasaan yang dipunyai manusia tersebut, baik dalam bidang ekonomi, kekeluargaan, pendidikan, agama, politik dan sebagainya haris dipelajari oleh setiap anggota baru suatu masyarakat melalui suatu proses yang dinamakan sosialisasi.
Berger mendefinisikan sosialisasi sebagai “a process by which a child learns to be a participant member of society” (proses melalui mana seorang anak belajar menjadi seorang anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat). Wright mendefinisikan sosialisasi sebagai proses ketika individu mendapatkan kebudayaan kelompoknya dan menginternalisasikan (sampai tingkat tertentu) norma-norma sosialnya, sehingga membimbing orang itu untuk memperhitungkan harapan-harapan orang lain.(Wright, 1988:182).
Sosialisasi tidak bersifat sekaligus/total, dalam arti merupakan proses yang terus berlangsung, bergerak dari masa kanak-kanak sampai usia tua. Misalnya beberapa norma, seperti peraturan-peraturan dasar mengenai makanan dan makan, disampaikan kepada individu sewaktu ia masih kanak-kanak; beberapa norma lainnya seperti norma pacaran ditangguhkan sampai usia berikutnya (ketika memasuki usia awal remaja). Beberapa lagi yang lain melibatkan pengajaran yang terus-menerus dan dilakukan sepanjang kehidupan manusia. Tanggung jawab sosialisasi biasanya di tangan lembaga atau orang-orang tertentu, tergantung pada aspek-aspek yang harus terlibat. Misalnya, pendidikan agama diarahkan oleh orang tua sejak kanak-kanak dan oleh ustad setempat atau sekolah taman kanak-kanak berbasis agama; pendidikan profesi diberikan oleh para spesialis atau lembaga pendidikan kejuruan ayng berkompeten dalam hal itu, dan lain-lain. Sosialisasi bisa dilakukan dengan sengaja, maupun terjadi secara tidak disadari ketika individu mengambil petunjuk mengenai norma-norma sosial tanpa pengajaran khusus mengenai hal itu.
Kemudian apa yang dipelajari seseorang dalam sosialisasi? Menurut sejumlah tokoh sosiologi, yang diajarkan melalui sosialisasi ialah peranan-peranan. Oleh karena di dalam menjelaskan sosialisasi, sejumlah tokoh sosiologi menjelaskannya dengan teori peranan (role theory).

Agen Sosialisasi
Agen sosialisasi merupakan fihak-fihak yang melaksanakan sosialisasi. Ada beberapa agen sosialisasi utama yaitu : keluarga, kelompok bermain, sekolah, dan media massa.
1. Keluarga
Peran agen sosialisasi pada tahap awal yaitu keluarga, sangat penting. Banyak ahli berpendapat bahwa kemampuan-kemampuan tertentu hanya dapat diajarkan pada periode tertentu saja dalam perkembangan fisik seseorang, artinya proses sosialisasi akan gagal bilamana dilaksanakan terlambat ataupun terlalu dini.
Agen sosialisasi keluarga terdiri atas orang tua dan saudara kandung. Pada sistem keluarga luas agen sosialisasi bisa berjumlah lebih banyak dan dapat mencakup nenek, kakek, paman bibi, dan sebagainya.
Arti penting agen sosialisasi pertama terletak pada pentingnya kemampuan yang diajarkan pada tahap ini. Untuk dapat berinteraksi dengan significant onthers pada tahap ini seorang bayi belajar berkomunikasi secara verbal dan nonverbal, di mana ia berkomunikasi tidak saja melalui pendengaran dan penglihatan tetapi juga melalui pancaindera lain, terutama sentuhan fisik.
2. Teman bermain
Teman bermain terdiri atas kerabat, tetangga, atau teman sekolah. Pada agen ini seorang anak mulai belajar meibatkan dirinya dengan orang yang sederajat atau sebaya. Pada tahap ini seorang anak memasuki game stage-mempelajari aturan yang mengatur peran orang yang kedudukannya sederajad. Dalam kelompok bermain pula seorang anak mulai belajar nilai-nilai keadilan.
3. Sekolah
Dalam agen ini seorang mempelajari beberapa hal baru. Sekolah mempersiapkan untuk penguasaan peran-peran baru di kemudian hari, di kala seseorang tidak tergantung lagi pada oerang tuanya. Menurut Robert Dreben (dalam Sunarto, 2004:25) selain mengajarkan membaca, menulis, berhitung sekolah juga mengajarkan kemandirian (independence), prestasi (achievement), universalisme (universalism), dan spesifisitas (specificity).
4. Media Massa
Media massa terdiri atas media cetak (surat kabar, majalah), dan media elektronik (radio, televisi) diidentifikasi sebagai agen sosialisasi yang berpengaruh pada perilaku khalayaknya. Kemajuan teknologi memungkinkan peningkatan kaulitas pesan serta peningkatan frekuensi terpaan pada masyarakat sehingga memberi peluang pada media massa untuk berperan sebagai agen sosialisasi yang semakin penting.
Pesan-pesan yang ditayangkan bisa mengarahkan khalayak pada perilaku prososial (yang cenderung ke arah baik) dan perilaku antisosial (cenderung ke aras perilaku buruk). Beberapa penayangan adegan kekerasan, pornografi dikhawatirkan bisa meningkatkan perilaku anti sosial seperti kejahatan meningkat, pelanggaran susila dsb.

Pola Sosialisasi
Secara singkat bisa dikatakan menurut Jaeger (dalam Sunarto, 2004:31) bahwa sosialisasi bisa dilakukan melalui cara :
1. Sosialisasi represif (repressive socialization)
Sosialisasi ini menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan. Cara ini memeiliki ciri penekanan pada penggunaan materi dalam hukuman dan imbalan, penekanan pada kepatuhan anak pada orang tua, penekanan pada komunikasi yang bersifat satu arah, non verbal dan berisi perintah, penekanan titik berat sosialisasi pada orang tua dan pada keinginan orang tua.
2. Sosialisasi Partisipatori (partisipatory socialization)
Dalam pola ini anak diberi imbalan manakala berperilaku baik, hukuman dan imbalan bersifat simbolik, anak diberi kebebasan, penekanan diletakkan pada interaksi, komunikasi bersifat lisan, anak menjadi pusat sosialisasi, keperluan anak dianggap penting.