Blognya Anak Kuliahan

Showing posts with label Catatan. Show all posts
Showing posts with label Catatan. Show all posts

Thursday, September 20, 2012

Mengapa Foke-Nara Kalah?

September 20, 2012 0

Kekalahan yang diterima Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli atau Foke-Nara menurut penghitungan cepat disebabkan karena salah strategi sikap politik Foke-Nara. Sikap politik tersebut sudah melekat pada karakteristik Foke sejak putaran pertama.

"Stigma kegagalan periode pertama yang sudah lama melekat pada Foke membuatnya sulit bergerak di pilkada putaran kedua," kata Gun Gun Heryanto, pengamat dari The Political Literacy Institute kepada Kompas.com, Kamis (20/9/2012).

Gun memaparkan, stigma tersebut memalingkan pilihan warga kepada wajah penantang yang dianggap mampu memberi harapan baru. Foke menjadi sulit mengimplementasikan program-program di fase akhir jabatannya karena waktu yang terlalu pendek untuk bersosialisasi dan mengubah stigma. Karena kesulitannya itulah Foke terkesan kerja sebatas pencitraan saja.

Selain itu, kata Gun-Gun, Foke memiliki kesenjangan hubungan komunikasi politik antara dirinya dengan warga dan media massa. Foke juga cenderung kurang terbuka dengan media saat dia menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta.

Menurut Gun, kelemahan Foke adalah kurang bisa membangun semangat komunitarian dengan warga. Akibatnya, ia kerap terbangun pada pola hubungan antagonistik antara dirinya dengan media dan sense of belonging warga terhadap Foke juga memudar.

Walaupun begitu, kata Gun, kemenangan Foke di 2007 didasari pada konsep penguasaan koalisi partai dan minimnya figur alternatif yang memiliki karakter transformatif pada pemilihan lalu. Sedangkan pada Pilkada DKI kali ini, penantang baru sudah lama memiliki karakter low profile, asketis dan dekat dengan warga.

Gun mengungkapkan, Jokowi telah sukses memosisikan brand-nya sebagai media ikon ditengah masyarakat. Ia juga mampu mentransformasikan kekuatannya dengan tetap mengusung kesederhanaan. "Identifikasi politik warga, jauh lebih berhasil masuk ke Jokowi daripada Foke yang lama berada dalam stigma elitis-birokratis," ungkap Gun.

Seperti diberitakan sebelumnya, berdasarkan hasil penghitungan cepat Litbang Kompas menyatakan Jokowi-Basuki unggul dengan 53,26 persen sedangkan Foke-Nara mengumpulkan suara 46,74 persen.

Sunday, September 9, 2012

Konflik dan Kekerasan Negara

September 09, 2012 0

Dinamika kehidupan bernegara terkadang tidak selalu berjalan sesuai dengan apa yang dicita-citakan. Hal ini  karena perbedaan pendapat dan kepentingan berbagai pihak bertemu dalam satu wadah dan saling berebut pengaruhnya. Negara haruslah menjadi penengah jika terjadi konflik antar warga negaranya. Tapi pertanyaannya bagaimana jika terjadi konflik antara rakyat dan Negara? Kekerasan Negara terhadap rakyatnya.

Menurut Profesor Henk Schulte Nordholt, dalam sejarah Indonesia, intensitas kekerasan meningkat pada masa peralihan kekuasaan, ketika negara memperkuat kekuasaan, juga pada masa ekonomi yang suram. Hal itulah yang terjadi dari awal sampai akhir orde baru. Bahkan era pasca reformasipun masih ada kejadian-kejadian  serupa, peristiwa terakhir yaitu kejadian Mesuji dan Bima dan ini karena tipe dan gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh pemimpin negaranya yang lemah.

Kasus Mesuji yang dilatarbelakangi sengketa lahan dan pihak pemodal perkebunan dan masyarakat. Masalahnya sudah jelas terlihat pengelolaan bisnis sawit yang tidak jujur dan merugikan masyarakat. Bisnis yang dilakukan adalah kerja sama Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang dilakukan sejak 1997 dengan PT Treekreasi Margamulya (TM/Sumber Wangi Alam). Masalah semakin meruncing karena keterlibatan polisi Brimob yang melakukan pengamanan dengan cara-cara kekerasan kepada warga sekitar

Peristiwa Bima pun tidak berbeda jauh keterlibatan aparat negara yang memicu konflik, laporan warga kabupaten Bima yang mengeluhkan berdirinya tambang awal 2011 di daerah mereka yang mengganggu pertanian, air bersih dan ternak warga sekitar tambang. Perijinan pendirian tambangpun bermasalah karena tidak mengantongi analisa dampak lingkungan (AMDAL). Penolakan dari wargapun tak digubris dan terus dibiarkan berlarut-larut. Padahal warga telah melaporkan dan sudah ada pengaduan aparat terkait. Tapi aktifitas PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) masih tetap berjalan.

Kedekatan Pemerintah dengan Pemilik Modal

Ada apa dengan kebijakan penempatan Polisi Brimob dilokasi perusahaan-perusahaan yang rawan konflik agrarian, ini menjadi pertanyaan besar. Terlihat jelas dekatnya hubungan antara POLRI atau pemerintah dengan pihak pemodal. POLRI yang seharusnnya mengamankan dan membela hak rakyat berbalik fungsinya, rasa aman yang diharap tembakan peluru, tendangan dan pukulan yang didapat.

Ada beberapa hal yang bisa kita lihat dalam beberapa konflik terakhir, pertama bahwa konflik itu bukanlah konflik baru akan tetapi sudah cukup dan baru mencuat kepermukaan sekarang, ibarat fenomena gunung es. Lambannya birokrasi dan keberpihakan terhadap pemodal, selain itu pembangunan infrastruktur yang tidak merata, korupsi yang sudah menjalar disemua instansi dan penegakan hukum yang masih carut marut.

Presiden sebagai pemimpin negara dalam berbagai pidatonya yang menekankan pro rakyat, penegakkan hukum, pemberantasan korupsi ternyata hanya retorika semata. Gaya kepemimpinan yang dimunculkan SBY cenderung pada laizes feier atau permisif, ini terlihat dari belum adanya tindakan tegas atau pernyataan tegas dari Sby menyikapi semua kejadi konflik dimana rakyat dan aparat saling berhadapan.

Bentuk ketidaktegasan dan pembiaran terhadap kekerasan yang terjadi merupakan bentuk kejahatan negara. Ini termaktub dalam amanah pembukaan UUD 1945 alenia 4 melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, sekarang jika negara melalui pemerintah ternyata belum mampu memberikan rasa aman bagi rakyatnya sendiri dan salah satu tujuan utama dari berdirinya Negara republik Indonesia masih menjadi angan setelah 66 tahun merdeka.

Lebih dari 70 Persen Masyarakat Tidak Dekat dengan Parpol

September 09, 2012 0

Lembaga survei Charta Politica hari ini merilis hasil survei dengan tema 'Stagnasi Perilaku Pemilih, dan Fenomena Partai Politik Mati Suri. Secara umum, tidak terlalu banyak terjadi perubahan terkait elektabilitas partai politik yang ada di Indonesia.

Partai Golkar, Partai Demokrat dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menempati posisi teratas dengan perolehan masing-masing Golkar 18 persen, Demokrat 12,5 persen, dan PDIP 10,8 persen.

Yang cukup mengejutkan ialah terjadinya perubahan besar pada komposisi kekuatan partai di lapis tengah, dimana Partai Gerindra memperoleh 4,7 persen, serta Partai Nasional Demokrat (NasDem) mendapatkan 4,3 persen.

Posisi selanjutnya ditempati oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan 3,9 persen, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 2,7 persen, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 2,6 persen, Partai Amanat Naional (PAN) 1,9 persen, dan Partai Hanura 1,6 persen. Sisanya 34,4 persen mengaku belum menentukan pilihan.

Berdasarkan hasil survei tersebut, Direktur Riset Charta Politica Yunarto Wijaya menuturkan, ada beberapa hal yang menjadi bukti menguatnya stagnasi para pemilih. Misalnya tidak adanya perubahan pada posisi tiga teratas yang masih dihuni oleh partai-partai besar.

"Tidak munculnya captive market dan jaringan baru pemilih, undecided voters masih menjadi pemenang, 34 persen responden masih belum menentukan pilihan menjelang pemilu," ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Kamis (30/08/2012).

Selain itu, Yunarto juga menggaris bawahi poin yang mengatakan bahwa hanya sekitar 14 persen masyarakat yang mengaku dekat dengan partai politik yang didukungnya. Sedangkan 76 persen mengaku tidak memiliki hubungan dekat dengan parpol, dan 10 persen tidak memberikan jawaban.

"Tingkat kedekatan masyarakat dengan partai politik, atau istilahnya party id, hanya 14 persen responden yang mengaku dekat dengan partai politik," ungkapnya.

Survei ini dilakukan pada tanggal 8-22 Juli 2012 dengan melakukan wawancara secara tatap muka dengan menggunakan kuisioner terstruktur. Quality control dilakukan terhadap hasil wawancara, yang dipilih secara random sebesar 30 persen dari total sampel.

Sampel tersebut dipilih secara acak (probability sampling) menggunakan metode penarikan sampel acak bertingkat (multistage random sampling). Unit sampling primer survei (PSU) ini adalah desa/kelurahan dengan jumlah sampel masing-masing 10 orang pada setiap PSU yang berjumlah 200 desa/kelurahan yang tersebar secara proporsional.

Survei ini dilakukan dengan menggunakan sampel sebesar 2.000 responden, dengan margin of error sebesar 2,19 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.


Demokratisasi Urban: Pilkada DKI 2012 Putaran Kedua

September 09, 2012 0

Beriring jungkir-baliknya prediksi lusinan lembaga survei, Pilkada DKI 2012 berlanjut ke putaran kedua. Menjadi tak sehat, saat isu SARA digulirkan masif. Potret praktik demokrasi yang masih saja, kekanak-kanakan.

Tak kurang tak lebih, Pilkada DKI 2012 sebenarnya merepresentasi pendewasaan politik masyarakat urban. Sebab, partisipasi sebagian masyarakat, yang merupakan pendatang itu, dapat menghitam-putihkan Jakarta. Termasuk bila hasil Pilkada akan mempengaruhi konstelasi politik nasional.

Namun menjadi mengkhawatirkan, bila embusan friksi negatif kemudian mewarnai kompetisi final event politik sarat gengsi dan kepentingan itu. Bukan berarti takut kalah bila kemudian kampanye hitam itu dianggap kekanak-kanakan. Sederhana saja. Masyarakat urban seperti Jakarta, yang tiba-tiba mau berpartisipasi, sementara biasanya mereka apolitis, lantaran hadirnya harapan tentang pemimpin baik,akan kembali tak mau tahu, bila politik selalu saja menjijikkan.

Bagaimana tidak? Jakarta dengan segudang ‘kepintaran’ publiknya harus diberi tontonan politik, yang semua sudah sama-sama mafhum, tak lebih dari ‘rebutan tulang’ kekuasaan. Praktik pencapaian yang tidak etis itulah penyebab utamanya.

Belum apa-apa,isu SARA sudah digelontorkan. Baru saja warga Jakarta berusaha percaya pada politik, ada saja yang menanamkan benih-benih tak sedap, tentang praktik politik yang tak ada bedanya dengan masa lalu. Begitu susah mewanti-wanti para politisi untuk belajar adat negarawan yang santun dan beradab.

Citra Politik Nothing to Lose

Apa sih yang sebenarnya dirindukan warga Jakarta? Tentu saja bukan nuansa menakut-nakuti layaknya zaman antah-berantah. Jelas bukan dengan gagah-gagahan, mengatakan, siapa pemilik sah Jakarta. Dan bukan calon pemimpin yang berbahagia dengan membiarkan warga Jakarta dilanda potensi kebencian yang sangat.

Sekali lagi, warga Jakarta adalah potret masyarakat terurban seantero republik ini. Salah satu tipikal masyarakat urban yang konsisten adalah kebebasan bersikap. Mereka bahkan punya rasionalitas sendiri yang terkadang melahirkan tradisi ekletik baru; bercampur-aduk membentuk socio anyar.

Tentu tak mudah membangun kepercayaan publik Jakarta. Namun, sekalinya mereka percaya, bukan mustahil, Jakarta dapat tumbuh menjadi kawasan megapolitan terkemuka di Asia Tenggara, lantaran didukung oleh pemimpin yang mengerti cara berpikir urban dan masyarakat urban yang dapat membangun konsesi.

Namun lihatlah. Aroma kebencian mulai terendus kuat pada putaran kedua Pilkada DKI 2012. Beberapa kelompok sangat menikmati cara mereka menakut-nakuti kalangan lain yang berbeda pandangan. Bukan lagi simpati yang dibangun, justru blunder strategis bernama apatisme publik urban.

Pemimpin Jakarta tentu bukan pemimpin yang penuh kepentingan sempit. Apalagi hanya memanjakan perut dan orang-orang di sekitarnya. Pemimpin Jakarta haruslah figur nothing to lose yang bersungguh-sungguh melayani warga Jakarta. Ia telah mandiri secara ekonomi. Ia memiliki gagasan yang dinamis seputar titik temu antara kekuatan modal yang menggurita dan kepentingan rakyat banyak.

Pemimpin Jakarta adalah pemimpin nyata, bukan di awang-awang. Ia duduk bersama warganya yang kebanjiran. Ia bersalaman dengan penduduk Jakarta yang tak punya rumah layak. Ia berdiri tegak menyelesaikan macet dan layanan kesehatan, bersama seluruh warga Jakarta.

Bukan untuk popularitas. Sebab, warga Jakarta sangat tahu cara yang tepat menyukai atau tidak menyukai sesuatu. Bukan untuk keuntungan semata. Sebab, Jakarta sangat tahu cara memutar transaksi bisnisnya. Juga bukan untuk reputasi khusus, agar dianggap merakyat; tapi benar-benar pemimpin yang susah-senang bersama rakyatnya.

Demokratisasi Urban

Kiranya perlu diketahui tentang partisipasi politik urban yang dipraktikkan masyarakat urban, seperti Jakarta. Hasilnya, demokratisasi urban pun tak seperti praktik demokrasi pada umumnya. Jakarta seperti dapat menentukan cara berdemokrasi, seperti yang warganya sendiri maui.

Sebutlah kompetisi ini benar-benar mewakili kepentingan Jakarta, warga Jakarta belum tentu mau mengakuinya dengan legawa. Bila hasilnya baik, dengan sendirinya, mereka akan membangun konsesi dan mematuhinya. Namun bila hasilnya buruk, warga Jakarta, bisa jadi, semakin mengeras ketidakpercayaannya pada elite politik di level apa pun.

Oleh karena itu, sudah semestinya bila momentum Putaran Kedua Pilkada DKI 2012 ini diwarnai dengan pendewasaan politik yang elegan. Sebab, sekali lagi, warga Jakarta sudah sangat tahu etika. Mereka akan berpartisipasi bila memang ‘servis’ politik juga memuaskan. Bukan dengan saling menjatuhkan lawan, bermuatan isu-isu ‘tidak berilmu’, yang justru akan membuat warga Jakarta antipati.

Selamat memilih, warga Jakarta.


Wednesday, August 29, 2012

Politik Etis (Politik Balas Budi) dan Pelaksanannya

August 29, 2012 0

Politik Etis (Politik Balas Budi) dan Pelaksanannya) – Semenjak pemerintah kolonial Belanda memberlakukan sistem Tanam Paksa di Indonesia, banyak menimbulkan penderitaan bagi rakyat pribumi seperti kemiskinan, kelaparan bahkan kematian. Selain itu banyak juga penduduk yang meninggalkan tanah kelahirannya hanya sekedar untuk menghindari diri dari sistem Tanam Paksa yang dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Berbagai penderitaan pada saat itu banyak dialami oleh masyarakat Indonesia, misalnya kejadian-kejadian diberbagai wilayah di Indonesia, seperti di Cirebon pada tahun 1843 banyak penduduk yang meninggalkan daerahnya dengan tujuan untuk menghindari dari kekejaman belanda. Di daerah lain juga telah mengalami beberapa kejadian kelaparan yang sangat memprihatinkan, seperti di daerah Demak dan Grobogan yang mengakibatkan kematian secara besar-besaran.
Sementara itu pada umumnya rakyat di negeri Belanda banyak yang tidak tahu atas kekejaman di daerah tanah jajahannya yang diakibatkan oleh Tanam Paksa, sebaliknya Tanam Paksa telah meningkatkan kemakmuran rakyat di negeri Belanda, sebab banyak mendapat keuntungan yang sangat melimpah dari penyelenggaraan politik Tanam Paksa, sementara akibat dari pelaksanaan politik tersebut masyarakat pribumi (Masyarakat Indonesia) menjadi semakin menderita.
Keadaan seperti ini mulai berubah setelah tahun 1850, dimana rakyat Belanda memperoleh berita mengenai kejadian yang sebenarnya di Indonesia yang ditimbulkan oleh Tanam Paksa. Kesewenang-wenangan dari para pegawai pemerintah kolonial Belanda, kejadian di daerah Cirebon, Demak, dan Grobogan, lambat laun sampai beritanya di negeri Belanda, sehingga antara tahun 1850-1860 timbul terjadi perdebatan diantara para tokoh di negeri Belanda yang peduli terhadap nasib bangsa Indonesia akibat dari kebijakan Tanam Paksa.
Reaksi yang timbul akibat dari adanya berbagai tulisan kaum humaniter mulai mencapai tarap yang menentukan, seperti diadakannya peninjauan kembali mengenai aturan-aturan dalam sistem Tanam Paksa. Adapun yang tergolong kepada kelompok kaum humaniter diantaranya seperti : Walter Baron Van Hoevel, Fransen Van De Futte, juga seorang Perdana Menteri Torbeck tampil ke depan untuk membela kepentingan bangsa Indonesia. Pada saat itu tokoh yang dianggap paling berhasil merubah opini rakyat Belanda dengan sebuah karya tulisannya adalah “Douwes Dekker” dengan nama samarannya “Multatuli”. Yang berhasil menulis sebuah karya buku yang berjudul “Max Havelaar”
Dalam situasi seperti itu , muncul pula tulisan “Van Deventer” yang berjudul “Een Eereschuld” (Hutang Kehormatan) pada majalah “de Gids” tahun 1899. Ia mengecam pemerintah kolonial Belanda yang tidak memperhatikan nasib penduduk tanah jajahannya. Ia mengungkapkan, bahwa pemerintah Belanda telah berhutang budi kepada rakyat tanah jajahan (Indonesia) serta harus ditebus dengan cara memberikan kesejahteraan. Usul Van Deventer tersebut mendapat dukungan dari rekan-rekan kaum liberal, seperti Van Kol, Van Dedem, dan Brooschooft.
Ratu Belanda menanggapi positif terhadap usulan yang disampaikan kaum liberal. Dalam pidatonya tahun 1901, Ratu Belanda mengesahkan politik yang sangat terkenal dengan sebutan “Politik Etis“. Politik ini merupakan upaya balas budi pemerintah Belanda untuk memperhatikan nasib bangsa Indonesia. Menurut Van Deventer, politik Etis yang ditujukan untuk memajukan kesejahteraan rakyat Indonesia dapat dilakukan melalui tiga hal, sehingga disebut Trilogi Van Deventer, yang isinya sebagai berikut : Irigasi, Transmigrasi, dan Edukasi.
Dalam pelaksanaannya bidang “edukasi” memberi pengaruh yang positif bagi bangsa Indonesia yaitu dengan lahirnya golongan terpelajar (golongan intelektual). Pemerintah kolonial Hindia-Belanda semula berharap dari penyelenggaraan edukasi (pendidikan) dapat menyediakan tenaga kerja terdidik yang terampil dan bisa dibayar murah.
Akan tetapi dalam perkembangannya sasaran itu meleset, karena ternyata dari “STOVIA” justru muncul kalangan terpelajar Indonesia yang mengobarkan semangat api kebangsaan serta peduli terhadap nasib bangsa Indonesia, sehingga mereka menjadi pelopor dalam perjuangan pergerakan bangsa Indonesia yang menentang pemerintah kolonial Belanda dengan tujuan utama untuk meraih kemerdekaan Indonesia.

sumber

Thursday, August 9, 2012

Membangun Takwa Politik Dengan Ramadhan

August 09, 2012 0
Menurut Bapak sosiologi Islam, Ibnu Khaldun, panggung politik dan kekuasaan adalah posisi yang banyak diidam-idamkan orang karena kenikmatannya. Di dunia politik ini, terkumpul segala macam kenikmatan, dari harta kekayaan yang berlimpah, kepuasan karena terpenuhinya kebutuhan fisik, dan kenyamanan psikologi (karena selalu dihormati). Karena kenyamanan ini, banyak orang bersaing untuk mendapatkannya. Dan kalau sudah berkuasa, sangat sedikit yang dengan sukacita menyerahkannya kepada orang lain.

Karakter inilah yang barangkali bisa menafsirkan kita kepada sebuah fenomena kenapa mayoritas penguasa diturunkan dengan cara yang tidak formal, dan kenapa banyak pejabat mengalami post power syndrome saat turun dari jabatannya. Salah satu penyebab jeleknya citra politik di mata mayoritas adalah karena banyak penguasa yang berbuat semena-mena dengan lawan politiknya demi mempertahankan kekuasaannya.

Benarkah politik itu sejatinya kotor, ataukah kekotoran itu adalah benalu kekuasaan di saat penguasa sudah lupa dengan tujuan semula saat dilantik menjadi pemimpin?

Dengan penuh keyakinan, penulis menyatakan bahwa politik adalah salah satu agenda penting dalam dakwah. Politik adalah keniscayaan dalam mewujudkan totalitas beragama, dan politik adalah salah satu cara untuk menggapai taqwa. Tetapi dunia ini sangat rentan godaan, sehingga memerlukan energi besar agar praktisinya tidak mudah terjangkiti oleh virus-virus politik kotor.

Lalu, apa kaitan Ramadhan dengan taqwa? Benarkah Ramadhan bisa menjadi solusi carut marutnya dunia perpolitikan? Mampukah Ramadhan menciptakan taqwa di sektor politik?

Mencermati pernyataan Ibnu Khaldun di atas, penulis akan menggali sejauh mana Ramadhan mampu membangun karakter taqwa di dunia politik. Tulisan ini menyoroti dua sudut: Pertama, masyarakat terhadap penguasa, dan kedua, penguasa yang menjalankan roda pemerintahan.

Masyarakat yang menentukan pilihan politik

Masyarakat memiliki peran penting dalam membangun budaya taqwa dalam politik. Masyarakat yang bertaqwa, tidak akan membiarkan pemimpinnya berbuat semena-mena. Dalam pidato politik saat dikukuhkan menjadi Khalifah Islam setelah Rasulullah, Abu Bakar sadar betul bahwa kekuasaan

mudah menyeret seseorang kepada penyelewengan. Karenanya, beliau meminta masyarakat – yang pada saat itu mayoritas bertaqwa – untuk memantau kinerja kepemimpinan beliau. Dalam pidatonya yang singkat beliau berkata :

“Sesungguhnya aku sekarang telah diangkat untuk menjadi pemimpin kalian, padahal aku sadar bahwa aku bukanlah orang yang terbaik di antara kalian. Jika aku profesional, maka dukunglah kinerjaku, tapi jika aku asAl asalan, maka luruskan diriku. Kejujuran adalah amanah, dan kebohongan adalah pengkhianatan…”

Salah satu cara membentuk masyarakat taqwa adalah dengan metode Ramadhan. Ramadhan secara intensif melatih masyarakat muslim untuk mencintai nilai-nilai kebaikan, mampu menahan nafsu untuk tidak melakukan perbuatan keji. Bersemangat melaksanakan shalat secara berjamaah, dan berani menegur imamnya jika melakukan kekeliruan.

Ramadhan yang sukses juga akan menekan persoalan bangsa yang sangat akut sekarang ini, yaitu korupsi. Karenanya, permasalahan serius yang disoroti Allah pasca ayat-ayat tentang Ramadhan adalah problematika korupsi, yang dalam ajaran Allah pemberantasannya baru akan efektif manakala dilakukan oleh orang-orang yang bertaqwa. Allah berfirman,

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (Al Baqarah: 188).

Ramadhan sangat intensif mengenalkan nilai-nilai kebaikan untuk masyarakat. Nilai-nilai yang diperkenalkan sangat bervariasi, mulai dari kedisiplinan, kejujuran, keikhlasan, melatih sikap empati, sampai kepada pengenalan hak-hak pemimpin dan yang dipimpin.

Kedisiplinan dikenalkan lewat jadwal berbuka dan imsak, kapan boleh makan dan minum dan kapan tidak boleh; kapan waktu berangkat ke masjid, dan jam berapa harus bangun sahur. Kejujuran diasah lewat kesportifan orang untuk tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa, meskipun tidak ada satu pun orang yang tahu dia melakukannya. Keikhlasan tumbuh dari praktek puasa yang tidak mungkin diketahui orang lain, kecuali kalau kita sendiri yang menceritakannya.

Ramadhan melatih kita untuk lebih peduli terhadap sesama dengan program memberi makan orang yang berpuasa, memperbanyak infaq, sedekah, dan zakat. Ramadhan juga mengajarkan kita bagaimana memilih pemimpin dalam shalat, kapan harus menaatinya, dan bagaimana menegurnya jika berbuat kesalahan.

Masyarakat Ramadhan dengan karakteristik di atas tidak mungkin tertarik memilih pemimpin yang tidak seirama dengan mereka, hanya karena tampilan fisik calon pemimpin, atau karena teror money politics. Mereka telah terbiasa dengan sukarela tidak makan seharian selama sebulan tanpa dibayar dengan uang. Andaikan ada yang ingin membayar mereka agar membatalkan puasa, mereka pasti tidak akan melakukan itu.

Masyarakat Ramadhan juga tidak akan segan-segan memberikan peringatan kepada pemimpin yang salah. Mereka sangat sadar bahwa pilihan mereka harus mendukung nilai-nilai ketaqwaan yang telah mereka bangun dengan susah payah, sebagaimana mereka merasa tidak nyaman di saat shalat di belakang imam yang bacaan serta sikapnya tidak baik.

Masyarakat Ramadhan juga tidak akan melanjutkan tradisi korupsi yang telah beranak-pinak. Mereka adalah orang pertama yang akan menghapus tradisi ini. Selama Ramadhan, mereka telah dilatih untuk memakan makanan yang halal dan thayyib, dan tidak akan korupsi pada saat berbuka dan sahur. Mereka tidak berani untuk berbuka sebelum waktunya, demikian juga dengan makan setelah waktu sahur lewat.

Dengan sikap seperti itu, penguasa yang punya niat korupsi akan berfikir seribu kali untuk melakukannya, lantaran masyarakatnya tidak mendukung, bahkan akan mengadilinya. Suburnya korupsi di negeri ini adalah akibat banyaknya pejabat yang korup yang berkolaborasi dengan pengusaha atau rakyat yang membutuhkan bidang yang digarap oleh pejabat.

Penguasa yang Menjalankan Roda Pemerintahan.

Godaan kekuasaan sangat besar, baik harta, tahta maupun wanita. Penguasa sangat rentan dengan godaan harta. Banyak pengusaha yang siap menanamkan investasi jasa keuangannya jauh-jauh hari sebelum menjadi penguasa, dengan harapan nanti kalau berkuasa akan mendapatkan proyek-proyek besar.

Kalau tidak berhasil mendekati penguasa atau calon penguasa, mereka coba masuk dari jalur keluarga, baik istri maupun anak-anak mereka. Banyak sudah pemimpin yang harus turun dari jabatannya lantaran skandal korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan untuk memperkaya diri dan keluarga mereka.

Pejabat juga sangat rentan dengan godaan wanita. Betapa banyak pemimpin yang harus meninggalkan tahtanya gara-gara terlibat skandal dengan wanita simpanan. Betah dengan tahta adalah godaan lain yang melekat kental di sebagian penguasa. Demi mempertahankan tahtanya, dia singkirkan lawan-lawan politiknya dengan berbagai macam cara. Ada yang dicampakkan ke dalam sel, ada yang diasingkan, bahkan ada yang dihabisi nyawanya.

Tetapi pejabat yang telah dicelup dengan nilai Ramadhan dan sukses dalam prosesnya, Insya Allah lahir dengan tampilan yang berbeda. Ramadhan tidak hanya diwajibkan kepada masyarakat kecil, tetapi juga menyentuh kalangan pejabat. Ramadhan mengajarkan mereka untuk berhias dengan sifat jujur, cinta masjid, merasakan kedekatan dengan Sang Pencipta, memperkecil nafsu serakah terhadap dunia, hati-hati dengan godaan lawan jenis, siap menerima kritik, memberantas korupsi dan lainnya.

Kejujuran tumbuh dari terlatihnya mereka berpuasa tanpa harus berbuka, meskipun tidak dilihat oleh orang lain. Mereka juga sering ke masjid menyatu dengan rakyatnya untuk sama-sama shalat berjamaah. Seringnya mereka beribadah, insya Allah menjadikan mereka semakin merasakan kedekatan kepada Allah. Sehingga nafsu serakah dunia dan hebatnya godaan syahwat menjadi jinak dan terkendali.

Penguasa yang bertaqwa seperti di atas, akan membawa dampak positif buat diri, keluarga, dan rakyatnya. Pemimpin yang lulus puasa Ramadhan adalah pemimpin yang salih secara pribadi, rajin beribadah, jujur, berdedikasi tinggi, siap menerima kritik membangun, tidak tergiur oleh berbagai godaan.

Pemimpin yang lulus ujian Ramadhan adalah pemimpin yang berwibawa di dalam keluarganya, menjadi contoh buat isteri dan anak-anaknya, dan menciptakan lingkungan rumah yang kondusif buat ibadah kepada Allah. Ia adalah pemimpin yang selektif memilih bithanahnya (orang dekatnya) sehingga selalu mengingatkannya jika terjadi kekeliruan. Ia juga akan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mendukung terwujudnya nilai-nilai taqwa dalam kehidupan.

Di antara wujud nilai taqwa dalam kehidupan sehari-hari yang akan digulirkan oleh pemimpin jenis ini adalah: Gerakan Peduli Pemuda, Gerakan kembali mencintai masjid, menghidupkan nilai-nilai ukhuwah terhadap sesama, gerakan sumbangan sukarela dalam membangun kekuatan ekonomi negara, gerakan anti pornografi, gerakan menghidupkan malam dengan ibadah.

Gerakan peduli pemuda tumbuh dari kesadaran pemimpin dalam merespon perintah Allah untuk menjaga diri dan keluarganya dari api neraka. Kealfaan memperhatikan perkembangan pemuda berakibat fatal bagi kualitas keberagamaan mereka, sekaligus menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan suatu negara.

Sedangkan gerakan kembali cinta masjid, muncul dari kenikmatan yang mereka dapatkan di saat sholat berjamaah dan merasakan dampak positifnya berkumpul di masjid jika dibandingkan dengan berkumpul di tempat-tempat keramaian yang lain. Nilai-nilai ukhuwah terbangun dengan seringnya berkumpul bersama di dalam tempat yang suci.

Sumbangan sukarela dapat digerakkan karena rakyat melihat bahwa pemimpin mereka juga mengeluarkan infaq, sedekah, sama seperti yang mereka lakukan. Sedangkan gerakan anti pornografi dapat efektif karena pemimpinnya tidak pernah terperangkap dalam jerat ini dengan energi besar dari Ramadhan. Dan, gerakan mengisi keheningan malam dengan ibadah, mereka gulirkan saat merasakan betapa indahnya shalat tahajjuad dan i’tikaf di hari-hari akhir Ramadhan.

Ramadhan yang menyentuh kutub pemimpin di satu sisi dan masyarakat di sisi yang lain, akan melahirkan ketaqwaan dari keduanya sekaligus. Pemimpin yang bertaqwa akan menggulirkan kebijakan-kebijakan yang menopang terealisasinya ketaqwaan di masyarakat. Dan, masyarakat yang bertaqwa akan menjadi pengawas berlangsungnya nilai-nilai ketaqwaan di kalangan elit.

Sunday, August 5, 2012

Berpuasa Politik, Apa Pula Itu?

August 05, 2012 0

Berpuasa Politik, Apa Pula Itu?
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
SINDO, 04 Agustus 2012

Dalam penerbangan dari Yogyakarta ke Jakarta akhir pekan lalu, sambil leyeh-leyeh saya membuka-buka media massa yang disajikan kepada penumpang oleh Garuda.
Ada kalimat yang menarik perhatian saya dari salah satu koran yang saya baca.”Mumpung bulan puasa mari kita berpuasa dari politik, tak usah berpolitik dulu,”tulis media itu mengutip imbauan seseorang sehubungan dengan bulan Ramadan. Imbauan seperti itu, tak pelak, berangkat dari asumsi bahwa politik itu kotor dan berpolitik itu adalah dosa sehingga harus dihindari dulu selama Ramadan. Tentu saja asumsi seperti itu salah karena dua hal.
Pertama, kalau politik itu haram dan dosa dilakukan, maka ia tak boleh dilakukan bukan hanya pada bulan Ramadan, tetapi juga tak boleh dilakukan kapan pun dan di mana pun. Kedua, asumsi itu juga salah karena hanya lahir dari fakta kekinian dan kedisinian bahwa dunia politik kita, dalam lingkup dan institusi-institusi tertentu, sedang dianggap kotor.
Politik di Indonesia sekarang ini memang sedang menjadi terdakwa dari berbagai problem serius yang sedang menimpa bangsa Indonesia.Taruhlah penegakan hukum yang karut-marut dan penuh debat kusir yang sebenarnya dilatarbelakangi oleh politik kotor. Ada pengacara, misalnya, yang pernah berteriak agar si anu segera ditangkap karena indikasi korupsinya kuat, tetapi ketika dirinya diminta menjadi pengacara si anu itu, dengan kalap sang pengacara membela si anu itu sebagai orang yang bersih.
Selain itu ada fenomena saling kunci dan saling sandera dalam penegakan hukum sehingga upaya penegakan hukum selalu diserimpung oleh politik. Kalau si A ditangkap, ada ancaman kasus si B juga akan dibongkar; kalau si B tertangkap, si C akan kena sehingga daripada ribut-ribut tak usah saling usik dan tak usah ada yang diusik.
Korupsi diselesaikan secara TST (tahu sama tahu). Permainan politik kemudian menjadi riuh rendah mengganggu proses penegakan hukum. Yang menjengkelkan, jika seseorang ditangkap KPK berdasarkan bukti minimal yang sudah cukup,yang ditangkap atau pengacaranya kerap kali menuduh bahwa kasusnya dipolitisasi. Ada yang bilang dirinya dijadikan korban politik karena untuk kepentingan parpol tertentu.
Padahal, dalam faktanya, koruptor dari semua parpol ditangani secara proporsional oleh KPK. KPK pun tak terbukti pernah merekayasa kasus, sebab dalam kenyataannya, sampai sekarang, semua yang dijadikan terdakwa oleh KPK pasti bisa dibuktikan telah melakukan korupsi sehingga dihukum oleh pengadilan. Begitu pun setiap banding, kasasi, atau permohonan peninjauan kembali (PK) yang dipergunakan untuk melawan putusan pengadilan dari kasuskasus yang digiring oleh KPK ternyata selalu kandas.
Artinya, pengadilan tinggi maupun Mahkamah Agung selalu membenarkan KPK, bahkan tak jarang MA menaikkan hukuman bagi mereka yang melakukan kasasi. Itu artinya tak ada politisasi yang dilakukan KPK. Permainan politiklah yang memang sedang merusak sendi-sendi kehidupan kita berbangsa dan bernegara. Mungkin karena itulah di benak masyarakat tertanam pengertian bahwa politik itu kotor.
Apalagi dalam faktanya juga dunia politik kita diwarnai oleh caci maki di depan publik antartokoh politik sendiri. Begitu juga politik uang dan perampokan kekayaan negara merebak di mana-mana dengan menggunakan jalur-jalur politik. Seperti saya katakan, pendapat bahwa politik itu kotor, sehingga harus dipuasakan, muncul karena asumsi yang salah, yang lahir karena fakta karut- marut dunia politik kini dan di sini.
Juga karena politik itu diartikan secara sempit sebagai kegiatan ikut dalam kegiatan partai politik. Padahal politik itu mencakup dimensi luas yang tidak identik dengan partai politik. Ia mencakup semua kegiatan (gerakan politik) untuk memengaruhi pembuatan kebijakan publik (politik dalam arti policy) yang punya konsekuensi mengikat bagi rakyat. Dalam arti ini berpolitik dengan ikut parpol hanya sebagian kecil dari gerakan politik.
Jadi,sejatinya politik itu fitrah, bagian dari bawaan asal manusia. Manusia adalah zoon politicon, makhluk yang tak bisa lepas dari politik, terutama dalam arti bahwa politik itu adalah kegiatan untuk memengaruhi penggunaan kekuasaan atau pembuatan policy yang mengikat rakyat. Makanya pernyataan orang bahwa dirinya tak mau berpolitik sebenarnya juga merupakan sikap berpolitik, yakni sikap tak ikut-ikutan mendukung atau menolak tokoh atau program politik.
Tapi yang bersangkutan tetap tak bisa menghindarkan diri atau menolak konsekuensi keputusan-keputusan pemegang kekuasaan politik. Itulah sebabnya, Imam al-Ghozaly mengatakan bahwa memperjuangkan perintah agama dan mempunyai pengaruh atas kekuasaan politik itu merupakan dua saudara kembar (al-dien wal sulthaan taw’amaan).
Banyak nilai kebenaran yang tumbuh dan diyakini di tengah-tengah masyarakat tak mungkin bisa ditegakkan kalau tidak melalui gerakan politik. Dilihat dari sudut ini, politik yang pada dasarnya netral malah menjadi aktivitas mulia yang wajib dilakukan. Oleh sebab itu, yang harus dilakukan dalam bulan puasa ini, dalam konteks politik, bukan berpuasa politik dalam arti berhenti dari kegiatan politik, melainkan mengendalikan dan mengarahkan syahwat politik agar tidak destruktif terhadap kemaslahatan masyarakat.
Semua harus sadar bahwa politik kotor akan menimbulkan ketidakadilan dan lemahnya penegakan hukum, sedangkan ketidakadilan dan tidak tegaknya hukum secara pasti menggiring ke kehancuran suatu bangsa dan negara. Mari kita lakukan puasa politik dengan cara membersihkan niat dan memperbarui langkah dengan pemahaman bahwa berpolitik itu sebagai bagian dari ibadah untuk membangun kemaslahatan, bukan mengumbar hawa nafsu dan syahwat politik.

Thursday, August 2, 2012

Solusi Memberantas Korupsi

August 02, 2012 2
Selama ini, banyak artikel dan gagasan menarik untuk memberantas korupsi. Tulisan itu hanya menyumbangan ide dan gagasan pemberantasan korupsi. Namun, solusi yang ditawarkan oleh beberapa kalangan sangat normatif dan masih 'remang-remang'. Sehingga, ide itu sama sekali tak menyentuh dan memberikan solusi cerdas dalam memberantas korupsi secara total. Banyak solusi yang ditawarkan oleh para akademisi dan politisi, salah satunya adalah perlu adanya 'ketegasan pemimpin' untuk memberantas korupsi.
Padahal, korupsi merupakan perbuatan tercela yang semakin menggurita. Artinya, jika pemberantasan korupsi hanya sekadar gerakan 'remang-remang', maka hasilnya juga tidak jelas. Apalagi, tulisan-tulisan itu seolah-olah cenderung menyalahkan pemimpin atau figur dalam pemerintahan. Padahal, korupsi merupakan permasalahan sosial dan tergolong perbuatan luar biasa (extra ordinary crime). Maka, dalam pemberantasannya juga harus dilakukan dengan 'kekuatan sosial' dan secara radikal pula.

Sinergi Pemerintah dan Masyarakat
Pemberantasan korupsi tidak cukup dilakukan melalui penegakan hukum saja. Penyelesaian korupsi harus dilakukan secara kompak, ada sinergi antara pemerintah dan masyarakat. Intinya, ada di tangan pemerintah, namun jika tak ada dukungan masyarakat, maka pemberantasan korupsi menjadi 'omong kosong'.
Menurut beberapa artikel di media cetak, disebutkan bahwa pemimpin yang tegas sangat mendukung penghentian korupsi. Namun, dia luput mengkaji kekolektifan kinerja pemerintah. Artinya, pemerintahan tidak hanya ada satu atau dua orang saja, namun puluhan dan bahkan ratusan. Jika ingin memberantas korupsi, seluruh aparat pemerintah harus berkomitmen memberantasnya. Apalagi, tindak korupsi saat ini tak lagi perorangan, melainkan sudah masuk dalam kategori 'korupsi berjamaah'. Ini mengharuskan bahwa pemberantas korupsi juga harus dilakukan berjamaah, melalui herakan kompak secara bersama-sama.
Dalam konteks ini, pemberantasan korupsi harus dilakukan secara maksimal oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 'Nakhoda' kapal KPK harus berani, tegas, dan 'cekatan' dalam memberantas korupsi. Tanpa tindakan tegas dari KPK, maka pemberantasan korupsi hanya akan merupakan mimpi belaka. Jika dirumuskan, pemberantasan korupsi bisa dimulai dari pencegahan, penindakan, termasuk dengan melibatkan peran masyarakat.
Pemberantasan korupsi harus difokuskan pada 'perbaikan sistem' (hukum, kelembagaan, ekonomi). Selain itu, perbaikan kondisi manusia juga penting. Antara lain, melalui bimbingan dari segi moral, kesejahteraan, di samping lewat pendidikan antikorupsi. Yang terpenting bukan sekadar 'mencegah', tapi juga 'menindak tegas' koruptor.

Solusi Radikal
Korupsi merupakan extra ordinary crime, maka penanganannya harus dengan cara radikal. Jadi, 'hukuman mati' untuk koruptor harus dilegalkan. Meskipun belum ada terdakwa kasus korupsi dijatuhi hukuman mati, tapi suatu saat pasal ini akan efektif dan harus diberlakukan di Indonesia. Sehingga, hukuman mati menjadi solusi jitu untuk memberantas korupsi. Jika tak ada pemberlakuan hukuman mati kepada koruptor, dan hukuman yang diberikan kepada mereka terlalu ringan, maka hal itu pasti tidak akan menimbulkan efek jera. Untuk itulah, perlu pembenahan sistem hukum, sehingga tidak ada lagi yang berani melakukan korupsi.
Menurut Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Alvon Kurnia, pihaknya menyetujui jika ada hukuman mati bagi koruptor. (Suara Karya, 18/7/2012). Namun, pemberlakuan hukuman mati kepada koruptor bisa menjadi kontroversi. Pasalnya, hal itu bersentuhan dengan HAM, khususnya terkait hak untuk hidup.
Karena itu, yang mendesak dilakukan seharusnya menyangkut reformasi dan pembenahan sistem hukum. Ini penting untuk memberikan efek jera kepada koruptor, dan bukan mematikannya. Sebab, sistem hukum selama ini tidak memberikan efek jera. Pembenahan itu terkait banyaknya koruptor yang divonis bebas. Apalagi, banyak koruptor mendapat fasilitas mewah di dalam tahanan.
Lebih disayangkan, hukuman yang dijatuhkan pengadilan terlalu ringan. Inilah sesungguhnya yang perlu diperbaiki, karena banyak koruptor mendapat hukuman tidak setimpal dengan perbuatannya. Padahal, dampak dari korupsi sangatlah luas.

Hukuman Mati?
Jika korupsi terus menggurita dan merugikan rakyat Indonesia, maka sudah sepantasnya koruptor dihukum mati, sehingga hal itu membuat calon pelaku lainnya berpikir dua kali. Hukuman mati memang dianggap belum cocok dan melanggar hak asasi manusia (HAM), dan Tuhan saja maha pengampun. Lalu, hukuman apa yang cocok untuk koruptor? Tentu berupa tindakan radikal. Meskipun dianggap tak cocok dan melanggar HAM, khusus koruptor, hukuman mati sangat cocok dan merupakan solusi cerdas. Jika perlu, pemerintah harus membuat UU HAM khusus untuk koruptor.
Hukuman mati sangat cocok diberlakukan kepada koruptor di negeri ini. Jika tidak, Indonesia akan terpuruk jika penegakan hukumnya masih 'remeh-temeh'. Jadi, sudah saatnya Pemerintah Indonesia meniru kebijakan Pemerintah China dalam menciptakan pemerintahan bersih dengan menerapkan hukuman mati kepada koruptor. Buktinya, di negeri Tirai Bambu ini, pemberantasan korupsi berjalan lancar dan sangat efektif.
Memang, hukuman itu membuat perekonomian China maju, dan menjadikan pemerintahan menjadi lebih disiplin, jujur, dan bertanggung jawab. Lalu, kapan Indonesia berani meniru langkah pemerintahan China? Apakah menunggu koruptor menguasai negeri ini? Tentu tidak. Wallahu a'lam bisshawab.

Tuesday, July 31, 2012

Pensiun dari Sepak Bola, Shevchenko Terjun ke Dunia Politik

July 31, 2012 0
Para pecinta sepak bola tak akan bisa lagi melihat aksi Andriy Shevchenko di lapangan hijau. Mantan bintang AC Milan dan Chelsea itu memutuskan gantung sepatu dan mencoba berkiprah di bidang politik. “Mungkin, kabar ini mengejut kan bagi siapa pun. Masa depan saya tidak ada kaitannya dengan sepak bola. Saya akan terjun ke dunia politik. Mohon dukungannya,” kata Shevchenko, seperti dilansir Sunday Nation.
Sheva, sapaan akrab Shevchenko, telah memutuskan bergabung ke dalam partai probisnis bernama Ukraine Forward. Partai ini diketuai politikus bernama Nataliya Korolevska. Di partai ini, Sheva mengaku ingin mengabdikan sisa hidupnya kepada masyarakat dengan berbagi pengalaman yang ia dapatkan di kancah Eropa. Sheva merencanakan pembangunan di bidang sosial dan olahraga. “Saya bergabung menjadi tim Nataliya Korolevska karena Ukraine Forward adalah partai masa depan yang dibangun oleh pemimpin muda,” katanya.
Ukraine Forward saat ini tengah gencar melakukan kampanye pembebasan mantan perdana menteri Yulia Tymoshenko, yang sedang menjalani masa hukuman selama tujuh tahun. Tymoshenko merupakan rival politik utama presiden Viktor Yanukovich dan telah dipenjara sejak Oktober 2011 karena menyalahgunakan jabatan. Partai yang kini dinaungi Shevchenko itu menuntut pembebasan karena Tymoshenko kerap mendapatkan kekerasan selama menjalani masa tahanan.
Sheva bukan orang Ukraina pertama yang bermanuver dari dunia olahraga ke politik. Sebelumnya, juara tinju kelas berat, Vitali Klits chko, sudah lebih dulu terjun di dunia politik dengan mendirikan Partai Udar. Berkariernya Sheva di politik dikabarkan untuk mengincar momentum pemilihan parlemen Ukraina yang akan diselenggarakan Oktober 2012 mendatang.

Tuesday, July 24, 2012

Birokrasi Terkooptasi Politik

July 24, 2012 0
Komposisi pegawai negeri sipil di Indonesia sangatlah paradoks. PNS dengan keahlian tertentu atau tenaga fungsional sangat sedikit. Di pelosok Nusantara, kekurangan tenaga medis dan guru, misalnya, sangat mencolok sehingga menjadi problem yang kerap kali mengganggu aktivitas kehidupan. Sebaliknya, tenaga administrasi umum bercokol di mana-mana.
Perbandingan antara jumlah PNS fungsional dan administrasi umum ibarat bumi dan langit. Jumlah tenaga fungsional, menurut Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Eko Prasojo, hanya 20 persen dari keseluruhan PNS yang jumlahnya sekitar 4,7 juta orang. Sebagian besar atau 80 persen PNS adalah tenaga administrasi umum.
Ini baru sekadar jumlah. Belum lagi masalah mentalitas bekerja PNS kita yang seadanya, lamban, dan selalu mengharapkan ”uang lelah”. Moto ”kalau bisa diperlambat, kenapa harus dipercepat” seakan-akan tak lepas dari komunitas pegawai kita walaupun pada era reformasi birokrasi. Memang, kultur itu tak bisa dipukul rata. Tentu masih ada PNS yang bekerja keras, profesional, dan jujur. Namun, jumlah mereka minoritas.

Kronis
Sesungguhnya, kompleksitas masalah birokrasi di Indonesia kian rumit membelit ketika ditambah kooptasi politik. Tarikan kepentingan politik ini terjadi baik di tingkat pusat ataupun daerah. Di tingkat pusat, menteri-menteri umumnya dipilih berdasar asal partai politik yang ikut penyusun koalisi pemerintah. Pos-pos menteri sudah dijatah untuk parpol tertentu. Dari 34 menteri, 17 menteri berasal dari parpol. Tentu saja, semua menteri dari parpol mempunyai agenda politik sesuai kepentingan parpol masing-masing.
Di daerah, cengkeraman kooptasi politik pada birokrasi tak kalah kuat. Jabatan kepala dinas, kepala badan, dan asisten di sekretariat daerah hanya diberikan kepada pendukung calon kepala daerah terpilih. Pejabat yang memberikan dukungan penuh terhadap calon kepala daerah yang memenangi pilkada, dipastikan akan mendapat kedudukan empuk sebagai balas jasa. Di sini, barangkali jangan lagi bicara soal kualitas kinerja dan latar pendidikan karena pada umumnya hal-hal seperti itu menjadi pertimbangan nomor dua.
Dengan kooptasi seperti itu, politik yang menciptakan sistem di birokrasi, bukan sebaliknya. Birokrasi menjadi tidak netral, susah bekerja profesional, apalagi melayani rakyat secara sepenuhnya. Birokrasi malah lebih banyak melayani kepentingan-kepentingan politik.

Penyakit Kronis
Bertahun-tahun birokrasi seperti terjangkiti penyakit kronis dan akut. Menyembuhkannya tidaklah mudah. Akan tetapi, sejak era reformasi birokrasi, pembenahan dilakukan secara intensif. Paling pokok adalah deteksi postur birokrasi. Birokrasi yang gemuk tentu tak lincah untuk bekerja. Masalah juga yang sangat penting adalah berimbas pada biaya belanja aparatur yang membengkak. Gaji, tunjangan, dan biaya perjalanan dinas, serta honorarium mendominasi anggaran belanja negara.
Satu-satunya jalan harus melalui pemangkasan. Struktur birokrasi yang tidak jelas tugas pokok dan fungsinya dirampingkan. Di tingkat pusat saja saat ini terdapat 34 kementerian, 28 lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK), dan 88 lembaga nonstruktural (LNS). Padahal, setelah desentralisasi, semestinya organisasi di tingkat pusat semakin ramping karena sudah banyak kewenangan diserahkan kepada birokrasi di daerah.
Namun, runyamnya, struktur di daerah pun setali tiga uang. Seperti di tingkat pusat, postur birokrasi di daerah pun ikut-ikutan tambun. Apalagi sejak era otonomi daerah yang telah berjalan lebih satu dasawarsa ini, pemerintah daerah (khususnya kabupaten/kota) bisa melakukan apa saja karena kewenangan ada di tangan mereka.

PNS Tambah Terus
Walaupun birokrasi sudah tambun, penerimaan PNS berlangsung terus. Lagi-lagi, hal itu akan menyedot anggaran daerah karena untuk membayar gaji, tunjangan, honor, dan biaya perjalanan dinas PNS serta pejabat daerah yang lebih banyak.
Bayangkan saja, hal yang sangat tidak logis, anggaran belanja dan pendapatan daerah (APBD) di sejumlah kabupaten justru lebih banyak untuk belanja pegawai, bahkan bisa di atas 50 persen hingga 70 persen. Artinya, anggaran untuk pembangunan, proyek infrastruktur, sarana dan prasarana, pemberdayaan ekonomi masyarakat sangatlah kecil. Anggaran pembangunan justru hanya untuk memberikan makan birokrasi saja.
Selain menyedot anggaran, struktur birokrasi yang gemuk itu juga menyulitkan kerja yang terintegrasi. Kewenangan dan tugas satu instansi dan lainnya tumpang-tindih. Ketika terjadi kekacauan, hal itu justru membuka peluang untuk saling lempar tanggung jawab. Indeks efektivitas pemerintah pada 2009, minus 0,29. Dengan kinerja yang terjadi sekarang ini, bisakah dicapai target 0,5 persen pada tahun 2014? Hal ini tentu saja sangat bergantung pada reformasi birokrasi yang tengah digalakkan.
Adapun jumlah lembaga yang menyerahkan laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (LAKIP) juga pada 2009, hanya 24 persen!

Pembenahan Internal
Desain struktur serta profil kementerian dan lembaga yang diperlukan di tingkat pusat dan daerah memang masih didiskusikan. Pembenahan akan dilakukan dalam jangka panjang sebab memerlukan komitmen politik luar biasa. Sebaliknya, pembenahan internal birokrasi dirasakan lebih mungkin dilakukan bertahap mulai saat ini. Setidaknya, proses perekrutan dan promosi pegawai ditata. Promosi eselon 1 dan eselon 2 dilakukan terbuka untuk semua PNS yang memenuhi syarat kepangkatan dan keahlian, yang penilaiannya dilakukan tim independen.
Agar tidak lagi mendapatkan tenaga yang sia-sia, proses perekrutan PNS berbagai instansi harus berbasis kebutuhan. Tes berbasis komputer serta penilaian kompetensi diharapkan mampu menyaring PNS dengan keahlian dan integritas. Harapannya, sistem perekrutan ini juga akan memutus mata rantai penjualan formasi PNS yang berkelindan di birokrasi.
Namun, semua itu masih harus menunggu karena masih dipersiapkan dalam Rancangan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara yang masih dibahas di DPR. Dalam masa peralihan ini, setiap daerah hanya diharuskan membuat analisis beban kerja dan analisis jabatan sebagai syarat merekrut PNS baru. Selain itu, seleksi ditangani konsorsium sepuluh perguruan tinggi negeri.
Secara umum, pembenahan birokrasi akan diterapkan pada organisasi, proses kerja, sumber daya manusia, perekrutan, akuntabilitas kerja, pengawasan, pelayanan publik, serta perbaikan pola pikir dan budaya birokrasi. Memang, soal pola pikir dan budaya birokrasi akan menjadi satu pilar yang sangat sulit dibenahi. Bangsa Indonesia terjerat mentalitas jalan pintas dan berorientasi hasil (result oriented).
Kalau diumpamakan, mestinya berproses menjadi batik tulis, bukan batik cap. Proses menenun dan membatik dengan keringat, ketekunan, kerja keras, sampai menghasilkan selembar kain cantik nan bermutu seharusnya melandasi mental birokrat kita.


Tuesday, July 17, 2012

Soekarno Belum Bergelar Pahlawan Nasional

July 17, 2012 0

Meskipun dikenal sebagai Bapak Proklamator, presiden pertama Indonesia, Soekarno, hingga saat ini belum bergelar pahlawan nasional. Tak hanya Soekarno, Bung Hatta juga mengalami nasib serupa.
"Sampai kini Bung Karno memang belum jadi pahlawan nasional," kata Jimly Asshidiqie, anggota Dewan Gelar Pahlawan Nasional, seusai menghadiri seminar Kebangsaan dan Kepahlawanan di Surabaya, Senin, 16 Juli 2012. Menurut Jimly, kendati segala bahan riset, seminar, diskusi tentang Bung Karno selama ini sudah sangat lengkap, tetapi pengajuan gelar kepahlawanan tetap saja harus diproses sesuai mekanisme yang berlaku. Karena itu, seusai seminar ini, dirinya minta dilakukan proses pembahasan di tingkat akademisi. Apalagi gelar kepahlawanan tidak hanya soal formalitas, melainkan juga harus dijadikan instrumen kepahlawanan bagi segenap anak bangsa.
Khusus pemberian gelar kepahlawanan bagi Bung Karno, Jimly mengusulkan dilakukan pada tanggal 1 Juni sehingga ketokohan Bung Karno bisa lebih istimewa dan tidak bersamaan dengan pemberian gelar kepahlawanan bagi pahlawan nasional kebanyakan yang dilakukan tiap tanggal 10 November. "Saya ini anggota Dewan Gelar, tidak etis sebenarnya kalau bicara teknis, tapi saya harap gelar Bung Karno bisa diberikan 1 Juni," kata Jimly. Jika gelar Bung Karno selesai, Jimly berharap bisa dilanjutkan untuk memproses pemberian gelar bagi Bung Hatta.
Menurut Jimly, hal yang mengganjal dalam pemberian gelar kepahlawanan bagi Bung Karno di antaranya adalah adanya TAP MPRS No.XXXIII/MPRS/1967 yang mencabut kekuasaan Soekarno. Dalam TAP tersebut di Bab II Pasal 6 disebutkan juga jika penyelesaian proses hukum menyangkut Soekarno selanjutnya dilakukan menurut ketentuan hukum yang berlaku dan menyerahkan pelaksanaanya kepada pejabat Presiden.
"Asumsinya, Bung Karno telah melakukan tindakan hukum, tapi proses hukum ternyata tidak pernah dilakukan oleh Presiden Soeharto," kata Jimly. Karena itu, asumsi Bung Karno melakukan pelanggaran hukum bisa dipandang tidak benar, meskipun juga tidak dapat dinafikan seolah-olah benar. Jimly menambahkan, Keputusan Presiden Nomor 081 Tahun 1986 yang memberikan gelar bagi Soekarno bersama Bung Hatta sebagai pahlawan proklamator secara dwitunggal jelas tidak memiliki dasar perundang-undangananya. Apalagi, gelar kepahlawanan tidak mengenal istilah pahlawan proklamator. "Justru dwitunggal itu mengkrangkeng nama besar Bung Karno dan Bung Hatta yang tidak bisa sendiri-sendiri diabadikan secara semestinya," kata Jimly.
Gubernur Jawa Timur Soekarwo yang hadir dalam seminar itu mengatakan polemik terkait status hukum bagi Bung Karno sebenarnya sudah bisa dianggap selesai. "Beliau sudah wafat, Pak Harto juga sudah wafat, jadi tidak ada lagi alasan untuk mengulur gelar bagi Bung Karno," kata Soekarwo.
Seminar itu setidaknya juga dihadiri sejarawan muda JJ Rizal serta Daniel Dhakidae. Pengajar hukum Tata Negara Universitas Surabaya (Ubaya), Martono, yang menjadi panitia acara mengatakan, hasil diskusi selanjutnya akan dijadikan pijakan akademis untuk mengusulkan Bung Karno sebagai pahlawan nasional.

Monday, July 16, 2012

Demokrasi ala Chomsky

July 16, 2012 0
Demokrasi (democracy) dan pendidikan (education), mau tidak mau, suka atau tidak suka seperti ditegaskan oleh Chomsky, kita akan berjumpa dengan pemikiran salah satu filsuf besar Amerika Serikat di abad 20, yakni John Dewey. Chomsky sendiri mengakui, bahwa pemikiran Dewey tentang pendidikan juga mempengaruhi pemikirannya. Salah satu argumen yang cukup menarik, yang diajukan oleh Dewey adalah reformasi pendidikan (reform in education) berupa perubahan paradigma pendidikan, perlu dilakukan sejak orang masih berusia muda.
Dalam konteks ini, tetaplah perlu diperhatikan, bahwa menurut Dewey, tujuan pendidikan bukanlah menghasilkan barang-barang bagus yang bisa dijual dan menambah kas Negara, melainkan menghasilkan manusia-manusia bebas (produces free men) yang mampu berhubungan satu sama lain dalam situasi yang setara (equal relation). Itulah tujuan pendidikan sejati, yang sekarang ini banyak terlupakan.
Mengapa demikian, pada prinsipnya masa sekarang ini, pendidikan sedang diancam oleh dua kekuatan besar. Yang pertama adalah kekuatan dari rezim-rezim otoriter (authoritarian regimes) yang ingin menciptakan manusia-manusia yang tunduk dan patuh (docile human) pada ideologi yang ada. Sementara yang kedua adalah kekuatan dari sistem kapitalisme yang hendak mengubah konsep warga negara (citizenship) yang bebas menjadi konsep konsumen (consumer) yang bebas, yang pikirannya hanya terfokus pada konsumsi tanpa batas semata.
Dua macam power ini masih dapat kita temukan sekarang ini. Bisa dikatakan Rezim otoriter sekarang ini banyak mengatasnamakan agama dan tradisi untuk melenyapkan kebebasan manusia. Sementara sistem kapitalisme, dengan daya pikat konsumtivismenya, masih mencengkram pikiran banyak orang, sehingga mereka kehilangan kesadarannya sebagai warga negara, dan hanya semata sibuk mengumpulkan uang tanpa memikirkan sesuatu yang penting yaitu tujuan pendidikan.

Tujuan Pendidikan
Chomsky mengajak kita kembali mengingat tujuan utama pendidikan, yakni menghasilkan manusia-manusia yang bebas dan mampu berhubungan satu sama lain dalam situasi, kondisi yang setara. Maka dapatlah dikatakan, bahwa pendidikan adalah suatu proses produksi, namun bukanlah produksi barang-barang dengan cetakan ketat yang telah ditentukan sebelumnya, melainkan produksi manusia-manusia bebas.
Di sisi lain, Chomsky juga mengutip pendapat Bertrand Russell, seorang filsuf besar asal Inggris di awal abad ke-20 lalu, tentang pendidikan. Baginya, pendidikan adalah suatu proses untuk memberi makna dari segala sesuatu, dan bukan untuk menguasainya (manusia dan alam). Pendidikan juga adalah proses untuk menciptakan warga negara yang bijak dan masyarakat yang bebas (wise citizens and free society). Menurut Russell, kebijaksanaan publik seorang warga negara mencakup dua hal, yakni kepatuhan pada hukum seorang warga negara pada hukum di satu sisi, dan kreativitas individual dalam berkarya serta mencipta ulang hidupnya di sisi lain. Kedua aspek ini harus berjalan seimbang dan dinamis.
Nilai-nilai individualistik yang mengabaikan solidaritas sosial berkembang pesat di berbagai masyarakat dunia sekarang ini. Di satu sisi, orang hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri untuk mencapai keberhasilan dalam hidup. Di sisi lain, tingkat kecemasan menjadi amat tinggi, karena tidak ada jaring pengaman yang menangkap mereka, ketika jatuh atau gagal dalam kehidupan, Pada titik ini, menurut kami, proses globalisasi yang terjadi sekarang ini sebenarnya adalah proses penyebaran nilai-nilai individualisme khas Amerika Serikat ke seluruh dunia.
Di dalam penyebaran nilai-nilai tersebut, solidaritas sosial yang menjadi fondasi dari banyak komunitas, dan juga merupakan fondasi bagi proses-proses demokrasi yang sehat, secara perlahan namun pasti terkikis. Yang juga perlu diperhatikan, terutama dengan melihat situasi dewasa ini, nilai-nilai invidiualisme justru membawa kehancuran pada komunitas, ketidakadilan akibat kesenjangan sosial yang begitu tajam antara si kaya dan si miskin, serta krisis ekonomi raksasa yang merugikan begitu banyak pihak yang tak bersalah.
Proses globalisasi (baca: Amerikanisasi) masa kini, bisa dibayangkan sebagai proses penyebaran “racun” politis ke seluruh dunia. Di dalam semua proses tersebut, dan ini menyebabkan dunia pendidikan di Indonesia pada umumnya dan Aceh pada khususnya tidak menjalankan fungsinya sebagai institusi kritis, tetapi justru mengabdi pada pengembangan sekaligus penyebaran nilai-nilai individualistik yang egois dan rakus tersebut.
Untuk menjelaskan argumen ini, Chomsky mengutip tulisan David Montgomery, seorang sejarahwan dari Inggris. Menurut Montgomery, Amerika Serikat modern adalah negara yang dibangun dari pemberontakan kelas pekerja terhadap kelas penguasa, mulai dari kelas penguasa dari Inggris, maupun kelas penguasa modal yang rakus dan enggan berbagi. Pemberontakan itu berbentuk protes keras dan berkelanjutan dari awal abad ke-19 sampai dengan 1950-an.
Chomsky sepakat dengan argumen ini. Yang melakukan protes ini adalah orang-orang biasa, kaum pekerja, terutama kaum perempuan. Mereka bangkit dan bekerja sama untuk menolak nilai-nilai kelas penguasa borjuis yang individualistik, kompetitif, dan penuh dengan nuansa kerakusan. Mereka memperjuangkan perbaikan untuk nasib mereka yang direndahkan, dan situasi kerja maupun hidup mereka yang tidak manusiawi. Perbudakan memang dihapus. Namun, jenis perbudakan baru lahir, yakni apa yang disebut Chomsky sebagai perbudakan yang bergaji (wage slavery).
Pada saat yang sama, minat pada karya-karya sastra klasik dan filsafat menurun drastis, terutama di kalangan para pekerja kasar yang hidupnya bagaikan “budak yang bergaji”. Para pejuang kelas pekerja, sebagian dari mereka adalah kaum perempuan, menolak tata kelola politis semacam ini, dan mengorganisir gerakan perubahan (change movement). Gerakan perubahan tersebut berhasil, dan terciptalah Amerika Serikat modern.

Politik Masa Kini
Seiring berjalannya waktu, demokratisasi yang terjadi pada hari ini sangat tidak stabil, barometernya adalah uang (money) artinya kekuasaan tersebut tidak datang dari rakyat maupun prosedur-prosedur demokrasi, melainkan dari pendekatan personal dan finansial pada penguasa-penguasa politis. Orang tidak lagi diukur dari kualitas dirinya, tetapi dari berapa uang dan kuasa yang ia punya, tak peduli uang dan kuasa itu didapat dari mana. Proses-proses politik demokratisasi pun ditunggangi oleh kekuatan uang yang hanya menguntungkan sebagian kelompok masyarakat, sambil mengorbankan kelompok masyarakat lainnya.
Pertanyaanya adalah apa dampak dari semua ini? Yakni dari otoritas kekuasaan yang menerkam kebebasan, dan menciptakan kesenjangan yang semakin besar dalam masyarakat. Yang tercipta kemudian adalah suatu masyarakat yang diwarnai ketidakadilan dan ketidakpedulian. Di Indonesia sekarang ini, banyak orang curiga dan pesimis pada dunia politik. Sedikit sekali yang berpendapat, bahwa para pemimpin politik kita mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik.
Menurut Chomsky, pola semacam ini adalah hasil dari pola pendidikan yang menindas cara berpikir kritis, dan mencegah manusia untuk menjadi manusia-manusia yang setara sehingga dapat menjadikan insan yang malas, karena terlalu berharap untuk mendapatkan yang lebih mudah didapatkan, ini merupakan fakta yang terjadi hari ini. Apakah hanya dengan politik/kekuasaan semuanya bisa diubah? Dan, apakah dengan uang semuanya bisa didapatkan? Kedua pertanyaan ini dapat dijawab oleh diri sendiri.