Blognya Anak Kuliahan

Thursday, August 9, 2012

Membangun Takwa Politik Dengan Ramadhan

August 09, 2012 0
Menurut Bapak sosiologi Islam, Ibnu Khaldun, panggung politik dan kekuasaan adalah posisi yang banyak diidam-idamkan orang karena kenikmatannya. Di dunia politik ini, terkumpul segala macam kenikmatan, dari harta kekayaan yang berlimpah, kepuasan karena terpenuhinya kebutuhan fisik, dan kenyamanan psikologi (karena selalu dihormati). Karena kenyamanan ini, banyak orang bersaing untuk mendapatkannya. Dan kalau sudah berkuasa, sangat sedikit yang dengan sukacita menyerahkannya kepada orang lain.

Karakter inilah yang barangkali bisa menafsirkan kita kepada sebuah fenomena kenapa mayoritas penguasa diturunkan dengan cara yang tidak formal, dan kenapa banyak pejabat mengalami post power syndrome saat turun dari jabatannya. Salah satu penyebab jeleknya citra politik di mata mayoritas adalah karena banyak penguasa yang berbuat semena-mena dengan lawan politiknya demi mempertahankan kekuasaannya.

Benarkah politik itu sejatinya kotor, ataukah kekotoran itu adalah benalu kekuasaan di saat penguasa sudah lupa dengan tujuan semula saat dilantik menjadi pemimpin?

Dengan penuh keyakinan, penulis menyatakan bahwa politik adalah salah satu agenda penting dalam dakwah. Politik adalah keniscayaan dalam mewujudkan totalitas beragama, dan politik adalah salah satu cara untuk menggapai taqwa. Tetapi dunia ini sangat rentan godaan, sehingga memerlukan energi besar agar praktisinya tidak mudah terjangkiti oleh virus-virus politik kotor.

Lalu, apa kaitan Ramadhan dengan taqwa? Benarkah Ramadhan bisa menjadi solusi carut marutnya dunia perpolitikan? Mampukah Ramadhan menciptakan taqwa di sektor politik?

Mencermati pernyataan Ibnu Khaldun di atas, penulis akan menggali sejauh mana Ramadhan mampu membangun karakter taqwa di dunia politik. Tulisan ini menyoroti dua sudut: Pertama, masyarakat terhadap penguasa, dan kedua, penguasa yang menjalankan roda pemerintahan.

Masyarakat yang menentukan pilihan politik

Masyarakat memiliki peran penting dalam membangun budaya taqwa dalam politik. Masyarakat yang bertaqwa, tidak akan membiarkan pemimpinnya berbuat semena-mena. Dalam pidato politik saat dikukuhkan menjadi Khalifah Islam setelah Rasulullah, Abu Bakar sadar betul bahwa kekuasaan

mudah menyeret seseorang kepada penyelewengan. Karenanya, beliau meminta masyarakat – yang pada saat itu mayoritas bertaqwa – untuk memantau kinerja kepemimpinan beliau. Dalam pidatonya yang singkat beliau berkata :

“Sesungguhnya aku sekarang telah diangkat untuk menjadi pemimpin kalian, padahal aku sadar bahwa aku bukanlah orang yang terbaik di antara kalian. Jika aku profesional, maka dukunglah kinerjaku, tapi jika aku asAl asalan, maka luruskan diriku. Kejujuran adalah amanah, dan kebohongan adalah pengkhianatan…”

Salah satu cara membentuk masyarakat taqwa adalah dengan metode Ramadhan. Ramadhan secara intensif melatih masyarakat muslim untuk mencintai nilai-nilai kebaikan, mampu menahan nafsu untuk tidak melakukan perbuatan keji. Bersemangat melaksanakan shalat secara berjamaah, dan berani menegur imamnya jika melakukan kekeliruan.

Ramadhan yang sukses juga akan menekan persoalan bangsa yang sangat akut sekarang ini, yaitu korupsi. Karenanya, permasalahan serius yang disoroti Allah pasca ayat-ayat tentang Ramadhan adalah problematika korupsi, yang dalam ajaran Allah pemberantasannya baru akan efektif manakala dilakukan oleh orang-orang yang bertaqwa. Allah berfirman,

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (Al Baqarah: 188).

Ramadhan sangat intensif mengenalkan nilai-nilai kebaikan untuk masyarakat. Nilai-nilai yang diperkenalkan sangat bervariasi, mulai dari kedisiplinan, kejujuran, keikhlasan, melatih sikap empati, sampai kepada pengenalan hak-hak pemimpin dan yang dipimpin.

Kedisiplinan dikenalkan lewat jadwal berbuka dan imsak, kapan boleh makan dan minum dan kapan tidak boleh; kapan waktu berangkat ke masjid, dan jam berapa harus bangun sahur. Kejujuran diasah lewat kesportifan orang untuk tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa, meskipun tidak ada satu pun orang yang tahu dia melakukannya. Keikhlasan tumbuh dari praktek puasa yang tidak mungkin diketahui orang lain, kecuali kalau kita sendiri yang menceritakannya.

Ramadhan melatih kita untuk lebih peduli terhadap sesama dengan program memberi makan orang yang berpuasa, memperbanyak infaq, sedekah, dan zakat. Ramadhan juga mengajarkan kita bagaimana memilih pemimpin dalam shalat, kapan harus menaatinya, dan bagaimana menegurnya jika berbuat kesalahan.

Masyarakat Ramadhan dengan karakteristik di atas tidak mungkin tertarik memilih pemimpin yang tidak seirama dengan mereka, hanya karena tampilan fisik calon pemimpin, atau karena teror money politics. Mereka telah terbiasa dengan sukarela tidak makan seharian selama sebulan tanpa dibayar dengan uang. Andaikan ada yang ingin membayar mereka agar membatalkan puasa, mereka pasti tidak akan melakukan itu.

Masyarakat Ramadhan juga tidak akan segan-segan memberikan peringatan kepada pemimpin yang salah. Mereka sangat sadar bahwa pilihan mereka harus mendukung nilai-nilai ketaqwaan yang telah mereka bangun dengan susah payah, sebagaimana mereka merasa tidak nyaman di saat shalat di belakang imam yang bacaan serta sikapnya tidak baik.

Masyarakat Ramadhan juga tidak akan melanjutkan tradisi korupsi yang telah beranak-pinak. Mereka adalah orang pertama yang akan menghapus tradisi ini. Selama Ramadhan, mereka telah dilatih untuk memakan makanan yang halal dan thayyib, dan tidak akan korupsi pada saat berbuka dan sahur. Mereka tidak berani untuk berbuka sebelum waktunya, demikian juga dengan makan setelah waktu sahur lewat.

Dengan sikap seperti itu, penguasa yang punya niat korupsi akan berfikir seribu kali untuk melakukannya, lantaran masyarakatnya tidak mendukung, bahkan akan mengadilinya. Suburnya korupsi di negeri ini adalah akibat banyaknya pejabat yang korup yang berkolaborasi dengan pengusaha atau rakyat yang membutuhkan bidang yang digarap oleh pejabat.

Penguasa yang Menjalankan Roda Pemerintahan.

Godaan kekuasaan sangat besar, baik harta, tahta maupun wanita. Penguasa sangat rentan dengan godaan harta. Banyak pengusaha yang siap menanamkan investasi jasa keuangannya jauh-jauh hari sebelum menjadi penguasa, dengan harapan nanti kalau berkuasa akan mendapatkan proyek-proyek besar.

Kalau tidak berhasil mendekati penguasa atau calon penguasa, mereka coba masuk dari jalur keluarga, baik istri maupun anak-anak mereka. Banyak sudah pemimpin yang harus turun dari jabatannya lantaran skandal korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan untuk memperkaya diri dan keluarga mereka.

Pejabat juga sangat rentan dengan godaan wanita. Betapa banyak pemimpin yang harus meninggalkan tahtanya gara-gara terlibat skandal dengan wanita simpanan. Betah dengan tahta adalah godaan lain yang melekat kental di sebagian penguasa. Demi mempertahankan tahtanya, dia singkirkan lawan-lawan politiknya dengan berbagai macam cara. Ada yang dicampakkan ke dalam sel, ada yang diasingkan, bahkan ada yang dihabisi nyawanya.

Tetapi pejabat yang telah dicelup dengan nilai Ramadhan dan sukses dalam prosesnya, Insya Allah lahir dengan tampilan yang berbeda. Ramadhan tidak hanya diwajibkan kepada masyarakat kecil, tetapi juga menyentuh kalangan pejabat. Ramadhan mengajarkan mereka untuk berhias dengan sifat jujur, cinta masjid, merasakan kedekatan dengan Sang Pencipta, memperkecil nafsu serakah terhadap dunia, hati-hati dengan godaan lawan jenis, siap menerima kritik, memberantas korupsi dan lainnya.

Kejujuran tumbuh dari terlatihnya mereka berpuasa tanpa harus berbuka, meskipun tidak dilihat oleh orang lain. Mereka juga sering ke masjid menyatu dengan rakyatnya untuk sama-sama shalat berjamaah. Seringnya mereka beribadah, insya Allah menjadikan mereka semakin merasakan kedekatan kepada Allah. Sehingga nafsu serakah dunia dan hebatnya godaan syahwat menjadi jinak dan terkendali.

Penguasa yang bertaqwa seperti di atas, akan membawa dampak positif buat diri, keluarga, dan rakyatnya. Pemimpin yang lulus puasa Ramadhan adalah pemimpin yang salih secara pribadi, rajin beribadah, jujur, berdedikasi tinggi, siap menerima kritik membangun, tidak tergiur oleh berbagai godaan.

Pemimpin yang lulus ujian Ramadhan adalah pemimpin yang berwibawa di dalam keluarganya, menjadi contoh buat isteri dan anak-anaknya, dan menciptakan lingkungan rumah yang kondusif buat ibadah kepada Allah. Ia adalah pemimpin yang selektif memilih bithanahnya (orang dekatnya) sehingga selalu mengingatkannya jika terjadi kekeliruan. Ia juga akan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mendukung terwujudnya nilai-nilai taqwa dalam kehidupan.

Di antara wujud nilai taqwa dalam kehidupan sehari-hari yang akan digulirkan oleh pemimpin jenis ini adalah: Gerakan Peduli Pemuda, Gerakan kembali mencintai masjid, menghidupkan nilai-nilai ukhuwah terhadap sesama, gerakan sumbangan sukarela dalam membangun kekuatan ekonomi negara, gerakan anti pornografi, gerakan menghidupkan malam dengan ibadah.

Gerakan peduli pemuda tumbuh dari kesadaran pemimpin dalam merespon perintah Allah untuk menjaga diri dan keluarganya dari api neraka. Kealfaan memperhatikan perkembangan pemuda berakibat fatal bagi kualitas keberagamaan mereka, sekaligus menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan suatu negara.

Sedangkan gerakan kembali cinta masjid, muncul dari kenikmatan yang mereka dapatkan di saat sholat berjamaah dan merasakan dampak positifnya berkumpul di masjid jika dibandingkan dengan berkumpul di tempat-tempat keramaian yang lain. Nilai-nilai ukhuwah terbangun dengan seringnya berkumpul bersama di dalam tempat yang suci.

Sumbangan sukarela dapat digerakkan karena rakyat melihat bahwa pemimpin mereka juga mengeluarkan infaq, sedekah, sama seperti yang mereka lakukan. Sedangkan gerakan anti pornografi dapat efektif karena pemimpinnya tidak pernah terperangkap dalam jerat ini dengan energi besar dari Ramadhan. Dan, gerakan mengisi keheningan malam dengan ibadah, mereka gulirkan saat merasakan betapa indahnya shalat tahajjuad dan i’tikaf di hari-hari akhir Ramadhan.

Ramadhan yang menyentuh kutub pemimpin di satu sisi dan masyarakat di sisi yang lain, akan melahirkan ketaqwaan dari keduanya sekaligus. Pemimpin yang bertaqwa akan menggulirkan kebijakan-kebijakan yang menopang terealisasinya ketaqwaan di masyarakat. Dan, masyarakat yang bertaqwa akan menjadi pengawas berlangsungnya nilai-nilai ketaqwaan di kalangan elit.

Monday, August 6, 2012

Malcolm X, “Politikus Muslim Paling Berbahaya di Amerika”

August 06, 2012 2
Almarhum Malcolm Little, lebih dikenal sebagai Malcolm X, adalah salah satu politikus muslim dunia paling terkenal. Di negara asalnya, Amerika Serikat, dia dianggap berbahaya lantaran menuntut otonomi khusus bagi warga kulit hitam, seperti ditulis dalam laporan khusus the New York Times (1/8/2008).

Lahir di Kota Omaha, Negara Bagian Nebraska, Amerika, 19 Mei 1925, Malcolm mengalami masa kecil suram. Ayahnya, Earl Little, adalah pendeta gereja baptis kerap bersuara soal ketidakadilan kaum negro.

Pada masa itu, masih berlaku politik diskriminasi antar ras (disebut segregasi) di Amerika, terutama di kawasan selatan. Misalnya, warga kulit hitam tidak boleh naik bus bersama orang kulit putih, minum dari keran sama, atau makan di restoran sama. Penindasan ini membuat banyak orang negro berorganisasi, kebanyakan lewat institusi agama seperti gereja atau masjid.

Kegiatan Earl mulai dipantau kelompok kulit putih radikal Klux Klux Klan. Dia mengajak istri dan empat putranya, termasuk Malcolm, pindah ke Kota Lansing. Nahas, suatu pagi Earl tewas akibat tabrak lari. Banyak orang percaya dia dibunuh karena menyuarakan persamaan hak warga kulit hitam.

Saat itu Malcolm baru berusia enam tahun. Dia tumbuh menjadi anak nakal dan membenci kulit putih. Beranjak remaja, dia aktif merampok rumah orang kaya. Pada 1946, Malcolm masuk penjara karena tertangkap basah menadah jam curian.

Dalam penjara itulah nasib Malcolm berubah. Dia berkenalan dengan Reginald, pegiat Nation of Islam (NOI), sebuah kelompok radikal kulit hitam muslim. Dia tertarik pada ajaran NOI lantaran mengajarkan perlawanan pada kulit putih dan jalan hidup lurus sesuai ajaran Islam.

Perlahan Malcolm berubah sikap. Dia tidak merokok, menolak makan babi, dan akhirnya setelah bebas, dia bertemu pemimpin NOI, Elijah Muhammad. Malcolm lantas mengganti namanya menjadi Malcolm X. "Kata X menggambarkan identitas sejati saya tidak lagi diketahui, saya adalah keturunan seluruh warga Afrika tertindas, tanpa nama," ujar dia.

Malcolm segera menjadi corong propaganda NOI di Amerika. Dia mengirim surat ke Presiden Henry Truman, mengatakan siap mendirikan negara komunis berasaskan Islam. Dia pun aktif membela anggota NOI dipukuli polisi Kota New York pada 1957. Biro Penyidik Federal (FBI) langsung memantau karena Malcolm X sangat karismatik. Sekali bicara, ribuan warga kulit hitam, muslim dan non-muslim berkerumun dan mendengarkan takzim.

Menikahi Betty Sanders pada 1955 tidak membuat Malcolm lunak. Malah dia bersikap sangat keras dan kerap berpidato di televisi. Presiden John F. Kennedy yang baru terpilih sampai melobi dia agar masuk Kongres, supaya pergerakannya di NOI tidak menciptakan makar. Malcolm X menjadi politikus internasional. Dia berkawan akrab dengan Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser dan Pemimpin Kuba Fidel Castro.

Pada 1964, dia berangkat haji. Di sana, Malcolm mendalami Islam aliran Sunni sekaligus mengganti namanya menjadi Al Hajj Malik El-Shabazz. Dia mengaku selama di NOI cara beragamanya ternyata keliru. Dia mengira Islam hanya alat untuk kemerdekaan kulit hitam.

Ketenarannya ternyata berbutunt panjang. Elijah sebagai pemimpin NOI merasa tersaingi. Gesekan keduanya kerap terjadi. Malcolm X akhirnya memutuskan keluar dengan alasan organisasi radikal ini lebih mementingkan persoalan ras daripada syiar agama Islam. Dia pun akhirnya bersedia bekerjasama dengan pegiat persamaan kulit hitam moderat, seperti Pendeta Martin Luther King Jr.

Nasib Malcolm berakhir tragis. Ketika berceramah di Aula Adubon, New York, dua pria mendadak memberondong dia. Dia tewas dengan 21 luka tembakan. Konon, mereka adalah suruhan NOI yang merasa Malcolm membelot dari perjuangan organisasi.

Hingga akhir hayatnya, Malcolm X belum sempat melihat kesetaraan antara kulit hitam dan kulit putih terwujud di Amerika. Dia meninggalkan seorang istri dan enam anak. Kisah hidupnya berulangkali difilmkan. Otobiografi Malcolm X merupakan salah satu buku wajib untuk membahas periode kelam ketika Negeri Paman Sam terpecah belah akibat warna kulit.

Sunday, August 5, 2012

Berpuasa Politik, Apa Pula Itu?

August 05, 2012 0

Berpuasa Politik, Apa Pula Itu?
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
SINDO, 04 Agustus 2012

Dalam penerbangan dari Yogyakarta ke Jakarta akhir pekan lalu, sambil leyeh-leyeh saya membuka-buka media massa yang disajikan kepada penumpang oleh Garuda.
Ada kalimat yang menarik perhatian saya dari salah satu koran yang saya baca.”Mumpung bulan puasa mari kita berpuasa dari politik, tak usah berpolitik dulu,”tulis media itu mengutip imbauan seseorang sehubungan dengan bulan Ramadan. Imbauan seperti itu, tak pelak, berangkat dari asumsi bahwa politik itu kotor dan berpolitik itu adalah dosa sehingga harus dihindari dulu selama Ramadan. Tentu saja asumsi seperti itu salah karena dua hal.
Pertama, kalau politik itu haram dan dosa dilakukan, maka ia tak boleh dilakukan bukan hanya pada bulan Ramadan, tetapi juga tak boleh dilakukan kapan pun dan di mana pun. Kedua, asumsi itu juga salah karena hanya lahir dari fakta kekinian dan kedisinian bahwa dunia politik kita, dalam lingkup dan institusi-institusi tertentu, sedang dianggap kotor.
Politik di Indonesia sekarang ini memang sedang menjadi terdakwa dari berbagai problem serius yang sedang menimpa bangsa Indonesia.Taruhlah penegakan hukum yang karut-marut dan penuh debat kusir yang sebenarnya dilatarbelakangi oleh politik kotor. Ada pengacara, misalnya, yang pernah berteriak agar si anu segera ditangkap karena indikasi korupsinya kuat, tetapi ketika dirinya diminta menjadi pengacara si anu itu, dengan kalap sang pengacara membela si anu itu sebagai orang yang bersih.
Selain itu ada fenomena saling kunci dan saling sandera dalam penegakan hukum sehingga upaya penegakan hukum selalu diserimpung oleh politik. Kalau si A ditangkap, ada ancaman kasus si B juga akan dibongkar; kalau si B tertangkap, si C akan kena sehingga daripada ribut-ribut tak usah saling usik dan tak usah ada yang diusik.
Korupsi diselesaikan secara TST (tahu sama tahu). Permainan politik kemudian menjadi riuh rendah mengganggu proses penegakan hukum. Yang menjengkelkan, jika seseorang ditangkap KPK berdasarkan bukti minimal yang sudah cukup,yang ditangkap atau pengacaranya kerap kali menuduh bahwa kasusnya dipolitisasi. Ada yang bilang dirinya dijadikan korban politik karena untuk kepentingan parpol tertentu.
Padahal, dalam faktanya, koruptor dari semua parpol ditangani secara proporsional oleh KPK. KPK pun tak terbukti pernah merekayasa kasus, sebab dalam kenyataannya, sampai sekarang, semua yang dijadikan terdakwa oleh KPK pasti bisa dibuktikan telah melakukan korupsi sehingga dihukum oleh pengadilan. Begitu pun setiap banding, kasasi, atau permohonan peninjauan kembali (PK) yang dipergunakan untuk melawan putusan pengadilan dari kasuskasus yang digiring oleh KPK ternyata selalu kandas.
Artinya, pengadilan tinggi maupun Mahkamah Agung selalu membenarkan KPK, bahkan tak jarang MA menaikkan hukuman bagi mereka yang melakukan kasasi. Itu artinya tak ada politisasi yang dilakukan KPK. Permainan politiklah yang memang sedang merusak sendi-sendi kehidupan kita berbangsa dan bernegara. Mungkin karena itulah di benak masyarakat tertanam pengertian bahwa politik itu kotor.
Apalagi dalam faktanya juga dunia politik kita diwarnai oleh caci maki di depan publik antartokoh politik sendiri. Begitu juga politik uang dan perampokan kekayaan negara merebak di mana-mana dengan menggunakan jalur-jalur politik. Seperti saya katakan, pendapat bahwa politik itu kotor, sehingga harus dipuasakan, muncul karena asumsi yang salah, yang lahir karena fakta karut- marut dunia politik kini dan di sini.
Juga karena politik itu diartikan secara sempit sebagai kegiatan ikut dalam kegiatan partai politik. Padahal politik itu mencakup dimensi luas yang tidak identik dengan partai politik. Ia mencakup semua kegiatan (gerakan politik) untuk memengaruhi pembuatan kebijakan publik (politik dalam arti policy) yang punya konsekuensi mengikat bagi rakyat. Dalam arti ini berpolitik dengan ikut parpol hanya sebagian kecil dari gerakan politik.
Jadi,sejatinya politik itu fitrah, bagian dari bawaan asal manusia. Manusia adalah zoon politicon, makhluk yang tak bisa lepas dari politik, terutama dalam arti bahwa politik itu adalah kegiatan untuk memengaruhi penggunaan kekuasaan atau pembuatan policy yang mengikat rakyat. Makanya pernyataan orang bahwa dirinya tak mau berpolitik sebenarnya juga merupakan sikap berpolitik, yakni sikap tak ikut-ikutan mendukung atau menolak tokoh atau program politik.
Tapi yang bersangkutan tetap tak bisa menghindarkan diri atau menolak konsekuensi keputusan-keputusan pemegang kekuasaan politik. Itulah sebabnya, Imam al-Ghozaly mengatakan bahwa memperjuangkan perintah agama dan mempunyai pengaruh atas kekuasaan politik itu merupakan dua saudara kembar (al-dien wal sulthaan taw’amaan).
Banyak nilai kebenaran yang tumbuh dan diyakini di tengah-tengah masyarakat tak mungkin bisa ditegakkan kalau tidak melalui gerakan politik. Dilihat dari sudut ini, politik yang pada dasarnya netral malah menjadi aktivitas mulia yang wajib dilakukan. Oleh sebab itu, yang harus dilakukan dalam bulan puasa ini, dalam konteks politik, bukan berpuasa politik dalam arti berhenti dari kegiatan politik, melainkan mengendalikan dan mengarahkan syahwat politik agar tidak destruktif terhadap kemaslahatan masyarakat.
Semua harus sadar bahwa politik kotor akan menimbulkan ketidakadilan dan lemahnya penegakan hukum, sedangkan ketidakadilan dan tidak tegaknya hukum secara pasti menggiring ke kehancuran suatu bangsa dan negara. Mari kita lakukan puasa politik dengan cara membersihkan niat dan memperbarui langkah dengan pemahaman bahwa berpolitik itu sebagai bagian dari ibadah untuk membangun kemaslahatan, bukan mengumbar hawa nafsu dan syahwat politik.

Saturday, August 4, 2012

Koalisi Jokowi-Ahok Rentan Perpecahan ?

August 04, 2012 0

Pecah kongsi antara orang nomor satu dan wakilnya, sudah merupakan salah satu persoalan politik yang serius dalam pasangan pimpinan pemerintahan.
Di tingkat nasional Presiden Soekarno pernah pecah kongsi dengan Wapres Mohammad Hatta. Di era Orde Baru, Presiden Soeharto dengan Wapres BJ Habibie. Perpecahan mereka dicatat sebagai yang terburuk. Karena hingga meninggal, sesama pasangan tidak sempat saling sapa dan bersilahturahmi.
Di tingkat pemerintahan daerah - terutama di era reformasi, nyaris tak terhitung jumlah pasangan kepala daerah yang pecah kongsi. Ada yang pecah kongsi di tengah jalan. Tapi ada yang tidak atau belum pecah secara resmi, tetapi masing-masing sudah memilih jalannya sendiri. Sang wakil sudah berancang-ancang menyalip atasannya di pilkada berikut atau atasannya tengah sibuk mencari pasangan pengganti.
Yang teranyar kepemimpinan di DKI Jaya. Gubernur Fauzi Bowo pecah kongsi di tengah jalan atau bercerai dengan Mayjen Priyanto, Wagub-nya. Perceraian Fauzi Bowo dan Priyanto termasuk yang paling memprihatinkan. Dalam arti tidak memberikan pendidikan politik yang sehat.
Sebab setelah bercerai, Priyanto kemudian menerbitkan buku yang isinya antara lain memuat hal-hal yang negatif tentang Fauzi Bowo. Penerbitan buku ini memang merupakan hak pribadi Priyanto. Tetapi yang kurang pas dari caranya adalah buku itu disebarkan di saat Fauzi Bowo sedang berjuang untuk mempertahankan kedudukannya. Priyanto memang tidak sedang berkampanye untuk pencalonan dirinya. Dan Priyanto juga memang tidak mencalonkan diri dalam Pilkada DKI. Tetapi sekalipun demikian, publik tahu, Priyanto pernah menyatakan rencanannya untuk bersaing dengan Fauzi Bowo dalam Pilkada tahun ini. Sehingga penyebaran buku yang antara lain berisikan versi Priyanto sendiri, tidak cukup sportif dan gentleman.
Sementara di provinsi Jawa Barat, Dede Yusuf (Wagub ) jauh hari sudah menyatakan akan maju sebagai Cagub, bersaing dengan Ahmad Heriawan, pasangannya saat ini.
Kenyataan di atas ini mau tak mau menimbulkan kekhawatiran bagaimana jadinya masib perjalanan pasangan Gubernur DKI Jaya hasil Pilkada 2012? Seandainya Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli yang menang apakah pecah kongsi dalam duet pemimpin ibukota bakal berulang lagi ?
Sejauh ini belum pernah ada penegasan baik dari Fauzi maupun Nachrowi. Tetapi tanpa penegasan pun dari pasangan ini, sepertinya mereka sudah tahu apa yang harus mereka lakukan agar tidak berulang perpecahan seperti Fauzi-Priyanto.
Salah satu hal yang membuat rekat persatuan Fauzi-Nachrowi kelihatannya cukup kuat adalah kedua-duanya mewakili Partai Demokrat. Sebagai pasangan, mereka sedang tidak bersaing akibat latar belakang perbedaan partai. Fauzi duduk sebagai anggota Dewan Pembina di kepengurusan pusat sementara Nachrowi menjabat sebagai orang nomor satu di Partai Demokrat DKI Jaya. Apapun masalahnya, mestinya Fauzi pasti sudah belajar dari pengalaman perpecahan dengan Priyanto. Adalah salah Fauzi sendiri kalau ia mengulangi kembali kesalahannya dalam berpartner.
Lain ceriteranya dengan Jokowi-Ahok (Basuki Tjahya Purnama). Pasangan ini untuk sementara - terutama setelah kemenangan di putaran pertama, terihat sangat solid. Tetapi di balik kesolidan itu, sebetulnya masih banyak pertanyaan yang belum terjawab. Masih banyak hal serius yang sengaja ditutupi. Dan itu semua merupakan kelemahan yang cukup mendasar yang berpotensi memicu perpecahn mereka di tengah jalan. Bahwa keduanya berasal dari partai yang berbeda, hal tersebut sudah tidak perlu dibahas lagi. Tetapi yang perlu dibahas adalah bagaimana sejarah keduanya dipersatukan atau "dikawinkan".
Kalau boleh diumpamakan dengan sebuah pernikahan, perkawinan Jokowi-Ahok terjadi lebih atas dasar pertimbangan politik dari "orang tua" masing-masing. Orangtua mereka adalah Megawati Soekarnoputri (PDI-P) untuk Jokowi dan Prabowo Subianto (Gerindra) untuk Ahok.
Rundown pernikahan mereka kurang lebih begini: Mega dan Prabowo sudah menetapkan hari "H". Dan beberapa hari sebelum hari "H" tersebut tiba, Mega dan Prabowo sudah membuat kesepakatan dimana apa isi kesepakatan itu tidak diberitahukan kepada Jokowi dan Ahok.
"Pokoknya Jokowi-Ahok harus jadi pasangan", demikian kurang lebih penegasan bersama Mega dan Prabowo. Walikota Solo dan bekas anggota DPR dari Golkar itu hanya dipertemukan selama beberapa menit. Setelah berjabat tangan dan saling menatap mata, mereka kemudian diminta harus mengikuti keinginan orangtua masing-masing.
Keputusan Mega selaku Ketua Umum DPP PDI-P untuk menetapkan Jokowi selaku Cagub DKI, memang memiliki kepastian hukum yang kuat. Tetapi keputusan itu sendiri tak luput dari adanya penolakan yang cukup serius dari kalangan internal. Penolakan ini tercermin dari beberapa hal. Gubernur Jateng, Letjen (Purn) TNI Bibit Waluyo tidak serta merta mengeluarkan izin kepada Jokowi sebagai Walikota Solo untuk meninggalkan pekerjaannya. Padahal Jokowi sudah lebih banyak berada di Jakarta atau luar kota Solo.
Taufiq Kiemas, politisi senior PDI-P - yang banyak kalangan tahu tidak sekadar suami Megawati, sudah memilih Letjen (Purn) TNI Adang Ruchiatna sebagai cagub yang mendampingi Fauzi Bowo. Pada akhirnya Taufiq Kiemas dikalahkan. Tidak jelas apa yang menjadi alasan TK, panggilan akrab suami Megawati itu untuk mempersatukan calon PDIP dengan calon Patai Demokrat. Kendati demikian hal ini semakin memperlihatkan adanya konflik internal yang cukup serius dalam pengambilan keputusan penentuan calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jaya.
Sementara sorotan terhadap kandidat Ahok, juga tidak kalah pentingnya. Apapun yang menjadi alasan Ahok, apakah untuk mengabdi ke bangsa atau untuk tujuan lain, keputusannya meninggalkan kursi Golkar di DPR-RI, merupakan sesuatu yang tidak langsung gampang dimengerti. Bahwasanya belakangan Ahok diserang oleh isu SARA, ia seorang keturunan China yang beragama Nasrani, isu sensitif ini sebetulnya baru muncul belakangan sehingga tinggal merupakan persoalan ikutan.
Esensi dari keputusan Ahok meninggalkan Golkar, mengingatkan orang pada situasi politik masa kini. Dimana banyak terjadi politikus yang berpindah partai dengan alasan pribadi. Sedangkan Ahok sendir, sesuai rekam jejaknya bukanlah seorang politisi yang loyal. Ia pernah menjadi anggota Partai Indonesia Baru (PIB)-partai yang didirikan oleh ekonom kenamaan Dr. Sjahrir (amarhum). Dilihat dari sejarah kelahirannya, PIB lahir sebagai wujud ketidakpuasan almarhum Sjahrir terhadap sistem politik dan ekonomi yang diadopsi Indonesia. Dan Indonesia yang dimaksud adalah pemerintahan yang dikuasai oleh orang-orang Golkar.
Sehingga sepatutnya, Ahok tidak akan pernah masuk Golkar! Oleh karenanya wajar kalau perpindahan Ahok dari PIB ke Golkar ketika itu ditengarai sebagai sebuah petualangan politik. Dan sama halnya dengan perpindahannya dari Golkar ke Gerindra. Pendiri Gerindra (Prabowo) juga sengaja keluar dari Golkar karena tidak puas atau tidak setuju dengan ideologi partai berlambang pohon beringin itu.
Jika diulas lebih jauh lagi, sepanjang pimpinan PDI-P masih ada di tangan generasinya Megawati, tetap sulit terjadi partai yang berlambang banteng ini bisa sejalan dengan Gerindra, termasuk Golkar dan PIB. Oleh sebab itu yang paling mudah disimpulkan, pasangan Jokowi dan Ahok sesungguhnya duet yang dipaksakan. Itu sebabnya mereka diprediksi rentan untuk perpecahan. Sebuah kesimpulan yang subyektif, tidak enak didengar, tetapi sulit untuk disembunyikan.

sumber

Thursday, August 2, 2012

Solusi Memberantas Korupsi

August 02, 2012 2
Selama ini, banyak artikel dan gagasan menarik untuk memberantas korupsi. Tulisan itu hanya menyumbangan ide dan gagasan pemberantasan korupsi. Namun, solusi yang ditawarkan oleh beberapa kalangan sangat normatif dan masih 'remang-remang'. Sehingga, ide itu sama sekali tak menyentuh dan memberikan solusi cerdas dalam memberantas korupsi secara total. Banyak solusi yang ditawarkan oleh para akademisi dan politisi, salah satunya adalah perlu adanya 'ketegasan pemimpin' untuk memberantas korupsi.
Padahal, korupsi merupakan perbuatan tercela yang semakin menggurita. Artinya, jika pemberantasan korupsi hanya sekadar gerakan 'remang-remang', maka hasilnya juga tidak jelas. Apalagi, tulisan-tulisan itu seolah-olah cenderung menyalahkan pemimpin atau figur dalam pemerintahan. Padahal, korupsi merupakan permasalahan sosial dan tergolong perbuatan luar biasa (extra ordinary crime). Maka, dalam pemberantasannya juga harus dilakukan dengan 'kekuatan sosial' dan secara radikal pula.

Sinergi Pemerintah dan Masyarakat
Pemberantasan korupsi tidak cukup dilakukan melalui penegakan hukum saja. Penyelesaian korupsi harus dilakukan secara kompak, ada sinergi antara pemerintah dan masyarakat. Intinya, ada di tangan pemerintah, namun jika tak ada dukungan masyarakat, maka pemberantasan korupsi menjadi 'omong kosong'.
Menurut beberapa artikel di media cetak, disebutkan bahwa pemimpin yang tegas sangat mendukung penghentian korupsi. Namun, dia luput mengkaji kekolektifan kinerja pemerintah. Artinya, pemerintahan tidak hanya ada satu atau dua orang saja, namun puluhan dan bahkan ratusan. Jika ingin memberantas korupsi, seluruh aparat pemerintah harus berkomitmen memberantasnya. Apalagi, tindak korupsi saat ini tak lagi perorangan, melainkan sudah masuk dalam kategori 'korupsi berjamaah'. Ini mengharuskan bahwa pemberantas korupsi juga harus dilakukan berjamaah, melalui herakan kompak secara bersama-sama.
Dalam konteks ini, pemberantasan korupsi harus dilakukan secara maksimal oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 'Nakhoda' kapal KPK harus berani, tegas, dan 'cekatan' dalam memberantas korupsi. Tanpa tindakan tegas dari KPK, maka pemberantasan korupsi hanya akan merupakan mimpi belaka. Jika dirumuskan, pemberantasan korupsi bisa dimulai dari pencegahan, penindakan, termasuk dengan melibatkan peran masyarakat.
Pemberantasan korupsi harus difokuskan pada 'perbaikan sistem' (hukum, kelembagaan, ekonomi). Selain itu, perbaikan kondisi manusia juga penting. Antara lain, melalui bimbingan dari segi moral, kesejahteraan, di samping lewat pendidikan antikorupsi. Yang terpenting bukan sekadar 'mencegah', tapi juga 'menindak tegas' koruptor.

Solusi Radikal
Korupsi merupakan extra ordinary crime, maka penanganannya harus dengan cara radikal. Jadi, 'hukuman mati' untuk koruptor harus dilegalkan. Meskipun belum ada terdakwa kasus korupsi dijatuhi hukuman mati, tapi suatu saat pasal ini akan efektif dan harus diberlakukan di Indonesia. Sehingga, hukuman mati menjadi solusi jitu untuk memberantas korupsi. Jika tak ada pemberlakuan hukuman mati kepada koruptor, dan hukuman yang diberikan kepada mereka terlalu ringan, maka hal itu pasti tidak akan menimbulkan efek jera. Untuk itulah, perlu pembenahan sistem hukum, sehingga tidak ada lagi yang berani melakukan korupsi.
Menurut Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Alvon Kurnia, pihaknya menyetujui jika ada hukuman mati bagi koruptor. (Suara Karya, 18/7/2012). Namun, pemberlakuan hukuman mati kepada koruptor bisa menjadi kontroversi. Pasalnya, hal itu bersentuhan dengan HAM, khususnya terkait hak untuk hidup.
Karena itu, yang mendesak dilakukan seharusnya menyangkut reformasi dan pembenahan sistem hukum. Ini penting untuk memberikan efek jera kepada koruptor, dan bukan mematikannya. Sebab, sistem hukum selama ini tidak memberikan efek jera. Pembenahan itu terkait banyaknya koruptor yang divonis bebas. Apalagi, banyak koruptor mendapat fasilitas mewah di dalam tahanan.
Lebih disayangkan, hukuman yang dijatuhkan pengadilan terlalu ringan. Inilah sesungguhnya yang perlu diperbaiki, karena banyak koruptor mendapat hukuman tidak setimpal dengan perbuatannya. Padahal, dampak dari korupsi sangatlah luas.

Hukuman Mati?
Jika korupsi terus menggurita dan merugikan rakyat Indonesia, maka sudah sepantasnya koruptor dihukum mati, sehingga hal itu membuat calon pelaku lainnya berpikir dua kali. Hukuman mati memang dianggap belum cocok dan melanggar hak asasi manusia (HAM), dan Tuhan saja maha pengampun. Lalu, hukuman apa yang cocok untuk koruptor? Tentu berupa tindakan radikal. Meskipun dianggap tak cocok dan melanggar HAM, khusus koruptor, hukuman mati sangat cocok dan merupakan solusi cerdas. Jika perlu, pemerintah harus membuat UU HAM khusus untuk koruptor.
Hukuman mati sangat cocok diberlakukan kepada koruptor di negeri ini. Jika tidak, Indonesia akan terpuruk jika penegakan hukumnya masih 'remeh-temeh'. Jadi, sudah saatnya Pemerintah Indonesia meniru kebijakan Pemerintah China dalam menciptakan pemerintahan bersih dengan menerapkan hukuman mati kepada koruptor. Buktinya, di negeri Tirai Bambu ini, pemberantasan korupsi berjalan lancar dan sangat efektif.
Memang, hukuman itu membuat perekonomian China maju, dan menjadikan pemerintahan menjadi lebih disiplin, jujur, dan bertanggung jawab. Lalu, kapan Indonesia berani meniru langkah pemerintahan China? Apakah menunggu koruptor menguasai negeri ini? Tentu tidak. Wallahu a'lam bisshawab.

Tuesday, July 31, 2012

Pensiun dari Sepak Bola, Shevchenko Terjun ke Dunia Politik

July 31, 2012 0
Para pecinta sepak bola tak akan bisa lagi melihat aksi Andriy Shevchenko di lapangan hijau. Mantan bintang AC Milan dan Chelsea itu memutuskan gantung sepatu dan mencoba berkiprah di bidang politik. “Mungkin, kabar ini mengejut kan bagi siapa pun. Masa depan saya tidak ada kaitannya dengan sepak bola. Saya akan terjun ke dunia politik. Mohon dukungannya,” kata Shevchenko, seperti dilansir Sunday Nation.
Sheva, sapaan akrab Shevchenko, telah memutuskan bergabung ke dalam partai probisnis bernama Ukraine Forward. Partai ini diketuai politikus bernama Nataliya Korolevska. Di partai ini, Sheva mengaku ingin mengabdikan sisa hidupnya kepada masyarakat dengan berbagi pengalaman yang ia dapatkan di kancah Eropa. Sheva merencanakan pembangunan di bidang sosial dan olahraga. “Saya bergabung menjadi tim Nataliya Korolevska karena Ukraine Forward adalah partai masa depan yang dibangun oleh pemimpin muda,” katanya.
Ukraine Forward saat ini tengah gencar melakukan kampanye pembebasan mantan perdana menteri Yulia Tymoshenko, yang sedang menjalani masa hukuman selama tujuh tahun. Tymoshenko merupakan rival politik utama presiden Viktor Yanukovich dan telah dipenjara sejak Oktober 2011 karena menyalahgunakan jabatan. Partai yang kini dinaungi Shevchenko itu menuntut pembebasan karena Tymoshenko kerap mendapatkan kekerasan selama menjalani masa tahanan.
Sheva bukan orang Ukraina pertama yang bermanuver dari dunia olahraga ke politik. Sebelumnya, juara tinju kelas berat, Vitali Klits chko, sudah lebih dulu terjun di dunia politik dengan mendirikan Partai Udar. Berkariernya Sheva di politik dikabarkan untuk mengincar momentum pemilihan parlemen Ukraina yang akan diselenggarakan Oktober 2012 mendatang.

Tuesday, July 24, 2012

Birokrasi Terkooptasi Politik

July 24, 2012 0
Komposisi pegawai negeri sipil di Indonesia sangatlah paradoks. PNS dengan keahlian tertentu atau tenaga fungsional sangat sedikit. Di pelosok Nusantara, kekurangan tenaga medis dan guru, misalnya, sangat mencolok sehingga menjadi problem yang kerap kali mengganggu aktivitas kehidupan. Sebaliknya, tenaga administrasi umum bercokol di mana-mana.
Perbandingan antara jumlah PNS fungsional dan administrasi umum ibarat bumi dan langit. Jumlah tenaga fungsional, menurut Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Eko Prasojo, hanya 20 persen dari keseluruhan PNS yang jumlahnya sekitar 4,7 juta orang. Sebagian besar atau 80 persen PNS adalah tenaga administrasi umum.
Ini baru sekadar jumlah. Belum lagi masalah mentalitas bekerja PNS kita yang seadanya, lamban, dan selalu mengharapkan ”uang lelah”. Moto ”kalau bisa diperlambat, kenapa harus dipercepat” seakan-akan tak lepas dari komunitas pegawai kita walaupun pada era reformasi birokrasi. Memang, kultur itu tak bisa dipukul rata. Tentu masih ada PNS yang bekerja keras, profesional, dan jujur. Namun, jumlah mereka minoritas.

Kronis
Sesungguhnya, kompleksitas masalah birokrasi di Indonesia kian rumit membelit ketika ditambah kooptasi politik. Tarikan kepentingan politik ini terjadi baik di tingkat pusat ataupun daerah. Di tingkat pusat, menteri-menteri umumnya dipilih berdasar asal partai politik yang ikut penyusun koalisi pemerintah. Pos-pos menteri sudah dijatah untuk parpol tertentu. Dari 34 menteri, 17 menteri berasal dari parpol. Tentu saja, semua menteri dari parpol mempunyai agenda politik sesuai kepentingan parpol masing-masing.
Di daerah, cengkeraman kooptasi politik pada birokrasi tak kalah kuat. Jabatan kepala dinas, kepala badan, dan asisten di sekretariat daerah hanya diberikan kepada pendukung calon kepala daerah terpilih. Pejabat yang memberikan dukungan penuh terhadap calon kepala daerah yang memenangi pilkada, dipastikan akan mendapat kedudukan empuk sebagai balas jasa. Di sini, barangkali jangan lagi bicara soal kualitas kinerja dan latar pendidikan karena pada umumnya hal-hal seperti itu menjadi pertimbangan nomor dua.
Dengan kooptasi seperti itu, politik yang menciptakan sistem di birokrasi, bukan sebaliknya. Birokrasi menjadi tidak netral, susah bekerja profesional, apalagi melayani rakyat secara sepenuhnya. Birokrasi malah lebih banyak melayani kepentingan-kepentingan politik.

Penyakit Kronis
Bertahun-tahun birokrasi seperti terjangkiti penyakit kronis dan akut. Menyembuhkannya tidaklah mudah. Akan tetapi, sejak era reformasi birokrasi, pembenahan dilakukan secara intensif. Paling pokok adalah deteksi postur birokrasi. Birokrasi yang gemuk tentu tak lincah untuk bekerja. Masalah juga yang sangat penting adalah berimbas pada biaya belanja aparatur yang membengkak. Gaji, tunjangan, dan biaya perjalanan dinas, serta honorarium mendominasi anggaran belanja negara.
Satu-satunya jalan harus melalui pemangkasan. Struktur birokrasi yang tidak jelas tugas pokok dan fungsinya dirampingkan. Di tingkat pusat saja saat ini terdapat 34 kementerian, 28 lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK), dan 88 lembaga nonstruktural (LNS). Padahal, setelah desentralisasi, semestinya organisasi di tingkat pusat semakin ramping karena sudah banyak kewenangan diserahkan kepada birokrasi di daerah.
Namun, runyamnya, struktur di daerah pun setali tiga uang. Seperti di tingkat pusat, postur birokrasi di daerah pun ikut-ikutan tambun. Apalagi sejak era otonomi daerah yang telah berjalan lebih satu dasawarsa ini, pemerintah daerah (khususnya kabupaten/kota) bisa melakukan apa saja karena kewenangan ada di tangan mereka.

PNS Tambah Terus
Walaupun birokrasi sudah tambun, penerimaan PNS berlangsung terus. Lagi-lagi, hal itu akan menyedot anggaran daerah karena untuk membayar gaji, tunjangan, honor, dan biaya perjalanan dinas PNS serta pejabat daerah yang lebih banyak.
Bayangkan saja, hal yang sangat tidak logis, anggaran belanja dan pendapatan daerah (APBD) di sejumlah kabupaten justru lebih banyak untuk belanja pegawai, bahkan bisa di atas 50 persen hingga 70 persen. Artinya, anggaran untuk pembangunan, proyek infrastruktur, sarana dan prasarana, pemberdayaan ekonomi masyarakat sangatlah kecil. Anggaran pembangunan justru hanya untuk memberikan makan birokrasi saja.
Selain menyedot anggaran, struktur birokrasi yang gemuk itu juga menyulitkan kerja yang terintegrasi. Kewenangan dan tugas satu instansi dan lainnya tumpang-tindih. Ketika terjadi kekacauan, hal itu justru membuka peluang untuk saling lempar tanggung jawab. Indeks efektivitas pemerintah pada 2009, minus 0,29. Dengan kinerja yang terjadi sekarang ini, bisakah dicapai target 0,5 persen pada tahun 2014? Hal ini tentu saja sangat bergantung pada reformasi birokrasi yang tengah digalakkan.
Adapun jumlah lembaga yang menyerahkan laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (LAKIP) juga pada 2009, hanya 24 persen!

Pembenahan Internal
Desain struktur serta profil kementerian dan lembaga yang diperlukan di tingkat pusat dan daerah memang masih didiskusikan. Pembenahan akan dilakukan dalam jangka panjang sebab memerlukan komitmen politik luar biasa. Sebaliknya, pembenahan internal birokrasi dirasakan lebih mungkin dilakukan bertahap mulai saat ini. Setidaknya, proses perekrutan dan promosi pegawai ditata. Promosi eselon 1 dan eselon 2 dilakukan terbuka untuk semua PNS yang memenuhi syarat kepangkatan dan keahlian, yang penilaiannya dilakukan tim independen.
Agar tidak lagi mendapatkan tenaga yang sia-sia, proses perekrutan PNS berbagai instansi harus berbasis kebutuhan. Tes berbasis komputer serta penilaian kompetensi diharapkan mampu menyaring PNS dengan keahlian dan integritas. Harapannya, sistem perekrutan ini juga akan memutus mata rantai penjualan formasi PNS yang berkelindan di birokrasi.
Namun, semua itu masih harus menunggu karena masih dipersiapkan dalam Rancangan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara yang masih dibahas di DPR. Dalam masa peralihan ini, setiap daerah hanya diharuskan membuat analisis beban kerja dan analisis jabatan sebagai syarat merekrut PNS baru. Selain itu, seleksi ditangani konsorsium sepuluh perguruan tinggi negeri.
Secara umum, pembenahan birokrasi akan diterapkan pada organisasi, proses kerja, sumber daya manusia, perekrutan, akuntabilitas kerja, pengawasan, pelayanan publik, serta perbaikan pola pikir dan budaya birokrasi. Memang, soal pola pikir dan budaya birokrasi akan menjadi satu pilar yang sangat sulit dibenahi. Bangsa Indonesia terjerat mentalitas jalan pintas dan berorientasi hasil (result oriented).
Kalau diumpamakan, mestinya berproses menjadi batik tulis, bukan batik cap. Proses menenun dan membatik dengan keringat, ketekunan, kerja keras, sampai menghasilkan selembar kain cantik nan bermutu seharusnya melandasi mental birokrat kita.


Tuesday, July 17, 2012

Soekarno Belum Bergelar Pahlawan Nasional

July 17, 2012 0

Meskipun dikenal sebagai Bapak Proklamator, presiden pertama Indonesia, Soekarno, hingga saat ini belum bergelar pahlawan nasional. Tak hanya Soekarno, Bung Hatta juga mengalami nasib serupa.
"Sampai kini Bung Karno memang belum jadi pahlawan nasional," kata Jimly Asshidiqie, anggota Dewan Gelar Pahlawan Nasional, seusai menghadiri seminar Kebangsaan dan Kepahlawanan di Surabaya, Senin, 16 Juli 2012. Menurut Jimly, kendati segala bahan riset, seminar, diskusi tentang Bung Karno selama ini sudah sangat lengkap, tetapi pengajuan gelar kepahlawanan tetap saja harus diproses sesuai mekanisme yang berlaku. Karena itu, seusai seminar ini, dirinya minta dilakukan proses pembahasan di tingkat akademisi. Apalagi gelar kepahlawanan tidak hanya soal formalitas, melainkan juga harus dijadikan instrumen kepahlawanan bagi segenap anak bangsa.
Khusus pemberian gelar kepahlawanan bagi Bung Karno, Jimly mengusulkan dilakukan pada tanggal 1 Juni sehingga ketokohan Bung Karno bisa lebih istimewa dan tidak bersamaan dengan pemberian gelar kepahlawanan bagi pahlawan nasional kebanyakan yang dilakukan tiap tanggal 10 November. "Saya ini anggota Dewan Gelar, tidak etis sebenarnya kalau bicara teknis, tapi saya harap gelar Bung Karno bisa diberikan 1 Juni," kata Jimly. Jika gelar Bung Karno selesai, Jimly berharap bisa dilanjutkan untuk memproses pemberian gelar bagi Bung Hatta.
Menurut Jimly, hal yang mengganjal dalam pemberian gelar kepahlawanan bagi Bung Karno di antaranya adalah adanya TAP MPRS No.XXXIII/MPRS/1967 yang mencabut kekuasaan Soekarno. Dalam TAP tersebut di Bab II Pasal 6 disebutkan juga jika penyelesaian proses hukum menyangkut Soekarno selanjutnya dilakukan menurut ketentuan hukum yang berlaku dan menyerahkan pelaksanaanya kepada pejabat Presiden.
"Asumsinya, Bung Karno telah melakukan tindakan hukum, tapi proses hukum ternyata tidak pernah dilakukan oleh Presiden Soeharto," kata Jimly. Karena itu, asumsi Bung Karno melakukan pelanggaran hukum bisa dipandang tidak benar, meskipun juga tidak dapat dinafikan seolah-olah benar. Jimly menambahkan, Keputusan Presiden Nomor 081 Tahun 1986 yang memberikan gelar bagi Soekarno bersama Bung Hatta sebagai pahlawan proklamator secara dwitunggal jelas tidak memiliki dasar perundang-undangananya. Apalagi, gelar kepahlawanan tidak mengenal istilah pahlawan proklamator. "Justru dwitunggal itu mengkrangkeng nama besar Bung Karno dan Bung Hatta yang tidak bisa sendiri-sendiri diabadikan secara semestinya," kata Jimly.
Gubernur Jawa Timur Soekarwo yang hadir dalam seminar itu mengatakan polemik terkait status hukum bagi Bung Karno sebenarnya sudah bisa dianggap selesai. "Beliau sudah wafat, Pak Harto juga sudah wafat, jadi tidak ada lagi alasan untuk mengulur gelar bagi Bung Karno," kata Soekarwo.
Seminar itu setidaknya juga dihadiri sejarawan muda JJ Rizal serta Daniel Dhakidae. Pengajar hukum Tata Negara Universitas Surabaya (Ubaya), Martono, yang menjadi panitia acara mengatakan, hasil diskusi selanjutnya akan dijadikan pijakan akademis untuk mengusulkan Bung Karno sebagai pahlawan nasional.

Monday, July 16, 2012

Demokrasi ala Chomsky

July 16, 2012 0
Demokrasi (democracy) dan pendidikan (education), mau tidak mau, suka atau tidak suka seperti ditegaskan oleh Chomsky, kita akan berjumpa dengan pemikiran salah satu filsuf besar Amerika Serikat di abad 20, yakni John Dewey. Chomsky sendiri mengakui, bahwa pemikiran Dewey tentang pendidikan juga mempengaruhi pemikirannya. Salah satu argumen yang cukup menarik, yang diajukan oleh Dewey adalah reformasi pendidikan (reform in education) berupa perubahan paradigma pendidikan, perlu dilakukan sejak orang masih berusia muda.
Dalam konteks ini, tetaplah perlu diperhatikan, bahwa menurut Dewey, tujuan pendidikan bukanlah menghasilkan barang-barang bagus yang bisa dijual dan menambah kas Negara, melainkan menghasilkan manusia-manusia bebas (produces free men) yang mampu berhubungan satu sama lain dalam situasi yang setara (equal relation). Itulah tujuan pendidikan sejati, yang sekarang ini banyak terlupakan.
Mengapa demikian, pada prinsipnya masa sekarang ini, pendidikan sedang diancam oleh dua kekuatan besar. Yang pertama adalah kekuatan dari rezim-rezim otoriter (authoritarian regimes) yang ingin menciptakan manusia-manusia yang tunduk dan patuh (docile human) pada ideologi yang ada. Sementara yang kedua adalah kekuatan dari sistem kapitalisme yang hendak mengubah konsep warga negara (citizenship) yang bebas menjadi konsep konsumen (consumer) yang bebas, yang pikirannya hanya terfokus pada konsumsi tanpa batas semata.
Dua macam power ini masih dapat kita temukan sekarang ini. Bisa dikatakan Rezim otoriter sekarang ini banyak mengatasnamakan agama dan tradisi untuk melenyapkan kebebasan manusia. Sementara sistem kapitalisme, dengan daya pikat konsumtivismenya, masih mencengkram pikiran banyak orang, sehingga mereka kehilangan kesadarannya sebagai warga negara, dan hanya semata sibuk mengumpulkan uang tanpa memikirkan sesuatu yang penting yaitu tujuan pendidikan.

Tujuan Pendidikan
Chomsky mengajak kita kembali mengingat tujuan utama pendidikan, yakni menghasilkan manusia-manusia yang bebas dan mampu berhubungan satu sama lain dalam situasi, kondisi yang setara. Maka dapatlah dikatakan, bahwa pendidikan adalah suatu proses produksi, namun bukanlah produksi barang-barang dengan cetakan ketat yang telah ditentukan sebelumnya, melainkan produksi manusia-manusia bebas.
Di sisi lain, Chomsky juga mengutip pendapat Bertrand Russell, seorang filsuf besar asal Inggris di awal abad ke-20 lalu, tentang pendidikan. Baginya, pendidikan adalah suatu proses untuk memberi makna dari segala sesuatu, dan bukan untuk menguasainya (manusia dan alam). Pendidikan juga adalah proses untuk menciptakan warga negara yang bijak dan masyarakat yang bebas (wise citizens and free society). Menurut Russell, kebijaksanaan publik seorang warga negara mencakup dua hal, yakni kepatuhan pada hukum seorang warga negara pada hukum di satu sisi, dan kreativitas individual dalam berkarya serta mencipta ulang hidupnya di sisi lain. Kedua aspek ini harus berjalan seimbang dan dinamis.
Nilai-nilai individualistik yang mengabaikan solidaritas sosial berkembang pesat di berbagai masyarakat dunia sekarang ini. Di satu sisi, orang hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri untuk mencapai keberhasilan dalam hidup. Di sisi lain, tingkat kecemasan menjadi amat tinggi, karena tidak ada jaring pengaman yang menangkap mereka, ketika jatuh atau gagal dalam kehidupan, Pada titik ini, menurut kami, proses globalisasi yang terjadi sekarang ini sebenarnya adalah proses penyebaran nilai-nilai individualisme khas Amerika Serikat ke seluruh dunia.
Di dalam penyebaran nilai-nilai tersebut, solidaritas sosial yang menjadi fondasi dari banyak komunitas, dan juga merupakan fondasi bagi proses-proses demokrasi yang sehat, secara perlahan namun pasti terkikis. Yang juga perlu diperhatikan, terutama dengan melihat situasi dewasa ini, nilai-nilai invidiualisme justru membawa kehancuran pada komunitas, ketidakadilan akibat kesenjangan sosial yang begitu tajam antara si kaya dan si miskin, serta krisis ekonomi raksasa yang merugikan begitu banyak pihak yang tak bersalah.
Proses globalisasi (baca: Amerikanisasi) masa kini, bisa dibayangkan sebagai proses penyebaran “racun” politis ke seluruh dunia. Di dalam semua proses tersebut, dan ini menyebabkan dunia pendidikan di Indonesia pada umumnya dan Aceh pada khususnya tidak menjalankan fungsinya sebagai institusi kritis, tetapi justru mengabdi pada pengembangan sekaligus penyebaran nilai-nilai individualistik yang egois dan rakus tersebut.
Untuk menjelaskan argumen ini, Chomsky mengutip tulisan David Montgomery, seorang sejarahwan dari Inggris. Menurut Montgomery, Amerika Serikat modern adalah negara yang dibangun dari pemberontakan kelas pekerja terhadap kelas penguasa, mulai dari kelas penguasa dari Inggris, maupun kelas penguasa modal yang rakus dan enggan berbagi. Pemberontakan itu berbentuk protes keras dan berkelanjutan dari awal abad ke-19 sampai dengan 1950-an.
Chomsky sepakat dengan argumen ini. Yang melakukan protes ini adalah orang-orang biasa, kaum pekerja, terutama kaum perempuan. Mereka bangkit dan bekerja sama untuk menolak nilai-nilai kelas penguasa borjuis yang individualistik, kompetitif, dan penuh dengan nuansa kerakusan. Mereka memperjuangkan perbaikan untuk nasib mereka yang direndahkan, dan situasi kerja maupun hidup mereka yang tidak manusiawi. Perbudakan memang dihapus. Namun, jenis perbudakan baru lahir, yakni apa yang disebut Chomsky sebagai perbudakan yang bergaji (wage slavery).
Pada saat yang sama, minat pada karya-karya sastra klasik dan filsafat menurun drastis, terutama di kalangan para pekerja kasar yang hidupnya bagaikan “budak yang bergaji”. Para pejuang kelas pekerja, sebagian dari mereka adalah kaum perempuan, menolak tata kelola politis semacam ini, dan mengorganisir gerakan perubahan (change movement). Gerakan perubahan tersebut berhasil, dan terciptalah Amerika Serikat modern.

Politik Masa Kini
Seiring berjalannya waktu, demokratisasi yang terjadi pada hari ini sangat tidak stabil, barometernya adalah uang (money) artinya kekuasaan tersebut tidak datang dari rakyat maupun prosedur-prosedur demokrasi, melainkan dari pendekatan personal dan finansial pada penguasa-penguasa politis. Orang tidak lagi diukur dari kualitas dirinya, tetapi dari berapa uang dan kuasa yang ia punya, tak peduli uang dan kuasa itu didapat dari mana. Proses-proses politik demokratisasi pun ditunggangi oleh kekuatan uang yang hanya menguntungkan sebagian kelompok masyarakat, sambil mengorbankan kelompok masyarakat lainnya.
Pertanyaanya adalah apa dampak dari semua ini? Yakni dari otoritas kekuasaan yang menerkam kebebasan, dan menciptakan kesenjangan yang semakin besar dalam masyarakat. Yang tercipta kemudian adalah suatu masyarakat yang diwarnai ketidakadilan dan ketidakpedulian. Di Indonesia sekarang ini, banyak orang curiga dan pesimis pada dunia politik. Sedikit sekali yang berpendapat, bahwa para pemimpin politik kita mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik.
Menurut Chomsky, pola semacam ini adalah hasil dari pola pendidikan yang menindas cara berpikir kritis, dan mencegah manusia untuk menjadi manusia-manusia yang setara sehingga dapat menjadikan insan yang malas, karena terlalu berharap untuk mendapatkan yang lebih mudah didapatkan, ini merupakan fakta yang terjadi hari ini. Apakah hanya dengan politik/kekuasaan semuanya bisa diubah? Dan, apakah dengan uang semuanya bisa didapatkan? Kedua pertanyaan ini dapat dijawab oleh diri sendiri.


Thursday, July 12, 2012

Golput Disinyalir Berada Pada Masyarakat Menengah Atas

July 12, 2012 4

Peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Muhtadi menjelaskan potensi golput atau masyarakat yang tak menggunakan hak pilih dalam pemilihan umum, khususnya dalam Pilkada DKI Jakarta berada pada kalangan masyarakat menengah ke atas.
Hal ini menurut Burhanuddin, didasari pada tingkat pendidikan masyarakat menengah atas yang cukup relatif baik dan mengerti akar permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan. Sedangkan kalangan menengah ke bawah lebih berpotensi dimobilisir kelompok tertentu untuk memilih calon pemimpin.
"Nah kalo selama ini yang terlihat golput itu justru menegah ke atas," kata Burhanudin kepada liputan6.com saat ditemui dalam persiapan Quick Count yang akan dilakukannya bersama SCTV dan Indosiar di kantor LSI, Selasa (10/7).
Lebih lanjut Buhanuddin menjelaskan, dengan pendidikan menagah atas yang mendapatkann pendidikan lebih tinggi serta memiliki hasil evaluasi politiknya lebih baik, maka dirinya berharap masyarakat menengah keatas dapat menggunakan hak pilih dalam Pilkada DKI Jakarta. "Jadi saya harapkan itu justru masyarakat menengah ke atas datang untuk menggunakan hak pilihnya," harapnya.
Lebih jauh Burhanuddin menjelaskan, agar kualitas Pilkada lebih baik maka ada dua syarat untuk menggapai hal tersebut yaitu yang pertama adalah peningkatan kuantitas partisipasi, yang artinya dari sisi partisipasi meningkat dari pilkada 2007.
"Dan kedua kualitas partisipasi juga harus lebih baik. Jadi pilihan terhadap gubernur yang akan dipilih besok itu didasarakn pada alasan positif dan bukan didasari oleh alasan-alasan money politik," imbuh Burhanuddin.(AIS)

Gerakan Mahasiswa Alami Degradasi Tujuan

July 12, 2012 0

Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB) Marwan Jafar mengemukakan, gerakan mahasiswa saat ini sedang mengalami degradasi tujuan dan  perpecahan dimana-mana. Sisi militansi, gerakan intelektualitas dan nafas kepedulian terhadap masyarakat mulai meluntur. Sehingga jargon 'agen of change' sepertinya tidak selaras dengan gerakan mahasiswa sekarang ini.
“Banyak yang berubah dari gerakan mahasiswa sekarang. Soliditas antar kelompok gerakan sudah mulai terpecah. Belum lagi soal kepedulian terhadap masyarakat juga sudah mulai pudar. Karena itu, sekaranglah saatnya mengembalikan tradisi-tradisi Ahlussunah kembali ke kampus,”ungkap Marawan saat menjadi pembicara di disikusi Gerakan Mahasiswa Satu Bangsa (Gemasaba) di Kantor DPP PKB, Cikini, Jakarta Pusat, kemarin (8/7).
Cara yang cukup tepat untuk mengembalikan marwah Ahlusunah di lingkungan kampus, lanjut Marwan, yakni menumbuhkan kembali gerakan mahasiswa yang berbasis keagamaan dan berbasis dakwah. “Namun, dalam konteks kekinian mahasiswa juga harus bisa lebih memahmi apa itu gerakan dakwah, jangan sampai hal-hal yang berbau dengan dakwah dan perjuangan Islam dipersepsikan sebagai organisasi pengajian kampus yang kadang dicap tidak dinamis,”  tandas Ketua Dewan Pembina Gemasaba ini.
Di tempat yang sama Wakil Sekjen PB NU Imdadun Rahmat, yang juga pengarang buku Ideologi Politik PKS, berpendapat, bahwa gerakan mahasiswa sudah saatnya kembali pada tradisi-tradisi yang berwawasan ideologi dan religi. Gerakan Mahasiswa harus mulai berperan nyata di masyarakat, tidak sekadar memiliki wawasan intelektual saja tetapi sisi religiusnya juga harus diperkuat.
“Kita terutama Gemasaba sebagai kader muda NU dan PKB harus kembali pada tradisi-tradisi orang tua kita yaitu tradisi ahlussunah wal jamaah. Karena dengan nilai-nilai itu kita dapat membentengi diri dari perilaku-perilaku yang menimpang dan tidak sesuai dengan nilai-nilai ahlussunah,” tuturnya dalam diskusi publik yang dihadiri 100 mahasiswa perwakilan dari kampus-kampus di Jabodetabek itu.
Imdad juga menegaskan, gerakan mahasiswa kaum nahdliyin harus kembali kepada gerakan kultural kaum Nahdliyin. “Mahasiswa dan kaum muda nahdliyin harus berperan nyata di masyarakat. Gemasaba terutama, harus menghidupkan kembali tradisi-tradisi kaum nahdliyin seperti mengajari baca alquran, bahasa arab, fikih, tauhid dan lain-lain. Sehingga ruang itu tidak diambil kelompok-kelompok Islam yang terlalu kanan seperti wahabi, sehingga perkembangan wahabisme di Indonesia bisa ditahan” paparnya.
Sementara itu, Ketua Umum DPN Gemasaba Ghozali Munir menuturkan, diskusi ini diselenggarakan atas dasar kegelisahan Gemasaba melihat fenomena semakin lunturnya nilai-nilai idelogi di kalangan mahasiswa. “Gemasaba sebagai kader muda NU dan PKB, merasa miris melihat gerakan mahasiswa mulai kehilangan idelogi. Apalagi kita sebagai kader muda NU, kita merasa bertanggungjawab dan perlu menyebarkan tradisi gerakan mahasiswa yang berwawasan dakwah,” kata Ghozali.
Ditambahkan, sebagai kader muda NU dan PKB, Gemasaba tidak boleh kalah dengan ideologi gerakan mahasiswa Islam yang lainnya. "Gemasaba sudah memiliki ideologi gerakan yang jelas, yaitu aswaja. Untuk itu Gemasaba siap mengawal tradisi gerakan mahasiswa yang berbasis dakwah. Kita tidak boleh kalah dengan yang lainnya, ideologi kita sudah jelas dan kita akan membumikan ideologi ini keseluruh mahasiswa," tegasnya.
Gemasaba adalah organisasi kemahasiswaan bentukan Partai PKB yang didirikan pada tahun 2009 silam. Gemasaba sebagai organisasi yang sangat dekat dengan NU, memiliki ideologi Ahlussunah wal Jamaah yang selama ini menjadi ideologi pasti kaum NU dan nahdliyin. (dms)